• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Pasif

Dalam dokumen Pengembangan Program Desa Wisata dan Eko (Halaman 105-116)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Partisipasi Pasif

Jenis atau bentuk partisipasi ini, seperti digambarkan oleh namanya, merupakan bentuk partisipasi pada level yang paling rendah karena masyarakat terbatas pada diberitahu mengenai apa yang akan terjadi. Pada kasus Kemiren, masyarakat hanya diberitahu saja tentang keberadaan Anjungan Wisata Using (atau biasa disingkat menjadi WO atau ADW) dan tidak dilibatkan sama sekali dalam tahap perencanaan, pengelolaan, hingga pemeliharaannya. Oleh karena itulah sebagian besar informan, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, menyatakan bahwa ada atau tidak adanya WO tidak ada pengaruhnya bagi kesejahteraan masyarakat Kemiren:

Sementara kontribusi ke desa juga tidak ada. Ya paling ada 1 atau 2 orang pekerja yg melibatkan masyarakat Kemiren. Jadi dampak yang luas tidak ada. Tidak dirasakan masyarakat. Ada tidaknya anjungan tidak ada bedanya menurut saya (Haidy, wawancara 5 Juni 2013).

95

Keterangan yang serupa diberikan oleh salah satu informan:

Pada saat ADW dipegang pemerintah, desa masih sering mendapatkan bagian, tapi setelah diserahkan pada pengembang swasta masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Yang boleh berjualan dikenakan tarif tinggi sehingga sekarang yang berjualan di sana adalah keluarga pihak pengembang sendiri. Oleh karena itulah sekarang masyarakat tidak peduli pada keberadaan ADW tersebut.Pada zamannya Lurah Sutris, masyarakat dikumpulkan diberitahu bahwa warga yang tanahnya dibebaskan untuk pembangunan ADW anak cucunya boleh bekerja di ADW, tapi kenyataannya lain (Niptah, wawancara 11 Juni 2013).

Ciri kedua dari jenis partisipasi ini adalah tanggapan masyarakat tidak digubris. Pada kasus WO, walaupun muncul kritikan dari masyarakat berkenaan dengan berubahnya fungsi WO dan dilanggarnya janji-janji yang diberikan pada warga yang tanahnya dibebaskan, pihak pengelola atau pemerintah daerah tidak memberikan respon balik.

Awal-awalnyanya perjanjiannya gitu dulu, waktu pelepasan tanah bahwa pengelolanya orang Kemiren, nanti pekerjanya orang Kemiren, masyarakat Kemiren kalau masuk tidak bayar. Kenyataannya setelah berjalan itu semua kan hanya tulisan saja, pelaksanaannya a nol. Semua orang luar. Orang luar yang kerja di situ. Padahal orang luar kan gak peduli entah ada tamu atau gak tidak ada hubungannya dengan mereka (Tahrim, Wawancara 19 Juni 2013). Iya masyarakat tidak dilibatkan di situ. Bahkan sekarang mulai banyak keluhan. Dari airnya yang dulu bersih sekarang tidak, yang dulu banyak dimanfaatkan masyarakat sumbernya sekarang dimanfaatkan oleh wisata (Tahrim, wawancara 19 Juni 2013).

Dengan demikian jelas bahwa masyarakat, pun Pemerintah Desa Kemiren tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan dan pemeliharaan WO. Pemerintah desa hanya dimintai tolong di awal untuk membujuk warga yang tanahnya bakal terkena pembebasan dan untuk mensosialisasikan pencanangan Kemiren sebagai desa wisata adat using sebagaimana diceritakan oleh Pak Timbul:

Yo diweni weruh. Wong-wong dikumpulaken kabeh. Hang duwe tanah trus diwawancarai ki kanggo wisata. Wong cungking yo ono. Ono mbok Muh, H Bus, Pak Dasyim, Pak Ali, Pak Pur, Mbok Pur. Kiro2 ono sak hektar. Hang duwe tanah dikumpulaken kabeh. Wong-wong kesengsem ning kene ki kepingin maju. Kemiren gedigi baen hadung sing ono wisata hing gelem maju. Dadi ambekeno ning esore rego pasaran hing paren-paren. Umpomo rego tanah sak metere iku

96

200 diregani 50. Dadi wong-wong iku dalam keadaan sadar. Iklas untuk kemajuan Kemiren.

(Ya diberitahu. Orang-orang semuanya dikumpulkan. Selanjutnya yang punya tanah diwawancarai dan diberitahu bahwa semuanya itu bakalan untuk wisata. Penduduk Cungking juga ada. Ada Mbak Muh, H. Bus, Pak Dasyim, Pak Ali, Pak Pur, Mbak Pur. Kira-kira luasnya satu hektar. Yang punya tanah dikumpulkan semua. Orang-orang pada terbujuk karena ingin Kemiren lebih maju. Karena Kemiren akan tetap seperti ini kalau tidak ada wisata. Jadi meskipun harga tanah yang ditawarkan di bawah harga pasar gak apa-apa. Semisal harga tanah 200 dibeli dengan harga 50. Jadi orang-orang itu dalam kondisi sadar. Iklas untuk kemajuan Kemiren) (Timbul, wawancara 21 Juni 2013).

Ciri ketiga dari tipe partisipasi ini adalah dikuasainya informasi oleh segelintir orang. Pada kasus Kemiren, informasi mengenai program-program atau hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan wisata, seni, dan tradisi tidak bisa diakses semua orang karena tidak adanya media informasi khusus yang terbuka untuk semua pihak. Yang semacam ini tentu rawan monopoli dan penyalahgunaan. Contoh kasus adalah penggunaan dana kesmas dari DPRD dan pemberian bantuan 6 toilet berstandar internasional dari pemerintah daerah. Terjadi kesalahpahaman antara warga masyarakat yang tahu bahwa kelompok barong mendapatkan dana sebanyak 30 juta tahun lalu. Sebagian warga, yang tidak tahu pasti info yang benar, mengira bahwa proposal yang berhasil mendapatkan dana 30 juta itu adalah proposal tumpeng sewu sehingga mereka merasa seharusnya dana tersebut dibagi rata di antara semua warga yang menampilkan keseniannya pada acara tersebut. Padahal, proposal yang diterima itu merupakan proposal pemanfaatan dana kesmas dari DPRD.

Ketiadaan informasi yang memadai dan akuntabilitas juga terjadi dalam pelaksanaan program bantuan pembangunan toilet. Menurut perangkat desa, pertimbangan yang dipakai untuk memilih siapa saja yang berhak mendapatkan bantuan tersebut adalah sering tidaknya rumah yang bersangkutan menjadi tempat menginap tamu dari luar (homestay) atau menjadi tempat yang sering dikunjungi tamu dari luar Kemiren. Namun begitu, kenyataannya tidaklah demikian. Ada toilet yang dibangun tidak pada tempatnya sehingga pihak yang merasa berhak dan sebelumnya dijanjikan

97

untuk mendapatkan menjadi kecewa. Dari dua kasus ini nampak bahwa tidak ada sosialisasi program atau informasi yang baik dari pihak yang berwenang, dalam hal ini perangkat desa, kepada masyarakat.

2. Partisipasi dalam Pemberian Informasi

Bentuk partisipasi ini juga ditemukan dalam kasus Kemiren. Keterlibatan masyarakat dalam penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti di Kemiren seringkali sebatas sebagai responden terhadap kuesioner, wawancara, dan survei. Sementara itu hasil penelitian atau survei tidak pernah diumumkan (dikembalikan) kepada masyarakat. Peneliti mencoba menelusuri hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Kemiren, tapi hasilnya minim. Dari sekian ratus orang peneliti yang mengisi buku tamu yang ada di balai desa, yang meninggalkan hasil penelitiannya hanya sedikit, tidak sampai mencapai angka sepuluh. Itupun terserak di beberapa tempat, seperti di balai desa dan di beberapa orang yang biasa dijadikan informan. Belum lagi hasil penelitian dari peneliti-peneliti yang tidak lewat desa (tidak mencatatkan namanya di buku tamu desa). Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan dari pemerintah desa atau lembaga masyarakat yang mewajibkan agar hasil-hasil penelitian, dokumentasi dan publikasi kegiatan adat Kemiren dari pihak luar (peneliti, wartawan, akademisi, penulis, mahasiswa, dll.) untuk disosialisasikan atau diserahkan pada masyarakat melalui pemerintah atau lembaga desa. Dasar pemikiran yang melandasi mendesaknya pembuatan aturan semacam itu adalah karena masyarakat adat/lokal berhak atas kekayaan intelektual mereka sendiri termasuk di dalamnya kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local genius), sehingga segala bentuk hasil penelitian, dokumentasi, dan publikasi adat Kemiren seharusnya bisa dimanfaatkan juga oleh masyarakat Kemiren.

3. Partisipasi dengan Konsultasi

Partisipasi ini bercirikan partisipasi masyarakat melibatkan konsultasi dengan masyarakat lokal dan pandangan masyarakat selama proses tersebut mungkin saja diperhatikan, tapi tidak ada kewajiban untuk itu. Seperti namanya, jenis partisipasi ini melibatkan masyarakat sebagai konsultan, namun demikian, dalam proses konsultasi ini

98

tidak ada kewajiban dari pihak yang memerlukan jasa untuk mengindahkan pandangan atau gagasan yang diberikan. Salah satu contoh bentuk partisipasi ini yang ada di Kemiren adalah partisipasi para seniman dalam penelitian yang dilakukan oleh pihak luar. Haidy (salah satu informan penelitian ini) mengungkapkan bahwa ayahnya pernah menjadi tempat konsultasi seorang peneliti dari Belanda (Bernard Apps) ketika meneliti perbedaan antara pukulan gendang Using dengan gendang Sunda.

Contoh lain dari partisipasi seperti ini yang ada di Kemiren adalah bentuk-bentuk konsultasi dari masyarakat kepada pemerintah atau lembaga-lembaga pemberi bantuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan desa. Namun, sekali lagi, pandangan atau gagasan masyarakat tersebut hanya sekadar konsultasi semata dan tidak ada kewajiban untuk ditindaklanjuti lebih jauh.

4. Partisipasi untuk Mendapatkan Insentif Materi

Bentuk partisipasi untuk mendapatkan insentif materi merupakan salah satu hal penting dalam pengembangan pariwisata karena hal ini berkaitan langsung dengan salah satu prinsip ekowisata yaitu memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat lokal. Beberapa hal yang berkaitan dengan bentuk partisipasi seperti ini yang ada di Kemiren adalah industri kreatif hasil kerajinan masyarakat seperti pembuatan alat musik tradisional (gamelan, angklung, biola, kenthulitan) dan killing. Namun, industri kreatif hasil kerajinan tersebut hanya dilakukan berdasarkan pesanan dan tidak kontinyu serta ketiadaan ruang pamer/ penjualan khusus hasil-hasil kerajinan tersebut. Pemesanan makanan (kuliner) tradisional, seperti pecel pithik, juga menjadi salah satu sumber pendapatan warga yang biasanya agak ramai dipesan pada saat acara Barong Ider Bumi, Tumpeng Sewu, atau bila ada wisatawan dari luar yang ingin merasakan makan pecel pithik seusai ziarah di makam Buyut Cili. Aktifitas seni tradisi yang ada di Kemiren, selain sebagai upaya pemertahanan khasanah budaya Using, juga merupakan bentuk lain partisipasi masyarakat dalam mendapatkan insentif materi. Tanggapan (undangan pentas) untuk para seniman seni tradisi, baik kelompok maupun perorangan, berjalan baik karena Kemiren sudah terkenal sebagai salah satu barometer kesenian tradisi Banyuwangi.

99

Gambar 45. Kerajinan musik tradisional Using hasil produksi salah satu warga Kemiren (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)

Gambar 46. Salah satu warung makan di Kemiren yang menerima pemesanan masakan/ kuliner khas Using (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)

Selain itu keberadaan homestay juga merupakan bentuk lain dari partisipasi masyarakat untuk mendapatkan insentif materi. Meskipun demikian, pengelolaan homestay hingga kini dirasakan tidak maksimal karena tidak terorganisir dengan baik. Salah satu persoalan dalam usaha penyediaan rumah tinggal (homestay), yaitu dari segi penetapan tarif :

100

Ya 1 hari 1 malam itu 15 ribu orang satu. 15 ribu itu ngitungnya cuma makan

tok, nginapnya gak dihitung. Jadi ibaratnya kalau makan 3 kali ya 1 kali makan ya 5 ribu. 5 ribu itu plus kopi kadang kalau ada jajan ya jajan, ada buah-buahan ya buah-buahan. Ngitungnya ya cuma 15 ribu satu hari satu malam. Nginapnya

wes gak dihitung (Tahrim, wawancara 19 Juni 2013).

Gambar 47. Salah satu homestay di Kemiren (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)

Masyarakat hanya mengenakan biaya makan sekadarnya pada tamu yang menginap tanpa memperhitungkan sewa kamar, pemakaian listrik, dan biaya penyediaan camilan. Secara psikologis masyarakat cukup senang rumahnya dipilih sebagai rumah tinggal dan merasa tersanjung dengan itu. Kebiasaan masyarakat Kemiren untuk memperlakukan tamu (wong adoh) dengan sebaik-baiknya seharusnya direspon oleh pemerintah desa dengan pengaturan dan penyeragaman tarif menginap karena tidak bagus kalau situasi psikologis yang demikian dibiarkan begitu saja. Apalagi bila frekuensi tamu yang datang semakin meningkat, maka jumlah kerugian masyarakat akan meningkat. Alih-alih merasakan dampak positif dari pelaksanaan desa wisata, mereka malah akan apatis. Padahal sebenarnya lebih banyak lagi peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari usaha pariwisata.

101

Sebenarnya ada lagi partisipasi masyarakat untuk mendapatkan insentif materi, yaitu dengan membuat souvenir atau kerajinan khas Kemiren seperti barong mini, biola mini, dan kerajinan dari bambu. Namun demikian, upaya tersebut tidak berjalan baik. Memang tidak dipungkiri pelatihan untuk membuat kerajinan berkali-kali dilakukan (mengingat Kemiren kaya akan bambu), namun penduduk merasa bingung harus memasarkan produk kerajinannya kemana karena selama ini memang tidak ada pasar khusus atau lokasi khusus untuk itu. Sementara anjungan wisata yang ada pun tidak bisa diharapkan. Lagipula masyarakat belum mempunyai mental wirausaha yang tangguh. Daripada membuat kerajinan yang belum tentu laku lebih baik mereka buruh di sawah atau nukang yang bayarannya bisa langsung dinikmati:

...masyarakat sini dia lebih apa namanya mementingkan yang instan itu lo yang hasilnya langsung yang cepet jadi yang disenengi akhir-akhir ini. Lebih baik buruh tandur ketimbang membuat home industry tadi itu. Jadi satu kali kerja langsung dapat hasil. Umpamanya buruh tandur jam 7 berangkat pulang jam 4 kan sudah dapat bayaran. Kalau home industry umpama kita membuat anyaman bambu kerjanya 1 hari, belum pemasaran, hasilnya belum bisa dinikmati, nah ini orang belum tahu manfaat dan kegunaaannya itu. Padahal kalau kita tekun itu ya kan..berakit-rakit ke hulu nanti hasilnya kita rasakan kemudian. Tapi orang-orang Kemiren tidak seperti itu. Banyak pembuatan asbak dari bambu dari kayu, jam dinding, ada gantungan kunci, ada, biola, kendang, angklung, semua alat musik bisa diperoleh dari sini sampai kempis (perangkap ikan) sembarang itu (Tahrim, wawancara 19 Juni 2013).

5. Partisipasi Fungsional

Jenis partisipasi ini bercirikan 1) masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan khusus terkait dengan proyek, 2) keterlibatannya mungkin bersifat interaktif, tapi cenderung meningkat di kemudian hari dalam siklus proyek setelah keputusan utama diambil, dan 3) institusi-institusi yang dibentuk cenderung memiliki ketergantungan pada fasilitator luar, tapi bisa juga menjadi mandiri. Contoh bentuk partisipasi fungsional di Kemiren adalah dibentuknya kepanitiaan dalam mempersiapkan upacara adat Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Kepanitiaan yang sifatnya insidental ini telah mampu melakukan kerja-kerja perencanaan, pengorganisasian hingga pelaksanaan acara Ider Bumi dan Tumpeng Sewu sebagai salah satu kegiatan adat dan pariwisata desa.

102

Kedua upacara adat tersebut pada awalnya hanya berupa barong berparade di sepanjang jalan utama Kemiren. Pengembangan pariwisata desa turut mempengaruhi kemasan ritual adat tersebut. Menurut salah satu informan, pengemasan kedua ritual adat tersebut diawali pada tahun 2000an:

Tambah rumit. Jalukane kudu rame. Iki-iki. Padahal paren hang ditonjolaken. Jare isun. Hadung bengen kan krentege iku cuma ono arak-arakan thok. Hing kabeh ndeleng. Setelah ono Pak Iwan tahun 2000 piro gedigu hun mage SD. Dadi cumak sekedar arak-arakan barong ngulon ngetan marek wes. Trus diundangaken iki iki, didanai iki iki, dadi rame. Kabeh hang ngatur Pak Iwan. Pak Iwan mungkin saiki cumak nyumbang-nyumbang. Hadung isun sing demen..

(Semakin rumit. Tuntutannya acara tersebut dibuat meriah. Padahal apa sih yang diunggulkan. Kalau dulu kan niat awalnya memang arak-arakan saja. Tidak semua menonton. Setelah ada pak Iwan pada tahun 2000 sekian waktu saya sendiri masih duduk di bangku SD, Jadi hanya sekedar mengarak barong dari timur ke barat ya sudah selesai. Semua yang mengatur Pak Iwan. Pak Iwan saat ini mungkin hanya menyumbangkan dana. Kalau saya sih tidak setuju (ritual semacam itu dikemas) (wawancara 20 Juli 2013)

Namun demikian, ternyata pengalaman beberapa tahun mengurusi dua upacara besar tersebut menyisakan masalah seperti komentar salah satu informan ketika ditanya apakah tidak suka dengan pengemasan ritual adat tersebut: “Yo seneng, tapi mlayu nyang picis iku mau. Dadi rumit lan uwong2 ini dadi benceng ceweng ngomongaken picis.” (Ya senang, tapi ujung-ujungnya duit itu tadi. Jadi semakin rumit dan orang-orang jadi ribut soal dananya) (Wawancara pada 20 Juli 2013).

Sebenarnya memang ada perbedaan pendapat antara pihak yang setuju dan yang tidak setuju dengan pengemasan ritual adat. Yang menyepakati tentu saja berpandangan bahwa hal tersebut sah-sah saja asalkan tidak menghilangkan esensi pokok ritual sehingga mereka berusaha semaksimal mungkin mengemas acara tersebut untuk menarik minat wisatawan ke Kemiren. Sementara itu, pihak yang tidak sepakat bersikukuh bahwa ritual adat itu sakral sehingga tidak perlu dipoles di sana-sini.

Pengembangan pariwisata dan pemertahanan nilai-nilai budaya kadang-kadang memang dipertentangkan satu dengan lainnya. Padahal semestinya pengembangan pariwisata merupakan bagian dari usaha kreatif pemertahanan dan konservasi budaya.

103

Untuk itulah harus diupayakan terus agar pengembangan pariwisata dapat bersinergi dengan upaya pemertahanan dan konservasi budaya lokal.

Gambar 48. Peran serta para lansia di Kemiren dalam penyelenggaraan Ider Bumi tahun 2013. (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)

Secara keseluruhan, terdapat lima tipe partisipasi masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata di Kemiren. Sementara dua jenis partisipasi yang belum ditemukan di Kemiren, yaitu partisipasi interaktif dan mobilisasi diri. Partisipasi interaktif dan mobilisasi diri ini secara umum bercirikan kemandirian dalam pengorganisasian masyarakat dalam melakukan analisis bersama, pengembangan dan pembuatan atau penguatan institusi. Dua tipe partisipasi tertinggi ini memandang partisipasi sebagai suatu hak dan tak hanya sebagai alat mencapai tujuan proyek. Partisipasi jenis ini juga memiliki kecenderungan untuk melibatkan metodologi interdisipliner dan memanfaatkan proses pembelajaran yang terstruktur dan sistematis. Selain itu, kelompok lokal secara mandiri mampu mengontrol pembuatan keputusan lokal dan menentukan cara memanfaatkan sumberdaya dan masyarakat mampu mengambil inisatif yang terpisah dari institusi luar. Salah satu hal yang bisa menjadi penilaian ada atau tidaknya bentuk partisipasi ini adalah keberadaan seperangkat aturan beserta lembaga/organisasi masyarakat. Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan adanya Perdes tentang pariwisata dan lembaga pengelola pariwisata desa di Kemiren.

104

5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata dan Desa Wisata Kemiren

Dalam menyusun strategi pengembangan desa wisata dan ekowisata Kemiren, terlebih dahulu harus dilakukan identifikasi berbagai kekuatan, kelemahan dan peluang yang dimiliki serta ancaman yang mungkin muncul melalui analisis SWOT. Berdasarkan hasil identifikasi itulah maka akan ditentukan model atau strategi pengembangan desa wisata dan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat di Desa Kemiren.

Berdasarkan hasil observasi, dokumentasi dan wawancara yang dilakukan, terdapat dua lingkungan strategis yang sangat berpengaruh di Desa Kemiren, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal.

5.3.1 Lingkungan Internal

Di dalam lingkungan internal terdapat dua faktor penting yang berpengaruh, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan kekuatan dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kelemahan.

Pertama, faktor kekuatan. Desa Kemiren memiliki potensi yang berfungsi sebagai kekuatan:

1. Suasana pedesaan yang masih alami.

Alam pedesaan yang merupakan sumber produksi bahan pangan dengan aktifitas masyarakat yang sebagian besar hidup sebagai petani adalah potensi tersendiri yang bisa diolah dan dikelola menjadi produk wisata yang memungkinkan untuk dapat ditawarkan kepada wisatawan. Kegiatan yang berhubungan dengan budidaya pertanian berbalut ritual yang menyertainya seperti kegiatan mengolah tanah, menanam, dan panen yang ada di Kemiren bisa menjadi daya tarik tersendiri sebagai wisata pendidikan alam perdesaan.

2. Sebagian besar masyarakat Kemiren merupakan penduduk asli dan

memiliki hubungan kekerabatan.

Keberadaan masyarakat Using di Kemiren yang relatif homogen dan memiliki hubungan kekerabatan menjadikan modal yang kuat untuk menjalin kebersamaan dalam bergerak dan bekerja sama serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program-program yang berhubungan dengan

105

peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam pengembangan pariwisata.

3. Posisisi strategis Desa Kemiren yang menjadi jalur penghubung antara

Dalam dokumen Pengembangan Program Desa Wisata dan Eko (Halaman 105-116)

Dokumen terkait