• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Satwaliar

Dalam dokumen MANAJEMEN KONFLIK KONSERVASI BANTENG (Halaman 119-123)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan TNAP dan

5.2.4. Gangguan Satwaliar

 

mereka menggarap lahan garapan petani lainnya. Amzu (2007) menyatakan bahwa masyarakat sekitar desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB luas lahan pertaniannya dibawah rata-rata yaitu lebih kecil dari 0,2 ha, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati taman nasional cukup tinggi dibanding desa lainnya .

Luas lahan garapan kurang dari satu hektar termasuk dalam kategori sempit, sedangkan luas 1 sampai 3 hektar termasuk kategori sedang. Jika dilihat dari rata-rata luas lahan garapan yang digarap petani pesanggem tersebut termasuk katagori sempit sehingga hasil produksinya dimungkinkan tidak akan mencukupi kebutuhan dasar petani.

Purwanti (2007) mengelompokan luas lahan garapan menjadi “sedikit” jika luasnya kurang dari 1 hektar, “sedang” jika luasnya 1 – 3 hektar dan “banyak” jika luasnya lebih dari 3 hektar. Petani pesanggem yang luas lahan garapannya lebih dari satu patok (0,25ha) biasanya dikarenakan menggarap lahan punya pesanggem lain . Luas lahan garapan 0,25 ha biasanya berhubungan juga dengan keterbatasan biaya dan tenaga, sebagai contoh untuk menanam kedelai petani butuh biaya pupuk dan bibit sebesar Rp.750.000,- di luar tenaga karena mereka menggarap sendiri. Sehingga sebagian besar petani pesanggem hanya mampu menggarap lahan seluas 0,25 ha atau maksimal 0,5 ha karena kalau lebih luas dari itu petani tidak punya modal untuk biaya penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan.

Petani pesanggem di sekitar TNMB dengan lahan garapan seluas 0,50 hektar, tetapi hasil produksinya tidak sebesar petani di sekitar TNAP. Hal ini dikarenakan topografi lahan garapan yang relatif bergelombang serta sistem bertaninya yang kurang intensif. Di sekitar TNAP lahan garapannya datar dan sistem bertaninya lebih intensif, menggunakan pupuk secara optimal serta pemeliharaan secara teratur.

5.2.4 Gangguan Satwaliar

Di TNAP dan TNMB terdapat gangguan beberapa satwaliar diantaranya banteng. Distribusi gangguan satwaliar pada tiga desa pengamatan disajikan dalam Gambar 25.

Pada Gambar 25 terlihat bahwa satwaliar yang mengganggu ladang petani ada lima jenis. Persentase gangguan tertinggi untuk petani pesanggem di Desa Kalipait TNAP yaitu banteng dengan persentase 31,91%, selanjutnya babi (27,66%), monyet (17,02%), rusa (14,89%) dan burung merak (8,51%). Khusus untuk burung merak hanya mengganggu tanaman padi di blok Gunting dan Sumbergedang yang merupakan lokasi hutan produksi. Gangguan banteng tinggi karena kurangnya pakan dalam kawasan serta jenis tanaman pertanian yang ditanam disukai banteng seperti kedelai, semangka dan jagung. Selain itu dalam lokasi PHBM terdapat sumber air dan rumput terutama di Blok Sumbergedang, serta tanaman mahoni yang kulit batangnya dimakan banteng.

Gambar 25 Persentase gangguan satwa liar di lahan garapan

Responden di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo TNMB mendapat gangguan satwa tertinggi yaitu dari babi dengan masing-masing tingkat gangguan 67,57% dan 48,65% sedangkan gangguan satwa banteng masing-masing 16,22% dan 29,73%, selanjutnya monyet (kera) untuk Desa Curahnongko 16,22% dan Andongrejo 21,62%. Persentase responden yang mendapat gangguan banteng di kedua desa tersebut lebih kecil dibanding dengan gangguan satwa babi. Gangguan banteng tertinggi terjadi di areal Perkebunan Bandealit Desa Andongrejo, sedangkan gangguan babi tertinggi terjadi di zona rehabilitasi. Dalam pengamatan diketahui populasi banteng sebagian besar tersebar pada lahan garapan dan tanaman

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Banteng Babi hutan Monyet Rusa Merak

persentase

Jenis satwa pengganggu

Andongrejo Curahnongko Kalipait

   

perkebunan di areal Perkebunan Bandealit Desa Andongrejo. Hal ini dikarenakan dalam areal Perkebunan Bandealit terdapat jenis-jenis tanaman yang disukai dan dibutuhkan banteng seperti karet, sengon, kopi, jagung, kacang tanah, kedelai, daun padi muda. Selain itu Perkebunan Bandealit arealnya berbatasan langsung dengan habitat banteng di kawasan TNMB sehingga mudah untuk dijangkau.

Gangguan babi hutan pada ladang masyarakat di zona rehabilitasi persentasenya paling tinggi, sedangkan di areal perkebunan dan ladang masyarakat di lokasi perkebunan Bandealit gangguan banteng adalah yang paling tinggi karena hampir semua tanaman dimakan dan dirusak oleh banteng seperti kopi, coklat, vanili, sengon, karet dan tanaman semusim milik pesanggem. Persentase tingkat gangguan satwa dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Persentase tingkat gangguan satwa

Pada gambar 26 terlihat bahwa ladang petani pesanggem di desa Andongrejo semua tanamannya (100%) diganggu satwaliar khususnya banteng dan babi, sedangkan di desa Curahnongko sebesar 92% (khususnya babi hutan dan monyet) dan Desa Kalipait 92,62% (khususnya banteng, babi hutan, monyet dan rusa). Akibat adanya gangguan banteng di ladang masyarakat menyebabkan kerusakan tanaman pertanian masyarakat seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Adanya gangguan banteng terhadap ladang masyarakat dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap keberadaan satwa banteng tersebut.

0 20 40 60 80 100 120 Tidak diganggu Diganggu Persentase Gangguan satwa Andongrejo Curahnongko Kalipait

Tabel 15 Kerugian akibat gangguan banteng di TNMB per hektar lahan

No. Jenis Persentase (%) Besaran (Rp.)

1. Padi 30 1.372.500,-

2. Jagung 20 590.000,-

3. Kedelai 20 570.000,-

4. Kacang tanah 30 1.065.000,-

5. Ketela 20 250.000,-

Sumber: Heriyanto dan Mukhtar (2011)

Selama ini petani melindungi ladangnya dari gangguan satwa liar banteng dan babi dengan cara pemagaran dengan pagar hidup seperti gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth.). Selain itu mereka juga menunggu ladangnya terutama pada malam hari dengan cara menyalakan lampu minyak dan bunyi-bunyian.

Di lokasi bekas penyangga TNAP yang dikelola oleh Perum Perhutani, awal dimulainya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yaitu tahun 2003. Jumlah pesanggem sebanyak 500 KK, sedangkan pada saat dilakukan penelitian jumlah pesanggem di kawasan bekas penyangga dan hutan produksi berkisar antara 60 - 80 KK. Petani pesanggem di bekas penyangga secara bertahap mulai meninggalkan lokasi lahan garapannya. Hal ini dilakukan atas perintah pihak taman nasional, karena masa sebagai pesanggem sudah selesai. Sebenarnya masyarakat masih berharap tetap dapat memanfaatkan kawasan bekas penyangga walaupun hanya dalam bentuk pengambilan hasil dari tanaman yang mereka tanam seperti kemiri , petai dan nangka.

Pada akhir tahun 2010 telah dibuat konsep MOU bahwa kawasan bekas penyangga sebelum pengelolaannya diserahkan ke TNAP, akan dilakukan penebangan terlebih dulu oleh Perum Perhutani. Kesepakatan tersebut akan menimbulkan konsekwensi yaitu kembalinya petani pesanggem ke lokasi bekas penyangga dengan aktivitas bertaninya. Penebangan pohon jati juga akan menyebabkan terganggunya banteng karena kawasan bekas penyangga merupakan koridor satwa khususnya banteng. Sehingga untuk meminimalisir terjadinya konflik perlu dilakukan pengelolaan kawasan bekas penyangga yang melibatkan stakeholders terkait.

   

Dalam dokumen MANAJEMEN KONFLIK KONSERVASI BANTENG (Halaman 119-123)