• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Pulau Flores

BAB II: KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES

A. Gambaran Umum Pulau Flores

Flores letaknya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Penduduk Nusa Tenggara Timur terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa dan tradisi sangat bervariasi dan tentu hal ini berpengaruh sekali dalam perkembangan kebudayaannya.27 Flores merupakan pulau yang memiliki banyak keanekaragaman budaya hampir di setiap kehidupan dalam lingkungan masyarakat. Nama pulau Flores berasal dari bahasa Portugis yaitu "Cabo de Flores" yang berarti "tanjung bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur pulau Flores, kemudian semenjak itu dipakai secara resmi pada tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini, sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Pulau Flores masuk dalam wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur.

Masyarakatnya masih sangat kental dengan adat, setiap kegiatan yang dilakukan selalu dimulai dengan ritual khusus. Bentuk kebudayaan peninggalan leluhur seperti simbol-simbol adat sebagai penunjang ritual masih dipertahankan

27 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984, Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, hal. 4.

dalam masyarakat, hal inilah yang menjadi keunikan masyarakat di Flores. Flores banyak sekali menyimpan berbagai peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, contohnya di daerah kabupaten Ngada pada tahun 1990-an, penemuan seorang kurator museum Bikon Blewut Ledalero yang menemukan fosil manusia jenis

Proto Negrito Florensis di Rawe, menurutnya fosil manusia yang pernah menghuni Flores diperkirakan berusia sekitar 300.000 tahun. Misionaris asal Jerman, Pastor Dr Th Verhoven SVD yang berkarya di Flores tahun 1950-an, ketika di Mataloko (Ngada) menemukan berbagai artefak kuno, antara lain berupa porselen Cina dan berbagai benda kuno berukir berupa papan, manik- manik, peralatan dari zaman batu berupa: barang perunggu, dan yang tidak kalah menariknya ialah temuan di daerah Ngada sebuah fosil gajah raksasa Stego don Trigonocephalus Florensis. Temuan lain berupa kapak neolitik sebanyak 150 buah.28 Semuanya tadi menunjukan bahwa daerah Flores merupakan daerah ya ng tidak kalah bernilai harganya jika dibandingkan dengan daerah lain.

Masyarakat Flores sangat kental akan budayanya. Secara umum masyarakatnya memiliki sifat keunikan tersendiri, kebiasaan masyarakatnya sebelum dan setelah melakukan pekerjaan selalu diawali dengan ritual sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan dengan cara tersebut ada rasa kedamaian yang mereka temukan. Masyarakat Flores sangat kental dengan berbagai simbol-simbol adat, masyarakat Flores selalu mendiami kampungnya dengan dihiasi simbol-simbol adat. Kampung adalah tempat bermukim tradisional

28

Http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, pada tanggal 25/02/2007.

yang hampir keseluruhan masyarakatnya masih mempertahankan pola pemikiman dengan gaya perkampungan.

Masyarakat dan kampung merupakan satu kesatuan yang utuh, umumnya masyarakat Flores masih mempertahankan budayanya demi menjaga ketentraman, hampir setiap permasalahan yang ada selalu diselesaikan dengan cara adat. Aktivitas kehidupan sehari- hari mencerminkan adanya nilai budaya, seperti yang dikatakan oleh Melville J. Herskovits seorang sarjana antropologi budaya dari Amerika Serikat bahwa kebudayaan dan masyarakat itu ibarat dua muka pada sehelai kertas, artinya bahwa masyarakat manusia dimanapun dan kapan pun akan menghasilkan kebudayaan.29

2. Lingkungan dan Masyarakat Flores

Pulau Flores terdapat berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir masing- masing komunitasnya sangat eksklusif sifatnya. Masing- masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang semuanya itu mengikat anggota masyarakatnya secara utuh. Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.

Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di Flores. Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka,

Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah), dan terakhir kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal- usul genealogis dan budaya yang sama.30

3. Religi

Kristianitas, khususnya Katolik sudah dikenal penduduk pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di pulau Solor, kemudian pada tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen disana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di pulau Solor dan Seminari di dekat kota Larantuka, perkembangan katolik yang begitu besar pada tahun 1577 sudah ada sekitar 50.000 orang katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan pulau Flores dan pulau Timor, dengan demikian pulau Flores secara mayoritas penduduknya beragama Katolik.31

Kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, walaupun demikian kehidupan keagamaan di pulau Flores memiliki pelbagai keunikan dan yang paling nampak adalah unsur budaya tradisional yang masih melekat hingga saat ini. Hidup beragama di pulau Flores sebagaimana nampak juga di berbagai

30 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Orang Flores, op.cit, Makalah, hal. 1. 31Ibid, hal, 2.

daerah lainnya di Nusantara, unsur- unsur kultural yakni pola tradisi asli warisan nenek moyang atau leluhur masih sangat melekat di dalam masyarakatnya. Unsur-unsur historis, yakni tradisi- tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini merupakan bentuk dari sistem kebudayaan Flores sehingga menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara kristianitas dan kekafiran.32

Gambaran agama-agama di Flores secara umum dapat dilihat melalui tabel satu (1) dengan mendeskripsikan wujud tertinggi masyarakat pulau Flores, secara konkrit ingin menunjukkan bahwa masyarakat Flores memiliki tingkat kepercayaan tradisional yang cukup tinggi kepada dewa matahari, bulan, dan bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidupnya dipercayai adanya bantuan dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman).33

Tabel 1

Wujud Tertinggi Orang Flores NO KABUPETEN WUJUD TERTINGGI MAKNA

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Flores Timur Lembata Sikka Ende/Lio Ngadha Manggarai Nagekeo

Lera Wulan Tanah Ekan Lera Wulan Tanah Ekan Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta Wula Leja Tana Watu Deva zeta-Nitu zale Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta

Dewa Zeta-Gae Zale

Matahari- Bulan-Bumi Matahari- Bulan-Bumi Bumi-Matahari- Bulan Bulan-Matahari-Bumi Langit-Bumi

Tanah di bawah, langit di atas

Penguasa Langit (Tuhan), Penguasa Bumi (leluhur)

32

Ibid, hal. 3.

33 Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, op.cit, hal. 40.

Masyarakat Flores selain mengenal adanya prinsip wujud tertinggi, juga memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, pada umumnya dilengkapi dengan altar pemujaannya yang khusus melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi, melalui tabel dua (2) ingin menunjukkan altar sebagai tempat upacara ritual orang Flores.34

Tabel 2.

Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores

NO KABUPATEN NAMA TEMPAT KETERANGAN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Flores Timur Lembata Sikka Ende/Lio Ngadha Manggarai Nagekeo Nuba Nara Nuba Nara Watu Make Watu Boo

Vatu Leva - Vatu Meze Compang – Lodok Peo-Nabe

Menhir dan Dolmen Menhir dan Dolmen Menhir dan Dolmen Dolmen

Menhir dan Dolmen Menhir

Dolmen

4. Pola Perkampungan di Flores

Desa-desa di Flores dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu, biasanya merupakan suatu lingkaran dengan tiga bagian depan, tengah dan belakang.35

Wilayah Nagekeo terdiri atas beberapa kampung-kampung, Kampung Olaewa merupakan kampung yang letaknya di sebuah kecamatan Boawae, letaknya persis dipinggir jalan. Wilayah Nagekeo merupakan wilayah yang di dalamnya dihuni oleh masyarakat yang masih memegang konsep tradisional, kondisi mata pencaharian masyarakatnya yang masih agraris serta konsep tempat tinggalnya dengan bentuk perkamp ungan yang membujur dari utara ke selatan, merupakan ciri dari masyarakatnya. Setiap kampung pada umumnya terdiri atas

34 Yoseph Yapi Taum, op.cit, hal. 3

35 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, 1970, Djakarta: Penerbit Djambatan, hal. 188.

dua kelompok atau lebih, kampung Olaewa sendiri sistem politik tradisional karena itu mendasarkan kepemimpinannya pada tokoh klen, dan ada kepala klen atau suku yang menggunakan titel atau pun gelar dengan sebutan mosalaki, sistem pengaturan menjadi sangat jelas dalam setiap masyarakatnya, sehingga orang Dhuge dianggap sebagai pendahulu atau pernah berjasa di kampung sehingga statusnya menj adi sangat tinggi, di atas struktur semacam itu nampak kemudian muncul kekuasaan yang lebih tinggi, mencakup kampung-kampung.36

Peran ketua suku atau pemimpin kampung selalu memegang prinsip dengan apa yang dinamakan dengan mosa ulu laki eko, sehingga martabat kepemimpinan seorang pemimpin kampung tetap sangat dikendalikan oleh segmen masyarakat yang disebut fai walu ana halo atau janda dan yatim piatu. Pemimpin di Nagekeo maupun Kampung Olaewa adalah tokoh yang berjuang untuk memihak yang lemah dan tak berdaya.

Para antropolog umumnya menggambarkan bahwa pembagian masyarakat ke dalam kelompok keturunan kakak (kae) dan kelompok keturunan adik (azi) serta kelompok rumah deretan timur (padhi mena) dan barat (padhi rale) hendaknya dipahami dalam suatu kerangka sistem dan struktur hirarkis seputar “rumah-rumah inti” (sa”o pu”u) yang berperan sentral dalam praktik aliansi perkawinan.37

Masyarakat Flores bagian tengah ini mengenal adanya kelompok pada ikatan genealogis, membagi masyarakatnya ke dalam tiga(3) tingkatan. Biasanya

36 I Gede Parimartha, Perdagangan dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit Djambatan, 2002, Jakarta, hal.77

orang pertama disebut ata kai38, orang ke dua disebut ata kisa39, dan orang ke tiga disebut ata ho’o40, susunan ini yang menyelimuti masyarakat.41

B. Sejarah Nagekeo

Pulau Flores dihuni oleh sekian banyak komunitas masyarakat yang tentunya memiliki bentuk kebudayaan yang berbeda. Nagekeo adalah kabupaten yang baru saja diresmikan oleh pemerintah Indonesia sebagai wilayah hasil dari pemekaran kabupaten induk yakni kabupaten Ngada. Masyarakat Kampung Olaewa misalnya, mereka adalah etnis Nagekeo, yang merupakan bagian dari masyarakat Ngadha dahulu sejarahnya pada tahun 1958 kabupaten Ngadha dibentuk dan membawahi atas beberapa wilayah gabungan antara lain wilayah eks

kerajaan Nagekeo, eks kerajaan Bajawa, dan eks kerajaan Riung. Nama Kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata “Ngadha”, masa pemerintahan kolonial oleh bangsa Belanda karena konsonan “dh” tidak dapat diucapkan dengan benar sebagaimana umumnya diucapan oleh masyarakat Ngadha, dipengaruhi pemerintahan kolonial masa itu maka perkembangan selanjutnya kebiasaan masyarakat akhirnya terpengaruh oleh Belanda sehingga menyebut Ngada tanpa menggunakan “dh” dan merubahnya dengan menggunakan konsonan ”d” maka kebiasaan dalam pengucapan kata Ngadha menjadi terbiasa sampai sekarang di dalam masyarakat, baik sebagai nama tempat maupun sebagai nama

38

Ata kai merupakan susunan tertinggi yang ada dalam masyarakat, mereka -mereka adalah para tetua, tokoh adat atau turunan langsung dari cikal bakal atau penggagas sebuah perkampungan

39

Ata kisa merupakan susunan kedua, mereka adalah orang-orang yang karena keterikatan dengan perkawinan, dianggap masyarakat biasa.

40 Ata ho’o adalah masyarakat yang tingkatannya terendah, mereka-mereka adalah orang yang diberi tugas sebagai pekerja yang dipekerjakan untuk mengolah tanah dari ata kai.

klan, selanjutnya menjadi wilayah administratif kabupaten yang dikenal sebagai Kabupaten Ngada.42

Baru pada tanggal 8 Desember 2006, secara resmi DPR RI meresmikan pemekaran kabupaten Ngada menjadi Kabupaten Nagekeo, sehingga kampung Olaewa masuk dalam wilayah Kabupaten Nagekeo. Kamp ung Olaewa terletak di ibukota Kecamatan Boawae, desa Rigi Kabupaten Nagekeo. Sejak saat itu masyarakat dari eks kerajaan Nagekeo mulai resmi memiliki kabupaten sendiri sesuai peninggalan sejarah kerajaan Nagekeo yang letaknya di Kecamatan Boawae.

Wilayah Nagekeo tepatnya di Kecamatan Boawae Kampung Boawae, masih meninggalkan bekas bangunan peninggalan kerajaan Nagekeo, sebagian bangunan peninggalan bersejarah ini sudah digunakan sebagai hotel dan sisa bangunan lain masih bisa dilihat seperti rumah maupun kampungnya. Kabupaten Nagekeo di bagi atas 7 (tujuh) wilayah administrasi pemerintahan tingkat kecamatan dan dua puluh (20) kelurahan dengan luas wilayah 1.386,63 km2 atau 46,64% dari total luas wilayah Kabupaten Ngada. Wilayah kecamatannya meliputi Kecamatan Aesesa Selatan, Aesesa, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Nangaroro dan Keo tengah, sedangkan wilayah kelurahannya terdiri atas Rowa, Solo, Kelewae, Leguderu, Nagespadhi, Rigi, Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo, Rega, Kelimado, Mulakoli, Wea Au, Raja, Wolowea, Ratongamobo, Dhereisa, Gerodhere, Nagerawe. Kecamatan Boawae terdapat adanya kampung tradisional diantaranya adalah Kampung Solo, Kampung Boawae, Kampung Olaewa,

Kampung Natanage, Kampung Natalea, Kampung Raja, Kampung Gero, Kampung Dhereisa, Kampung Nunukae.

C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa 1. Kondisi Sosial Masyarakat

1.1 Orang Dhuge

Orang Dhuge memiliki kampung yang sebenarnya pada awalnya bukan berada di Kampung Olaewa, masyarakatnya telah mengalami perkembangan, masyarakat ini hidupnya dahulu masih sangat nomaden, dilihat dari bukti artefactnya telah mengalami dua kali kepindahannya, tepatnya di bawah kaki gunung Ebulobo yang sangat tinggi terdapat kampung yang dikenal dengan Kampung Dhuge, yang kemudian karena terjadi sesuatu maka masyarakatnya pindah di Kampung Nagemi dan pada akhirnya pada tahun 1981 inilah masyarakat menempati perkampungan yang diberi nama dengan Kampung Olaewa

1.2. Latar Belakang

Kampung Olaewa sangat kental dengan budaya tradisional. Masyarakatnya masih sangat menghormati leluhur atau nenek moyangnya. Masyarakat Kampung Olaewa dalam arti luas sering disebut sebagai masyarakat Nagekeo, menyebut istilah nenek moya ng atau leluhur adalah gae zale, masyarakat Kampung Olaewa sangat mempercayai akan keagungan dan kekuasaan penguasa yang lebih tinggi yakni dewa agung atau sering mereka menyebut dengan dewa zeta atau Tuhan. Dewa Zeta dan Gae Zale merupakan

kekuatan besar, yang mampu membawa mereka ke dalam dunia spiritualitas dalam kehidupan sehari-harinya.

Masyarakat kampung Olaewa ditempati beberapa suku, satu dan lainnya saling menghormati, ada beberapa suku antara lain: suku Dhuge, suku Boa, suku

Saga Enge, suku Dobe, suku Gawi, suku Tegu, suku Sodha, suku Nage Wae. Masyarakat Olaewa memiliki tingkatan-tingkatan dalam kehidupan sosialnya, tingkatan yang dimaksud :

a. Tingkatan Gae atau Ata Kai

Secara harafiahnya “gae” berarti di atas. Tingkatan gae merupakan pelapisan sosial yang paling tinggi dan paling tua. Golongan tingkat ini biasanya berasal dari keturunan bangsawan atau berdarah biru sehingga mendapatkan tempat yang sangat istimewa dalam kehidupan sosial. Fungsionaris adat atau tokoh adat dan pemimpin adat selalu berasal dari pelapisan sosial ini. Masyarakat biasanya menyebut dengan istilah ”Mosalaki”. Mosalaki terdiri atas 2 (dua) suku kata, yakni mosa yang berarti kuasa, dan laki (pria). Dengan kata kain, mosalaki

menunjuk pada seorang pria yang memiliki pandangan luas dan terkemuka dalam sebuah klan dan bersama anggota lainnya turut menentukan nasib klannya.

Ada dua kriteria yang harus dimiliki seorang mosalaki. Pertama, ia adalah keturunan orang yang karena sesuatu dan lain hal pernah berjasa terhadap daerahnya. Kedua, ia harus memiliki keterampilan tertentu, selalu cepat dalam setiap usahanya dan pandai mengatur segala hal dan cerdas. Pentingnya kriteria di atas tidak terlepas dari kedudukan mosalaki, seorang pemimpin adat tertinggi di suatu wilayah. Mosalaki memiliki wewenang memelihara tata adat dan menuntut kesetian terhadap adat, apabila terjadi kasus-kasus yang cukup serius menyangkut

adat, maka mosalaki harus mampu menyelesaikan permasalahan dengan arif dan penuh tanggung jawab, selain beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagai mosalaki juga memiliki hak- hak yang diakui adat istiadat. Pada upacara- upacara adat misalnya, pihak mosalaki selalu memimpin tata laksana inti.

b. Tingkatan Kuju Noe Walu Halo atau Ata Kisa

Tingkatan ini merupakan tingkatan kedua dalam struktur sosial masyarakat. Orang-orang yang termasuk di dalam tingkatan atau lapisan sosial ini adalah mereka- mereka yang berasal dari lapisan bawah atau yang disebut rakyat biasa, yang termasuk kelompok ini adalah janda, ya tim piatu, dan orang miskin. Posisi politik dan ekonomi mereka tergolong lemah.

Mereka bekerja untuk kepentingan bangsawan dan dianggap sebagai anggota keluarga. Masyarakat Olaewa khususnya, menyebut golongan ini sebagai lapisan sosial azi ana. Mereka tidak diperlakukan sebagai budak karena mereka juga berdarah bangsawan. Mereka boleh saja kehilangan harta benda dan kekuasaan tetapi tidak kehilangan darah kebangsawanannya. Meskipun demikian, hak-hak serta kewajiban mereka terbatas. Mereka boleh hidup dan tinggal bersama kaum bangsawan sampai akhir hayatnya.

c. Tingkatan Ata Hoo

Lapisan sosial yang terakhir adalah tingkatan ata hoo. Hoo adalah lapisan sosial masyarakat yang paling rendah. Hoo diartikan sebagai para hamba atau budak. Budak sangat dibatasi aturan, tidak memiliki hak terutama dalam urusan yang berkaitan dengan kepentingan keluarga atau sukunya. Golongan ini hanya menjalankan tugasnya sesuai yang diperintahkan oleh tuannya.

Dalam masyarakat dikenal istilah ana sao, yang artinya pesuruh yang dilindungi dan melakukan pekerjaan yang berat. Berdasarkan tingkatan di atas, anak sao dapat dikategorikan pada tingkatan hoo.

1.3. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Kecamatan Boawae umumnya dibedakan atas dua:

a. Kekerabatan dalam keluarga inti

Pusat sistem kekerabatan adalah keluarga, baik keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak, maupun keluarga yang sangat luas, yang terdiri atas keluarga inti ditambah kakek, nenek, paman, bibi, para saudara sepupu kandung maup un tidak kandung, dan kemenakan. Konsep kekerabatan pada masyarakat berdasarkan darah terdekat, yaitu keluarga inti yang mempunyai hubungan yang tak terpisahkan satu sama lainnya. Hubungan antara anak dan orang tua biasa disebut ana ame. Pada saat upacara perkawinan masyarakat Boawae selalu diawali pembacaan sejarah nenek moyang. Perkawinan tidak dapat dilakukan di antara saudara terdekat pada lapisan tertentu.

b. Kekerabatan dalam klan

Masyarakat Boawae, hubungan kemargaan atau klan disebut woe atau suku. Woe adalah kumpulan dari ili woe atau keturunan lurus dari ayah, kae azi zeta sao atau kakak adik kandung dalam rumah, sedangkan woe adalah kerabat yang berasal dari keturunan leluhur atau gae zale yang sama dalam satu garis keturunan lelaki saja. Anggota woe biasanya tidak saling kenal, sehingga pada saat-saat upacara pernikahan, selalu ada pembacaan sejarah, ada tanda khusus sebagai tanda pengenal, yang umumnya memakai simbol-simbol seperti nama,

lagu-lagu, dongeng - dongeng suci, dan lambang khusus bagi masyarakat Olaewa ialah sao waja, nabe, peo, tanah kampung, patung Bue Coo, Anak Deo.

2. Sejarah Masyarakat Kampung Olaewa

Sejarah kampung dari kedua suku pendiri dari kelompok masyarakat yakni suku Dhuge dan suku Boa mengalami dua kali perpindahan, awalnya mereka bertempat tinggal di kampung Dhuge lalu kemudian berpindah ke Kampung Nagemi dan pada akhirnya sekarang mereka bertempat di kampung Olaewa. Konon menurut cerita dari salah seorang tokoh masyarakat bahwa kepindahan kampung yang pertama dari Dhuge ke Nagemi konon perpindahan disebabkan oleh alam yang sudah tidak bersahabat.43 Biasanya tanda-tanda tadi berupa luja gedho44, piko kono45, konon ceritanya juga bahwa apabila tanda-tanda ini muncul di dalam kampung, sangat dilarang bagi masyarakat untuk menepis beras. Menurut cerita yang berkembang ditengah masyarakat karena alam yang sudah tidak bersahabat, karenanya Peo konon dibakar oleh masyarakat sebagai akibat dari alam yang dianggap sudah tidak bersahabat.

Kampung Dhuge bisa dilihat bangunan megalithnya yang masih tertinggal dan batu-batu sebagai tempat untuk sarana ritual. Kepindahan kampung ini sulit dilacak kapan waktunya, karenanya melalui bentuk bangunan megalith peninggalan masa lalu sedikit demi sedikit mengetahui pola kehidupan masyarakatnya.

43

Wawancara dengan bapak Blasius Lewa Gizi selaku tokoh masyarakat pada tanggal 06-03-2007.

44

Luja Gedho merupakan sejenis ulat yang sangat langka, yang tidak sembarang muncul. Ketika ular ini muncul dari persembunyiannya ulat-ulat ini akan berbarengan muncul dan membentuk barisan yang memanjang bisa bermeter-meter panjangnya dan tidak putus.

45 Piko Kono adalah seekor burung puyuh yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat, yang apabila burung tersebut masuk kedalam kampung sebagai pertanda akan terjadi musibah.

Pada tahun 1981, pindahnya kampung bisa dilacak ketika masyarakat dari Kampung Nagemi pindah ke Kampung Olaewa yang pada saat itu gubernur Band Mboi yang meresmikan kampung menjadi kampung Olaewa.

Dokumen terkait