• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG

C. Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kebutuhan Program Food

Tanaman Di Atas Lahan Dengan Skala Besar Dikaitkan dengan PP No.

18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman

Program food estate merupakan suatu program pemerintah yang menggunakan cara percepatan dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional bagi seluruh rakyat dengan dasar hukum PP No.18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, dengan mengandalkan para pengusaha-pengusaha besar (investor) di bidang pertanian, namun tidak melibatkan cara langsung masyarakat petani yang memiliki kompetensi yang cukup besar apabila dibudidayaakan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Oleh karena itu program food estate yang dijalankan oleh pemerintah tersebut pada prinsipnya tidak menyentuh secara langsung pemberdayaan masyarakat petani secara luas karena hanya melibatkan investor-investor besar yang menanamkan modalnya di bidang usaha budidaya tanaman atau di bidang pertanian.82

82 Achmad Suryana, Ketahanan Pangan Dan Keamanan Energi Untuk Kebangkitan Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim SeIndonesia, Bogor, 2008, hal.21

Program food estate menjadikan karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis-desa) dan family-based agriculture (pertanian berbasis-keluarga) menjadi corporate-based food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture productio (produksi pertanian).

Hal ini merupakan suatu trobosan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional, namun cara pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan nasional justru membuat akses masyarakat petani atas kepemilikan tanah untuk dijadikan lahan pertanian menjadi lebih kecil sehingga masyarakat petani tidak mempunyai kesempatan melakukan produksi sendiri di bidang pertanian.83

Pergeseran tersebut semakin menyudutkan petani. Petani dihadapkan secara langsung dengan perusahan-perusahan besar yang dengan kekuatan modal besar dan dukungan penuh pemerintah dapat memproduksi dalam skala besar dengan cara mengambil alih lahan pertanian milik petani yang masih produktif.

Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 Tentang Pangan menyebutkan, bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan eksistensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan.

Mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Indonesia sebagai negara

83Bustanul Arifin, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta,2004, hal. 32

dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia oleh Pemerintah.

Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk didalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional sesuai Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan dalam arti luas yang mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik produk primer maupun produk olahan. Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia.84

Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak asasi manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan kondisi terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah

84 Dwidjono Hadi Darwanto, Ketahanan Pangan Berasis Produksi dan Kesejahteraan Petani, JurnalIlmu Pertanian, 2005, 12(2):152-164

pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia terutama seperti yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, dimana Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia.

Pelaksanaan food estate untuk ketahanan pangan yang membutuhkan lahan pertanahan dalam skala luas, peralihan hak atas tanahnya dari masyarakat petani kepada pemerintah atau investor yang melaksanakan program ketahanan pangan nasional berupa food estate tersebut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pertanahan, khususnya dalam bidang pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana termuat dalam Perpres No. 71 Tahun 2012, sebagaimana telah mengalami perubahan srbanyak empat kali dan terakhir dengan perpres No. 148 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.85

Namun demikian pengalihan hak atas tanah dalam rangka dari pemiliki tanah kepada para investor dalam rangka melaksanakan program food estate harus sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang perubahan sebanyak empat kali atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

85Bustanul Arifin, Ibid, hal.36

Di dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa, “Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (9) Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa,

“Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui kementerian”, sedangkan yang dimaksud dengan ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah (Pasal 1 ayat (10)).

Pasal 76 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebutkan bahwa,

1. Ganti kerugian dalam bentuk uang diberikan dalam bentuk mata uang rupiah

2. Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk uang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah bersarkan validasi dari ketua pelaksana pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk.

a. Validasi dari Ketua Pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak berita acara kesepakatan bentuk ganti kerugian.

3. Pemberian ganti kerugian bersamaan dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak

4. Pemberian ganti kerugian dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah Pada dasarnya para investor yang membutuhkan lahan pertanahan dalam pelaksanaan program food estate tersebut melakukan musyawarah mufakat terhadap masyarakat pemilik tanah tempat dimana program food estate akan

dilaksanakan dalam menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi atas pengambil alihan tanah dari masyarakat pemilik tanah tersebut.86Hal ini sesuai dengan Pasal 68 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menyebutkan bahwa

1. Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai diterima oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah 2. Pelaksana musyawarah dilaksanakan dengan mengikutsertakan instansi

yang memerlukan tanah

3. Musyawarah dilakukan secara langsung untuk menetapkan bentuk ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian

4. Dalam musyawarah pelaksanaan pengadaan tanah menyampaikan besarnya ganti kerugian hasil penilaian ganti kerugian

Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam hal bentuk besarnya ganti rugi maka musyawarah dapat dilaksanakan lebih dari satu kali oleh pihak yang membutuhkan lahan pertanahan tersebut. Apabila kedua belah pihak dalam musyawarah mufakat untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi telah mencapai kata sepakat maka kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam berita acara kesepakatan yang memuat antara lain adalah87:

a. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang setuju beserta bentuk dan besarnya ganti kerugian yang disepakati

b. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang tidak setuju c. Pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak memberikan kuasa

Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam hal bentuk besarnya ganti rugi pihak yang berhak atas tanah dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri tempat dimana tanah tersebut berada dalam waktu paling lama 14 (empat

86 Achmad Suryana, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, BPFE, Yogyakarta, 2003, hal. 32

87Ibid, hal. 33

belas) hari kerja setelah ditanda tangani berita acara hasil musyawarah tersebut.

Selanjutnya pengadilan negeri memutuskan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan oleh pihak pemilik tanah yang berhak. Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk ganti kerugian sebagaimana tersebut di atas dapat berdiri sendiri maupun digabungkan menjadi satu bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik tanah yang berhak sesuai dengan nilai ganti kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh penilai. di dalam musyawarah mufakat dalam hal pelepasan hak atas tanah maka diutamakan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang. Apabila terjadi penitipan ganti kerugian, instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penitipan ganti kerugian kepada ketua pengadilan negeri pada wilayah lokasi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut. Penitipan ganti kerugian diserahkan kepada

pengadilan negeri pada wilayah lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dalam hal88:

a. Pihak yang berhak menolak untuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke pengadilan.

b. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

c. Pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya

d. Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian : 1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan

2. Masih dipersengketakan kepemilikannya 3. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang 4. Menjadi jaminan di bank

Bentuk ganti rugi yang dititipkan di pengadilan negeri adalah bentuk mata uang rupiah dan dibuat dalam berita acara penitipan ganti kerugian. Apabila pihak pemilik tanah yang berhak menolak dan atau besarnya ganti kerugian yang tidak mengajukan keberatan atas penetapan ganti kerugian tersebut, ganti kerugian dapat diambil dalam waktu yang dikehendaki oleh pihak pemilik tanah yang berhak dengan surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah (Pasal 87).

Apabila pihak yang berhak menolak bentuk dan atau besarnya ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan negeri / mahkamah agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka ganti kerugian dapat diambil oleh pihak yang berhak

88 Nurhasan Ismail, Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 75

setiap saat apabila pihak yang berhak tersebut menghendakinya dengan membawa surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah.89

Pasal 97 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebutkan bahwa, “dalam pelaksanaan pelepasan hak atas tanah objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut maka pelaksana pengadaan tanah wajib :

a. Menyiapkan surat pernyataan pelepasan / penyerahan hak atas tanah atau penyerahan tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

b. Menarik bukti penguasaan atau pemilik objek pengadaan tanah dari pihak yang berhak

c. Memberikan tanda terima pelepasan

d. Membubuhi tanggal, paraf dan cap pada sertipikat dan buku tanah bukti kepemilikan yang sudah dilepaskan kepada negara

Dalam pelaksanaan pelepasan hak penerima ganti rugi atau kuasanya wajib :90

a. Menandatangani surat pernyataan pelepasan / penyerahan hak atas tanah atau penyerahan tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

b. Menandatangani berita acara pelepasan hak

c. Menyerahkan bukti-bukti penguasaan atau kepmilikan objek pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui pelaksana pengadaan tanah

d. Penyerahan salinan /fotocopy identitas diri atau identitas kuasanya

89 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2011, hal.2.

90Ibid,hal.3

Program food estate dalam pelaksanaannya membutuhkan lahan yang cukup luas harus melakukan peralihan hak atas tanah dari para pemilik tanah dengan cara ganti rugi. Peralihan hak atas tanah dari para pemilik tanah yang umumnya adalah petani di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur tersebut dilakukan oleh para investor dengan melakukan pendekatan kepada para pemilik tanah yang ada di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan program food estate dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan tersebut bukan merupakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tetapi merupakan pengadaan tanah untuk kepentingan para investor dalam upaya memperoleh lahan pertanahan sebagai tempat dilaksanakannya usaha budidaya tanaman dalam skala luas untuk mewujudkan program food estate tersebut.91

Pelaksanaan peralihan hak atas tanah dari para pemilik tanah kepada para investor dilaksanakan dengan cara negosiasi untuk mencapai kesepakatan harga sehingga dapat dilaksanakan peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi apabila telah tercapai kesepakatan antara para pemilik tanah dengan investor yang melaksanakan program food estate tersebut. Apabila tidak tercapai kesepakatan harga antara investor dan para pemilik tanah maka tidak boleh ada pemaksaan berupa penitipan uang ke pengadilan (konsignasi) ataupun dengan melakukan pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.

Apabila investor tidak mencapai kesepakatan harga dengan para pemilik tanah

91Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hal.1-2

maka investor wajib mencari lahan pertanahan yang lain hingga bisa mencapai kesepakatan harga dengan para pemilik tanah tersebut.92

Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan suatu pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan luas tanah tertentu untuk dijadikan tempat pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum. Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut maka ketentuan tentang fungsi sosial hak atas tanah yang termuat di dalam Pasal 6 UUPA yang menyebutkan, “Bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”, dapat diberlakukan dengan menggunakan cara ganti rugi dalam peralihan hak atas tanah milik individu / anggota masyarakat tersebut.93

Meskipun dalam pengambilalihan hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dari pemilik tanah kepada pemilik tanah yang diwakili kementerian pertanian dapat dipaksanakan pelaksanaan melalui penitipan ganti rugi dalam bentuk uang ke pengadilan negeri tempat dimana tanah tersebut berada, namun pada dasarnya yang paling penting adalah pelaksanaan ganti rugi tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan nilai ganti rugi berdasarkan harga pasar yang berlaku saat terjadinya pelepasan hak atas tanah tersebut dan juga harus memperhatikan nilai-nilai keadilan dalam melakukan pengambilalihan hak atas tanah dari pemilik tanah yang sah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pemilikan benar-benar dapat merasakan manfaat atas pelepasan hak dari tanah tersebut kepada pemerintah

92 Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hal.10

93Ibid, hal.11

dalam pelaksanaan program food estate. Keadaan ekonomi dari pemilikan harus lebih baik lebih / lebih sejahtera dari sebelumnya, saat terjadinya pelaksanaan ganti rugi hak atas tanah dari pemilik tanah tersebut, sehingga pelaksanaan ganti rugi tersebut benar-benar dapat menguntungkan para pemilik tanah.

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI PEMILIK HAK ATAS TANAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA

A. Konsep Perlindungan Hukum

Hukum hadir dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut94. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kepentingannya tersebut. Pemberian kekuasaan, atau yang sering disebut dengan hak ini, dilakukan secara terukur, keluasan dan kedalamannya.

Suatu kepentingan merupakan sasaran hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga karena ada pengakuan terhadap itu. Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, tapi juga kehendak. Hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.95

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

94Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 53.

95Ibid, hal. 54

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindugan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.96

Perlindungan hukum dalam Bahasa Inggris disebut legal protection, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Pengertian perlindungan hukum sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut dalam sebuah hak hukum. Perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan berlandaskan hukum dan perundang-undangan.97 Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara.

Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa

96 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, hal. 64.

97 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia (sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara),Surabaya, PT. Bina Ilmu, hal. 38.

yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.

Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konsep perlindungan hukum, yang tidak lepas dari perlindungan hak asasi manusia, merupkan konsep Negara hukum yang merupkan istilah sebagai terjemahan dari dua istilah rechstaat dan rule of law. Sehingga, dalam penjelasan UUD RI 1945 sebelum amandemen disebutkan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.98

Teori Negara hukum secara essensial bermakna bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law), semuanya ada dibawah hukum (under the rule of law), dengan kedudukan ini, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).99

Respons terhadap kondisi negara yang memprihatinkan karena saat itu dipimpin oleh orang-orang atas dasar kesewenangwenangan. Dalam pandangannya, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi, yaitu:

98Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), 2004, Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal.3.

99Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, hal. 15.

(1) pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum,

(2) pemerintah dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi,

(3) pemerintah berkostitusi, berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan seperti yang dilaksanakan pemerintahan despotis.

Pemikiran tentang negara hukum ini dilatari oleh situasi dan kondisi yang sama, yaitu merupakan reaksi terhadap kekuasaan yang absolut dan sewenang-wenang. Konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

a. Perlindungan hak asasi manusia.

b. Pembagian kekuasaan.

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

d. Peradilan tata usaha Negara.100

Adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebut dengan dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

a. Supremacy of Law (supremasi hukum).

b. Equality before the law (persamaan di depan hukum).

c. Due Process of Law (proses hukum yang adil).101

100 Harjono, 2008, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal. 357.

101A.V. Dicey, 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Terjemahan dari Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Nusamedia, Bandung, hal. 254-259.

Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan rule of law diintegrasikan pada pencirian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Perumusan kembali ciri-ciri

Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan rule of law diintegrasikan pada pencirian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Perumusan kembali ciri-ciri