• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS TANAH MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS TANAH MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH TESIS. Oleh"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

MESTIKA DEWI SARI SAGALA 167011097 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MESTIKA DEWI SARI SAGALA 167011097 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

2. Dr. Rudy Haposan Siahaan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 4. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum

(5)

Nama : MESTIKA DEWI SARI SAGALA

Nim : 167011097

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS TANAH MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : MESTIKA DEWI SARI SAGALA Nim : 167011097

(6)

luas. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum kepemilikan tanah, bagaimana peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate terhadap perusahaan pertanian (investor) dalam program budidaya tanaman di atas lahan dengan skala besar dikaitkan dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dan bagaimana perlindungan hukum terhadap petani pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan hukum pertanahan di Indonesia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang- Undang No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dimana penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang timbul, lalu mencari jawaban yang benar sebagai solusi dari permasalahan tersebut.

Hasil pembahasan dari permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah Pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh perorangan maupun badan hukum berdasarkan Undang-Undang No.

56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah bertentangan dengan PP No. 18 Tahun 2010. Pelaksanaan program food estate di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Merauke juga bertentangan dengan PP No. 18 Tahun 2010 dalam hal batas maksimum luas tanah yang boleh dikuasai untuk pelaksanaan usaha budidaya tanaman oleh investor. Peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate dalam rangka ketahanan pangan berdasarkan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikaitkan dengan UUPA adalah pihak perusahaan (investor) yang membutuhkan lahan pertanahan untuk kepentingan program food estate wajib melakukan ganti rugi atas lahan pertanahan milik petani. Perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate melalui usaha budidaya tanaman dikaitkan dengan hukum positif Indonesia adalah bahwa pemilik hak atas tanah tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan cara ganti rugi berdasarkan kesepakatan sesuai harga pasar antara petani selaku pemilik tanah dan investor.

Kata Kunci : Food Estate, Peralihan Hak Atas Tanah dan Batas Maksimal Luas Tanah

(7)

18/2010 on Crop Cultivation. This program needs a wide agricultural land area.

The research problems are how about the regulation on lad acquisition from farmers in implementing the program concerning maximum boundary of the area of land ownership, how about land title transfer for the need of the program toward investors in the program of crop cultivation on a wide land area related to PP No. 18/2010 on Crop Cultivation, and how about legal protection for the farmers who have land rights in the implementation of the program related to the Land Act in Indonesia.

The research used juridical normative method which analyzed the legal provisions such as Law No. 5 on the Agrarian Affairs, Law No. 56 Prp 1960 on Regulation on Agricultural Land Area, and PP No. 18/2010 on Crop Cultivation.

The nature of the research was descriptive analytic approach which described, explained, and analyzed the research problems and solved them.

The result of the research shows that the regulation on land acquisition of farmers’ land rights for implementing Food Security program, related to the maximum boundary of individual or legal entity land area based on Law No. 56 Prp 1960 on Regulation on Agricultural Land Area, is contrary to PP No.

18/2010. The implementation of the program in Bulungan Regency, East Kalimatan Province and in Merauke Regency is also contrary to PP No. 18/2010 concerning maximum boundary of land area which is allowed to be controlled by investors. The land transfer for the need of the program based on PP No.

18/2010, related to the land Act, is that investors who need land for implementing Food Estate program are required to compensate farmers for the acquired land.

Legal protection for land owners in the implementation of the program related to the Indonesian positive law is that land owners must not be treated arbitrarily, and the land transfer has to be carried out based on the agreement on the market price between farmers as the land owners and investors.

Keywords: Food Estate, Land Transfer, Maximum Boundary of Land Area

(8)

atas karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah saya menyusun dan memilih judul : “PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI

PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS

MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH”. Saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Prof. Dr. Syafrudidin Kalo, SH, M.Hum dan Dr. Rudy Haposan Siahaan, SH, M.Kn, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Kepada Dosen penguji Dr. T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum yang telah memberikan masukan / arahan sehingga memperkaya tesis ini.

(9)

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA., selaku Sekretaris Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Kepada orang tua Ayahanda Bilmar Sagala dan Ibunda Agustina Simanjuntak terima kasih atas doa dan dukungan kepada penulis.

7. Kepada kakanda Chrisma Yanti Sagala, dan adek-adikku Boctor Maruli Tua Sagala, Weli Very Sagala, Alex Sander Sagala dan Destisa Nainggolan yang selalu memberikan dukungan dan kesabaran tanpa batas serta menjadi

(10)

memberikan dukungan dengan penuh kesabaran. Terimakasih atas Doa dan kesabarannya sayang.

9. Teman-teman seperjuangan khususnya angkatan 2016 kaka ku Herlina Hasibuan, ka Faizah, ka May, bang Mora, bang fredy, Khoruddin dan teman- teman yang lain senang bisa berteman dengan kalian semua, Trimakasih atas dukungan dan kebersamaan selama diperkuliahan.

10. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2018 Penulis

Mestika Dewi Sari Sagala

(11)

Nama : Mestika Dewi Sari Sagala Tempat / Tgl. Lahir : P.Harapan / 7 Juli 1989

Alamat : Jln. Kemiri No. 36I Helvetia Medan

Status : Belum Menikah

Agama : Protestan

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Advent Harapan Lulus Tahun 2001

2. SMP Swasta Santo Yoseph Lulus Tahun 2004

3. SMA Swasta Eka Prasetya Lulus Tahun 2007

4. S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Lulus Tahun 2011 5. S2 Magister Ilmu Hukum Unpad Padjajaran Lulus Tahun 2015 6. S2 Magister Kenotaritan USU Lulus Tahun 2018

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 21

1. Kerangka Teori ... 21

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... 31

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 31

2. Sumber Data... 33

3. Teknik dan Pengumpulan Data ... 34

4. Analisis Data ... 34

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGAMBILALIHAN HAK ATAS TANAH DARI MASYARAKAT PETANI GUNA PELAKSANAAN PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH... 36

A. Gambaran Umum tentang Program Food estate sebagai Landreform di Indonesia ... 36

B. Penetapan Luas Tanah dan Larangan Menguasai Tanah Melampaui Batas Menurut UU No 56 Tahun 1960 ... 56

(13)

BAB III PERALIHAN HAK ATAS TANAH UNTUK KEBUTUHAN PROGRAM FOOD ESTATE TERHADAP PERUSAHAAN PERTANIAN (INVESTOR) DALAM PROGRAM BUDIDAYA TANAMAN DI ATAS LAHAN DENGAN SKALA BESAR DIKAITKAN DENGAN PP NO.

18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA

TANAMAN ... 70

A. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Menurut UUPA No. 5 Tahun 1960... 70

B. Hakekat Dan Defenisi Kepentingan Umum... 79

C. Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kebutuhan Program Food estate Terhadap Perusahaan Pertanian (Investor) Dalam Program Budidaya Tanaman Di Atas Lahan Dengan Skala Besar Dikaitkan dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman... 90

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI PEMILIK HAK ATAS TANAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA... 102

A. Konsep Perlindungan Hukum ... 102

B. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum ... 112

C. Perlindungan Hukum Terhadap Petani Pemilik Hak Atas Tanah Dalam Pelaksanaan Program Food estate Dikaitkan Dengan Hukum Pertanahan Di Indonesia ... 134

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 153

A. Kesimpulan ... 153

B. Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 156

(14)

A. Latar Belakang

Tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia di masyarakat. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari benda tidak bergerak berupa tanah tersebut, karena tanah merupakan sumber kehidupan manusia, sebagai tempat mendirikan rumah tempat tinggal, tempat usaha atau tempat bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu setiap manusia berkeinginan untuk menguasai/memiliki tanah sebagai sarana pendukung untuk melanjutkan kehidupannya dan juga untuk memenuhi kebutuhannya.

Karena fungsi tanah yang sangat penting dalam kehidupan manusia di masyarakat, maka setiap orang akan berusaha untuk mengurus dokumen hak atas tanah yang diduduki/dikuasainya agar dapat menimbulkan suatu kepastian hukum atas tanah yang diduduki/dikuasainya tersebut. Pada prinsipnya pada setiap hak atas tanah yang dimiliki oleh individu terkandung fungsi sosial hak atas tanah, dimana apabila kepentingan umum menghendaki maka hak atas tanah yang dimiliki individu dapat diambil alih oleh negara melalui suatu prosedur hukum ganti rugi yang pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak baik pemilik tanah maupun instansi pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut.1

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD) bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

1Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 46

(15)

Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan tanah merupakan salah satu kekayaan alam yang wajib dilindungi.2

Sebagai negara hukum yang bersifat agraris maka semua tanah yang ada diwilayah negara kesatuan Negara Republik Indonesia pada hakekatnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi kepentingan masyarakat luas yang sebesar- besarnya agar tercipta suatu masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur sebagai tujuan negara menguasai tanah tersebut.3

UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.

Oleh karena itu meskipun setiap hak atas tanah yang dimiliki oleh individu memiliki fungsi sosial, tetapi di dalam prosedur pengambilalihan hak atas tanah tersebut tidak boleh dilakukan oleh pemerintah secara sewenang-wenang.

Pengambil alihan hak atas tanah yang dimiliki oleh individu harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku dan dilakukan dengan tidak merugikan para pemilik tanah tersebut, bahkan para pemilik tanah harus diuntungkan, dan kondisi ekonominya harus lebih baik dari sebelum hak atas tanah yang dimiliki

2 A. P Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1990, hal. 25.

3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 19.

(16)

oleh individu tersebut diambil alih oleh negara untuk kepentingan umum. Apabila dalam pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah yang dimiliki oleh individu, negara bertindak sewenang-wenang dan cenderung merugikan pemilik tanah maka negara telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat digugat oleh para pemilik hak atas tanah tersebut.

Disamping itu pengambilalihan hak atas tanah yang dimiliki individu harus memiliki kemanfaatan bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat luas, atau dengan kata lain pengambil alihan hak atas tanah yang dimiliki individu tersebut oleh negara semata-mata bertujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat sebesar-besarnya.4 Pengelolaan atas tanah yang diambil alih oleh negara harus dilakukan langsung oleh negara dan tidak boleh dilakukan oleh pihak swasta, karena apabila pengelolaan hak atas tanah yang telah diambil alih oleh negara tersebut dilakukan oleh pihak swasta maka dikhawatirkan pemanfaatannya tidak ditujukan kepada masyarakat luas yang sebesar-besarnya tetapi untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Hal ini tentu bertentangan dengan asas-asas fungsi sosial hak atas tanah yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat luas yang sebesar-besarnya bukan untuk kepentingan kelompok / golongan tertentu saja.5

Negara harus memiliki atau membentuk peraturan yang dapat menunjang dan mengakomodir permasalahan-permasalahan mengenai bidang pertanahan, sehingga rakyat mendapatkan perlakuan yang lebih adil mengenai permasalahan

4Muhammad Yamin Dan Rahim, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 76

5 Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Pres, Jakarta, 2004, hal. 89

(17)

dibidang pertanahan. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) menjelaskan mengenai hak menguasai dari Negara tersebut antara lain untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Tujuan dari hak menguasai negara tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yaitu guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Berdasarkan hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 maka ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi dengan tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.6

Pengertian fungsi sosial hak atas tanah maksudnya adalah bahwa apabila kepentingan umum membutuhkan/menghendaki hak atas tanah tersebut, maka hak kepemilikannya dapat dicabut oleh negara melalui suatu prosedur ganti rugi yang wajar. Hal ini sesuai ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 UUPA yang menyebutkan, “Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”.

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :

1. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum

6Ronald Z. Titahelu, Penetapan Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah (Suatu kajian Filsafati dan Teoritik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia, Disertasi PPS Unair, Surabaya, 1993, hal 91.

(18)

Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

2. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.

3. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.7

7Rasmanto Gunawan, Fungsi Sosial Hak atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, Rineka Cipta, Jakarta, 2014, hal. 25

(19)

Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya”.

Selanjutnya didalam Pasal 18 UUPA yang berbunyi, “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya ketentuan Pasal 7 UUPA menyebutkan bahwa, “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.

Pasal 17 UUPA menyebutkan bahwa, “

1. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7, maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) di atur luas maksimum dan / atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

2. Penetapan batas maksimum termasuk dalam ayat (1) Pasal 17 ini dilakukan dengan peraturan perundang di dalam waktu yang singkat

3. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termasuk dalam ayat (2) Pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan- ketentuan dalam peraturan pemerintah.

(20)

4. Tercapainya batas minimum termasuk dalam ayat (1) Pasal 17 ini yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17 dan Pasal 18 UUPA tersebut di atas terdapat asas fungsi sosial hak atas tanah yaitu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak orang lain dan kepentingan umum, serta keagamaan. Sehingga tidak diperbolehkan jika tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Fungsi sosial juga mengandung pengertian bahwa setiap hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

Penguasaan bumi, air, permukaan di atas bumi dan kekayaan alam yang terkandung di bawah bumi oleh negara untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat yang sebesar-besarnya memiliki maksud dan tujuan antara lain sebagai berikut :

1. Fungsi sosial hak milik bertujuan untuk mencapai kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan bersama. Harus terpelihara kelestariannya, setiap perbuatan merusak barang atau benda yang berfungsi sosial adalah perbuatan tercela (amoral) yang harus diberi sanksi (Pasal 15 jo. Pasal 52 UUPA).

(21)

2. Perwujudan fungsi sosial, bahwa untuk sementara dalam kaitannya dengan kepentingan umum, hendaknya dijaga agar kepentingan diri mereka yang ekonominya lemah mendapat perlindungan secara wajar.8

Berpedoman pada tujuan hak menguasai Negara demi kemakmuran rakyat, maka Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan atau hak pakai. Segala sesuatu yang akan diselenggarakan untuk kepentingan rakyat menurut keperluannya tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.9

Salah satu bidang yang dikuasai Negara untuk hajat hidup rakyat ialah kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan primer yang meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Penyediaan lima komoditas pangan strategis yaitu padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi sebagian masih didatangkan dari luar negeri. Ketergantungan pada impor yang secara rata-rata diatas 50% dari kebutuhan, dalam jangka panjang dapat mengancam kemandirian dan kedaulatan pangan. Selain itu, juga merugikan petani dan menguras devisa Negara.10

Dalam rangka menuju kemandirian dan kedaulatan pangan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional (selanjutnya disebut RPJPN) 2005- 2025,

8Denny Wira Atmadi, Pengertian Kepentingan Umum Dalam Pengambilalihan Hak Atas Tanah oleh Negara, Media, Ilmu, Jakarta, 2013, hal. 39

9Syafruddin Kalo, Kapital Selekta Hukum Tanah, Fakultas Hukum USU, Medana, 2004, hal. 35

10Edi Santoso, Percepatan Pengembangan Food estate Untuk Meningkatkan Ketahanan dan Kemandirian pangan Nasional, dalam Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 2014, Volume 1 No. 2, Agustus, hal. 81.

(22)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta sesuai dengan visi-misi program Presiden, maka upaya penguatan pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi yang tercantum dalam Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019 akan dilakukan melalui strategi:

1. Peningkatan Produktivitas dan perluasan areal, diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan terhadap pasar global (impor);

2. Penanganan cadangan pangan dan diversifikasi konsumsi, menjamin akses pangan masyarakat dan meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, baik dari sisi jumlah, keberagaman, maupun mutunya;

3. Mitigasi kerawanan pangan, dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak negatif kondisi iklim/cuaca maupun permasalahan pangan lainnya.11

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan defenisi mengenai kedaulatan pangan adalah hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan system pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menjelaskan defenisi kemandirian pangan adalah kemampuan Negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat

11 Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Madju, Bandung, 2006, hal. 3

(23)

menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Indonesia merupakan Negara agraris, maka pemerintah sepatutnya membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Selanjutnya Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat wajib mewujudkan ketehanan pangan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pagan dan Gizi (selanjutnya disebut PP Ketahanan Pangan dan Gizi), Peraturan Pemerintah Tersebut mengatur mengenai ketersediaan, cadangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran Pemerintah Pusat, Daerah dam Masyarakat serta pengembangan sumber daya manusia dan kerjasama Internasional. Hingga saat ini ketehanan pangan belum dapat terwujud dan krisis pangan masih terjadi di Indonesia.12

Kebutuhan pangan di Indonesia selalu fluktuatif setiap tahunnya, khususnya komoditas pangan utama seperti beras. Kondisi ini dipengaruhi banyak

12 Ibid, hal. 4

(24)

faktor antara lain perubahan iklim (banjir, musim tanam berubah, kekeringan), alih fungsi lahan, serangan hama penyakit, ketersediaan sarana produksi khususnya benih varietas unggul dan pupuk. Berdasarkan alasan tersebut maka pemerintah Kalimantan Timur dengan program Kalimantan Timur Bangkit 2013 melakukan revitalisasi pertanian dalam arti luas untuk memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengembangan budidaya pangan skala luas (Food estate ) yang merupakan bagian dari amanat Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi dan Inpres nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembagunan Nasional Tahun 2010.13 Kemudian dilanjutkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman (selanjutnya disebut PP Usaha Budidaya Tanaman). PP ini mengatur mengenai budidaya tanaman, perizinan usaha budidaya tanaman dan pembinaan dan peran masyarakat dalam usaha budidaya tanaman.14

Food estate (selanjutnya disebut FE) adalah istilah popular dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas ( > 25 Ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai system industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, serta organisasi dan manajemen modern. Selanjutnya konsep FE didasarkan pada keterpaduan sektor dan sub sektor dalam suatu system agribisnis, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kuat.

13Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional (KER) Kalimantan Timur (Kaltim) Periode Triwulan II-2012, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Timur , Kalimantan Timur , 2012, hal. 22.

14Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah (Suatu Kumpulan Karangan), FH UI, Jakarta, 2002, hal. 96.

(25)

FE diarahkan pada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.15

Pengaturan hukum tentang batas minimal dan maksimal luas tanah yang dapat dipunyai dengan suatu hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA, selanjutnya akan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan tersendiri. Tanah yang melampaui batas maksimum tidak akan disita, namun akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Pada prinsipnya ganti kerugian hak atas tanah tersebut dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu, namun karena umumnya yang memperoleh pembagian tanah tersebut berasal dan golongan yang tidak mampu, maka pembayaran ganti rugi hak atas tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah yang kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya.16

Pengaturan luas maksimum tanah pertanian telah ditentukan dalam UU No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Daerah-daerah yang tidak padat (kepadatan penduduk sampai 50 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15 hektar untuk sawah atau 20 hektar untuk tanah kering.

15 Tim Pengembangan Food estate , Buku Pintar Food estate , Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 2.

16 Novita Bimarianti, Pengaturan Hukum tentang Lahan Pertanahan untuk Pertanian, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2012, hal. 35

(26)

2. Daerah-daerah yang kurang padat (kepadatan penduduk 51 sampai 250 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 10 hektar untuk sawah atau 12 hektar untuk tanah kering.

3. Daerah-daerah yang cukup padat (kepadatan penduduk 251 sampal 400 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 7,5 hektar untuk sawah atau 9 hektar untuk tanah kering.17

Pasal 28 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, “Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUPA mengatur tentang batas maksimum luas tanah hak guna usaha yang dapat diberikan kepada perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan yaitu paling sedikit luasnya 5 ha dengan ketentuan jika luasnya 25 ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dari tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Pasal 29 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, “Hak guna usaha diberikan waktu untuk paling lama 25 tahun”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUPA menyebutkan bahwa, “Untuk perusahaan memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (3) UUPA menyebutkan bahwa, “Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaan, jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun”.

17 Rismawan Harianto, Ketentuan tentang Batas Maksimum dan Minimum Penguasaan Lahan Pertanahan oleh Perorangan dan Badan Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hal.79

(27)

Dari ketentuan Pasal 29 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa hak guna usaha untuk usaha pertanian perikanan dan peternakan total jangka waktu hak guna usaha yang dapat diberikan adalah 60 (enam puluh) tahun. Pihak yang dapat mempunyai hak guna usaha atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia adalah :

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

c. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh hak guna usaha, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

d. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu satu tahun tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah.

e. Hak guna usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA

(28)

Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah, dalam hal ini adalah PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”.

Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran hak guna usaha untuk kepentingan perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan meliputi : pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah, pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dan pemberian surat tanda bukti hak guna usaha yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat atas hak guna usaha tersebut.18

Dari uraian di atas dan berdasarkan permasalahan yang ada dalam penelitian ini maka dapat dirumuskan judul yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu : Peralihan Hak Atas Tanah Petani Melalui Program Food Estate Dikaitkan Dengan Batas Maksimum Kepemilikan Tanah”. Masalah yang ada dalam penelitian ini akan dibahas secara lebih mendalam dan terperinci pada bab- bab selanjutnya dalam penelitian ini yang berkaitan dengan pengertian dan hakekat dari asas fungsi sosial hak atas tanah bedasarkan UUPA, cara perolehan lahan untuk pemenuhan kebutuahn pertanian dalam pengembangan pertanian dan perkebunan skala besar (food estate ) dan perlindungan hukum terhadap petani pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program pengembangan pertanian dan perkebunan skala besar (food estate).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan food estate yaitu kegiatan budidaya pertanian (> 25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian

18Dina Safriani, Pendaftaran Hak Atas Tanah Menurut PP No. 24 Tahun 1997, Rajawali Press, Jakarta, 2013, hal. 15

(29)

sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern, dilaksanakan di atas lahan hak guna usaha berdasarkan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 29 UUPA. Namun demikian di dalam pelaksanaan budidaya tanaman sebagai suatu kegiatan usaha oleh perusahaan swasta yang memiliki modal cukup besar didukung oleh penyediaan lahan dalam skala luas yang nantinya akan diperoleh dari masyarakat petani disekitar tempat pelaksanaan program food estate atau kegiatan usaha budidaya tanaman tersebut.

Di dalam pengadaan lahan untuk kegiatan budidaya tanaman oleh perusahaan dengan modal tersebut dilakukan dengan cara peralihan hak atas tanah dari masyarakat petani dengan melakukan ganti rugi. Oleh karena program budidaya tanaman (food estate) tersebut merupakan suatu program pemerintah guna meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia pada umumnya dan disekitar wilayah tempat dilaksananya program food estate tersebut, maka dalam hal perolehan lahan pertanian melalui ganti rugi dari masyarakat petani disekitar wilayah tersebut wajib dilaksanakan dengan menggunakan asas fungsi sosial hak atas tanah guna kepentingan masyarakat luas, sehingga masyarakat petani terlindungi haknya dan tidak dirugikan dalam pelaksanaan program food estate atau budidaya tanaman dalam skala luas tersebut oleh perusahaan swasta dengan modal besar.

Apabila dalam pelaksanaan program food estate tersebut ternyata tidak menyangkut kepentingan masyarakat luas, melainkan hanya untuk golongan tertentu dari perusahaan swasta nasional dengan modal yang cukup besar tersebut,

(30)

maka penerapan fungsi sosial hak atas tanah dalam pelaksanaan pengambilalihan lahan pertanian untuk dijadikan lahan kegiatan operasional food estate atau budidaya tanaman tersebut tidak dapat digunakan. Perusahaan swasta nasional harus melakukan negosiasi langsung dengan masyarakat petani di wilayah tersebut dan melakukan peralihan hak atas tanah untuk dijadikan lahan food estate dengan cara negosiasi dengan masyarakat petani berdasarkan harga pasar yang berlaku pada saat itu. Pengadaan lahan dalam skala besar untuk food estate atau budidaya tanaman yang digunakan oleh perusahaan swasta nasional tersebut tidak boleh bertentangan dengan batas maksimal luas tanah dengan hak guna usaha yang telah ditentukan dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUPA yaitu 25 ha maksimal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan di dalam penulisan ini yaitu :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum kepemilikan tanah?

2. Bagaimana peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate terhadap perusahaan pertanian (investor) dalam program budidaya tanaman di atas lahan dengan skala besar dikaitkan dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap petani pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan hukum pertanahan di Indonesia?

(31)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum kepemilikan tanah

2. Untuk mengetahui peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate terhadap perusahaan pertanian (investor) dalam program budidaya tanaman di atas lahan dengan skala besar dikaitkan dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap petani pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan hukum pertanahan di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dibidang hukum pertanahan pada umumnya dan juga mengenai pelaksanaan fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana termuat di dalam UUPA berkaitan dengan pelaksanaan food estate untuk mendukung ketahanan pangan dalam rangka mensukseskan program pemerintah yaitu :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas, para pemilik tanah, akademisi, praktisi dan pemerintah berupa penerapan fungsi sosial hak atas tanah secara umum bagi kepentingan masyarakat luas dan juga fungsi

(32)

sosial hak atas tanah dalam rangka pelaksanaan program food estate dalam skala besar (25 ha) di Indonesia untuk mensukseskan program pemerintah di bidang ketahanan pangan.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat luas, para pemilik tanah, akademisi, praktisi, pemerintah dan juga pihak-pihak terkait mengenai praktek pelaksanaan program food estate dalam skala besar (25 ha) dalam rangka mensukseskan program pemerintah dalam bidang ketahanan pangan dikaitkan dengan fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana termuat dalam UUPA.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Timur khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Sumatera Timur menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Elfriza Meutia, NIM. 002111008/MKn, dengan judul tesis “Pelaksnaan Pelepasan Hak Atas Tanah Pada Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum (Kajian Pembangunan Pelabuhan Ulee Lheu di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh)”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana prosedur dan tata cara pelepasan hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum?

(33)

b. Bagaimana prosedur dan tata cara pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan pelabuhan Ulee Pelabuhan Ulee Lheu di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh?

c. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi dan solusi dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Pelabuhan Ulee Lheu di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh

2. Azwir, NIM. 087011003/MKn, dengan judul tesis “Pelaksanaan Ganti Rugi Haka Tas Tanah Untuk Kepentingan Umum Pengembangan Abndara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana proses pelaksanaan ganti rugi harga tanah untuk kepentingan umum Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda?

b. Bagaimana faktor penyebab penolakan ganti rugi hak atsa tanah untuk kepentingan umum?

c. Bagaimana upaya penyelesaian ganti rugi harga tanah untuk kepentingan umum?

3. Meilya Normawaty Simanjuntak, NIM 127011101, dengan judul tesis

“Perlindungan hukum terhadap pihak yang berhak atas tanah dalam hal ganti rugi berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum”

Pemasalahan yang dibahas :

(34)

a. Bagaimana menghindari terjadinya konflik antar pihak yang berhak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

b. Bagaimana keberadaan lembaga konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

c. Bagaimana perlindungan hukum dalam hal ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,19 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.20

19JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I), FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203

20M Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

(35)

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam Penelitian ini adalah teori hukum manfaat, teori kepastian hukum dan teori perlindungan hukum.

Menurut Jeremy Bentham yang merupakan salah seorang pelopor teori kemanfaatan hukum, menyatakan bahwa : “Hukum adalah salah satu pedoman tingkah laku manusia yang sifatnya lebih kongkrit dan mempunyai akibat hukum jika hukum tersebut dilanggar atau tidak dipatuhi. Selanjutnya Jeremy Bentham menyatakan bahwa hukum adalah :

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup masyarakat 2. Peraturan yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib

3. Peraturan itu bersifat memaksa

4. Sanksi terhadap pelanggaran aturan itu adalah tegas

Hukum bermanfaat untuk menciptakan ketertiban dalam hidup bermasyarakat serta juga menciptakan keadilan serta perlindungan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa terkecuali yang telah mematuhi ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku dalam segala perbuatan dan tindakannya selaku individu dalam berhubungan hukum dengan individu yang lain didalam masyarakat.21

Menurut Jeremy Bentham apa yang dinamakan sebagai bahan hukum terkandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan.

Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, dipisahkan dari moral dan keadilan tidak

21 Jeremy Bentham dalam Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan teori hukum, citra Aditya Bakti, 2010, hal. 59.

(36)

didasarkan pada penilaian baik-buruk, tetapi hanyalah merupakan Positive moralty. Unsur perintah ini berarti bahwa Pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua Pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiganya hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah Pihak yang berdaulat.

Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Menurut Sudikno Mertukusumo Kepastian Hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik dan benar.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi.

Ada 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :

a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik

c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan satu dengan yang lain.

(37)

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan.

g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam suatu kepastian hukum harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaanya, dengan demikian telah memasuki ranah aksi, perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan dengan baik dan benar sehingga menimbulkan suatu kepastian hukum bagi masyarakat.

Teori ketiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Perlindungan Hukum. Menurut Philipus M. Hadjon negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusia, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di berbagai bidang yang dilakukan oleh Pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan akan tanah dimaksud tidak dapa dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena

(38)

tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang dimilikinya diambil oleh Pemerintah untuk pelaksanaan program yang dicanangkan oleh pemerintah dimana salah satu diantaranya adalah program food estate dalam skala besar 25 ha untuk mendukung program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah.22

Pengambilan alihan hak atas tanah dari masyarakat petani dalam rangka pelaksanaan program food estate dalam skala besar 25 ha untuk mendukung program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas yang termuat di dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, sehingga setiap pelaksanaan pengambilalihan lahan dari para petani untuk program food estate tersebut menimbulkan suatu kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para petani yang lahannya diambil ahli untuk pealksanaan program food estate tersebut.23

Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku itu adalah hukum adat, oleh sebab itu didalam membahas hukum adat tidak boleh terlepas dari sistem yang dianut dalam hukum adat, hal-hal apa yang ada serta hubungan- hubungan hukum antara masyarakat (anggota masyarakatnya) dengan tanah.24

Sesuai dengan Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dengan demikian berarti bahwa hak atas tanah apapun

22Abdurahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 56

23Chadijah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional terhadap hak-hak atas tanah (Medan, yayasan Pencerahan Mandailing, 2008, hal 9

24Meutia Elriza, Pelaksanaan Pelepasan Hak Atas Tanah Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 40

(39)

yang ada pada seseorang, tidaklah boleh bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, sehingga manfaat baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.25 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu implementasi dari fungsi sosial hak atas tanah yang pada intinya menyatakan bahwa apabila kepentingan umum menghendaki maka hak atas tanah pribadi harus mengalah.

Pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu : “ Kepentingan masyarakat pemilik tanah dan kepentingan Pemerintah. Disatu sisi, pihak Pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa harus melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan pembangunan. Sedangkan pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber penghidupan”.

Apabila Pihak Pemerintah tidak memperhatikan dan mentaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya sengketa atau masalah hukum antara instansi pemerintah yang

25Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2009, hal 64

(40)

membutuhkan tanah tersebut dengan para pemilik tanah. Pemilik hak atas tanah ada yang dengan sukarela menyerahkan tanahnya ada juga yang tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan dengan sukarela.

Masalah pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dalam pelaksanaan pembebasan hak atas tanahnya harus sesuai dengan tahapan-tahapan sebagaimana termuat di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012 (yang telah mengalami empat kali perubahan terakhir dengan Perpres No. 148 Tahun 2015), sebagai peraturan pelaksana dalam hal mengatur tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.26

Tanah merupakan benda tidak bergerak yang erat kaitannya dengan kebutuhan hidup manusia sebagai tempat mendirikan tempat tinggal dan sebagai tempat untuk memperoleh mata pencaharian khususnya bagi masyarakat petani.

Selain itu tanah juga merupakan tempat pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku dalam pelaksanaan pembebasan hak atas tanah tersebut guna dipakai untuk tempat pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum termasuk untuk tempat pelaksanaan penanaman aneka jenis tumbuhan yang mendukung ketahanan pangan sebagai suatu program pemerintah pada saat ini.27

Di dalam pelaksanaan pembebasan hak atas tanah bagi kepentingan umum dalam rangka pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana di Indonesia maka

26 Suharnoto Wardiman, Praktek Pelaksanaan Pelepasan Hak atas Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, Rineka Cipta, Jakarta, 2014, hal 66.

27Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2006, hal. 48

(41)

pengaturan hukumnya didasarkan Pasal 18 UUPA yang menyatakan “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat. Hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”.

Di samping itu, pengambilan tanah oleh Negara juga diatur dalam Pasal 1 juncto Pasal 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya yang menyatakan bahwa, “Negara dapat mencabut hak atas tanah milik perorangan tetapi disertai dengan ganti rugi yang layak”. Pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah harus dilakukan secara hati- hati dan merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas) terhadap pemilik tanah yang sah. Upaya-upaya persuasif dan pemberian informasi yang benar kepada masyarakat dan juga pemilik tanah harus dilakukan oleh instansi pemerintah sebelum pelaksanaan pencabutan hak atas tanah tersebut dilakukan.

Berdasarkan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA, suatu hak itu hapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya. Berdasar dari kedua ketentuan tersebut maka pengadaan hak atas tanah tersebut merupakan suatu proses pelaksanaannya membutuhkan peran serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan pembangunan dimana masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksaan dari siapapun.28

28A.P. Parlindungan Berakhirnya Hak – Hak atas Tanah, Cetakan III, CV.Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 48

(42)

Masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah

“menyangkut ganti rugi hak atas tanah yang dipandang tidak wajar oleh masyarakat pemilik tanah yang akan dilepaskan haknya tersebut.29

Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 sebagaimana telah mengalami perubahan sebanyak empat kali tearkhir dengan Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan tafsiran atau penetapan mengenai ganti rugi harus memperhatikan bahwa penetapan ganti rugi haruslah didasarkan pada nilai nyata atau harga tanah, nilai jual bangunan dan tanaman. Dengan tercapainya kata sepakat mengenai ganti rugi di antara para pihak, dapat memudahkan Pemerintah dalam melaksanakan tujuan pengadaan hak atas tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.30 Selain itu Pemerintah dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang serta terlaksananya suatu tertib hukum di bidang pertanahan.31

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.32 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

29 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2005, hal 23

30 Fauzi Noer, Tanah Dan Pembangunan, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal 7

31 A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, Cetakan II, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80

32Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10

(43)

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Perolehan hak atas tanah adalah perbuatan atas peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah oleh orang atau badan hukum termasuk hak pengelolaan terhadap tanah tersebut baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok masyarakat / badan hukum (negara).

2. Peralihan hak atas tanah adalah suatu peristiwa hukum dimana suatu bidang tanah beralih hak kepemilikannya dari pihak yang satu penjual ke pihak lainnya melalui suatu perbuatan hukum jual beli, tukar menukar, hibah dan lain-lain yang mengakibatkan hak kepemilikan atas tanah tersebut telah beralih.

3. Food estate adalah konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas.

4. Fungsi sosial hak atas tanah adalah bahwa hak kepemilikan atas tanah dari seseorang / badan hukum juga memiliki fungsi sosial, dimana apabila kepentingan umum menghendakinya maka hak atasa tanah tersebut dapat dicabut dari pemegang hak miliknya yang sah dengan menggunakan ganti rugi yang wajar dan menguntungkan bagi pemilik tanah.

(44)

5. Pembebasan tanah adalah pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum yang disertai dengan pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut dengan cara yang diatur berdasarkan undang-undang

6. Kepentingan umum adalah suatu kepentingan bersama dari seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali dalam menikmati bersama sarana dan prasarana serta fasilitas pembangunan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.

7. Ganti rugi adalah pemberian sejumlah dana berupa uang / materi lainnya berdasarkan suatu kesepakatan antara pemilik tanah dan instansi pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut dalam upaya melepaskan hak atas tanah tersebut dari pemilik tanah dan mengalihkannya kepada instansi pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut.

8. Objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah atau lainnya yang dapat dinilai

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan

(45)

demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji mengkaji sekunder berupa ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum pertanahan khususnya mengenai fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana termuat di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang berkaitan dengan pelaksanaan program food estate dalam skala luas (25 ha) sebagai suatu program yang mendukung kebijakan pemerintah di bidang ketahanan pangan.

Penelitian ini berupaya untuk melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lahan pertanahan, food estate dan peralihan hak atas tanah untuk kepentingan perusahaan pertanian dalam melakukan kegiatan di bidang budidaya tanaman di atas lahan dalam skala luas.

Pengkajian yang dilakukan adalah dengan menganalisa ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan tersebut untuk kemudian ditentukan suatu kesimpulan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut agar pelaksanaan program food estate yang dilakukan oleh perusahana swasta dengan modal besar dalam hal budidaya tanaman di atas lahan dengan skala luas tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta

(46)

yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.33

2. Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari data sekunder (kepustakaan) diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dan hukum peralihan hak atas tanah melalui proses ganti rugi. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang-Undang Dasar 1945, UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya

33Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2001, hal.

30

(47)

ilmiah hukum dibidang fungsi sosial hak atas tanah pada umumnya dan pelaksanaan program food estate pada khususnya.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.34

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa seluruh data yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum pertanahan khususnya di bidang pelaksanaan program food estate dalam mendukung program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di antaranya adalah UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani35

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan

34Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, hal 16.

35 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media, Malang, 2005, hal. 28

(48)

menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.36 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif.

Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan fungsi sosial hak atas tanah dalam upaya mendukung program pemerintah di bidang ketahanan pangan.

36Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106.

Gambar

Tabel 2.1 Penggolongan Tingkat Kepadatan Penduduk Di Daerah-Daerah yang
Tabel 3.1 Pelaksanaan Program Food Estate di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Merauke

Referensi

Dokumen terkait