• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.2 Hasil Wawancara Akulturasi Budaya pekerja Tiongkok

Universitas Sumatera Utara

keberuntungan karena mempunyai nama yang sama dengan anaknya akhirnya ia mau peneliti wawancarai

.

4.1.2Hasil Wawancara Akulturasi Budaya pekerja Tiongkok

Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui sejauh mana Akulturasi Budaya yang dialami oleh pekerja Tiongkok selama menetap dan bekerja di proyek PLTU desa Tanjung Pasir, kecamatan Pangkalan Susu, kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dalam hal ini tentu saja peneliti melakukan pengamatan langsung dan dengan jeli menetapkan siapa narasumber yang akan diwawancarai. Adapun penyajian yang akan dipaparkan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk naskah teks narasi yang bersumber dari wawancara mendalam dari informan 1 sampai 9 dan 2 informan tambahan sebagai pendukung fakta di lapangan.

Informan 1

Nama : Mr. Ding Zian

Tanggal wawancara : 10 Februari 2015

Pukul : 10 : 24 WIB

Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu.

Mr. Ding Zian merupakan informan yang pertama sekali peneliti temui untuk diwawancarai secara mendalam. Ia adalah salah satu informan yang sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik walaupun tidak bisa dipungkiri jika aksen Tiongkoknya masih kental dalam setiap pengucapan kalimat. Mr. Ding juga termasuk salah satu orang yang punya andil besar dalam proses pembangunan PLTU di desa tersebut, bisa dikatakan ia termasuk salah satu boss yang mengkoordinir gerak pekerja yang bekerja terkhusus dalam bidang konstruksi mesin.

Walaupun pada awalnya peneliti sendiri merasakan kesulitan untuk berinteraksi dengannya dikarenakan ia termasuk orang yang tertutup, sehingga ia selalu menolak keberadaan orang asing yang ingin bertemu, akan tetapi setelah melakukan berbagai macam pendekatan dan menceritakan latar belakang peneliti

datang untuk menemuinya yaitu untuk menyelesaikan tugas akhir penelitian dari perkuliahan yang peneliti dalami sekarang, ia mau untuk diwawancarai oleh peneliti.

Pada awal mula pertanyaan peneliti berbincang-bincang dengan Mr.Ding untuk sekadar mengakrabkan suasana yang sempat tegang dan terkesan sangat formal dan juga peneliti berusaha untuk menyisipkan bumbu humor di dalamnya agar wawancara ini lebih rileks dan tenang. Setelah semuanya dalam kapasitas nyaman, peneliti melanjutkan pembicaraan seputar pertanyaan personal seperti nama lengkap, usia, istri, anak dan sanak saudaranya di Tiongkok. Bagaimana kehidupan di Tiongkok, apakah menikmati pekerjaan di tempat ini dan lain sebagainya.

Berdasarkan pengamatan peneliti ia cukup merespon baik wawancara, hal tersebut dapat dilihat dari sikapnya yang terlihat antusias menjawab pertanyaan peneliti, dalam situasi seperti ini peneliti menyiapkan alat rekam dan alat tulis untuk merekam setiap pernyataan yang diutarakan olehnya, dan pada wawancara awal ia mengaku telah bekerja selama 4 tahun dalam proyek PLTU sebagai Civil Engineering.

“ Sejak 2011 saya sudah bekerja di sini, sudah 4 tahun lah sayadi

proyek ini. Awalnya saya diajak kawan dan perusahaan GPEC untuk ke tempat ini, saya sendiri sudah lama bekerja sebagai Civil Engineering di GPEC, sudah sepuluh tahun lamanya saya bekerja di GPEC .”

Dalam hasil wawancara peneliti dengan informan ini didapati hasil jika ia datang dan bekerja untuk membangun proyek ini tanpa informasi keadaan yang jelas baik dalam hal cakupan wilayah, cuaca dan iklim, makanan, maupun kebudayaan. Akan tetapi karena berbekal tanggung jawab pekerjaan yang diembannya ia mau bekerja di Indonesia, ia juga mengakui jika ternyata kondisi lingkungan di tempat tersebut lebih panas dari tempat ia berasal.

“Dari Tiongkok saya ke tempat ini, dan saya tidak pernah bayangkan bagaimana nanti bekerja di sini. Waktu itu diajak perusahaan ke Indonesia, terus ada banyak teman saya ikut kerja. Saya juga diajak sama mereka, ya sudah saya mau dan sampai sekarang masih bekerja di sini sampai selesai proyek ini baru saya pulang ke Tiongkok”

42

Universitas Sumatera Utara

Peneliti juga mengetahui jika Mr.Ding sendiri memahami bahasa Indonesia itu dikarenakan adanya interaksi yang baik yang ia jalin dengan rekan kerja Indonesia yang ada di sekitar ia bekerja. Hal ini jelas terlihat dari pengamatan peneliti sendiri sebelum melakukan wawancara dikarenakan posisi pekerjaan yang ia miliki sekarang sangat sering bersentuhan dengan para pekerja Indonesia, maka tidak diragukan lagi jika ia sering sekali bertemu dengan pekerja Indonesia dalam berbagai macam keperluan dan mereka selalu memakai bahasa Indonesia setiap kali berinteraksi. Hal yang sama yang didapatkan setelah melakukan proses wawancara terhadapnya namun ada yang unik dan baru peneliti temui dalam proses wawancara ini, Mr.Ding sendiri mengakui jika ia mengetahui bahasa Indonesia hanya secara lisan saja, akan tetapi terbatas atau kurang mengetahui bahasa Indonesia secara tulisan. Kemudian dari penjelasannya terkait dengan interaksi dengan masyarakat, ia juga cukup baik dalam hal berinteraksi pada masyarakat sekitaran desa Tanjung Pasir tempat di mana ia tinggal. Biasanya setiap malam ia selalu mengunjungi warung-warung makan yang buka di sekitarmess dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar seraya melepas lelah dan penat selama aktivitas pekerjaan.

“ Wah saya ngerti bahasa Indonesia dari kerjaan, ya

ngomong-ngomong sama pekerja Indonesia saja, terus lama-lama saya mengerti bagaimana bicaranya, tapi saya kurang mengerti menulisnya. Kalau kamu orang suruh saya tulis dengan bahasa Indonesia saya tidak mengertilah, kalau bersosialisasi di mess pernah biasanya cuma ngomong-ngomong sama orang sama Bernard, Robert , terus waktu malam-malam setelah pulang kerja, itu saya sering ngomong-ngomong di warung sama orang-orang desa sambil makan dan beli barang keperluan hari-hari”

Setelah mendapatkan penjelasan bagaimana ia bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan seberapa intens beliau berinteraksi dengan masyarakat pribumi, peneliti kemudian bertanya mengenai gegar budaya atau yang biasa disebut dengan Culture shock. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya jika gegar budaya biasa dialami oleh para imigran yang baru menetap didaerah yang mempunyai kultur yang berbeda dari kediriannya.

Dalam penelitian ini didapatkan jika Mr. Ding sendiri tidak merasakan gegar budaya yang terlalu dalam dan tidak melalui tahap gegar budaya yang dijelaskan

di bab sebelumnya yang dalam teorinya mampu membuat fisik dan psikis seseorang menjadi berubah seperti merasa ditolak oleh lingkungan sekitar, atau orang yang berada di sekitarnya mulai tidak peka dengan keadaan dirinya, bahkan sakit yang menyerang tubuh seperti demam, sakit perut dan lain sebagainya. Hanya saja ia mengatakan jika pada awal ia bekerja di PLTU ini ia sangat merindukan kampung halamannya beserta keluarga yang terdiri dari orang tua, istri dan anaknya, ia sendiri mengatakan jika selama bekerja di Indonesia ia sering sekali menghubungi istri dan anaknya yang ada di Tiongkok baik melalui telepon (HP) maupun sosial media.

“ Selama bekerja di tempat ini saya tidak pernah merasa takut,

saya juga tidak pernah merasa dijauhi oleh orang sekitar atau para pekerja Indonesia.Mereka baik-baik sama saya, saya suka sama semua orang Indonesia yang di dekatmess, ramah-ramah, baik mereka, bagus lah orang di sini tidak ada yang jahat. Kalau selama di sini rindu keluarga ya sangat rindu,tidak boleh tidak rindu, keluarga di sana ada orang tua, istri ada juga anak, biasanya kalau sedang rindu saya hubungi mereka melalui telepon ataupun melalui website .

Peneliti terus menggali banyak informasi yang terkait dengan penelitian yang sedang dikerjakan ini. Setelah mengetahui gegar budaya peneliti bertanya mengenai sejauh mana pengenalan beliau akan budaya yang dimiliki oleh penduduk setempat. Pertanyaan ini di buat agar peneliti mengetahui sejauh mana kepekaan Mr.Ding sendiri dalam menilai lingkungan budaya yang ditempatinya tersebut.

Dari pernyataan informan sendiri didapatkan hasil jika ia cukup menyadari ada perbedaan yang cukup mencolok antara kebudayaan yang dimiliki oleh penduduk pribumi dengan kebudayaan yang ada di Tiongkok, perbedaan yang paling ia soroti ialah terkait dengan bahasa, bahasa yang digunakan jelas sangat berbeda dari bahasa yang dipakainya sehari-hari di Tiongkok, dan yang kedua ia menyoroti jika perbedaan juga terletak pada rasa makanan yang berbeda, dan juga ia menyoroti tahun baru yang berbeda, pengertiannya perayaan tahun baru yang berbeda jika tahun baru China tidak ada dirayakan di tempat tersebut dan juga jikapun ada tidak begitu semenarik dan semeriah yang ada di negara asalnya. Bahkan ia juga menyoroti perbedaan budaya dalam hal keagamaan, yaitu

44

Universitas Sumatera Utara

khususnya dalam hal berpuasa, yang biasa ada setiap tahun dan dijalankan oleh mayoritas penduduk yang beragama muslim di tempat tersebut.

“Banyak sekali perbedaan budaya yang ada di China sama di Indonesia, bahasanya beda kalau di sana tidak ada orang yang ngomong pakai bahasa Indonesia, makanannya juga beda, kalo di sini makanan sedikit pedas, kalau di sana tidak pedas tapi asin, orang di sini ramah-ramah sering menyapa “halo”, kalo di sana jarang menyapa. trus orang di sini tahun baru nya beda sama di sana, juga kalau di sini ada puasa kalau di sana tidak ada.”

Informan ke II

Nama : Mr. Yan Lu Zung

Tanggal wawancara : 24 Februari 2015

Pukul : 10: 39 WIB

Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu

Mr. Yan Lu Zung atau yang sering disapa dengan sebutan Big Manadalah informan kedua yang peneliti temui untuk diwawancarai, ia adalah pekerja asing yang telah bekerja selama 2 tahun di dalam pembangunan proyek PLTU ini, Big

Man bekerja sebagai tenaga sipil dalam departemen Civil Engineering yang

bekerja di bidang mesin, pada hari itu saya dibantu oleh Pak Bernard selaku pekerja lokal yang bisa dikatakan cukup akrab dengan Mr. Yan tersebut, ketika peneliti bertemu dengannya, peneliti langsung menjelaskan maksud dan tujuan untuk mewawancarai beliau.

Awalnya suasana agak kaku, dikarenakan Mr. Yan adalah seorang yang tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan juga peneliti yang agak sedikit kesulitan dalam mengartikan maksud pembicaraan beliau yang menggunakan bahasa Inggris, namun masih berlogat mandarin. Akan tetapi tidak menjadi suatu masalah yang sangat besar bagi peneliti, dengan berusaha tetap tenang sambil tetap fokus dan menganalisis satu persatu kata yang dilontarkannya kepada peneliti dan secara perlahan-lahan terkadang meminta beliau untuk mengulang pernyataannya sehingga dengan begitu peneliti mengerti makna pesan yang disampaikan oleh beliau.

Setelah mengetahui jika peneliti adalah mahasiswa yang sedang melakukan suatu riset, ia pun memberi sedikit waktunya untuk diwawancarai oleh peneliti. Pertama-tama peneliti memperkenalkan diri dan bertanya hal-hal yang

ringan seputar kegiatan sehari-hari yang dilakukan olehnya baik di proyek maupun di mess, kemudian setelah obrolan terasa semakin nyaman dan beliau pun mulai membuka diri kepada peneliti,maka peneliti mulai bertanya mengenai hal yang telah dikonsep sebelumnya di lembar kuesioner.

Dari pernyataan Mr. Yan maka peneliti mendapatkan jawaban jika ia memang sudah ditugaskan oleh perusahaan untuk bekerja di Indonesia, dan dalam penugasan tersebut tanpa pikir panjang ia pun menyanggupi kontrak kerja, hal ini tampak dari pernyataan beliau yang mengatakan jika sebelum datang ke Indonesia ia tidak pernah mempelajari atau membayangkan bagaimana Indonesia yang sebenarnya, hanya saja ia berpikir jika Indonesia adalah negara yang beragama hanya itu saja tanpa berpikir bagaimana keadaan lingkungan nantinya apakah berbeda, atau bagaimana dengan keadaan cuaca apakah mampu beradaptasi dengan baik, juga mengetahui dan mempelajari perbedaan budaya yang ada ditengah-tengah masyarakat dan lain sebagainya. Setelah itu peneliti beralih ke pertanyaan lainnya ketika ditanyakan apakah lingkungan di sini membuat anda nyaman, ia menjawab lingkungan di sini cukup nyaman baginya dan tidak pernah bermasalah dengan para penduduk lokal .

Selang beberapa waktu kemudian peneliti mulai mengarahkan pertanyaan menjurus kedalam hal bagaimana ia berinteraksi dengan para pekerja lokal, dan juga tidak ketinggalan dengan para masyarakat lokal yang tinggal di sekitar

messdi mana ia menetap. Dalam pernyataannya tersebut jika ia memang tidak bisa

berbahasa Indonesia, hal ini dikarenakan sangat sulit mempelajari bahasa Indonesia. Dari pengalaman beliau sejauh ini hanya sedikit kosakata yang ia pahami dan itu pun adalah hal yang mendasar dan terkesan sangat kaku, seperti yang dicontohkannya pada saat wawancara, ia mengatakan: “makan, mohon datang, terima kasih, sama-sama.”

Dari pernyataannya peneliti menarik kesimpulan jika hanya segelintir kosakata dari bahasa Indonesia sederhana yang baru dipahaminya. Padahal jika dilihat dari lamanya bekerja ia telah bekerja cukup lama kurang lebih sekitar 2 tahun. Ia mengakui jika banyak pekerja lokal yang bekerja di dalam divisinya tersebut, seperti yang dikatakannya ada Marino,Safarudin, Doni, Irwanto dan lain-lain. Akan tetapi ia memberikan alasan mengapa ia tidak juga mengerti bahasa

46

Universitas Sumatera Utara

Indonesia. Penyebab utama tidak mengertinya beliau dalam mengalihbahasakan pesan kedalam bentuk bahasa Indonesia ternyata dikarenakan mereka biasanya menjalin interaksi menggunakan bahasa Inggris yang sederhana. Maksdunya ialah bahasa Inggris yang tidak memperdulikan struktur teks akan tetapi sama-sama memiliki pengertian dan memiliki persepsi yang sama dari pesan yang dimaksudkan mereka.

Dan jikalau dalam interaksi tersebut mereka tidak mengerti juga maksud pesan yang disampaikan maka, biasanya mereka akan memanggil translator untuk menerjemahkan maksud pesan yang mereka sampaikan.

” For me, it’s too hard to learn Indonesia language, so since the

first time I working here, i always use English and we have translator to translate what we want to talking about.”(Bagi saya, sangat sulit untuk belajar bahasa Indonesia, jadi sejak pertama sekali saya bekerja di sini, saya selalu menggunakan bahasa Inggris, dan juga kami punya penerjemah untuk menterjemahkan apa yang hendak kami bicarakan).

Dari hasil wawancara dengan Mr. Yan terkait dengan gegar budaya maka peneliti mendapati jika Mr. yan juga pernah mengalami gegar budaya, namun gegar budaya yang dialaminya tidak seperti fase-fase yang secara runtut terjadi yang telah dijelaskan dalam teori. Ia mengaku jika ia tidak pernah merasa dikucilkan oleh para pekerja lokal maupun masyarakat yang tinggal di sekitarmess-nya, bahkan ia menganggap jika selama ini masyarakat dan para pekerja sangat ramah kepadanya dan juga ketika peneliti bertanya akan bagaimana kepedulian para penduduk lokal padanya ia menyatakan jika para penduduk lokal sangat baik sikapnya terhadap dirinya. Salah satu bukti yang dikatakan olehnya ialah ketika ia sering diberi tumpangan oleh warga dengan naik sepeda motor ketika ingin pergi keluar dari desa Tanjung Pasir untuk sekedar bersantai seperti berenang di kolam berenang yang letaknya agak jauh dari mess-nya.

Peneliti mendapati jika gegar budaya yang ia alami lebih menjurus kearah sakit secara fisik yaitu ia sering demam dan juga pernah mengalami cacar pada saat awal-awal ia bekerja di sini, hal ini disebabkan oleh cuaca yang menurutnya sangat panas dan berbeda dari lingkungan tempat tinggalnya. Selanjutnya gegar budaya yang ia alami lebih menjurus kepada perasaan untuk segera pulang,

karena ia sangat merindukan rumah beserta keluarganya sebab baginya keluarga adalah bagian yang penting dan tak bisa dipisahkan dari kehidupannya.

Pada tahap terakhir wawancara peneliti bertanya mengenai seberapa jauh pengenalan beliau akan kebudayaan yang dimiliki oleh warga setempat. Sebenarnya ia cukup sadar jika banyak perbedaan budaya yang terjadi diantara Tiongkok dengan Indonesia terkhusus dalam lingkup masyarakat desa Tanjung Pasir, ia menyoroti jiika perbedaan yang paling mencolok terletak pada agama, ia mengakui jika secara keseluruhan dari masyarakat setempat menganut suatu agama tertentu namun ia tidak mengetahui secara spesifik ketika peneliti tanya lebih dalam lagi agama apa yang masyarakat pada umumnya anut.

Kemudian ia juga mengatakan jika masyarakat setempat tidak bisa makan daging babi dan anjing hal ini juga masuk dalam sorotan perbedaan yang dilihat olehnya, selanjutnya ia menyoroti perbedaan musim yang terjadi antara Tiongkok dan desa di mana ia tinggal. Ia mengatakan di Tiongkok memiliki empat musim yaitu musim gugur, musim panas, musim semi, musim salju, sedangkan Indonesia hanya ada musim panas. Terakhir ia mengatakan jika makanan Indonesia manis dan lebih terasa pedas dibandingkan dengan negaranya di Tiongkok, ia menyatakan jika makanan yang paling ia sukai ialah nasi goreng, ayam, dan udang.

“Indonesia have a Religion ,they don’t eat pig or dog and about

the season, in China we have four season, but in here always panas. The language is very different, the Indonesian food are sweet and hot spicy too. The most food that i like are nasi goreng, ayam,dan udang”(Indonesia mempunyai agama,mereka tidak makan babi atau anjing, di Tiongkok memiliki 4 musim akan tetapi di sini selalu panas, bahasa juga sangat berbeda, makanan Indonesia manis dan sedikit pedas, makanan yang paling saya sukai ialah nasi goreng, ayam dan udang).

Informan III

Nama : Awaludin

Tanggal wawancara : 25 Februari 2015

Pukul : 10 : 15 WIB

48

Universitas Sumatera Utara

Awaludin merupakan pekerja lokal yang telah lama berkecimpung dalam proyek PLTU desa Tanjung Pasir. Sejak awal proyek ini dibangun ia telah direkrut oleh perusahaan ini yaitu pada sekitar pada tahun 2008 akhir ia telah direkrut untuk menjadi pekerja. Soal urusan berinteraksi dengan pekerja asing Tiongkok ia juga sangat sering sebab selain pekerjaan yang menuntutnya untuk bekerja bersama pekerja Tiongkok, ia juga bertempat tinggal di sekitarmess sehingga tak diragukan lagi jika kesehari-hariannya banyak bersinggungan dengan pekerja asing tersebut.

Alasan peneliti memilih beliau menjadi salah satu informan kunci dari proses penelitian ini yaitu dikarenakan adanya keunikan yang peneliti temui pada nama panggilannya, ketika itu salah satu koleganya memanggil ia dengan sebutan Suhu, mendengar hal tersebut peneliti merasa tertarik apa maksud dari “suhu” tersebut. Pertanyaan itu langsung terjawab setelah peneliti bertanya kepada pekerja lokal yang menjadi koleganya. Istilah suhu merupakan bahasa mandarin yang berarti guru. Kata suhu adalah julukan yang awalnya diberikan oleh pekerja Tiongkok kepadanya, hal ini dikarenakan ia disebut-sebut membantu beberapa pekerja Tiongkok untuk belajar bahasa Indonesia.

Setelah mengetahui hal tersebut rasa penasaran saya pun muncul, dalam benak peneliti timbul satu pertanyaan, bagaimana pak awal mampu membuat beberapa pekerja Tiongkok mampu berbahasa Indonesia, untuk menjawab penasaran itu saya langsung menemuinya dan sekedar bertegur sapa dan sekaligus menjelaskan maksud kedatangan peneliti di tempat ini. Pada hari itu ia tak bisa diwawancarai oleh peneliti, dikarenakan ia sedang sibuk mengurus segala keperluan yang dibutuhkan dalam percepatan pembangunan proyek PLTU tersebut. Namun ia berjanji jika keesokan harinya ia punya waktu kosong yang bisa digunakan untuk wawancara.

Pagi hari sekitar pukul 10:00 WIB peneliti mendatangi kantor Bagus Karya untuk melakukan wawancara dengan beliau, dalam wawancara tersebut juga telah disiapkan rekaman suara dan konsep pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pada awalnya peneliti bertanya mengenai pertanyaan pribadi seperti nama lengkap, tempat tinggal, bagaimana bekerja selama di proyek dan lain

sebagainya, kemudian peneliti bertanya seputar interaksi beliau dengan para pekerja Tiongkok.

Dari hasil wawancara dengan Pak Awal, ia menjelaskan selama bekerja di lapangan ia sering bekerjasama dengan para pekerja Tiongkok terkhusus dalam hal penimbunan lokasi proyek, sehingga ketika ada tanah timbunan masuk ke dalam proyek maka pihak PT. Bagus Karya dan GPEC harus mengetahui hal tersebut. Pak Awal merupakan perwakilan dari Bagus Karya dan pekerja Tiongkok juga diikutsertakan sebagai perwakilan dari GPEC sehingga dalam pekerjaan tersebut terjalin kerjasama antar kedua belah pihak beda budaya ini.

Beliau menjelaskan jika pada awalnya mereka berinteraksi menggunakan bahasa nonverbal, langkah ini terpaksa diambil dikarenakan Pak Awal sendiri tidak mengerti bahasa mandarin dan begitu juga sebaliknya pekerja Tiongkok tidak mengerti bahasa Indonesia. Namun para pekerja Tiongkok yang ditempatkan di lapangantersebut mau belajar dengan Pak Awal maupun dengan pekerja lokal lainnya, sehingga lama-kelamaan mereka mulai mengerti menyebutkan satu-persatu kata dalam bahasa Indonesia dan terus berkembang sampai mereka mengerti berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

Ia juga mengatakan jika banyak juga pekerja Tiongkok yang sudah lama bekerja di proyek ini namun mereka tetap juga tidak mengerti berbahasa Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan faktor dari kedirian pekerja Tiongkok itu sendiri yang tidak mau belajar berbahasa Indonesia, ia juga membandingkan dirinya yang walaupun sudah lama berkecimpung di dalam