• Tidak ada hasil yang ditemukan

RITUAL ETU MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA FLORES 1978 – 1981

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RITUAL ETU MASYARAKAT KAMPUNG OLAEWA FLORES 1978 – 1981"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh

Kriwirinus Yosida Kalvaristo 024314021

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Tuhanku Yesus Kristus, yang sangat baik dan penuh kesetiaan yang tinggi terhadap saya. Karena kasihnya dan kebesaran kuasanyalah saya bisa menyelesaikan Skripsi. Banyak halangan, rintangan yang mencoba menerjang saya, tak kuasa saya menahan derita ini, namun karena kepasrahan yang saya serahkan kepadanya dan atas doa darinya yang memberikan kesabaran bagi

saya, halangan, rintangan yang mencoba menerjang saya luntur berkat kekuatan Tuhanku Yesus Kristus. Thanks Tuhan....

Kedua orang tuaku: Hyasintus. Proklamasi Maxi Ebutho dan Yohanna Fransiska

Sarjumiyati yang selalu memberikan doanya, mengajarkan bagaimana pentingnya

hidup, bagaimana memberikan cinta kasih, dan bagaimana hidup dengan

kesederhanaan, bagaimana menahan rasa gengsi yang tinggi. Terimakasih, I Love

You Papa, I Love You Mama.

Adikku Yohanes Baptista yang sangat jenius. Makasih ya dek atas segala nasehat,

doamu, kesabaranmu. Tanpa kamu saya tidak akan bisa seperti sekarang ini.

My Sweet Girls ”Maria Magdalena Wijayanti/White Pig” yang selalu setia

menungguku dan sabar membimbingku, kemarahanmu adalah kekuatanku, kasihmu

adalah surgaku, kesabaranmu adalah cahaya hidup bagiku.

Bapak, Ibuku di Wonosobo yang selalu menasehatiku layaknya orang tuaku sendiri,

terimakasih atas semuanya.

Almamater saya yang saya cintai, kebanggaan yang takkan pernah saya lupakan

sampai kapanpun: Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

(6)

v

MOTTO:

(7)

vi

Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai

syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak

memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau

suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Penulis bertanggungjawab penuh atas kebenaran fakta-fakta berdasarkan

sumber-sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.

Yogyakarta,8 Desember 2007 Penulis

(8)

vii

Penulisan Skripsi dengan judul: “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”, berusaha mendeskripsikan dan menganalisa mengenai perkembangan ritual Etu yang dipegang teguh oleh masyarakat adat di kampung Olaewa ketika masyarakatnya sampai bermukim di wilayah kawasan pemukiman yang baru sebagai dampak dari akibat adanya gerakan program pada tahun 1978 oleh Gubernur NTT Band Boi, untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dan pada tahun 1981 masyarakat menempati kawasan yang dijadikan perkampungan bagi masyarakat adatnya.

Latar belakang masyarakat adat di kampung Olaewa melaksanakan ritual Etu, proses pelaksanaan ritual dan sejauhmana kontribusinya ritual terhadap masyarakat adat, yang semuanya akan dijelaskan dengan mendeskripsikan dan juga menganalisiskannya. Teori yang akan digunakan dalam menganalisis fenomena di atas adalah dengan menggunakan teori fungsional milik Bronislaw Malinowski, sedangkan metode yang digunakan adalah pengumpulan data, analisis data dan penulisan.

(9)

viii

The thesis with the title “Ritual Etu of society in village Olaewa Flores 1978-1981”, tried to describe and analyze about Etu tradition development that the society of Olaewa Village when their people lived in the new village as the results of program movement in 1978 by Band Boi, Governor of NTT, for the welfare of all the aspect of society in 1981 the society lived in the place which is made as the new settlement for their society.

The background of society in Olaewa village did the Etu ritual as a proces and how it contributes to the society will be explained by describing and analyzing it. The theory which is used to analyze the “fenomena” is by using the fungsional theory by Bronislaw Malinowski, the method which is used is collecting the data, analyzing the data and finally writing it.

(10)

ix

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

jalan yang diberikannya, cintanya, pertolongan dan kasihnya, penulis berhasil

mewujudkan impian dan cita-cita selama ini dengan menyelesaikan skripsi dengan

judul: “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”.

Penulis menghaturkan rasa hormat kepada bapak Hery Santosa yang dengan

segala kesabaran dan ketelitian yang dimilikinya, bersedia memberikan bimbingan

kepada penulis. Selaku ketua Program Studi jurusan Ilmu Sejarah walaupun dengan

kesibukan dan waktunya yang cukup padat, beliau membimbing dan mengoreksi

skripsi ini hingga terwujud. Terimakasih atas nasehat, saran, dan motivasi yang bapak

berikan.

Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari peran pihak-pihak lain yang telah

memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil, baik itu secara langsung

maupun tidak langsung. Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis juga ingin

mengucapkan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada:

1. Para dosen-dosen sejarah karena mereka saya bisa seperti sekarang, kepada Bapak

Aji Sampurno (Indonesiana), SRL, Bapak Sandiwan Suharso, Almarhum Bapak

G. Moedjanto, Teuku Ibrahim Alfian, Romo Baskara Tulus Wardaya (PUSdEP).

SJ, Bapak H. Purwanto, Bapak Budiawan, Romo Banar. SJ, Bapak St. Sunardi,

Ibu Susilawati Endah Peni, Bapak Anton Haryono, Ibu Lucia Yuningsih, Bapak

(11)

x

3. Bapak Band Boi yang sudah meluangkan sedikit waktunya, terimakasih.

4. Bapak Bupati Piet Nuwa Wea, terimakasih.

5. Kepada keluarga besar saya, keluarga mama : Kakekku, Almarhum Nenek, bu

Tutik dan om Mamat, bu Rita dan om Sigit, bude Tri, bu Yanik dan om Wayan,

tante Yanti dan om Agus, tante Yuni, tante Ani, om Santo Rawaseneng, bude

saya yang ada di Rawaseneng, keluarga dari papa: om Rama, om John, om Piter,

om Sensi, tante Diana, mama Ida, mama Devi, mama As(almarhum), om Fensi,

Nenek Felix Feto Wea, nenek Pius Dhay Gu, nenek Piet Lengi, nenek Piet, om

Oskar, keluarga kampung Olaewa, keluarga Kelimado, keluarga kampung

Boawae, dan semua keluarga besar lainnya, terimakasih atas doa dan kesabaran

serta dorongannya.

6. Saudara-saudaraku, Kakak-kakakku, Adik-adikku; Hanes, Nanang, Dira, Indah,

Yoga, Singgih, Fajar, Lucky, Wikmon, Valdo, Nastri, Billy, Tedi, Ade, Tris, Kak

Mira, Ebi, Karin, Manda, Lia, dik Lia, Mbak Siska, Ino, Ivan, Ririn, Meri, dek

Lia, kak Betsi, kak Jane, Salmin, Bernard, Gede, Yuce, Serly, mbak Siska, kak

Venny, kalian semua penyemangatku, terimakasih atas doa dan dukungannya.

7. Untuk sahabat saya Tina terima kasih atas dorongannya.

8. Mas Tri (sekretariat ilmu sejarah) terimakasih atas bantuannya.

9. Kepada bapak Bupati Ngada Piet Nuwa Wea, bapak Band Boi.

10.Special sangat special, yang hanya bisa aku temukan di Yogyakarta, teman

(12)

xi

rokok), Yoan C, Agus Tabuni, Rogerio, Yohannes Vianey, Theodorus Noviardi,

Heridawati, Vila, Devi, Rini, Feni S, Mamik, Nana, Margaretha Eva, Ratih,

terimakasih untuk segalanya, ilmu maupun nasehatnya akan aku kenang dan aku

coba tuangkan di dalam kehidupanku. Robert (sastra Indonesia), Agus (sastra

Indonesia), Kentung (sastra Indonesia), teman KKN 32(Agnes, Danang, Rendeng,

Rini, Lukas, mas Vincent, Murni, Afril)dan kelompok-kelompok Ngandong, Pak

Lurah Ngandong”Pak Joko teman ilmu sejarah Icsmi, Teo, Ifa, Atik, Teo, Eric,

Darwin, Bondan, Suster, Edy Pramana, Keke, Afda, Anggi, Yoga, Sundari, Dedi,

Anong, Anggoro, Luperno, Ana, Nana, Max, Hafein, Eno, Mita, mbak Monik,

Kae Hendrik (papi), pokoknya mulai dari angkatan 1999-2006 tanpa kalian semua

saya tidak akan bisa seperti sekarang. Thanks Thanks

11.Kos Holiwood, ketenangan, kedamaian, curahan hati yang tak terlupakan serta

spirit yang kalian beri, Wawan, Salvan(wartawan kompas), Inus, Daniel, Nanto,

kak Berno, Ale, mas Paul, Bima, Edi, untuk semuanya Thanks banget juga

Nana&Bram..

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan karya tulis ini masih jauh

dari kesempurnaan, dan masih terdapat banyak kekurangan kekurangan, oleh

karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik untuk membangun sebuah karya

yang lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

(13)

xii

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... ...iv

HALAMAN MOTTO... ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ...vi

ABSTRAK... ... vii

ABSTRACT... ... vii

KATA PENGANTAR... ... ..xi

DAFTAR ISI...xii

DAFTAR TABEL...xvi

BAB I: PENDAHULUAN... ...1

A. Latar Belakang Masalah... ...1

B. Identifikasi Masalah... ...6

C. Rumusan Masalah... ...8

D. Tujuan Penelitian... ...8

E. Manfaat Penelitian... ...9

F. Kajian Pustaka... ...10

G. Landasan Teori... ...13

H. Metode Penelitian... ...17

1. Pengumpulan Data... ...18

2. Analisis Data... .20

3. Penulisan... ...21

I. Sistematika Penulisan... ...22

BAB II: KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES...23

(14)

xiii

B. Sejarah Nagekeo... ...30

C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa... ..32

1. Kondisi Sosial Masyarakat ...32

D. Letak Wilayah Kampung Olaewa... ....37

E. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa ...39

1. Kondisi Topografi ...39

2. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa...40

F. Simbol-Simbol Adat Masyarakat Kampung Olaewa...45

BAB III: RITUAL ETU BAGI MASYARAKAT.. ...47

A. Ritual Etu Sebagai Adat ...47

B. Ritual Etu Sebagai Penyeimbang Kehidupan Bermasyarakat. ..50

1. Ungkapan syukur ...56

2. Pengikat masyarakat dengan kampung ...57

C. Asal Mulanya Ritual Etu di Masyarakat ...58

1. Mitologi tentang ritual Etu ...58

2. Waktu dan tempat penyelenggaraan ...60

(15)

xiv

1. Perpindahan kampung tahun 1981 ...74

2. Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Makmur (ONM), dan Operasi Nusa Sehat (ONS) berintegrasi dengan budaya lokal... 77

C. Dampaknya Ritual Etu Bagi Masyarakat Kampung Olaewa Secara Luas...82

1. Sadar akan pluralistik yang dimiliki masyarakat. ...82

2.Masyarakat diakui, dihargai, dan dihormati... ....84

3.Menyatukan dan menumbuhkan semangat solidaritas antar warga masyarakat ... ...87

D. Usaha Masyarakat Adat terhadap Eksistensi Ritual Etu... . .... ...93

E. Nilai Positif Masyarakat Olaewa... ...96

BAB V: PENUTUP... ....103

A. Kesimpulan... ...103

B. Saran... ...105

DAFTAR PUSTAKA ...107

LAMPIRAN... ...114 A. Lampiran 1: Gambar Peta Kabupaten Nagekeo

B. Lampiran 2: Kronologis Bentuk dan Kondisi, dan Situasi Kampung Masyarakat Adat.

C. Lampiran 3: Suasana masyarakat pada saat melaksanakan ritual Etu

(16)

xv

Tabel 1. Beberapa penyebutan wujud Tertinggi orang Flores...27

Tabel 2. Beberapa altar atau tempat pemujaan orang Flores...28

Tabel 3. Curah hujan di kecamatan Boawae 2005...39

(17)

1

A. Latar Belakang

Pepatah mengatakan bahwa sejarah berulang!!! Pernyataan ini tidak hanya menekankan pada peristiwa melainkan bentuk atau polanya. Sejarah

cenderung berkaitan dengan kegiatan manusia di masa lalu. Sejarah mengandung

dua unsur di dalamnya, yakni sejarah dalam arti subjektif dan sejarah dalam arti

objektif. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, bangunan yang disusun sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu

kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta yang terangkaikan dalam

menggambarkan suatu gejala sejarah baik di dalam proses maupun struktur,1

sedangkan sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau

peristiwanya itu sendiri, yang merupakan proses sejarah dalam aktua litasnya,

sehingga sejarah dikatakan berulang, disini mau menekankan bahwa sejarah

dalam arti objektif, sedangkan seseorang harus bisa belajar dari sejarah, sehingga

hal ini akan lebih menunjuk sejarah dalam arti subjektif.2 Kesadaran akan sejarah

merupakan sumber inspirasi serta aspirasi penting yang saling berhubungan

karena keduanya sangat potensial untuk membangkitkan sense of pride

(kebanggaan) dan sense of obligation (tanggungjawab dan kewajiban).

Budaya lokal dengan segala masa lalunya menciptakan kesejahteraan

sendiri bagi masyarakatnya. Sejarah sebagai rangkaian peristiwa masa lalu,

1 Sartono Kartodirjo,

Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah, PT Gramedia, 1990, hal.14.

(18)

berperan aktif mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa kini dan masa yang

akan datang, seperti Koentowijoyo dalam tulisannya mengatakan

“sejarah menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga negara tidak akan terjebak pada archaisme dan makronisme, sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk di masa lampau sejarah kita”.3

Seandainya cara ini dilakukan dan dilaksanakan secara baik maka

pembangunan dengan tujuan mencerdaskan bangsa dan sekaligus menciptakan

ketertiban dunia sesuai pembukaan UUD 1945 akan berjalan sempurna.

Situasi negara Indonesia yang akhir-akhir ini sering diwarnai berbagai

konflik yang juga mengakibatkan hilangnya harta benda serta nyawa seperti

peristiwa di daerah Ambon, Poso, dan Kalimantan, tentu saja merugikan

pembangunan demi kesejahteraan bersama. Kasus yang terjadi tidak terlepas dari

keseriusan peran pemerintah Indonesia dalam memahami kebudayaan masyarakat

lokal sebagaipotensi asli yang dimiliki yang mampu menyokong pembangunan

Indonesia..

Penulisan ini ingin membangkitkan sejarah kebudayaan masa lalu, sebagai

identitas bangsa. Pembangunan di Indonesia yang ideal berlandaskan kebudayaan,

sama halnya harapan Meutia Farida Hatta Swasono yang mengatakan:

“perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warga negara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata, oleh karenanya kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”4

3

Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah Edisi kedua, PT Tiara Wacana Yogya, 2003, hal. 134.

4 Meutia Farida Hatta Swasono,

(19)

Pertanyaan-pertanyaan di atas mengisyaratkan akan harapan mengenai

kejelasan bangsa ini. Terkandung sebuah nilai di balik pernyataan diatas, agar

menginginkan negara ini untuk sungguh-sungguh mengenali diri sendiri, dengan

cara pemahaman akan sejarah kebudayaan. Menjadi PR (pekerjaan rumah) yang

harusnya diselesaikan seluruh komponen lapisan masyarakat negara Republik

Indonesia. Sudah saatnya bangsa ini bangkit, sudah saatnya bangsa ini bergerak,

caranya tidak lain melalui budaya.5 Mengenai siapa yang menjadi patner dari

negara, dijelaskan oleh Jacob Burckhardt (1818-1897) bahwa negara tidak akan

bisa melepaskan budaya seperti dalam karyanya Die Culture Der Renaissance in Italien yang menuliskan “negara mempunyai hubungan dengan budaya, sebagai pendorong munculnya bentuk budaya dan sebaliknya, negara adalah bagian dari

sistem budaya”,6 untuk itu kebudayaan penting untuk dikaji. Sejarah kebudayaan

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah umum, sisi

kebudayaan dapat memberikan solusi yang tepat bagi kemajuan perkembangan

bangsa dan negara. Joseph H. Greenberg menulis:

“sejarah kebudayaan adalah bagian dari sejarah umum, mengenai perkembangan-perkembangan histories bangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampau”.7

Negara Indonesia dibangun atas dasar budaya, Kebudayaan Nasional Indonesia

tidak lepas dari peranan kebudayaan lokal, salah satunya Flores yang merupakan

salah satu daerah bagian timur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5 Sartono Kartodirjo, op.cit, hal. 195. 6Ibid, hal. 117.

7

(20)

Flores memiliki keanekaragaman budaya, hingga saat ini masih sering

dijumpai upacara tradisional warisan masa lalu, yang mengandung nilai, ide dan

semangat masyarakat. Ritual Etu masih dipahami oleh masyarakat yang tidak

mengerti akan ritual ini sebagai sesuatu yang kejam, sadis, yang menggambarkan

masyarakat adatnya, padahal Ritual Etu mengajarkan bagaimana rasa saling

menghormati dan menghargai antar masyarakatnya.

Kampung Olaewa merupakan daerah yang baru bagi masyarakat adat,

masyarakat ini biasa juga disebut dengan orang Dhuge. Masyarakatnya sangat menghargai kebudayaan, sebagai warisan budaya leluhur Ritual Etu dilaksanakan

secara sungguh-sungguh, dan penuh rasa hormat. Tidak sembarangan masyarakat

dapat melaksanakan ritual ini, karena hanya masyarakat yang memiliki Peo,

patung Bu’e Coo, dan sejarah masyarakat kampung yang jelas. Perpindahan

kampung oleh masyarakat ke Olaewa menjadi sesuatu yang baru, masyarakat

selama ini menetap di kampung yang memiliki sejarah dan ikatan emosionalnya

yang jelas saat ini tinggal di kampung yang nyata-nyata tidak memiliki ikatan

emosional, sebab dalam kebudayaan setempat oleh masyarakat dan kampung

merupakan satu kesatua n. Menariknya Ritual Etu dilaksanakan justru tidak pada

kampung yang memiliki kedekatan, ritual ini berada di tengah-tengah

modernisasi.

Masyarakat pada tahun 1978, oleh pemerintah daerah mencanangkan

program Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, dan Operasi Nusa Indah,

(21)

dari program tersebut ialah perpindahan kampung oleh masyarakat yang dikenal

sebagai orang Dhuge.

Kebudayaan tidak begitu saja muncul tanpa memiliki maksud dan

tujuannya, beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur mempunyai konsep tertentu

tentang desa maupun kampung yang dianggap sebagai mahluk hidup8, mengutip

tulisannya Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menurut ilmu antropologi adalah

“keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”9, sama

seperti masyarakat yang dikenal dengan orang Dhuge. Kampung yang baru tidak

menyurutkan nilai kebudayaan Ritual Etu yang tetap dip ertahankan oleh

masyarakat. Namun masyarakat mampu menciptakan ketentraman, suasana yang

harmonis di antara mereka, dan kondisi ini menjadikan masyarakat adat setempat

dikenal dan dihargai sebagai masyarakat yang benar-benar menghargai adat.

B. Identifikasi Masalah

Masyarakat Kampung Olaewa adalah masyarakat pemegang kebudayaan.

Ritual Etu merupakan warisan leluhur yang masih sampai saat ini terus dan tetap

dilaksanakan. Masyarakat kampung Olaewa sangat pemali10atau terlarang apabila Ritual Etu ini tidak dilaksanakan, karena akan sangat berakibat bagi

masyarakatnya khususnya lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat masih

8

Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977/1978, hal. 10.

9

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Penerbit Rineka Cipta, 1990, Jakarta, hal. 80.

10 Pemali maksudnya sesuatu yang tidak boleh dilanggar, apabila dilanggar maka akan

(22)

merasa yakin bahwa Ritual Etu memiliki kekuatan yang luar biasa. Masyarakat

merasa meyakini adanya kekuatan leluhur yang bekerja dalam segala kehidupan

umat manusia, menurut keyakinan masyarakat, leluhur bermukim di sebuah

gunung yang disebut Ebu Lobo.

Ritual Etu merupakan sebutan masyarakat adat, terbentuknya ritual ini

terkait dengan adanya penciptaan bumi dan langit. Ritual ini hanya boleh

dilakukan di tengah kampung yang lengkap dengan simbol masyarakat adat

kampung Olaewa, menunjukan bagaimana kampung, masyarakat, dan leluhur

(diyakini berada di dalam simbol adat) bergabung dalam satu ikatan Ritual Etu.

Masyarakat kampung Olaewa me miliki sejarah perkembangan hidupnya,

masyarakat pola hidupnya masih sangat tradisional, kampung masih dianggap

sebagai tempat bertemunya masyarakat dan leluhur, konsep leluhur, alam,

merupakan ciri kehidupan masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa

keselamatan tidak terlepas dari unsur alam dan leluhur.

Kondisi masyarakat Olaewa saat ini merupakan dampak dari arus

modernisasi yang begitu kuat. Struktur rumah yang tadinya hanya beratapkan

jerami, namun saat ini sudah memakai seng, dinding rumah yang dahulunya

menggunakan bambu saat ini sudah memakai tembok yang berbahan dasar batako.

Masyarakat bermukim di kampung yang baru tidak semata- mata begitu saja

menetap, namun terjadi proses yang cukup panjang. Awalnya di kampung induk,

baru kemudian bergeser di kampung yang baru yakni Kampung Olaewa, proses

perpindahan dari kampung lama menuju kampung yang baru jarak waktunya

(23)

sebagai orang Dhuge sebab Kampung Dhuge pernah berjasa memberikan rasa

aman dan juga yang lainnya adalah memiliki kedekatan emosional langsung

dengan Kampung Dhuge. Kampung Olaewa dipengaruhi modernisasi, usulan

pemerintah agar masyarakat pindah di kampung ini agar kesejahteraan semakin

meningkat dan akses transportasi, kegiatan kantor, sekolah mudah dijangkau,

sudah terjadi modernisasi, faktor yang sangat penting yang mempengaruhi

manusia memiliki sikap modern adalah pendidikan, lingkungan kekotaan,

komunikasi massa, dan negara nasional dengan segenap aparatnya. 11

Ritual Etu juga dianggap sebagian masyarakat sebagai ritual yang sadis,

tidak manusiawi dan memiliki ciri khas seperti komunitas kaum barbar, karenanya

masyarakat dianggap pencitraan dari ritual ini, ada kalanya masyarakat yang tidak

memahaminya sering dalam ritual ini terjadi perselisihan paham dengan anggota

masyarakat lain, ritual Etu juga sering dianggap sebagai ritual yang hanya

memboroskan uang dan cendrung masyarakat dikatakan sebagai masyarakat yang

suka pesta-pesta dan royal, tidak jarang masyarakat dikatakan masyarakat yang

suka akan kemewahan. Modernisasi yang begitu kuat masuk dalam kehidupan

masyarakat, membawa dampak sosial yang besar, masyarakat menjadi

individualistik, masyarakat mulai mengukur segala sesuatu atas dasar uang.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari identifikasi permasalahan di atas, yang mampu dikaji

adalah diantaranya:

(24)

1. Apa yang me latarbelakangi masyarakat adat Kampung Olaewa

melaksanakan Ritual Etu?

2. Bagaimana Ritual Etu dilaksanakan di masyarakat?

3. Sejauhmana kontribusi dari Ritual Etu bagi masyarakat Kampung Olaewa

1978-1981 ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam tulisan skripsi mengenai “Ritual Etu Masyarakat

Kampung Olaewa Flores 1978-1981” adalah untuk memahami, mengetahui, serta

menganalisis apa yang menjadi latarbelakang Ritual Etu dilaksanakan oleh

masyarakat kampung Olaewa dan juga untuk mencermati nilai-nilai yang

terkandung di dalam Ritual Etu sehingga masyarakat begitu meyakini bahwa

Ritual Etu sebagai suatu budaya yang harus dipertahankan. Selain itu juga untuk

mengetahui sejauhmana Ritual Etu dapat menjadi sebuah budaya yang memiliki

keunggulan serta bagaimana cara Ritual Etu mempertahankan dirinya di zaman

yang modern.

Inventarisasi dan pendokumentasian Ritual Etu yang erat kaitannya dengan keyakinan masyarakat setempat diharapkan dapat mendukung usaha-usaha

pelestarian budaya dalam sejarah Kebudayaan Nasional Indonesia, dan juga

berusaha memperkenalkan budaya daerah ini kepada daerah lain sehingga terjadi

adanya komunikasi antar budaya pada masyarakat Indonesia yang majemuk.

Penulisan mengenai sejarah kebudayaan lokal ini juga sekaligus sebagai

(25)

masa mendatang, pada sisi lain tulisan ini tidak saja penting bagi diri sendiri

melainkan juga penting bagi orang lain. Melalui tulisan ini diharapkan mampu

mengkomunikasikan masyarakat luas agar memahami budaya lain. Penulisan

sejarah kebudayaan jika tidak dimulai saat ini, maka sejarah-sejarah kebudayaan

lokal sebagai kekuatan sejarah nasional negara Republik Indonesia akan hilang

ditelan zaman.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian kali ini ialah menambah suatu karya tulis ilmiah

mengenai sesuatu peristiwa sejarah yang baru di Indonesia, khususnya mengenai

peristiwa sejarah lokal ya ng berbudaya yang jarang diangkat ke dalam koleksi

sejarah nasional. Dari karya tulis ini diharapkan mampu menjembatani

informasi-informasi yang ada di daerah pulau Flores, khususnya kabupaten Nagekeo,

dengan masyarakat yang tinggal di daerah luar pulau Flores.

Sehingga pada akhirnya dengan mengerti dan mengetahui informasi tadi

diharapkan mampu menjadikan perbedaan budaya tersebut menjadi sebuah

keunikan dan menjadi sebuah ilmu yang sangat berarti demi kelangsungan negara

Indonesia ke arah yang lebih baik dan mampu memberikan sumbangan

pengetahuan informasi kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan

kearah yang lebih baik. Sehingga semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi

selaras dengan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat yang semakin lama saat ini

terasa semakin mengkhawatirkan. Dengan belajar sejarah semakin mampu

(26)

F. Kajian Pustaka

Tulisan ini mencoba melihat permasalahan yang sangat berbeda dengan

masalah- masalah yang sudah diangkat oleh sejarawan lainnya. Data yang di

peroleh untuk menunjang penulisan ini melalui studi pustaka, beberapa literatur

berupa buku, artikel, internet, dan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh

masyarakat, adat, maupun pemerintahan.

Topik yang akan dikaji oleh penulis sebenarnya merupakan hal yang baru,

dimana selama penulis membaca buku-buku budaya maupun sejarah penulis

belum menemukan tulisan mengenai apa sebenarnya Ritual Etu sehingga begitu

besar kekuatannya.

Sumber-sumber yang akan digunakan dalam pembuatan tulisan dengan

judul “Ritual Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981”, masih sangat

sulit dan sifatnya terbatas sehingga perlu mengadakan penelitian langsung.

Sumber-sumber buku yang ada belum menceritakan secara lengkap mengenai

ritual Etu.

Ada beberapa buku yang sudah menuliskan mengenai sejarah kebudayaan

Flores tepatnya di daerah Ngada (lokasi wilayah ini telah dimekarkan sehingga

muncul daerah baru Nagekeo), namun untuk secara khusus tentang budaya Ritual

Etu (hanya terdapat di wilayah Nagekeo) secara khusus belum ada. Buku-buku ini

biasanya digunakan sebagai gambaran umum untuk melengkapi sumber yang

lainnya.

Buku tersebut antara lain ialah REBA: Ritual Budaya ”Tahun Baru”

(27)

menceritakan mengenai sejarah orang Ngada seputar ulasan mengenai budaya

tradisional REBA secara umum, disamping itu berisi juga tentang event-event

budaya tahunan. Oleh karena itu sifat buku ini lebih merupakan buku panduan

bagi mereka yang ingin berkunjung dan melakukan perjalanan wisata ke daerah

ini. Buku ini hanya sekedar menyoroti karakter kehidupan kebudayaan

masyarakat Ngada.

Buku lain adalah “Manusia dan kebudayaan di Indonesia” yang disusun

oleh Koentjaraningrat, me nceritakan mengenai kebudayaan Flores yang di

dalamnya memuat antara lain identifikasi wilayah kelompok suku di Flores, pola

perkampungan, religi. Sehingga sifat buku ini terbatas hanya menjelaskan

pola-pola geografis dan organisasi sosial.

Ada juga buku yang berjudul “Peranan Hukum Pertanahan Dalam

Pembangunan Daerah Otonom Ngada”, buku ini ialah sekumpulan

makalah-makalah dari beberapa sarjana-sarjana yang mengadakan seminar mengenai

masalah tanah yang diadakan di Bajawa, 21-23 januari 2002. Buku ini tidak

menjelaskan secara mendetail mengenai ritua l Etu.

Dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur(NTT),

yang berjudul “Upacara Tinju Tradisional (ETU) Di Kelurahan Natanage

Kecamatan Boawae Kabupaten Ngada”, pada buku yang satu ini ada kesamaan

mengenai objek kajian yakni sama-sama mengkaji Ritual Etu, sehingga buku ini

hanya sekedar mendeskripsikan tahap-tahap upacara budaya ini berlangsung.

Pada sumber yang lain melalui internet dengan alamat situsnya,

(28)

cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, isinya mengenai deskripsi tentang ritus tinju

tradisional Etu yang diadakan selama setahun sekali dan tahap-tahapnya.

Dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Ritual Etu Masyarakat

Kampung Olaewa Flores 1978-1981,” agak berbeda dengan tulisan yang sudah

pernah di tulis oleh orang lain, ingin melihat bagaimana masyarakat adat begitu

mempertahankan Ritual Etu hingga begitu sangat penting bagi kehidupan

masyarakat. Penulis berpendapat bahwa tidak ada budaya yang diciptakan tanpa

memiliki fungsi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemilik kebudayaan yang

bersangkutan.

G. Landasan Teori

Perubahan kebudayaan di suatu masyarakat lebih disebabkan oleh

masuknya kebudayaan asing. Faktor yang sangat penting yang mempengaruhi

manusia memiliki sikap modern adalah: pendidikan, lingkungan kekotaan,

komunikasi massa, negara nasional dengan segenap aparatnya.12 Sarjana

antropologi budaya beranggapan hampir setiap observasi mengenai kebudayaan

itu berarti mencatat fakta sejarah karena apa yang ada dalam suatu masyarakat

merupakan produk dari apa yang telah manusia lakukan. Kebudayaan itu ada,

hadir dalam masyarakat dan berubah lewat waktu, kebudayaan itu keluar dari

masa lalu, hadir pada masa kini, dan dilanjutkan pada masa yang akan datang,13

sebab masa sekarang tidak pernah terlepas dari masa lalu. Kaitan dengan Ritual

Etu yang terjadi di masyarakat kampung Olaewa, menggunakan teori fungsional,

12 Prof. Harsojo,

op.cit.

(29)

menurut Malinowski fungsi diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan, dengan

demikian pada akhirnya fungsi menjadi sesuatu yang melayani kehidupan dan

kelanjutan hidup.

Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Masyarakat

tidak mungkin ada tanpa kebudayaan begitu sebaliknya kebudayaan hanya

mungkin ada dalam satu masyarakat, hal tersebut di atas adalah dua pengertian

kebudayaan dan masyarakat sebenarnya merupakan dua segi dari satu kenyataan

kehidupan sosial manusia. Kondisi biologi dan psikologinya yang khusus,

manusia harus mampu bekerjasama denga n manusia lain dalam ikatan masyarakat

untuk dapat melangsungkan kehidupan jenisnya. Bronislaw Malinowski ialah

tokoh yang memahami masyarakat melalui kebudayaan, yang mengemukakan

bahwa semua unsur kebudayaan (cultural traits) merupakan bagian yang terpenting dalam masyarakat, karena unsur tersebut memiliki fungsinya, itu

sebabnya setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam

kebudayaan,14 selanjutnya Bronislaw Malinowski mengatakan “dalam mencari

kaidah-kaidah dalam masyarakat terdapat tiga masalah sebagai azas penting

menurut pendekatan fungsional, yaitu (1) adakah sesuatu itu berfungsi; (2)

bagaimana sesuatu itu berfungsi; dan (3) mengapakah sesuatu itu berfungsi.”15

Malinowsi melihat bahwa masyarakat adalah gabungan dari sistem sosial yang

sistemnya memuat unsur-unsur tentang kebutuhan dasar manusia yang harus

14

Museografia: Majalah Ilmu Permuseuman, 1985, Direktur Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 55

15

(30)

dipenuhi.16 Kebutuhan dasar itu meliputi aspek-aspek yang menunjang

kelangsungan kehidupan masyarakatnya, Ritual Etu merupakan bagian kekuatan

masyarakat untuk dapat mengenali jati diri terutama asal-usul masyarakat sebagai

komunitas yang memegang kebudayaan.

Integrasi sosial menurut Durkheim ditemukan dalam pembagian kerja

dalam masyarakat, yaitu semakin sama pembagian kerja dalam masyarakat

semakin tinggi tingkat integrasi sosial, lebih lanjut Durkheim menguraikan dua

tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

Solidaritas mekanis yang berasal dari golongan masyarakat tradisional yang

pembagian kerja dalam masyarakatnya masih rendah, norma-norma yang

cendrung represif, dan masih adanya kesatuan sosial dalam tingkat yang tinggi.

Solidaritas organik di sisi lain adalah sifatnya yang lebih maju, sebuah masyarakat

industri dalam pembagian kerja yang begitu kompleks (tidak sama),

meningkatnya hubungan kontrak (yang diikat dengan perjanjian) dan memiliki

tingkat integrasi sosial yang lebih rendah. Dalam hal ini upaya kontrol individu

menjadi lemah menuju suatu keadaan berkurangnya norma-norma yang lebih

tinggi dalam masyarakat.17 Durkheim mengatakan kekuatan sosial didasarkan

pada pandangan kolektif yaitu berbagai bentuk kekuasaan yang bersandar pada

struktur-struktur normatif dari kelompok tertentu selama kontrol itu diterapkan

pada anggota kelompok melalui norma- norma ini. Ritual Etu merupakan norma

yang dipegang oleh masyarakat, mampu mengontrol masyarakat dalam kehidupan

sehari- hari, dalam kenyataan secara umum seluruh aspek struktur sosial termasuk

16

Ibid.

17 Graham C. Kinloch,

(31)

lembaga- lembaga bersandar pada sebuah sistem normatif masyarakat.18 Fungsi

masing- masing kelompok sosial dalam masyarakat kampung telah ada, untuk

mengatur kesejahteraan bersama, sebab prinsip masyarakat tradisional adalah

kebersamaan

Memahami gejala sosial ketika kampung berpindah ke kampung yang

tidak ada kedekatan historis dengan masyarakat, agar memahami masalah

membutuhkan teori Durkheim bahwa evolusi norma sosial didasarkan pada

kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam masyarakat19, bahwa ikatan kekeluargaan

tetap dipertahankan, solidaritas di antara suku-suku dalam kampung semakin

menguat, terlihat kemasya rakatan, kehidupan bersama antara manusia ingin

menunjukan adanya proses sosial dan relasi sosial. Proses sosial adalah cara

interaksi sosial yang dapat dilihat apabila individu dan kelompok bertemu dan

membentuk satu sistem relasi sosial,20 melihat masyarakat memakai sedikit

konsep teori tradisi sosial (kemasyarakatan), menurut Herbert Spencer masyarakat

sebagai suatu kesatuan yang utuh dan berkembang sesuai dengan hukum- hukum

evolusi alam, pada akhirnya proses alam yang menentukan masyarakat kampung

Olaewa sebagai ikatan komunitas kekerabatan yang kuat.

Subsistem ini mempertahankan masyarakat sebagai satu kesatuan utuh

dalam sebuah perjalanan evolusi. Proses ini secara terus menerus berkembang

jauh dari tingkat-tingkat baru sebagaimana ia berkembang dari masyarakat

18

Ibid, hal. 89. 19

Ibid.

(32)

primitif menuju masyarakat modern dan industri,21 teori struktural fungsional

yang intinya tidak lepas dari sebuah usaha untuk menjaga keseimbangan dalam

kehidupan masyarakat, dan teori psikologi sosial dimana mengadopsi dari Herbert

Blumer bahwa bagi masyarakat baik secara individu maupun kelompok, telah

disiapkan sebuah perbuatan yang berdasarkan makna- makna, yang objeknya

terdiri atas dunia mereka, dijelaskan juga bahwa tindakan-tindakan sosial terus

mengkonstruksikan sebuah proses yang para pelakunya mencatat, menafsirkan,

dan menilai untuk menghadapi situasi mereka.22

Tersebarnya berbagai unsur kebudayaan ke berbagai wilayah, bermula dari

suatu wilayah tertentu. Setiap unsur kebudayaan tidak berdiri sendiri dan terlepas

satu sama lain, melainkan unsur-unsur kebudayaan saling mempengaruhi dan

saling tergantung sama lain. Melalui studi kelompok sosial, akan mengerti

bagaimana dan dengan cara apa manusia berprilaku di dalam kehidupannya.

Manusia dalam kehidupannya telah membentuk apa yang disebut dengan

masyarakat dimana di dalamnya terbagi ke dalam kelompok-kelompok sosial.

Dalam hal ini ketika situasi modernisasi berkembang pesat, kebudayaan

harus mampu berintegrasi dengan baik dan mampu berfungsi dengan baik.

Masyarakat memegang ritual Etu sebagai senjata yang berarti dalam menangkis

efek terburuk dari modernisasi.

21 Graham C. Kinloch,

Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, penerbit Pustaka Setia Bandung, 2005, hal op.cit, hal. 83.

(33)

H. Metode Penelitian

Tema yang akan diangkat tentang sejarah kebudayaan lokal “Ritual Etu

Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978-1981,” maka menggunakan metode

untuk melihat secara keseluruhan mengenai secara keseluruhan mengenai ritual

adat ini. Metode sendiri merupakan cara, apabila dikaitkan dengan penelitian ini

maka bagaimana caranya agar dalam perkembangan selanjutnya memperoleh

hasil penelitian yang baik.

Ritual Etu berada di Kabupaten Nagekeo dan lebih khususnya di Kampung

Olaewa Kecamatan Boawae. Jarak antara Kampung Olaewa ke kota Kecamatan

Boawae kurang lebih 8 km, berada di dataran tinggi. Masyarakat Kampung

Olaewa hampir sebagian besar penduduknya masih menggantungkan sumber

penghasilannya pada alam yakni bertani dan berladang, namun tidak sedikit juga

yang menjual hasil bertaninya untuk dijual ke pasar, ada yang berbisnis, guru, atau

pegawai negeri.

Kebudayaan di daerah ini sangat unik, salah satunya adalah Ritual Etu,

masyarakat yang hadir disambut oleh masyarakat pendukung Ritual Etu,

masyarakat mempersilahkan masyarakat yang datang untuk makan di rumah

masyarakat pendukung. Setiap rumah menyediakan makanan lebih untuk tamu

yang hadir, seluruh lapisan masyarakat, kerabat keluarga, atau juga orang asing di

layani dengan senang hati. Penelitian tentang penulisan ini menggunakan

penelitian partisipan yakni sebagai peneliti terjun langsung di lokasi, berbaur

bersama masyarakat sekaligus mengamati keseharian dalam kehidupan mereka

(34)

tidak dapat hidup sendiri, karenanya sejarah menggunakan ilmu bantu dengan

pendekatan yang dipakai adalah Antropologi. Terkait penulisan sejarah budaya,

perlu menjelaskan secara terinci cara-cara apa saja yang dilakukan untuk

memperoleh data akan diuraikan sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Sejarawan tidak pernah bisa melepaskan dari yang namanya data dan juga

fakta dalam setiap penelitiannya. Untuk mendukung penelitian mengenai sejarah

kebudayaan khususnya Ritual Etu dilakukan pencarian data, baik data primer

maupun data sekunder. Data primer di dapat dengan berkunjung ke lokasi di

daerah Flores tepatnya di Kabupaten Nagekeo Kampung Olaewa dengan

wawancara para tokoh-tokoh masyarakat maupun tokoh adat Kampung Olaewa,

wawancara dengan Bupati Ngada (tahun 1981 Kampung Olaewa masih dalam

status wilayah Ngada tapi sekarang Nagekeo) yang terlibat langsung pada saat

ritual ini dilaksanakan pada saat pindah kampung, dan mantan pejabat instansi

seperti camat dan penilik kebudayaan Ngada. Metode wawancara yang digunakan

adalah wawancara bebas (free interview). Hal ini dilakukan untuk memperoleh data dari sudut pandang masyarakat (emic), yakni kerangka mental yang dimiliki masyarakat itu sendiri.23 Kunjungan ini tidak semata- mata, rekreasi melainkan

mencoba melihat skope spasialnya. Karena ciri penulisan sejarah harus ada skope

spasialnya maupun skope temporalnya.

Untuk data sekunder penulis membagi tiga wilayah pencarian data,

pertama data yang diambil di wilayah Yogyakarta melalui perpustakaan

23 Robert Cambers.

(35)

Universitas Sanata Dharma, berupa buku-buku tentang masyarakat Ngada (karena

Kabupaten Nagekeo baru, maka buku seputar isi tentang Nagekeo belum ada) dan

internet melalui situs-situs yang menyinggung seputar masalah kehidupan

masyarakat Nagekeo, kedua data diambil di Kupang (kota Propinsi NTT) yakni perpustakaan UNIKA Kupang berupa buku tentang masyarakat Flores dan

masyarakat Ngada, dinas Pariwisata berupa laporan atau juga arsip mengenai

kebudayaan yang ada di Flores khususnya Ngada, perpustakaan propinsi berupa

buku-buku tentang kebudayaan dan masyarakat Ngada, ketiga data yang diperoleh melalui kantor-kantor pemerintahan mulai kantor kecamatan hingga kantor desa,

dinas pariwisata Kabupaten Ngada berupa arsip-arsip mengenai jumlah penduduk,

mata pencaharian, sampai pada letak geografis wilayahnya.

2. Analisis Data

Sumber-sumber tulisan dan sumber lisan terbagi didalamnya menjadi dua

jenis yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah wawancara

dengan pelaku yang terlibat langsung pada acara tersebut seperti seorang yang

pernah menjabat sebagai Bupati, Camat, serta kepala kampung dan masyarakat

pemilik adat, yang direkam menggunakan tape rekorder. Sumber sekunder dengan

wawancara dengan orang yang tidak mengerti seputar peristiwa adat Ritual Etu

berlangsung, dan tulisan-tulisan dari koran mengenai Ritual Etu. Selanjutnya

langkah berikutnya adalah dengan kritik sumber, bertujuan untuk mengetahui

secara kritis mengenai otentitas (keaslian) dan kredibilitas sumber.24

(36)

Data-data sangat penting bagi sejarawan yang ingin menuliskan sejarah

atau historiografi. Karena itu data benar-benar harus diteliti secara mendalam.

Untuk menjelaskan sejauhmana masyarakat melakukan Ritual Etu, tidak bisa

sembarang sejarawan mengambil data dari wawancara yang dilakukan oleh

masyarakat sembarangan. Harus diteliti terlebih dahulu, siapa masyarakat yang di

wawancarai? Kalau masyarakat itu adalah masyarakat di luar dari masyarakat

pemegang adat tertentu, tentunya interpretasi yang dikemukakannya akan sangat

tidak beralasan karena mereka tidak mengetahui secara pasti apa itu budaya

tertentu, karena mereka tidak mengalami secara langsung.

Analisis data berkaitan dengan Ritual Etu, data-data yang diambil pertama

selalu menjurus pada masyarakat asli Kampung Olaewa, data-data yang lainnya

diambil dengan melihat kondisi kampung lama yang diperbandingkan dengan

kondisi kampung yang baru. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai ciri kampung

ini, berusaha mencari informasi mengenai sejarah masyarakatnya sejak awalnya

dari cerita-cerita, yang kemudian membawa informasi sampai pada sejarah

masyarakat ini berasal dimana terdapat kampung awal yang letaknya persis

dibawah kaki gunung Ebu Lobo yang bernama Kampung Duge, kemudian menyusuri kampung berikutnya kampung Nagemi, dan terakhir di kampung

Olaewa. Jaraknya cukup jauh, keberadaan asal- usul masyarakat yang letak

pertama kali di atas gunung yang berjarak kurang lebih 8 km, menyusuri

hutan-hutan, tebing-tebing terjal. Melalui penyusuran ini, peneliti merasa yakin bahwa

sejarah dari kampung ini sangat jelas ada dan bisa dianalisa. Kemudian

(37)

dengan yang lain tanpa meninggalkan ketentuan dalam penelitian sejarah. Dalam

penelitian ini dituntut untuk mencermati dan mengungkapkan data secara akurat.

Maka untuk mengurangi unsur subjektifitas, diperlukan pengolahan data dan

analisis secara cermat.25

3. Penulisan

Langkah terakhir adalah historiografi yang merupakan suatu proses

rekonstruksi dari sekian peristiwa-peristiwa masa lampau dalam bentuk penulisan

yang telah di interpretasikan sehingga sesuai dengan imajinatif ilmiah.26 Melalui

data-data yang digunakan kemudian di kumpul, di kritik dan di interpretasikan

lalu kemudian data-data tersebut disajikan dalam bentuk tulisan. Penulisan ini

bersifat deskriptif analitis yang sepenuhnya menuntut alat-alat analitis. Alat-alat analitis itu berdasarkan perspektif, objektif, dan subjektif. Tulisan sejarah yang

baik adalah tulisan yang mampu menghasilkan tulisan dengan data primer yang

kuat berupa wawancara langsung dengan tokoh yang terkait dan mengetahui

secara persis kondisi dan atmosfir peristiwa Ritual Etu berlangsung..

I. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman mengenai hasil penelitian untuk skripsi

ini, maka dalam penjelasan nantinya akan dijabarkan melalui beberapa bagian

sub-sub bab yang isinya adalah sebagai berikut :

25 Sartono Kartodirdjo,

(38)

Bab I pada bagian ini, berisikan tentang latar belakang, identifikasi dan

pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II pada bagian ini akan menguraikan mengenai kondisi masyarakat

Olaewa Flores, dimana pada bab ini menyajikan gambaran umum tentang Flores,

sejarah Nagekeo, asal- usul masyarakat di Kampung Olaewa, letak wilayah

Kampung Olaewa, simbol-simbol adat masyarakat Olaewa, kondisi mata

pencaharian masyarakat.

Bab III pada bagian ini akan membahas Ritual Etu bagi masyarakat yang

akan menguraikan mengenai Ritual Etu sebagai adat, Ritual Etu sebagai

penyeimbang kehidupan bermasyarakat yang diuraikan bahwa ada ungkapan

syukur dan keterikatan masyarakat dengan kampung, kemudian diuraikan

mengenai asal us ul ritual Etu.

Bab IV pada bagian ini akan menguraikan mengenai kontribusi Ritual Etu

bagi masyarakat Kampung Olaewa tahun 1981, dengan menjelaskan mengenai

kondisi sosial masyarakat, modernisasi di tengah masyarakat, dampak dari Ritual

Etu, usaha masyarakat adat terhadap eksistensi Ritual Etu, nilai positif terhadap

masyarakat Kampung Olaewa zaman modern.

Bab V pada bagian ini merupakan bagian penutup. Dalam bab ini penulis

mencoba meringkas dan menyampaikan beberapa kesimpulan dari jawaban

(39)

BAB II

KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES

A. Gambaran Umum Pulau Flores 1. Flores

Flores letaknya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Penduduk Nusa

Tenggara Timur terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa dan tradisi sangat

bervariasi dan tentu hal ini berpengaruh sekali dalam perkembangan

kebudayaannya.27 Flores merupakan pulau yang memiliki banyak

keanekaragaman budaya hampir di setiap kehidupan dalam lingkungan

masyarakat. Nama pulau Flores berasal dari bahasa Portugis yaitu "Cabo de Flores" yang berarti "tanjung bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur pulau Flores, kemudian semenjak itu

dipakai secara resmi pada tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda

Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini,

sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau

ini, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan

bahwa nama asli pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Pulau Flores masuk dalam wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur.

Masyarakatnya masih sangat kental dengan adat, setiap kegiatan yang

dilakukan selalu dimulai dengan ritual khusus. Bentuk kebudayaan peninggalan

leluhur seperti simbol-simbol adat sebagai penunjang ritual masih dipertahankan

27 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984,

Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, hal. 4.

(40)

dalam masyarakat, hal inilah yang menjadi keunikan masyarakat di Flores. Flores

banyak sekali menyimpan berbagai peninggalan sejarah dan kepurbakalaan,

contohnya di daerah kabupaten Ngada pada tahun 1990-an, penemuan seorang

kurator museum Bikon Blewut Ledalero yang menemukan fosil manusia jenis

Proto Negrito Florensis di Rawe, menurutnya fosil manusia yang pernah menghuni Flores diperkirakan berusia sekitar 300.000 tahun. Misionaris asal

Jerman, Pastor Dr Th Verhoven SVD yang berkarya di Flores tahun 1950-an,

ketika di Mataloko (Ngada) menemukan berbagai artefak kuno, antara lain berupa

porselen Cina dan berbagai benda kuno berukir berupa papan, manik- manik,

peralatan dari zaman batu berupa: barang perunggu, dan yang tidak kalah

menariknya ialah temuan di daerah Ngada sebuah fosil gajah raksasa Stego don Trigonocephalus Florensis. Temuan lain berupa kapak neolitik sebanyak 150 buah.28 Semuanya tadi menunjukan bahwa daerah Flores merupakan daerah ya ng

tidak kalah bernilai harganya jika dibandingkan dengan daerah lain.

Masyarakat Flores sangat kental akan budayanya. Secara umum

masyarakatnya memiliki sifat keunikan tersendiri, kebiasaan masyarakatnya

sebelum dan setelah melakukan pekerjaan selalu diawali dengan ritual sebagai

bentuk ungkapan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan dengan cara tersebut ada

rasa kedamaian yang mereka temukan. Masyarakat Flores sangat kental dengan

berbagai simbol-simbol adat, masyarakat Flores selalu mendiami kampungnya

dengan dihiasi simbol-simbol adat. Kampung adalah tempat bermukim tradisional

28

Http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/otonomi/259141.htm, pada tanggal 25/02/2007.

(41)

yang hampir keseluruhan masyarakatnya masih mempertahankan pola pemikiman

dengan gaya perkampungan.

Masyarakat dan kampung merupakan satu kesatuan yang utuh, umumnya

masyarakat Flores masih mempertahankan budayanya demi menjaga ketentraman,

hampir setiap permasalahan yang ada selalu diselesaikan dengan cara adat.

Aktivitas kehidupan sehari- hari mencerminkan adanya nilai budaya, seperti yang

dikatakan oleh Melville J. Herskovits seorang sarjana antropologi budaya dari

Amerika Serikat bahwa kebudayaan dan masyarakat itu ibarat dua muka pada

sehelai kertas, artinya bahwa masyarakat manusia dimanapun dan kapan pun akan

menghasilkan kebudayaan.29

2. Lingkungan dan Masyarakat Flores

Pulau Flores terdapat berbagai kelompok etnik yang hidup dalam

komunitas-komunitas yang hampir masing- masing komunitasnya sangat eksklusif

sifatnya. Masing- masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan

pranata sosial budaya dan ideologi yang semuanya itu mengikat anggota

masyarakatnya secara utuh. Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah

asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.

Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di

Flores. Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang

meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis

Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage,

Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka,

(42)

Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok

bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah), dan terakhir

kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian

selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal- usul

genealogis dan budaya yang sama.30

3. Religi

Kristianitas, khususnya Katolik sudah dikenal penduduk pulau Flores

sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di pulau Solor, kemudian

pada tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk

mendirikan misi permanen disana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz

membangun sebuah benteng di pulau Solor dan Seminari di dekat kota Larantuka,

perkembangan katolik yang begitu besar pada tahun 1577 sudah ada sekitar

50.000 orang katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi

migrasi besar-besaran penduduk Melayu kristen ke Larantuka ketika Portugis

ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai

mengenal kristianitas, dimulai dari pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur

kemudian menyebar ke seluruh daratan pulau Flores dan pulau Timor, dengan

demikian pulau Flores secara mayoritas penduduknya beragama Katolik.31

Kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, walaupun

demikian kehidupan keagamaan di pulau Flores memiliki pelbagai keunikan dan

yang paling nampak adalah unsur budaya tradisional yang masih melekat hingga

saat ini. Hidup beragama di pulau Flores sebagaimana nampak juga di berbagai

30 Yoseph Yapi Taum,

(43)

daerah lainnya di Nusantara, unsur- unsur kultural yakni pola tradisi asli warisan

nenek moyang atau leluhur masih sangat melekat di dalam masyarakatnya.

Unsur-unsur historis, yakni tradisi- tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut

berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini merupakan bentuk

dari sistem kebudayaan Flores sehingga menilai di beberapa tempat di Flores ada

semacam percampuran yang aneh antara kristianitas dan kekafiran.32

Gambaran agama-agama di Flores secara umum dapat dilihat melalui tabel

satu (1) dengan mendeskripsikan wujud tertinggi masyarakat pulau Flores, secara

konkrit ingin menunjukkan bahwa masyarakat Flores memiliki tingkat

kepercayaan tradisional yang cukup tinggi kepada dewa matahari, bulan, dan

bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidupnya dipercayai adanya bantuan

dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman).33

Tabel 1

Wujud Tertinggi Orang Flores

NO KABUPETEN WUJUD TERTINGGI MAKNA

1. Lera Wulan Tanah Ekan Ina Niang Tana Wawa//

Tanah di bawah, langit di atas

33 Fernandez, Stephanus Osias, 1990.

Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, op.cit, hal. 40.

(44)

Masyarakat Flores selain mengenal adanya prinsip wujud tertinggi, juga

memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, pada umumnya dilengkapi dengan

altar pemujaannya yang khusus melambangkan hubungan antara alam manusia

dengan alam ilahi, melalui tabel dua (2) ingin menunjukkan altar sebagai tempat

upacara ritual orang Flores.34

Tabel 2.

Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores

NO KABUPATEN NAMA TEMPAT KETERANGAN

1.

4. Pola Perkampungan di Flores

Desa-desa di Flores dulu biasanya dibangun di atas bukit untuk keperluan

pertahanan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu, biasanya merupakan

suatu lingkaran dengan tiga bagian depan, tengah dan belakang.35

Wilayah Nagekeo terdiri atas beberapa kampung-kampung, Kampung

Olaewa merupakan kampung yang letaknya di sebuah kecamatan Boawae,

letaknya persis dipinggir jalan. Wilayah Nagekeo merupakan wilayah yang di

dalamnya dihuni oleh masyarakat yang masih memegang konsep tradisional,

kondisi mata pencaharian masyarakatnya yang masih agraris serta konsep tempat

tinggalnya dengan bentuk perkamp ungan yang membujur dari utara ke selatan,

merupakan ciri dari masyarakatnya. Setiap kampung pada umumnya terdiri atas

34 Yoseph Yapi Taum,

op.cit, hal. 3 35 Koentjaraningrat,

(45)

dua kelompok atau lebih, kampung Olaewa sendiri sistem politik tradisional

karena itu mendasarkan kepemimpinannya pada tokoh klen, dan ada kepala klen

atau suku yang menggunakan titel atau pun gelar dengan sebutan mosalaki, sistem

pengaturan menjadi sangat jelas dalam setiap masyarakatnya, sehingga orang

Dhuge dianggap sebagai pendahulu atau pernah berjasa di kampung sehingga

statusnya menj adi sangat tinggi, di atas struktur semacam itu nampak kemudian

muncul kekuasaan yang lebih tinggi, mencakup kampung-kampung.36

Peran ketua suku atau pemimpin kampung selalu memegang prinsip

dengan apa yang dinamakan dengan mosa ulu laki eko, sehingga martabat kepemimpinan seorang pemimpin kampung tetap sangat dikendalikan oleh

segmen masyarakat yang disebut fai walu ana halo atau janda dan yatim piatu.

Pemimpin di Nagekeo maupun Kampung Olaewa adalah tokoh yang berjuang

untuk memihak yang lemah dan tak berdaya.

Para antropolog umumnya menggambarkan bahwa pembagian masyarakat

ke dalam kelompok keturunan kakak (kae) dan kelompok keturunan adik (azi) serta kelompok rumah deretan timur (padhi mena) dan barat (padhi rale) hendaknya dipahami dalam suatu kerangka sistem dan struktur hirarkis seputar

“rumah-rumah inti” (sa”o pu”u) yang berperan sentral dalam praktik aliansi perkawinan.37

Masyarakat Flores bagian tengah ini mengenal adanya kelompok pada

ikatan genealogis, membagi masyarakatnya ke dalam tiga(3) tingkatan. Biasanya

36 I Gede Parimartha,

Perdagangan dan Politik Di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit Djambatan, 2002, Jakarta, hal.77

(46)

orang pertama disebut ata kai38, orang ke dua disebut ata kisa39, dan orang ke tiga disebut ata ho’o40, susunan ini yang menyelimuti masyarakat.41

B. Sejarah Nagekeo

Pulau Flores dihuni oleh sekian banyak komunitas masyarakat yang

tentunya memiliki bentuk kebudayaan yang berbeda. Nagekeo adalah kabupaten

yang baru saja diresmikan oleh pemerintah Indonesia sebagai wilayah hasil dari

pemekaran kabupaten induk yakni kabupaten Ngada. Masyarakat Kampung

Olaewa misalnya, mereka adalah etnis Nagekeo, yang merupakan bagian dari

masyarakat Ngadha dahulu sejarahnya pada tahun 1958 kabupaten Ngadha

dibentuk dan membawahi atas beberapa wilayah gabungan antara lain wilayah eks

kerajaan Nagekeo, eks kerajaan Bajawa, dan eks kerajaan Riung. Nama Kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata “Ngadha”, masa pemerintahan kolonial oleh bangsa Belanda karena konsonan “dh” tidak dapat diucapkan dengan benar sebagaimana umumnya diucapan oleh masyarakat Ngadha,

dipengaruhi pemerintahan kolonial masa itu maka perkembangan selanjutnya

kebiasaan masyarakat akhirnya terpengaruh oleh Belanda sehingga menyebut

Ngada tanpa menggunakan “dh” dan merubahnya dengan menggunakan konsonan ”d” maka kebiasaan dalam pengucapan kata Ngadha menjadi terbiasa sampai sekarang di dalam masyarakat, baik sebagai nama tempat maupun sebagai nama

38

Ata kai merupakan susunan tertinggi yang ada dalam masyarakat, mereka -mereka adalah para tetua, tokoh adat atau turunan langsung dari cikal bakal atau penggagas sebuah perkampungan

39

Ata kisa merupakan susunan kedua, mereka adalah orang-orang yang karena keterikatan dengan perkawinan, dianggap masyarakat biasa.

40 Ata ho’o adalah masyarakat yang tingkatannya terendah, mereka-mereka adalah orang

(47)

klan, selanjutnya menjadi wilayah administratif kabupaten yang dikenal sebagai

Kabupaten Ngada.42

Baru pada tanggal 8 Desember 2006, secara resmi DPR RI meresmikan

pemekaran kabupaten Ngada menjadi Kabupaten Nagekeo, sehingga kampung

Olaewa masuk dalam wilayah Kabupaten Nagekeo. Kamp ung Olaewa terletak di

ibukota Kecamatan Boawae, desa Rigi Kabupaten Nagekeo. Sejak saat itu

masyarakat dari eks kerajaan Nagekeo mulai resmi memiliki kabupaten sendiri

sesuai peninggalan sejarah kerajaan Nagekeo yang letaknya di Kecamatan

Boawae.

Wilayah Nagekeo tepatnya di Kecamatan Boawae Kampung Boawae,

masih meninggalkan bekas bangunan peninggalan kerajaan Nagekeo, sebagian

bangunan peninggalan bersejarah ini sudah digunakan sebagai hotel dan sisa

bangunan lain masih bisa dilihat seperti rumah maupun kampungnya. Kabupaten

Nagekeo di bagi atas 7 (tujuh) wilayah administrasi pemerintahan tingkat

kecamatan dan dua puluh (20) kelurahan dengan luas wilayah 1.386,63 km2 atau

46,64% dari total luas wilayah Kabupaten Ngada. Wilayah kecamatannya meliputi

Kecamatan Aesesa Selatan, Aesesa, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Nangaroro

dan Keo tengah, sedangkan wilayah kelurahannya terdiri atas Rowa, Solo,

Kelewae, Leguderu, Nagespadhi, Rigi, Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo,

Rega, Kelimado, Mulakoli, Wea Au, Raja, Wolowea, Ratongamobo, Dhereisa,

Gerodhere, Nagerawe. Kecamatan Boawae terdapat adanya kampung tradisional

diantaranya adalah Kampung Solo, Kampung Boawae, Kampung Olaewa,

(48)

Kampung Natanage, Kampung Natalea, Kampung Raja, Kampung Gero,

Kampung Dhereisa, Kampung Nunukae.

C. Asal-Usul Masyarakat Kampung Olaewa 1. Kondisi Sosial Masyarakat

1.1 Orang Dhuge

Orang Dhuge memiliki kampung yang sebenarnya pada awalnya bukan

berada di Kampung Olaewa, masyarakatnya telah mengalami perkembangan,

masyarakat ini hidupnya dahulu masih sangat nomaden, dilihat dari bukti

artefactnya telah mengalami dua kali kepindahannya, tepatnya di bawah kaki

gunung Ebulobo yang sangat tinggi terdapat kampung yang dikenal dengan

Kampung Dhuge, yang kemudian karena terjadi sesuatu maka masyarakatnya

pindah di Kampung Nagemi dan pada akhirnya pada tahun 1981 inilah

masyarakat menempati perkampungan yang diberi nama dengan Kampung

Olaewa

1.2. Latar Belakang

Kampung Olaewa sangat kental dengan budaya tradisional.

Masyarakatnya masih sangat menghormati leluhur atau nenek moyangnya.

Masyarakat Kampung Olaewa dalam arti luas sering disebut sebagai masyarakat

Nagekeo, menyebut istilah nenek moya ng atau leluhur adalah gae zale, masyarakat Kampung Olaewa sangat mempercayai akan keagungan dan

kekuasaan penguasa yang lebih tinggi yakni dewa agung atau sering mereka

(49)

kekuatan besar, yang mampu membawa mereka ke dalam dunia spiritualitas

dalam kehidupan sehari-harinya.

Masyarakat kampung Olaewa ditempati beberapa suku, satu dan lainnya

saling menghormati, ada beberapa suku antara lain: suku Dhuge, suku Boa, suku

Saga Enge, suku Dobe, suku Gawi, suku Tegu, suku Sodha, suku Nage Wae. Masyarakat Olaewa memiliki tingkatan-tingkatan dalam kehidupan

sosialnya, tingkatan yang dimaksud :

a. Tingkatan Gae atau Ata Kai

Secara harafiahnya “gae” berarti di atas. Tingkatan gae merupakan pelapisan sosial yang paling tinggi dan paling tua. Golongan tingkat ini biasanya

berasal dari keturunan bangsawan atau berdarah biru sehingga mendapatkan

tempat yang sangat istimewa dalam kehidupan sosial. Fungsionaris adat atau

tokoh adat dan pemimpin adat selalu berasal dari pelapisan sosial ini. Masyarakat

biasanya menyebut dengan istilah ”Mosalaki”. Mosalaki terdiri atas 2 (dua) suku kata, yakni mosa yang berarti kuasa, dan laki (pria). Dengan kata kain, mosalaki

menunjuk pada seorang pria yang memiliki pandangan luas dan terkemuka dalam

sebuah klan dan bersama anggota lainnya turut menentukan nasib klannya.

Ada dua kriteria yang harus dimiliki seorang mosalaki. Pertama, ia adalah keturunan orang yang karena sesuatu dan lain hal pernah berjasa terhadap

daerahnya. Kedua, ia harus memiliki keterampilan tertentu, selalu cepat dalam setiap usahanya dan pandai mengatur segala hal dan cerdas. Pentingnya kriteria di

atas tidak terlepas dari kedudukan mosalaki, seorang pemimpin adat tertinggi di

suatu wilayah. Mosalaki memiliki wewenang memelihara tata adat dan menuntut

(50)

adat, maka mosalaki harus mampu menyelesaikan permasalahan dengan arif dan penuh tanggung jawab, selain beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan,

sebagai mosalaki juga memiliki hak- hak yang diakui adat istiadat. Pada upacara- upacara adat misalnya, pihak mosalaki selalu memimpin tata laksana inti.

b. Tingkatan Kuju Noe Walu Halo atau Ata Kisa

Tingkatan ini merupakan tingkatan kedua dalam struktur sosial

masyarakat. Orang-orang yang termasuk di dalam tingkatan atau lapisan sosial ini

adalah mereka- mereka yang berasal dari lapisan bawah atau yang disebut rakyat

biasa, yang termasuk kelompok ini adalah janda, ya tim piatu, dan orang miskin.

Posisi politik dan ekonomi mereka tergolong lemah.

Mereka bekerja untuk kepentingan bangsawan dan dianggap sebagai

anggota keluarga. Masyarakat Olaewa khususnya, menyebut golongan ini sebagai

lapisan sosial azi ana. Mereka tidak diperlakukan sebagai budak karena mereka juga berdarah bangsawan. Mereka boleh saja kehilangan harta benda dan

kekuasaan tetapi tidak kehilangan darah kebangsawanannya. Meskipun demikian,

hak-hak serta kewajiban mereka terbatas. Mereka boleh hidup dan tinggal

bersama kaum bangsawan sampai akhir hayatnya.

c. Tingkatan Ata Hoo

Lapisan sosial yang terakhir adalah tingkatan ata hoo. Hoo adalah lapisan sosial masyarakat yang paling rendah. Hoo diartikan sebagai para hamba atau budak. Budak sangat dibatasi aturan, tidak memiliki hak terutama dalam urusan

yang berkaitan dengan kepentingan keluarga atau sukunya. Golongan ini hanya

(51)

Dalam masyarakat dikenal istilah ana sao, yang artinya pesuruh yang dilindungi dan melakukan pekerjaan yang berat. Berdasarkan tingkatan di atas,

anak sao dapat dikategorikan pada tingkatan hoo. 1.3. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Kecamatan Boawae umumnya dibedakan

atas dua:

a. Kekerabatan dalam keluarga inti

Pusat sistem kekerabatan adalah keluarga, baik keluarga inti yang terdiri

atas ayah, ibu dan anak-anak, maupun keluarga yang sangat luas, yang terdiri atas

keluarga inti ditambah kakek, nenek, paman, bibi, para saudara sepupu kandung

maup un tidak kandung, dan kemenakan. Konsep kekerabatan pada masyarakat

berdasarkan darah terdekat, yaitu keluarga inti yang mempunyai hubungan yang

tak terpisahkan satu sama lainnya. Hubungan antara anak dan orang tua biasa

disebut ana ame. Pada saat upacara perkawinan masyarakat Boawae selalu diawali pembacaan sejarah nenek moyang. Perkawinan tidak dapat dilakukan di

antara saudara terdekat pada lapisan tertentu.

b. Kekerabatan dalam klan

Masyarakat Boawae, hubungan kemargaan atau klan disebut woe atau suku. Woe adalah kumpulan dari ili woe atau keturunan lurus dari ayah, kae azi zeta sao atau kakak adik kandung dalam rumah, sedangkan woe adalah kerabat yang berasal dari keturunan leluhur atau gae zale yang sama dalam satu garis keturunan lelaki saja. Anggota woe biasanya tidak saling kenal, sehingga pada saat-saat upacara pernikahan, selalu ada pembacaan sejarah, ada tanda khusus

(52)

lagu-lagu, dongeng - dongeng suci, dan lambang khusus bagi masyarakat Olaewa

ialah sao waja, nabe, peo, tanah kampung, patung Bue Coo, Anak Deo.

2. Sejarah Masyarakat Kampung Olaewa

Sejarah kampung dari kedua suku pendiri dari kelompok masyarakat yakni

suku Dhuge dan suku Boa mengalami dua kali perpindahan, awalnya mereka bertempat tinggal di kampung Dhuge lalu kemudian berpindah ke Kampung

Nagemi dan pada akhirnya sekarang mereka bertempat di kampung Olaewa.

Konon menurut cerita dari salah seorang tokoh masyarakat bahwa kepindahan

kampung yang pertama dari Dhuge ke Nagemi konon perpindahan disebabkan

oleh alam yang sudah tidak bersahabat.43 Biasanya tanda-tanda tadi berupa luja gedho44, piko kono45, konon ceritanya juga bahwa apabila tanda-tanda ini muncul di dalam kampung, sangat dilarang bagi masyarakat untuk menepis beras.

Menurut cerita yang berkembang ditengah masyarakat karena alam yang sudah

tidak bersahabat, karenanya Peo konon dibakar oleh masyarakat sebagai akibat

dari alam yang dianggap sudah tidak bersahabat.

Kampung Dhuge bisa dilihat bangunan megalithnya yang masih tertinggal

dan batu-batu sebagai tempat untuk sarana ritual. Kepindahan kampung ini sulit

dilacak kapan waktunya, karenanya melalui bentuk bangunan megalith

peninggalan masa lalu sedikit demi sedikit mengetahui pola kehidupan

masyarakatnya.

43

Wawancara dengan bapak Blasius Lewa Gizi selaku tokoh masyarakat pada tanggal 06-03-2007.

44

Luja Gedho merupakan sejenis ulat yang sangat langka, yang tidak sembarang muncul. Ketika ular ini muncul dari persembunyiannya ulat-ulat ini akan berbarengan muncul dan membentuk barisan yang memanjang bisa bermeter-meter panjangnya dan tidak putus.

45 Piko Kono adalah seekor burung puyuh yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat,

Gambar

Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores
Tabel 2. Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
Tabel 4.
Gambar. 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi ini memiliki tiga tujuan, yakni (1) mendeskripsikan asal-usul tradisi Reba dalam konteks sejarah dan budaya Masyarakat Ngadha, (2) mendeskripsikan proses ritual

Penulis memiliki ketertarikan untuk mengkaji tradisi musik keroncong pada masyarakat Kampung Tugu karena penulis melihat ada banyak sekali fenomena yang terjadi terhadap

Fokus tulisan ini adalah menjelaskan bagaimana masyarakat Kampung Sawah menggunakan sistem marga dan apakah nama marga yang dibangun oleh masyarakat Kampung Sawah Kota

Abstrak : Kampung Kauman merupakan kawasan yang memiliki perjalanan sejarah yang panjang, dengan tradisi yang kuat dan beragam yang terletak di Kecamatan Semarang Tengah..

Tradisi slametan yang menjadi dasar utama dari Tradisi Kejawen masyarakat Jawa Kampung Banjar Agung banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu (wawancara

Oleh karena itu, tradisi masyarakat adat kampung Cireundeu pada dasarnya sangat berbeda dengan masyarakat adat lainnya yang kuat pada keyakinan adat istiadat yang sudah ditentukan dan

Penelitian ini meneliti budaya politik masyarakat Kampung Naga yang memiliki ikatan tradisional yang kuat dan

Karakteristik Masyarakat Nelayan di Kampung Talisayan Secara sederhana masyarakat nelayan di Kampung Talisayan memiliki ciri khas yang sedikit berbeda, diantaranya adalah ketika ingin