• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gelembung Pendidikan

Dalam dokumen reza a a wattimena dunia dalam gelembung (Halaman 71-75)

Di tengah berbagai krisis bangsa, kita selalu menaruh harapan pada dunia pendidikan. Harapannya, dengan pendidikan yang bermutu, anak- anak kita akan menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik untuk Indonesia di masa depan. Harapan itu, pada hemat saya, amat masuk akal. Percuma kita membenahi segala bidang kehidupan bersama, tetapi mengabaikan pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah kunci utama untuk menjadi bangsa yang berkarakter, yakni bangsa yang maju budaya serta peradabannya.

Namun, apa metode yang tepat untuk mendidik anak-anak kita? Jawaban atas pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali ke lebih dari dua ribu tahun yang lalu, yakni ke dalam perdebatan antara Aristoteles dan Plato, gurunya, tentang pendidikan. Secara sederhana, Plato, dengan menggunakan mulut Sokrates di dalam tulisan-tulisannya, berpendapat, bahwa pendidikan adalah soal intelektualitas. Untuk menjadi baik berarti memahami sungguh apa artinya baik. Jika orang belum menjadi baik, maka ia tidak paham arti sesungguhnya dari baik itu sendiri.

Sementara itu, bagi muridnya, Aristoteles, intelektualitas semata tidaklah cukup. Memahami arti kata jujur tidak otomatis membuat orang jujur. Bahkan, pengertian sejati tentang kata jujur pun juga belum cukup

untuk membuat orang menjadi jujur di dalam tindakannya sehari-hari. Kunci pendidikan adalah membentuk kebiasaan (habituation), sehingga akhirnya menjadi karakter. Untuk menjadi jujur, orang perlu dikondisikan dan dibiasakan untuk menjadi jujur, sehingga akhirnya kejujuran sungguh menjadi bagian utuh dari dirinya.

Situasi Indonesia

Pada hemat saya, dua pandangan ini juga menjadi inti perdebatan dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ada pandangan yang melihat pendidikan sebagai proses untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan pengetahuan serta informasi. Dalam konteks ini, penelitian amatlah penting untuk dilakukan. Pendidikan adalah proses membagi hasil penelitian kepada siswa, dan kepada masyarakat luas.

Di dalam pandangan ini, proses analisis adalah bagian utama dari pendidikan. Pendidikan berarti melihat dunia, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil (analisis) dengan tujuan untuk memahaminya. Kunci utama pendidikan adalah pemahaman yang benar yang didasarkan pada informasi, penelitian, dan pengetahuan yang juga benar. Namun, sayangnya, pandangan ini, walaupun terkesan ilmiah dan masuk akal, punya kelemahan yang amat fundamental.

Yang pertama, informasi ilmiah hasil dari analisis sering hanya berhenti semata menjadi pengetahuan, hanya olah intelektual, tanpa mampu mengubah pandangan hidup seseorang. Orang bisa amat cerdas menyerap beragam informasi ke dalam dirinya, tanpa mengalami perubahan cara berpikir atas dirinya sendiri dan hidup yang dijalaninya. Ini pula yang menjelaskan, mengapa banyak teroris adalah orang-orang yang amat cerdas secara intelektual, namun mampu melakukan perbuatan kejam dengan membantai orang-orang yang tak bersalah.

Tumpukan informasi dan pengetahuan juga tidak mengubah perilaku seseorang. Orang bisa menyebutkan makna kejujuran dari beragam agama dan pemikiran para filsuf, sambil terus melakukan korupsi. Informasi pada akhirnya menjadi tumpukan sampah di kepala yang tidak mendorong perubahan cara berpikir, apalagi perubahan perilaku sehari- hari. Pada titik ini, kita perlu mempertimbangkan pandangan kedua.

Pandangan kedua menyatakan, bahwa informasi dan pengetahuan tidak cukup, tetapi juga harus sampai pada pengkondisian nilai-nilai hidup,

sehingga akhirnya pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai keutamaan yang membawa perubahan cara berpikir, dan juga membawa perubahan perilaku sehari-hari. Inilah yang menurut saya menjadi inti dari pendidikan karakter. Akan tetapi, apakah pendidikan semacam ini sudah ideal? Saya melihat setidaknya satu kelemahan mendasar di dalam pendidikan semacam ini.

Dasar dari pendidikan adalah kebebasan. Informasi dan pengetahuan digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia di hadapan alam, sehingga ia tidak lagi tunduk patuh pada hukum-hukum alam semata, tetapi bisa bersikap kritis, dan turut serta di dalam menciptakan masyarakat, maupun alam. Konsep pengkondisian dan pembiasaan berusaha membentuk manusia seturut dengan hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan cara ini, eksistensi manusia disempitkan semata menjadi alat-alat masyarakat, dan kehilangan martabat yang dicirikan melalui kebebasannya.

Penyadaran

Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian (pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), saya ingin menawarkan satu pandangan, yakni pendidikan sebagai penyadaran (to be aware). Untuk menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan semua informasi maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu berhenti menganalisis segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. Orang harus belajar untuk unlearn.

Setelah semua informasi dan pengetahuan ditunda, dan pola berpikir analisis dihentikan, pendidikan harus mengajak orang untuk merasa, yakni merasa dengan keseluruhan eksistensi diri. Kejujuran tidak lagi sekedar konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang menempel di dalam seluruh diri. Kemurahan hati tidak lagi sekedar kebiasaan, yang sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan menjadi gerak keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam tentang realitas itu sendiri.

Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta, atau membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia terhadap diri dan lingkungannya. Untuk melahirkan kesadaran semacam ini, orang perlu belajar untuk berhenti belajar (unlearn), dan

melepaskan diri dari segala pola kebiasaan yang mencekik diri. Kesadaran mengubah cara orang di dalam melihat dunianya. Dan dengan itu, kesadaran mengubah seluruh diri manusia. Ia menjadi manusia yang bebas, bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan kebebasannya.

Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai menyerap dan memuntahkan informasi belaka. Ia tidak lagi menjadi robot-robot hasil bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu berpikir kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Membangun kesadaran berarti menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola pendidikan yang seringkali memenjara jiwa, melainkan melihat realitas apa adanya dengan segala rasa yang ada di dalam eksistensi diri manusia, lalu bertindak atas dasar rasa serta kebebasan itu.

Kualitas sebuah bangsa tidak dilihat dari tingkat ekonominya semata, tetapi dari kualitas pribadi orang-orang yang ada di dalamnya. Pribadi yang mirip bank informasi dan robot-robot patuh tidak akan membawa peradaban ke arah keagungannya, melainkan justru merusaknya. Pendidikan di Indonesia perlu menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma maupun kebijakan-kebijakannya. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun harapan yang konkret akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat untuk anak-anak kita.

Dalam dokumen reza a a wattimena dunia dalam gelembung (Halaman 71-75)