• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

B. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

4. Ganti Rugi

Mengenai ganti rugi ini diatur dalam UUPK Pasal 19 sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen. Pasal 19 UUPK menerangkann bahwa149

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

:

2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tengganga waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

148

Sutarman Yodo, Ibid, hlm. 104. 149

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Kelemahan Pasal ini yang sulit diterima karena sangat merugikan konsumen yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (3) yang menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila ketentuan ini dipertahankan, maka konsumen yang mengkonsumsi hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita kerugian. Oleh karena itu, agar Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dapat memberikan perlindungan yang maksimal tanpa mengabaikan kepentingan pelaku usaha, makas seterusnya Pasal 19 ayat 93) menentukan bahwa tenggang waktu pemberian ganti kerugian kepada konsumen adalah 7 (tujuh) hari setelah terjadinya kerugian, dan bukan 7 (tujuh) dhari setelah transaksi seperti rumusan yang ada sekarang.150

Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis, adalah berkurangnya harta kekayaan pihak kesatu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain. Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri sendiri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan. Walaupun kerugian dapat berupa

150

kerugian atas diri (fisik) seseorang atau kerugian yang menimpa harta benda, namun jika dikaitakn dengan ganti kerugian, maka keduanya dapat dinilai dengan uang (harta kekayaan). Demikian pula karena kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan, maka pengertian kerugian seharusnya adalah berkurangnya/ tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.151

Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan kerugian itu, seperti kemampuan/kekayaan pihak yang bersangkutan. Berkaitan dengan cara perhitungan besarnya kerugian tersebut, Bloembergen menyatakan bahwa : “ kalau kita bicara tentang kerugian maka dapat dipikirkan suatu pengertian yang konkrit dan subjektif, yaitu kerugian adalah kerugian nyata yang diderita oleh orang yang dirugikan, dimana diperhitungkan situasi yang konkrit dengan keadaan subjektif dari yang bersangkutan. Selain itu kita juga dapat memikirkan secara objektif, dimana kita

151

melepaskan diri seluruhnya atau sebagian dari keadaan konkrit dari orang yang dirugikan dan menuju kearah yang normal (abstrak). Disamping itu, Bloembergen berpendapat bahwa kerugian merupakan pengerian normatif yang membutuhkan penafsiran, dan menurutnya bukan kehilangan atau kerusakan barang yang merupakan kerugian, melainkan harga dari barang yang dimaksud atau biaya- biaya perbaikan. Pendapat inilah yang dianut Hoge Raad. Hoge Raad telah merumuskan bahwa penetapan kerugian harus dilakukan berdasarkan ukuran- ukuran objektif (secara abstrak).152

Selain kerugian harta benda (kerugian ekonomi), dalam hukum perlindungan konsumen dikenal pula kerugian fisik, begitu pula kerugian karena cacat dan kerugian akibat produk cacat, namin pembedaan tersebut tidak penting dalam kasus perlindungan konsumen, tapi yang paling penting adalah konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi suatu produk tertentu. Ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bahwa ganti kerugian yang dianut dalam UUPK adalah ganti kerugian Subjektif.153

Lingkup Tanggung Jawab Pembayaran Ganti Kerugian

Secara umum tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi,

152

Ibid, hlm.99. 153

fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan yang melanggar hukum. 154

a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi

Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu terguigat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi. Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat berupa :155

a. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

b. debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;

c. debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya

b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum

154

Ibid, hlm.72.

155 Ibid.

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ke tiga pun dapat menuntut ganti kerugian. Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur- unsur sebagai berikut156

(1) ada perbuatan melanggar hukum; :

(2) ada kerugian;

(3) ada hubungan antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian; dan

(4) ada kesalahan.