• Tidak ada hasil yang ditemukan

Letak Wilayah Kampung Olaewa

BAB II: KONDISI MASYARAKAT OLAEWA FLORES

D. Letak Wilayah Kampung Olaewa

Letak Kampung Olaewa Kecamatan Boawae yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Ngada (sebelum pembentukan Kabupaten Nagekeo) yang terletak di sebelah timur kota Bajawa (ibukota Kabupaten Ngada) dengan jarak + 42 km. Kabupaten Ngada dihuni warga dari beberapa suku bangsa seperti suku Ngada, Nagekeo, kelompok sosial Maung, kelompok etnis Riung, dan kelompok sosial Rongga. Kecamatan Boawae terdiri atas 13 (tigabelas) desa dan tujuh (7) kelurahan, dengan rinciannya sebagai berikut :

a. Berstatus Desa :

Desa Rowa, Solo, Kelewae, Leguderu, Rigi, Kelimado, Mulakoli, Wea Au, Raja, Wolowea, Gerodhere, Dhereisa, dan Nagerawe

b. Berstatus Kelurahan :

Kelurahan Olakile, Natanage, Nageoga, Wolopogo, Rega, Nagesapadhi,

dan Ratongamobo.

Secara geografis, Kabupaten Nagekeo terletak pada posisi 8o Lintang Utara dan 9o Lintang Selatan, 120o,45’-121o,50’ Bujur Timur. Kecamatan Boawae terletak pada posisi yang sangat strategis yakni pada jalan lintas Flores, sehingga sangat memudahkan arus transportasi dari dan menuju wilayah Flores bagian timur maupun bagian barat. Batasan-batasan wilayah Kecamatan Boawae :

- sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Aesesa - sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mauponggo. -.sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Nangaroro. - sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ngada.

Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan banyak tersebar di wilayah Kabupaten Ngada, khususnya kampung-kampung tradisional, begitu pun dengan Kampung Olaewa peninggalan sejarah dan ke purbakalaan masih sangat tertata dan masih sebagai living monument dalam kehidupan masyarakat setempat. Upacara- upacara adat masih sampai detik ini, selalu dihubungkan dengan monumen yang ada, seperti ketika melaksanakan upacara- upacara adat yang ada di kampung ini seperti Ritual Etu, berburu atau Toa Lako.

Olaewa merupakan salah satu kampung di Kecamatan Boawae, yang masuk wilayah administrasi desa Rigi. Kampung Olaewa yang merupakan bagian wilayah Kecamatan Boawae, berbatasan dengan perbukitan-perbukitan dan lembah- lembah. Jarak kampung Olaewa ke pusat kota Kecamatan Boawae kurang lebih 8 km. Letak Kampung Olaewa berdekatan dengan jalan besar (jalur lintas utama) penghubung antara wilayah Flores bagian timur dan bagian barat.

Kampung Olaewa sendiri memiliki batasan-batasan wilayah administratifnya sebagai berikut :

- sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Gako dan Leguderu. - sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Rigi.

- sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Toeteda. - sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Solo.

E. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa 1. Kondisi Topografi

Wilayah Boawae beriklim tropis dengan dua musim yang selalu bergantian yaitu musim barat yang membawa hujan, dan musim timur yang membawa kemarau (kekeringan). Musim hujan biasanya dimulai bulan Oktober sampai April sedangkan musim panas (kemarau) mulai bulan Mei sampai September. Suhu rata-rata wilayah Kecamatan Boawae berkisar antara 24o sampai 34o. Batas tertinggi suhu pada musim kemarau adalah 34o.

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa Kecamatan Boawae mengalami musim kemarau selama 5 (lima) bulan yaitu Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober.

Tabel 3

Curah Hujan di Kecamatan Boawae 2005

Sumber: Kantor Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo

Bulan Curah Hujan(mm) Hari Hujan(Hari)

(1) (2) (3) 1. Januari 240.50 16 2. Pebruari 265.50 11 3. Maret 275.50 14 4. April 104.50 9 5. Mei - - 6. Juni - - 7. Juli - - 8. Agutus 54.50 2 9. September - - 10. Oktober 104.00 5 11. November 50.50 3 12. Desember 465.00 19 Rata-Rata 195 10

Data tabel di atas memakai data 2005, dengan alasan karena kondisi iklim dan cuaca belum mengalami perubahan yang signifikan. Tanah di wilayah Boawae tergolong sangat subur karena faktor struktur tanah yang terdiri atas tanah hitam (vulkanis muda) dan tanah berkapur. Dengan adanya tanah vulkanis muda maka tanah di daerah Kecamatan Boawae sanga t baik untuk lahan pertanian baik pertanian tanah kering maupun tanah basah (sawah). Ketinggian dari permukaan laut merupakan salah satu faktor yang menentukan jenis kegiatan penduduk dan jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut.

2. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Olaewa

Pemenuhan tingkat kebutuhan hidup masyarakat di kampung Olaewa sebagian besar masih bergantung pada sistem pertanian, perkebunan, dan juga sudah ada yang beternak. Penjelasan di awal, dikatakan bahwa segala aspek pemenuhan kebutuhan hidupnya masyarakat di Kampung Olaewa tidak bisa melepaskan dengan tanah, tanah menjadi sumber penghidupan. Kondisi saat masyarakat masih di kampung lama, dulunya masyarakat mudah dalam melakukan pemenuhan kebutuhan hidupnya, namun saat ini untuk melakukan pemenuhan kebutuhan masyarakat harus menempuh jarak yang cukup jauh, saat ini masyarakat menjadi sangat mudah dalam mengakses sarana dan prasarana, menuju pusat pasar, kota untuk menjual hasil perkebunan setelah masyarakat pindah di Olaewa menjadi dekat. Jarak tempuh Kampung Dhuge kurang lebih belasan kilometer, bisa dibayangkan jika masyarakat masih tetap tinggal di tempat tersebut jika disesuaikan dengan zaman ini. Letak Kampung Dhuge berada di bawah kaki gunung Ebulobo, untuk mencapainya harus melewati hutan yang lebat dan penuh dengan binatang-binatang buas.

Kampung-kampung yang dulunya menjadi pusat tempat tinggal bagi masyarakatnya, justru saat ini dipakai menjadi perkebunan yang ditanami berbagai macam tanaman mulai dari kopi, jagung, pohon aren, dan juga umbi-umbian. Kondisi kampung yang tadinya dihuni untuk tempat tinggal, saat ini dijadikan tempat untuk berladang. Dalam disiplin ilmu antropologi ladang berpindah-pindah diistilahkan dengan shifting cultivation atau slash and burn agriculture atau swidden agriculture, yang oleh Koentjaraningrat akan meliputi empat unsur pokok dalam cara bercocok tanam tersebut, yaitu:

1. Membersihkan lahan, biasanya dengan cara menebang atau membakarnya. 2. Lahan tersebut ditanami satu kali atau paling banyak tiga kali tanam.

3. Lahan yang sudah tidak digunakan akan dibiarkan sampai beberapa tahun, biasanya 10 sampai 15 tahun, hingga kemudian menjadi hutan kembali.

4. Setelah mengalami fase ketiga di atas, lahan tersebut akan ditanami kembali.46 Kehidupan masyarakat dahulu masih sangat heterogen, masyarakat masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan cara berladang. Tanaman-tanaman khusus yang sering di tanam, antara lain: padi, jagung, kacang, kastela, jewawut, jali, wata, wete, keo, lenge. Masyarakat kampung mulai menanam padi di ladang, dilakukan dengan secara bergotong royong beserta seluruh sanak famili, untuk mempersiapkan lahan terlebih dahulu masyarakatnya membersihkan segala macam rumput dan memotongnyanya sehingga lahan benar-benar bersih, masyarakat sering menyebutnya dengan kota woka, ladang- ladang kering yang akan ditanam harus benar-benar bersih dari rumput dan sampah,

46 Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial–Ekonom, Jogjakarta: Yayasan Ambarukmo, 2001, hlm. 145.

setelah lahan dibersihkan, saatnya tanah segera dibalikkan agar tanah yang kering berada di bawah dan yang lembab berada di atas. Pria dan pemuda-pemuda dewasa pagi-pagi mereka sudah membentuk regu-regu yang terdiri dari 7-10 orang. Tiap orang membawa sebatang bambu aur ukuran kecil yang sudah dibuang ranting-rantingnya dan ditajami ujungnya, lalu tiap regu berdiri sejajar mulai urutan paling ujung petak yang akan ditanam, dengan berjalan melangkah yang sama sambil menyanyikan koor lagu tanam padi yang disebut dengan joki lomi-lomi, diikuti dengan kegiatan menancapkan ujung bamboo aur ditanam dan membuat lubang di tanah sedalam kurang lebih 5cm dan antara satu lubang dan lubang berikutnya kurang lebih jaraknya 3cm. Para wanita-wanita mengambil bibit padi dan kemudian sambil berjejer di belakang pria yang sedang menusuk

bamboo aur47 untuk membuat lubang. Sambil berjalan dan bernyanyi dengan lagu

o ine gena (dewi sri atau dewi padinya masyarakat Nagekeo) tujuannya untuk memohon menyuburkan padi-padi, sambil memasukan 4-5 biji padi ke dalam lubang-lubang yang telah dibuat oleh para pria tadi, selanjutnya untuk menutup lubang-lubang yang telah diisi dengan biji-biji tadi kemudian masuklah anak-anak yang berumur 8-15 tahun untuk membawa cabang-cabang pohon aur yang lebat daunnya sambil menyeret cabang-cabang pohon aur melintasi lubang dengan maksud untuk menutupi lubang dengan tanah menggunakan cabang pohon aur

yang berdaun lebat. Bila sudah sampai di ujung ladang yang terakhir, setelah menyanyikan lagu o ine gena, kemudian kaum bapak dan pria menyerukan yel- yel

bhoya ya..yaya….yaya (2 kali), kemudian para ibu dan wanita melanjutkan

47 Bamboo Aur atau disebut juga “bambu aur” digunakan oleh masyarakat untuk membuat lubang sebelum di tanami bibit.

dengan yel- yelnya lele..lele-lele..lele..yii dan anak-anak dengan yel- yelnya sama seperti kaum bapak dan pria dewasa bho..ya ..ya..yaya (2 kali). Sesudah semuanya selesai barulah makan bersama dilakukan di luar ladang yang baru ditanam dan (dilarang memasuki kembali ladang tersebut dengan alasan apapun). Sesudah makan mereka pulang menuju kampungnya dalam suatu arak-arakan panjang tetapi dalam keadaan diam dan tidak boleh bersuara. Cara ini dilakukan membuktikan bahwa masyarakat sudah mulai mengenal waktu dan pengaturan tanam dari mulai waktu tanam, cara menanam hingga panen, secara religious tidak terlepas adanya kepercayaan roh leluhur dan Tuhan yang berkarya, tanpa bantuannya tidak akan membuahkan hasil apa-apa.

Masyarakat adat yang tergabung dalam komunitas kampung Olaewa, masih sangat erat sekali dengan alam. Alam menjadi tumpuan dalam kehidupan mereka. Pengairan dalam mengelola hasil perkebunan, menggunakan mata air yang biasa dikenal dengan mata air dhuge atau mata dhuge. Letaknya yang cukup jauh di atas gunung, persis di sebelah perkampungan induk dari kampung Olaewa yakni kampung Dhuge yang juga pusat leluhur masyarakatnya. Modernitas berkembang saat ini, sangat dirasakan ialah pemanfaatan akan air bagi masyarakat tidak hanya masyarakat kampung Olaewa akan tetapi masyarakat kecamatan Boawae salah satunya menggunakan mata dhuge sebagai sumber kehidupan mereka, untuk mandi, masak, minum, dengan menyalurkan melalui pipa dan di tampung dalam bak.

Sawah yang ada di kampung Olaewa dan umumnya di Kecamatan Boawae, hampir pada umumnya menggunakan sawah tadah hujan,

ketergantungan dengan hujan sangat besar hingga saat ini. Sistem irigasi di daerah ini hampir tidak dijumpai, karena alam daerah ini untuk bertani dan berladang masih membutuhkan hujan sebagai satu sumber paling penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, disisi lain letak daerah yang berbukit-bukit dan pegunungan. Saat panen masyarakat adat melakukan pembacaan doa.48

Doa dengan maksud agar masyarakat adat dalam kampung selalu mengingat keagungan leluhur dan mendoakannya supaya hasil panen untuk ke depannya nanti dapat menghasilkan hasil yang berlimpah dan banyak serta tinggi seperti gunung Ebulobo atau bahkan melebihinya, demi kesejahteraan keluarga dan seluruh kaum kerabat yang terikat dalam kamunitas kampung, sekaligus meminta berkat dan doa dari leluhur.

Penghormatan terhadap leluhur dianggap sesuatu yang mutlak dan wajib untuk dihormati, apabila tidak dilaksanakan akan mendatangkan musibah yang besar. Masyarakat adat Kampung Olaewa memiliki berbagai macam ritual, diantaranya adalah Ritual Koa Ngii yakni seorang wanita yang telah melampaui tingkat kedewasaan dan sudah cukup umur untuk siap dinikahi diwajibkan untuk meratakan giginya, dimaksudkan agar wanita yang bersangkutan tersebut menjadi seorang wanita dewasa yang siap untuk mengarungi kehidupan bersama keluarga

48 Isi doa sebelum melakukan panen ialah: Mai pae kea pae pa to pae bha ngitu ngeta kati kela keli dota babu ne zoka mai dia tuka te misu witu diu liu tenga telu degha egho ledha dia manu bepha pali ta wi wo pa’u ne ngau-ngau jeka manu ta kako au pagho ne talo-talo jeka kisa kobe ne manu kako foko ne momo jeka boa ne wonga wolo nage to’u tolo kami ana weta woso edi ne’e manu ta lalu to mo kako nago dia dhuge wawo ne’e manu ta lalu to mo kako nago dia dhuge wawo ne’e topo ta cua lobo mo’o so sibha dhawe ta ka’nai weta nai ala ila lae po zebu ta lima dhodho ne jeto alu bhia gase ngize tepi sea lela bui bhia miku kumi ghegha kau kelo bhia jata wetu eko, he so maja-maja dia ana weta ka -ka toto ae meze so neka tolo ta’i dhe wedha-wegha mo pae kami dia tuka te’e, pae kami tobu lewa lobo-lobo bai bhoko tuga ne abu uza, abu uza bai kua kesa ne lena mena, lena mena bai kepa ngo ne wai ta jawa pogo, jawa pogo bhai bhoko pae ka obu latu lewa lobo mai pae.

secara matang dan mandiri, yang lain adalah ritual Toa Lako, masyarakat kampung khususnya para pria melakukan perburuan terhadap seekor binatang babi hutan, dimaksudkan agar mengusir roh-roh jahat, dan yang terakhir ialah Ritual Etu, dilakukan dengan tujuan sebagai ungkapan syukur yang berlimpah terhadap kekuasaan sang dewa zeta dan memohon perlindungan dan doa dari gae zale. Perkembangan zaman yang terus melesat tinggi, dalam masyarakat di Kampung Olaewa merasa perlu untuk mempertahankan nilai warisan leluhur, yang sakral dan berfungsi ialah Ritual Etu yang tetap dilaksanakan.

Dokumen terkait