• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Data

4.2.1 Wujud Gaya Bahasa

4.2.1.1 Gaya Bahasa Hiperbola

Kalimat yang mengandung gaya bahasa hiperbola dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang dianalisis berjumlah 9 buah. Berikut ini akan dipaparkan 4 dari data tersebut.

Data A1. “Sekarang sudah hampir tengah hari, udara semakin panas. Berada di toko ini serasa direbus dalam panci sayur lodeh yang mendidih.”

Konteks : tuturan itu terjadi karena kapur tulis di SD Muhammadiyah telah habis dan Ikal ditugaskan untuk mengambil kapur tulis tersebut ke toko Sinar Harapan. Saat itu sudah hampir tengah hari di mana kondisi kondisi toko juga dipenuhi dengan berbagai macam barang-barang membuat toko terasa semakin sempit dan membuat suasana semakin panas.

Penunjuk gaya bahasa hiperbola pada kutipan tersebut adalah kalimat yang menggunakan kata serasa direbus dalam panci sayur lodeh. Kalimat ini dirasa terlalu melebih-lebihkan keadaan artinya bahwa kalimat tersebut dipakai untuk menjelaskan keadaan yang sangat panas di toko Sinar Harapan. Keraf (2009:135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal.

Adapun konteks pragmatik dari kalimat tersebut adalah saat kapur tulis yang biasanya digunakan untuk proses belajar mengajar di SD Muhammadiyah telah habis dan Ikal ditugaskan untuk meminta kepada A Miauw pemilik toko Sinar Harapan. SD Muhammadiyah selalu berhutang di toko itu untuk

keperluan kapur tulis dan pemilik toko yang kurang ramah membuat Ikal sedikit malas untuk mengambil kapur tersebut. Saat itu tengah hari matahari sangat terik sehingga membuat toko Sinar Harapan yang dipenuhi dengan berbagai jenis barang semakin panas. Konteks biasanya dipahami sebagai sesuatu yang sudah ada sebelum wacana dan situasi dari partisipan (Brown dan Yule dalam Black, 2011:3). Jadi, konteks merupakan sesuatu yang

melatarbelakangi sebuah tuturan yang terjadi. Data A2. “ Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak

dapat dilukiskan dengan kata-kata.”

Konteks : tuturan itu terjadi karena kapur yang diberikan A Ling kepada Ikal terlepas dan terjatuh ke lantai sehingga A Ling dan Ikal harus memunguti kapur tersebut. A Ling yang awalnya hanya memunguti dari balik tirai akhirnya membuka tirai tersebut dan memperlihatkan paras A Ling yang sesungguhnya. A ling dan Ikal saling bertatapan dalam suasana hening dan membuat Ikal sangat terpana dengan parasnya A Ling.

Penunjuk gaya bahasa hiperbola pada kutipan tersebut adalah kalimat yang menggunakan kata tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kalimat ini terasa terlalu melebih-lebihkan suasana, artinya saat mata Ikal dan A Ling saling bertatapan dan tidak ada kata yang bisa diucapkan oleh mereka karena Ikal terpana melihat paras yang selama ini sangat ingin dia lihat, sedangkan A Ling merasa terkejut melihat Ikal dan menyebabkan kapur yang telah dikumpulkan A Ling terjath kembali ke lantai. Hiperbola adalah jenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya dan sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi

untuk memperhebat, meningkatkan kesan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat (Guntur Tarigan, 2009:55).

Adapun konteks pragmatik dari kalimat tersebut adalah seperti biasanya jika Ikal datang ke toko Sinar Harapan A Miauw sang pemilik toko pasti meminta putrinya yang bernama A Ling untuk memberikan kapurnya kepada Ikal. Biasanya A Ling memberikan kapur itu kepada Ikal melalui sebuah lubang kecil sehingga wajah A Ling tidak pernah terlihat. Hari itu saat A Ling memberikan kapur kepada Ikal, genggaman Ikal tidak kuat dan membuat kotak kapur tulis tersebut terjatuh dari genggaman mereka berdua. A Ling dan Ikal harus memungutui kapur tulis yang telah keluar dari kotaknya dan jatuh berserakan di lantai. A Ling yang awalnya hanya memunguti kapur dari balik tirai akhirnya membuka tirai tersebut dan untuk pertama kalinya Ikal melihat wajahnya A Ling. Mata A Ling dan Ikal saling bertatapan untuk pertama kalinya dan membuat suasana sangat hening. Pragmatik pada hakikatnya adalah studi bahasa dari pemakaiannya (language in use) (Levinson dalam Pranowo, 2014:137). Dalam studi bahasa pragmatik melibatkan konteks yang dipakai oleh penutur/penulis dengan tuturannya, bukan pada hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lainnya yang terlepas dari konteksnya.

Data A3. “Ia tak peduli dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam waktu dan

tempat.”

Konteks : tuturan itu terjadi karena A Ling tersadarkan oleh keadaan di mana dia dan Ikal saling bertatapan yang menyebabkan pipinya yang putih menjadi merah merona karena merasa malu. A Ling kemudian bangkit dan

membanting pintu dengan cepat tanpa mempedulikan Ikal yang masih terdiam di sana.

Penunjuk gaya bahasa hiperbola pada kutipan tersebut adalah kalimat yang menggunakan kata masih hilang dalam waktu dan tempat. Kalimat ini terasa terlalu melebih-lebihkan keadaan artinya Ikal masih memandangi wajah A Ling yang baru pertama kali dilihatnya dan membuatnya terapana akan paras cantiknya A Ling. Ikal tak memperhatikan hal lainnya kecuali wajah A Ling. Keraf (2009:135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal.

Adapun konteks pragmatik dari kalimat tersebut adalah kotak kapur tulis yang terjatuh dari genggaman A Ling dan Ikal membuat kapur tulis jatuh berserakan di lantai. A Ling dan Ikal memunguti kapur tersebut, A Ling memunguti kapur tersebut dari balik tirai. A Ling membuka tirai tersebut, itulah saat pertama kalinya Ikal dan A Ling bertatapan mata. A Ling yang menyadari tatapan mata itu langsung tersipu malu dan beranjak dari tempat itu tanpa mempedulikan kapur tulis yang masih berserakan dan Ikal yang masih memperhatikannya. A Ling pergi dan kemudian membanting pintu karena merasa malu. Pragmatik pada hakikatnya adalah studi bahasa dari pemakaiannya (language in use) (Levinson dalam Pranowo, 2014:137). Dalam studi bahasa pragmatik melibatkan konteks yang dipakai oleh penutur/penulis dengan tuturannya, bukan pada hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lainnya yang terlepas dari konteksnya.

kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban hidupku.”

Konteks : tuturan itu terjadi karena Ikal yang awalnya tidak suka dengan toko Sinar Harapan dan pemiliknya A Miauw sehingga merasa berat saat pergi ke toko tersebut. Setelah bertemu dengan A Ling anak dari pemilik toko tersebut keadaan seakan berbalik. Toko menjadi terlihat indah dan beraroma wangi, karena bahagianya Ikal tidak peduli dengan kotak kapur dengan isi setengah yang dibawanya kembali ke sekolah.

Penunjuk gaya bahasa hiperbola pada kutipan tersebut adalah kalimat yang menggunakan kata kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban hidupku. Kalimat ini terasa terlalu melebih-lebihkan artinya Ikal merasa bahagia karena dapat melihat wajah A Ling secara langsung dan membuat dia lupa dengan masalah yang ada pada dirinya. Ikal merasa tubuhnya sangat ringan saat melangkah keluar dari toko tersebut itu dikarenakan kebahagiaan yang dirasakannya. Hiperbola adalah jenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya dan sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat (Guntur Tarigan, 2009:55).

Adapun konteks pragmatik dari kalimat tersebut adalah saat kapur tulis yang biasanya digunakan untuk proses belajar mengajar di SD Muhammadiyah telah habis dan Ikal ditugaskan untuk meminta kepada A Miauw pemilik toko Sinar Harapan. SD Muhammadiyah selalu berhutang di toko itu untuk keperluan kapur tulis dan pemilik toko yang kurang ramah membuat Ikal sedikit malas untuk mengambil kapur tersebut. Saat itu tengah hari matahari

sangat terik sehingga membuat toko Sinar Harapan yang dipenuhi dengan berbagai jenis barang semakin panas. Awalnya Ikal merasa toko itu sangat sesak tetapi setelah tanpa sengaja dia melihat wajah anak dari pemilik toko tersebut pemikirannya tentang toko itiu berubah. Dia merasa toko itu menjadi wangi dan tidak mempedulikan kotak kapur yang isinya hanya setengah. Konteks biasanya dipahami sebagai sesuatu yang sudah ada sebelum wacana dan situasi dari partisipan (Brown dan Yule dalam Black, 2011:3). Jadi,

konteks merupakan sesuatu yang melatarbelakangi sebuah tuturan yang terjadi. 4.2.1.2 Gaya Bahasa Metonimia

Kalimat yang mengandung gaya bahasa metonimia dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang dianalisis berjumlah 2 buah. Berikut ini akan dipaparkan data tersebut.

Data B1. “Pada pil itu ada tulisan besar APC.”

Konteks : tuturan itu terjadi karena saat ada siswa yang sakit di SD Muhammadiyah maka dengan otomatis akan diberikan pil yang berbentuk bulat besar berwarna putih bertuliskan APC. Pil APC adalah obat legendaris buat kalangan menengah kebawah, pil tersebut juga mampu mengobati berbagai jenis penyakit.

Penunjuk gaya bahasa metonimia pada kutipan tersebut adalah kalimat yang menggunakan kata APC. Kata tersebut adalah kata yang dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu obat. Pil yang bertuliskan APC yaitu obat yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Keraf (2007:142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Adapun konteks pragmatik dari kalimat tersebut adalah jika ada siswa yang sakit di SD Muhammadiyah maka dengan otomatis akan diberikan pil yang berbentuk bulat besar berwarna putih bertuliskan APC. Pil APC adalah obat legendaris buat kalangan menengah kebawah, pil tersebut juga mampu mengobati berbagai jenis penyakit. Pragmatik pada hakikatnya adalah studi bahasa dari pemakaiannya (language in use) (Levinson dalam Pranowo, 2014:137). Dalam studi bahasa pragmatik melibatkan konteks yang dipakai oleh penutur/penulis dengan tuturannya, bukan pada hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lainnya yang terlepas dari konteksnya

Data B2. “Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting- anting yang dibelikan ibunya.”

Konteks : tuturan itu terjadi karena Flo lebih suka berpenampilan layaknya seorang anak laki-laki karena ia tak suka menerima dirinya perempuan. Flo memiliki saudara laki-laki namun tak memiliki saudara perempuan, hal tersebutlah yang membuatnya menjadi wanita yang tomboy.

Penunjuk gaya bahasa metonimia pada kutipan tersebut adalah kalimat yang menggunakan kata jeans. Kata tersebut adalah kata yang dipakai untuk mengganti atribut objek yaitu celana, celana yang biasanya digunakan anak laki-laki, karena pada umumnya anak perempuan menggunakan rok. Ia di atas menggambarkan tokoh Flo yang sangat tomboy karena memiliki beberapa kakak laki-laki, ia satu-satunya anak perempuan. Altenberd (dalam pradopo, 2013:77) mengatakan bahwa metonimia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah objek atau pengunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.

Adapun konteks pragmatik dari kalimat tersebut adalah Flo lebih suka berpenampilan layaknya seorang anak laki-laki karena ia tak suka menerima dirinya perempuan. Flo memiliki saudara laki-laki namun tak memiliki saudara perempuan, hal tersebutlah yang membuatnya menjadi wanita yang tomboy. Yule (2006:3) menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksud orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan

Dokumen terkait