• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen MANAJEMEN KONFLIK KONSERVASI BANTENG (Halaman 29-33)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Degradasi ekosistem hutan dengan laju penurunan dalam kurun waktu 1990-2000 sebesar 1,6 juta hektar per tahun menyebabkan penurunan kualitas dan luasan habitat satwaliar, dampaknya berlanjut terhadap populasi satwaliar yang terus menurun (Bismark et al. 2003). Jika keadaan ini terus dibiarkan akan berakibat buruk terhadap kelestarian plasma nutfah hidupan liar. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1974 telah memperhatikan masalah konservasi alam termasuk kelestarian plasma nutfah yang kegiatannya diawali dengan dibentuknya Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tahun 1971 dibawah Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tersebut selanjutnya menyusun rencana pengembangan dan penetapan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/ UNDP (Food and Agriculture Organization/United Nation Development Programme) dan usaha penyelamatan satwaliar yang terancam kepunahan atas bantuan WWF (World Wildlife Fund for Nature) (Alikodra 1990).

Upaya penetapan jenis-jenis satwa yang dilindungi hingga usaha perlindungan terhadap satwaliar dan ekosistemnya ditindaklanjuti dengan ditetapkannya lima taman nasional pada tahun 1981 yaitu TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Leuseur, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Komodo. Secara keseluruhan pemerintah telah menetapkan 535 lokasi kawasan konservasi dengan luas 28.260150,56 ha, luasan tersebut meningkat dari sebelumnya yang hanya 23.210.348,57 ha. Dari luasan yang ada diantaranya 57,9% mempunyai status sebagai taman nasional (Ditjen PHKA 2007).

Hingga tahun 2007, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional berjumlah 50 Unit mencakup luas 16.384.594,45 ha (Ditjen PHKA 2007). Kawasan taman nasional ditetapkan berdasarkan kriteria IUCN (1994) adalah kawasan luas relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestariaan yang tinggi, mempunyai potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan bermanfaat bagi wilayah tersebut. Departemen Kehutanan mengimplementasikan kriteria IUCN tersebut untuk

penetapan taman nasional yaitu: a. harus mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; b. memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; e. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Penetapan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) tahun 1993 dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) tahun 1997 adalah berdasarkan potensi ekosistem, flora dan fauna langka dilindungi yang ada dalam kawasan taman nasional tersebut, diantaranya habitat dan populasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1832). Banteng masuk dalam ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Bos dan species Bos javanicus d’Alton 1832. Banteng dinyatakan IUCN (2008) sebagai satwa dalam katagori genting (endangered) yaitu populasi di alam berada pada tingkat resiko kepunahan sangat tinggi , jika tidak ada usaha penyelamatan habitat dan populasinya. Secara ekologis banteng berperan penting dalam sistem regenerasi vegetasi ekosistem hutan, melalui buah dan biji tumbuhan yang dimakan dan disebarkan melalui fesesnya. Manfaat banteng lainnya sebagai sumber plasma nutfah untuk pengembangan dan pemurnian sapi bali melalui perkawinan silang dengan banteng liar sehingga akan meningkatkan ketahanan dan nilai- nilai keunggulan (Alikodra 2011).

Keterancaman populasi dan habitat banteng disebabkan sebarannya yang terbatas hanya pada beberapa kawasan konservasi seperti TN Meru Betiri, TN Baluran, TN Alas Purwo, TN Ujung Kulon, dan CA Leuweung Sancang di Jawa, serta TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan. Habitat banteng di kawasan konservasi mengalami degradasi sekitar 17% sampai 30%. Populasinya mengalami penurunan yang cukup drastis seperti di TN Baluran jumlah populasi tahun 2002 sebanyak 126 ekor dan tahun 2006 tinggal 15 ekor (Pudyatmoko et al. 2007). Populasi di TNMB tahun 2007 diperkirakan 174 ekor, tahun 2009 menjadi

69 ekor (BTNMB 2009), di TNAP tahun 2004 sebanyak 340 ekor, tahun 2006 tinggal 163 ekor (BTNAP 2006). Banteng di Jawa masuk dalam sub spesies Bos javanicus javanicus dan di Kalimantan Bos javanicus lowi ( Lydekker 1912, diacu dalam Alikodra 1983).

Banteng sebagai satwa herbivora yang lebih condong sebagai pemakan rumput (grazer) dibanding sebagai pemakan semak (browser) sangat membutuhkan padang penggembalaan sebagai habitatnya (Alikodra 1983). Habitat banteng di kawasan konservasi sebagian besar sudah mengalami penurunan yang disebabkan oleh pembukaan lahan, adanya enclave dan masuknya tumbuhan invasive species. Invasi dari jenis invasif seperti kirinyuh (Chromolaena odorata), kacangan (Cassia tora), telean (Lantana camara) dan Acacia nilotica telah menginvasi padang penggembalaan banteng lebih dari 50%, seperti yang terjadi di TNMB, TNAP, TNUK dan TN Baluran, sehingga keberadaan populasi banteng terancam karena kurangnya ketersediaan pakan.

Banteng telah dilindungi sejak tahun 1931 dan dipertegas dengan PP No. 7 tahun 1999 karena keberadaan populasinya yang terancam kepunahan. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga menjadi landasan pokok untuk meningkatkan upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan arahan pemanfaatan yang lestari.

Upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Cq Kementerian Kehutanan ternyata belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga ancaman terhadap satwaliar beserta ekosistemnya termasuk banteng terus meningkat. Ancaman tersebut muncul karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang sejatinya bertumpu pada sumberdaya hutan di sekitarnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di desa-desa sekitar taman nasional umumnya masih di bawah UMR (Upah Minimum Regional) dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perburuan dan penebangan pohon secara illegal (Alikodra 2011).

Pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional seringkali memicu terjadinya konflik dengan masyarakat. Terutama karena adanya keterbatasan masyarakat dalam kepemilikan lahan ataupun adanya satwaliar yang keluar dari

kawasan konservasi ke lahan masyarakat seperti terjadi di sekitar TN Way Kambas, TN Gunung Leuseur, TN Tesso Nilo dan TN Bukit Barisan Selatan (Alikodra 2011).

Indikasi adanya konflik dalam konservasi banteng terjadi di TNMB dan TNAP. Banteng sebagai satwaliar yang dilindungi, tetapi masyarakat ingin memanfaatkan banteng dan habitatnya untuk meningkatkan ekonomi yang masih rendah karena keterbatasan lahan khususnya lahan untuk kegiatan bertani yang mereka garap. Konflik meningkat karena dipicu oleh keluarnya banteng dari kawasan taman nasional dan masuk ke dalam areal perkebunan Bandealit di TNMB dan kawasan Perum Perhutani di TNAP, serta merusak tanaman yang ada pada kedua lokasi tersebut. Keluarnya banteng dari taman nasional diduga karena sumber pakan di dalam kawasan tidak dapat memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Keluarnya banteng mengganggu tanaman masyarakat dan menyebabkan konflik yang diindikasikan dengan peningkatan perburuan.

Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dengan satwaliar.

Keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat tergantung pada dukungan berupa partisipasi aktif dan penghargaan terhadap nilai sumberdaya hutan oleh masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang taman nasional sebagai faktor pembatas, maka masyarakat tersebut dapat menggagalkan program dan upaya konservasi yang diindikasikan dengan terjadinya konflik. Namun jika upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu hal yang memberi manfaat, maka masyarakat setempat akan melindungi kawasan tersebut (MacKinnon et al. 1993). Sehingga arah pengelolaan taman nasional termasuk spesies di dalamnya harus dapat memberikan petunjuk model kemanfaatan bagi masyarakat sekitarnya.

Taman Nasional dapat dimanfaatkan dalam bentuk ekowisata, pemanfaatan plasma nutfah sebagai sumber genetik dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi sangat memungkinkan dilakukan pengelolaan kolaborasi yang dapat meningkatkan pemanenan berupa HHBK seperti madu dan

tanaman obat dalam meningkatkan pendapatan tanpa mengancam biodivesitas (Fisher 1995).Di TNMB ditemukan tidak kurang 239 jenis tanaman yang terbagi dalam 78 famili dan 77 jenis diantaranya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai obat tradisional. Heriyanto (2007) menyatakan di TNMB ditemukan 28 jenis tumbuhan obat asli setempat dan telah dibudidayakan di zona rehabilitasi, bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat yaitu daun, buah, biji, batang, kulit batang, kulit buah, kecambah biji dan getah. Pemanfaatan tanaman obat tersebut oleh masyarakat masih dalam tahap pengambilan tanaman untuk dijual langsung atau dibuat ramuan.

Pemanfaatan plasma nutfah berupa sumber genetik untuk satwa dalam rangka memperbanyak individu untuk restocking atau pemanfaatan secara lestari dapat dilakukan melalui konservasi situ seperti penangkaran. Konservasi ek-situ banteng sudah dilakukan di beberapa kebun binatang seperti Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Ragunan serta di Taman Safari Indonesia dan Taman Safari Prigen yang sudah mulai melakukan inseminasi buatan.

Hingga saat ini konflik dalam konservasi banteng belum dapat diselesaikan secara tepat karena arah kebijakan pengelolaan banteng masih pada aspek perlindungan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Selain itu pengelolaannya belum optimal karena masih sentralistik hanya dikelola oleh Balai Taman Nasional mulai dari perencanaan sampai evaluasi tanpa melibatkan stakeholders yang berkepentingan lainnya. Sehingga perlu dicarikan solusinya secara optimal melalui penelitian sesuai dengan prinsip dasar konservasi yaitu: a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penelitian ini dirancang atas dasar analisis permasalahan yang dapat menyebabkan konflik banteng yaitu aspek populasi dan potensi habitat, kesejahteraan masyarakat, kepentingan stakeholders serta aspek kelembagaan dalam rangka membangun pengelolaan banteng secara kolaboratif.

Dalam dokumen MANAJEMEN KONFLIK KONSERVASI BANTENG (Halaman 29-33)