• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.2 Gegar Budaya ( Culture Shock )

Berbicara mengenai akulturasi tidak terlepas dengan proses yang

dinamakan dengan gegar budaya / Culture shock. Sebab ketika kita meninggalkan sesuatu hal yang sudah biasa bagi diri kita, beserta dengan lingkungannya yang nyaman, untuk masuk kedalam dunia baru yang sudah tentu berbeda dengan apa yang selama ini menjadi jati diri yang kita miliki, maka ketika kita dihadapkan dengan realitas baru, situasi baru yang sulit diterima kedirian kita, seperti berpisah dari sanak saudara, sahabat, teman, kolega, perbedaan iklim, ketidak pahaman informasi, kendala bahasa, maka baik secara sadar atau tidak kita mental, dan fisik akan terkejut atau mengalami sedikit gangguan yang mengarah ke dalam beberapa hal.

Biasanya orang pendatang yang memiliki jangka waktu yang panjang akan lebih merasakan paparan gegar budaya ini ketimbang dengan pendatang yang memiliki rentang waktu menetap sedikit. Sebab semakin lama ia menetap di daerah yang baru bagi dirinya maka semakin banyak lagi perbedaan-perbedaan yang ia rasakan dan akan semakin banyak lagi ditemui gesekan-gesekan budaya yang terjadi antara budaya yang telah terenkulturasi dalam diri pendatang dengan budaya setempat.

Samovar dan Porter “Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between

Culture.” (2010: 476) menyatakan dalam gegar budaya, ada berbagai reaksi yang

98

Universitas Sumatera Utara

namun pada umumnya reaksi gegar budaya ini memiliki berbagai macam reaksi seperti :

- Permusuhan terhadap lingkungan baru - Perasaan disorientasi

- Perasaan tertolak

- Sakit perut dan Sakit kepala - Rindu kampung halaman

- Merindukan teman dan keluarga

- Perasaan kehilangan status dan pengaruh - Menyendiri

-Menganggap budaya lain tidak sensitif

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan temuan jika secara umum mereka semua mengalami proses gegar budaya, namun tentu saja berbeda-beda jenis dan reaksi yang mereka alami dan gejala-gejalanya. Kebanyakan dari informan yang peneliti wawancarai serentak merasakan gegar budaya dalam hal fisik seperti demam, panas tinggi. Biasanya hal ini diakibatkan oleh perbedaan temperature dan cuaca, sebab suhu yang ada di desa tersebut yang lebih panas ketimbang di negara mereka. Dari keseluruhan informan hanya ada satu informan yang menyatakan tidak pernah menderita sakit apapaun selama menetap dilingkungan ini.

Selanjutnya gegar budaya yang mereka alami secara umum condong kearah makanan yang ada di desa Tanjung Pasir dan sekitarnya. Perut mereka ternyata belum terbiasa dengan makanan Indonesia yang memang sudah terkenal dengan pedasnya, sehingga ketika mereka memakan makanan yang bercita rasa pedas, maka mereka langsung bermasalah dengan perut mereka. Hal senada juga disampaikan oleh informan lokal yang peneliti wawancarai seperti juru masak Junita, pak Bernard dan masyarakat yang berjualan pak Suprayitno memberi penjelasan yang sama terkait dengan gegar budaya yang satu ini. Bahkan pak Suprayitno menyatakan tak hanya soal pedas yang mereka belum terbiasa, namun ada juga bumbu-bumbu masakan yang berasal dari rempah-rempah kita yang tidak mampu mereka cerna dengan baik dan mereka sangat berhati-hati dengan makanan yang dijual di sekitar mereka.

Culture shock yang mereka alami tidak hanya berbicara mengenai sakit kepala, demam, dan juga makanan. Mereka juga mengeluhkan tentang gigitan nyamuk. Hidup di sekitar area persawahan dan dekat bibir pantai menyebabkan banyak genangan air yang menjadi habitat alami nyamuk, sehingga di desa tersebut banyak sekali nyamuk. Tak berhenti sampai di situ saja, dokter reza juga menambahkan bahwa reaksi gegar budaya mereka terkhusus dalam hal kesehatan, mereka sering terkena penyakit gatal-gatal, gangguan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Hal ini biasanya terjadi disebabkan karena efek debu yang berada di wilayah proyek PLTU, kemudian kontur tanah yang gersang dan berdebu yang menyebabkan material-material tanah yang ringan ditiup angin yang berhembus dengan kencang setiap harinya. Faktor lain yang menyebabkan mereka mengidap penyakit tersebut dikarenakan asap kendaraan dari truk yang lalu lalang keluar masuk proyek tersebut, selanjutnya belum lagi asap dari residu pembakaran batu bara dan lain sebagainya.

Dokter Reza menambahkan mayoritas dari mereka juga sering sakit maag, suatu jenis penyakit yang mengganggu sistem pencernaan. Penyakit ini menjangkit mereka disebabkan pola makan mereka yang salah dan pola hidup yang tidak sehat. Para pekerja Tiongkok terkadang meminum minuman berkarbonasi dan mengandung asam yang cukup tinggi sebelum sarapan. Menurut penuturan beliau, faktor yang paling bertanggung jawab atas penyakit yang mereka derita lebih menjurus kearah kurangnya kesadaran akan kesehatan yang mereka miliki. Mereka sangat suka mengkonsumsi minuman alkohol dan minuman berkarbonasi dan mengandung asam seperti kratindaeng, coca-cola , dan sejenisnya yang memang jika terus menerus dikonsumsi dengan jumlah yang banyak, maka akan memicu berbagai macam penyakit, salah satunya maag. Peneliti menggali informasi selanjutnya, untuk mengetahui gegar budaya apa saja yang mereka alami secara psikologis dan apa reaksi mereka terhadap budaya barunya, dari kesimpulan yang didapat ditemui jika pada awalnya dahulu, sebelum peneliti datang ke lokasi tersebut banyak terjadi gesekan-gesekan yang berujung pada konflik antara kedua belah pihak. Konflik ini terjadi atas kegagalan kedua belah pihak memahami kondisi perbedaan budaya yang di pegang oleh masing-masing pihak, sehingga aksi lempar-lemparan batu, sampai

100

Universitas Sumatera Utara

di adili oleh masyarakat dan juga pernah diperkarakan kasus tersebut sampai ke kepolisian. Sehingga dalam proses interaksi mereka sempat merasa dikucilkan dan tertolak oleh masyarakat sekitar.

Hal ini memang tidak disebutkan oleh para pekerja Tiongkok dengan jelas dan gamblang. Namun ini dikatakan langsung oleh orang-orang lokal yang memang bersosialisasi dengan mereka di tempat tersebut, termasuk juru bahasa Ibu Jessi dan masyarakat lainnya. Menurut penuturan mereka, kejadian-kejadian ini tidak berlangsung lama, dari pernyataan ibu Jessi, hal-hal di atas sudah tidak pernah terdengar lagi gaungnya. Sebab sekarang pihak perusahaan telah berkoordinasi dengan pekerja lokal dan pekerja Tiongkok untuk mensosialisasikan, memberikan teguran dan arahan kepada pekerja Tiongkok lainnya yang baru datang kewilayah tersebut. Sehingga hal tersebut menjadi pelajaran baru bagi mereka agar tidak mengulangi hal yang sama lagi dikemudian harinya.

Dalam kondisi perbedaan budaya yang amat sukar untuk dicari persamaannya, tentunya mereka merasa tertekan untuk tinggal dan membaur di sana. Sebab kebudayaan yang ada di desa tersebut bersifat mutlak dan harus dipatuhi oleh mereka, seperti membatasi jam malam, tidak boleh sembarangan menyentuh wanita lain, tidak boleh berdua-duaan, dilarang membuat kegaduhan dan keributan, menghormati ibadah yang dilaksanakan setiap harinya di mushola, dan lain sebagainya. jika hal ini tidak dipatuhi, maka akan tercipta masalah yang bisa menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak.

Dalam kasus gegar budaya yang mereka alami, semua informan Tiongkok yang peneliti wawancarai juga menyatakan jika selama bekerja di tempat ini mereka merindukan keluarga dan kampung halaman. Dalam kasus ini semua pekerja yang peneliti tanyai menyatakan hal yang sama, mereka menceritakan bagaimana keadaan sanak saudaranya, bagaimana kehidupan mereka dan bagaimana cara mereka melakukan kontak dengan sanak saudaranya. Peneliti juga bertanya kepada masyarakat lokal dalam hal memperjelas hal ini. Dari hasil wawancara peneliti temukan hal yang sama, jika mereka sangat antusias untuk kembali ke kampung halamannya, karena akan berjumpa dengan sanak famili mereka masing-masing.

Secara keseluruhan, peneliti dapat mengambil kesimpulan jika gegar budaya yang dialami oleh pekerja Tiongkok antara lain :

a.Keadaan lingkungan yang panas

b.Penyakit (Sakit perut, demam, panas tinggi, maag, gatal-gatal, ISPA, cacar, dan gigitan nyamuk )

c.Adanya konflik pada awal-awal pertemuan d.Merasa tertekan dengan lingkungan baru e.Merindukan kampung halaman

f.Merindukan orang tua dan sanak keluarga.