• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membongkar Gelembung Realitas

Dalam dokumen reza a a wattimena dunia dalam gelembung (Halaman 50-54)

Sekitar dua ratus tahun yang lalu, dunia berada di bawah telapak kaki Eropa Barat. Hampir semua bangsa masuk ke dalam genggaman kolonialisme, atau penjajahan, bangsa-bangsa Eropa Barat. Kekayaan alam dikeruk habis, dibeli dengan harga murah, bahkan dirampas, lalu di bawa ke negara-negara Eropa Barat. Di dalam proses itu, bangsa yang menjadi korban kolonialisme tenggelam dalam kemiskinan, perang saudara, dan penderitaan yang panjang serta dalam.

Kerajaan Inggris pada masa itu memiliki jajahan di lima benua. Di belakangnya menyusul Prancis, Spanyol, Portugal, Belanda, dan Jerman. Apa yang baik dan beradab dibuat berdasarkan nilai-nilai mereka. Segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka dianggap barbar, tidak beradab, maka perlu untuk ditaklukkan. Semboyan yang berkibar kencang pada masa itu adalah gold (emas), gospel (Injil Kristiani), dan glory (kejayaan).

Kolonialisme, yakni proses untuk menjadikan bangsa lain sebagai “budak” ekonomi, politik, dan kultural dari bangsa lain yang merasa diri lebih perkasa, rontok pada awal abad 20. Dua perang dunia menghantam Eropa, melenyapkan ratusan juta nyawa, dan memberi kesempatan bagi

bangsa-bangsa terjajah untuk bangkit merdeka. Indonesia adalah salah satunya.

Abad 20

Banyak bangsa yang menemukan kemerdekaan politiknya pada pertengahan abad 20. Secara politik institusional, mereka lepas dari Eropa Barat. Namun, ada yang tersisa di situ, yakni mentalitas bangsa terjajah yang masih mengendap di dalam cara berpikir dan pola perilaku bangsa- bangsa eks koloni tersebut. Hal ini paling tampak dalam soal pendidikan.

Kurikulum pendidikan, terutama di Indonesia, masih mengikuti pola pendidikan kolonial yang mengedepankan pendidikan “tukang”, yakni pendidikan teknis, yang hampa dalam soal kemampuan berpikir kritis (mempertanyakan secara logis dan rasional apa yang sedang terjadi) dan analitis (memecah masalah ke dalam bagian-bagian kecilnya, lalu menyelesaikannya satu per satu). Sastra, filsafat, dan humaniora, yang justru mengembangkan pola berpikir kritis, kreatif, dan analitis, dianggap sampingan dari kurikulum pendidikan bangsa-bangsa eks koloni, termasuk Indonesia. Penyakit pendidikan ini masih ada, sampai sekarang.

Setelah nyaris hancur total pada akhir perang dunia kedua, Eropa berusaha berbenah diri. Namun, mereka kecolongan. Amerika Serikat bangkit sebagai kekuatan ekonomi, politik, dan militer dunia yang baru. Hal ini terjadi pada pertengahan abad 20, sampai sekarang. Saya tergelitik untuk menyebut fenomena bangkitnya Amerika Serikat ini sebagai “Eropa yang Baru” (The New Europe).

Di negara-negara eks koloni, pada pertengahan abad 20, termasuk Indonesia, ada kesan, bahwa kemerdekaan sudah ada di tangan mereka. Namun, kesan itu salah, karena dalam banyak hal, seperti ekonomi, pendidikan, bahkan politik, campur tangan negara-negara Eropa Barat, kali ini ditambah dengan Amerika Serikat, masih amat kuat mencengkram. Dalam konteks ini, kemerdekaan hanya keseolah-olahan.

Kolonialisme Baru?

Dalam soal tata nilai kehidupan, hal yang sama pun terjadi. Apa yang baik, ilmiah, dan benar selalu tetap mengacu pada Eropa Barat dan AS. Apa yang indah dan apa yang beradab juga tak luput dari kriteria yang seringkali dibuat secara sewenang-wenang oleh Eropa Barat dan AS. Ini terjadi di

berbagai bidang, mulai dari pendidikan, seni, arsitektur, bahkan cara berpakaian sehari-hari. Pengaruh ini tertanam begitu dalam, sampai tak lagi menjadi bagian dari kesadaran masyarakat umum.

Sebenarnya, cukup banyak orang menyadari hal ini. Namun, mereka tak berdaya, karena segala perlawanan berarti menentang kultur dominan, dan dengan mudah dicap sebagai “tak beradab”, atau bahkan lebih parah, yakni “diktator”. Para penguasa politis yang mencoba untuk mendapatkan pembagian kapital yang adil dari kerja sama dengan perusahaan- perusahaan asing asal Eropa dan AS, sebagai pengelola sumber daya alam mereka, seringkali dicap sebagai “anti-investasi”. Jika sebuah negara sudah dicap diktator dan anti investasi, maka yang berikutnya adalah kebijakan embargo ekonomi, isolasi politik, dan akhirnya keruntuhan negara tersebut. Ini pola penaklukan politik yang banyak terjadi dari pertengahan abad 20, sampai sekarang.

Di dalam teori-teori neo-Marxisme, pola semacam ini disebut sebagai hegemoni, yakni penguasaan tidak hanya dengan senjata, tetapi juga dengan jalan-jalan penaklukan kultural. AS dan Eropa Barat tidak hanya bangga mempertontonkan keunggulan militer mereka, tetapi juga keunggulan kultur mereka melalui pendidikan, film, seni, dan musik, misalnya melalui Hollywood sebagai sarana penyebaran nilai-nilai AS. Ini semua terjadi untuk memberikan pembenaran kultural sekaligus militer atas apa yang terjadi, yakni kolonialisme dalam bentuknya yang baru, atau kolonialisme global abad 21.

Polanya tetap sama, yakni kesejahteraan negara-negara maju di abad 21 dibayar dengan kemiskinan, pembodohan, serta penderitaan negara- negara lainnya di dunia. Memang, kolonialisme yang dulu tak lagi tampak, karena negara-negara eks koloni terlihat sudah merdeka. Namun, kolonialisme global abad 21 ini bermain dengan hegemoni, sehingga tak terlihat mata, namun terasa sekali dampak-dampak merusaknya. Di tengah situasi ini, masih adakah jalan untuk melakukan perubahan, untuk memperbaiki keadaan?

Kontra Hegemoni

Tentu saja, hegemoni haruslah dilawan dengan kontra hegemoni. Langkah pertama adalah dengan menyadari, bahwa pola pikir dan perilaku kita masuk dalam hegemoni dari negara-negara dengan kekuatan politik

dominan di dunia. Setelah itu, kita perlu membangun ideologi yang utuh untuk menyatukan negara-negara eks koloni. Dalam arti ini, ideologi bukanlah kesadaran palsu, sebagaimana dinyatakan oleh para pemikir Marxisme, melainkan sebagai suatu sistem berpikir dan cara pandang yang utuh tentang dunia, yang membebaskan bangsa-bangsa eks koloni dari kolonialisme global abad 21.

Ideologi tersebut perlu untuk disuarakan oleh seluruh pemimpin bangsa-bangsa di dunia. Tujuan dasar dari ideologi tersebut adalah untuk membangun kekuatan serta kesadaran bersama, guna menciptakan tata dunia global yang lebih adil, yang tidak semata hanya menguntungkan sebagian kelompok, sambil merugikan kelompok lainnya, tetapi mampu sedapat mungkin memberikan kesejahteraan yang merata untuk seluruh dunia. Ideologi tersebut diikuti dengan pendekatan politis yang bersahabat, dan tidak dengan kampanye politik agresif.

Saya pikir, sudah waktunya kita membangun ideologi alternatif semacam itu.

Dalam dokumen reza a a wattimena dunia dalam gelembung (Halaman 50-54)