• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengolah Jiwa

Dalam dokumen reza a a wattimena dunia dalam gelembung (Halaman 66-71)

Biasanya, ketika berbicara tentang jiwa, orang berbicara tentang sesuatu yang abstrak. Jiwa itu tak kelihatan, maka orang mengangapnya terlalu rumit. Bahkan, beberapa ilmuwan menyatakan, bahwa jiwa adalah konsep tua yang tak lagi layak dipakai. Mereka lebih suka menggunakan konsep pikiran, daripada jiwa.

Pada hemat saya, untuk kepentingan praktis, kita tak perlu membuat pembedaan yang berlebihan. Kita bisa memikirkan jiwa sebagai suatu bentuk “pikiran”. Memang, jiwa memiliki kesan mentafisis yang tinggi. Sementara, konsep pikiran lebih terkait dengan aspek biologis manusia, yakni organ tubuhnya. Namun, kedua sama dalam hal yang mendasar, yakni keduanya berbeda dengan tubuh, dan dianggap sebagai penggerak utama dari hidup manusia, termasuk dari tubuh itu sendiri.

Kecemasan Hidup

Di dalam hidupnya, jiwa manusia seringkali mengalami kecemasan. Ketakutan dan kekhawatiran menjadi makanan sehari-hari dari jiwa. Tuntutan pekerjaan, ketakutan akan pemecatan, kekhawatiran akan masa depan, semuanya siap untuk merusak ketenangan jiwa. Ketika jiwa tersiksa,

maka orang tidak akan dapat hidup maksimal. Ia tidak akan bisa menjadi pelayan sejati, yakni manusia untuk manusia lainnya (men for others).

Apa sumber dari siksaan jiwa manusia? Orang Jerman punya istilah menarik tentang ini, yakni das Sein dan das Sollen. Das Sein adalah apa yang secara nyata terjadi. Sementara, das Sollen adalah apa yang seharusnya terjadi, atau apa yang kita harapkan terjadi. Celah antara dua hal ini, yakni antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang kita harapkan terjadi, inilah yang membuat jiwa kita tersiksa.

Kita berharap, setelah selesai sekolah, kita mendapatkan pekerjaan yang baik dengan pendapatan yang cukup. Inilah das Sollen yang kita bangun. Namun, nyatanya, saya harus menunggu cukup lama untuk mendapat pekerjaan. Ketika mendapatkannya pun, pendapatannya terlalu kecil, sehingga tak cukup untuk hidup saya. Inilah das Sein. Dijepit oleh situasi semacam ini, jiwa kita pun tersiksa.

Ketika jiwa tersiksa, maka lahirlah berbagai rasa negatif di dalam diri kita. Kecemasan mewarnai hari-hari. Ketakutan akan hal-hal yang tidak pasti membuat kita tak bisa menemukan kebahagiaan yang sejati. Hidup terasa sebagai keterpaksaan. Kematian melalui bunuh diri pun menjadi sebuah kemungkinan yang nyata.

Ironisnya, itulah situasi hidup banyak orang di masyarakat modern. Hidup mereka terombang ambing antara ketakutan satu dan ketakutan lainnya. Kecemasan dan ketakutan bagai iklan yang mengisi hari-hari mereka. Di dalam tempaan suasana menyiksa semacam itu, kegembiraan bagaikan titik sesaat yang akan segera berlalu. Kesejatian diri dan kebahagiaan yang sesungguhnya bagaikan belut yang selalu lolos dari genggaman tangan.

Pengolahan Jiwa

Pada titik ini, filsafat, sebagai ilmu yang berusaha merefleksikan seluruh kenyataan hidup manusia secara mendalam, bisa berperan. Sebagian orang berpendapat, bahwa filsafat itu rumit. Namun, seperti berulang kali dinyatakan oleh Bambang Sugiharto, filsuf asal Bandung, hidup yang tak tertata, yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan, jauh lebih rumit dan menyusahkan, daripada belajar filsafat itu sendiri. Filsafat sebagai ilmu berpikir dan reflektif tentang seluruh kenyataan hidup

manusia adalah awal dari kejernihan, dan kejernihan adalah awal dari kebahagiaan.

Langkah awal mengolah jiwa adalah dengan melihat ke dalam diri kita sebagai manusia. Di dalamnya, kita akan melihat setidaknya dua hal. Yang pertama adalah jati diri kita yang dibentuk oleh lingkungan sosial kita. Di dalamnya terdapat kebiasaan-kebiasaan kita, baik dalam konteks kebiasaan yang tampak dalam perilaku sehari-hari, maupun kebiasaan- kebiasaan yang terlihat di dalam cara berpikir kita, ketika menanggapi sesuatu. Saya menyebut ini sebagai jati diri sosial (social self).

Jati diri sosial adalah bagian dari diri kita yang bekerja sehari-hari. Ia adalah sumber dari semua perilaku dan kebiasaan kita, baik yang baik, maupun kebiasaan yang buruk. Ia juga adalah sumber dari cara berpikir kita, ketika kita menanggapi setiap peristiwa yang terjadi, baik itu peristiwa yang jelek, maupun yang menyenangkan. Semua ini lahir dari lingkungan sosial yang telah membentuk kita, semenjak kita kecil.

Namun, manusia tak hanya dibentuk secara sosial. Para filsuf sepanjang sejarah sudah menyatakan, ada sesuatu yang lebih mendasar dan lebih sejati daripada jati diri sosial setiap manusia. Mereka menyebutnya dengan macam-macam konsep, seperti transcendental unity of apperception, ego posits, dan sebagainya. Jati diri ini melampaui semua bentukan sosial, dan bersifat sejati, permanen, serta menjadi “esensi” dari manusia. Tidak ada bahasa yang cukup kaya untuk menggambarkan kerumitan sekaligus kekayaan dari jati diri sejati manusia ini.

Peristiwa sehari-hari yang terjadi pada kita, terutama yang membuat jiwa kita merasa tersiksa dan kecewa, sebenarnya terjadi pada jati diri sosial kita, yakni jati diri yang dibentuk oleh lingkungan sosial kita. Segala hinaan, kekecewaan, dan kebahagiaan dialami secara bergantian oleh jati diri sosial kita. Cara kita bersikap pada pelbagai peristiwa, baik itu dengan rasa kecewa ataupun senang, juga dialami oleh jati diri sosial kita.

Pada titik ini, yang perlu diingat adalah, bahwa jati diri sosial itu bersifat semu dan relatif. Keberadaannya amat rapuh, dan bisa diubah sesuai dengan keinginan dan kepentingan kita, selama kita menyadarinya. Untuk menjadi bahagia, kita perlu untuk menyadari keberadaan jati diri sosial ini, dan mengambil jarak darinya. Ketika kita sedih ataupun senang, kita harus sadar, bahwa yang sesungguhnya merasa sedih dan senang adalah bentuk sosial dalam diri kita, yakni jati diri sosial itu sendiri.

Misalnya, anda mendapat bonus dari kantor anda. Apa perasaan anda? Senang bukan? Perasaan senang anda adalah bentuk sosial yang berasal dari rumusan berikut; jika menerima uang atau penghargaan, jadilah senang. Itu sesuatu yang diajarkan oleh kita oleh lingkungan sosial kita, dan akhirnya menjadi kebiasaan di dalam diri kita. Dengan kata lain, kita hidup sehari-hari dengan kebiasaan dan cara berpikir maupun bersikap yang dibentuk oleh masyarakat kita.

Contoh lainnya. Di Surabaya, tempat saya bekerja, orang terbiasa berbicara dengan suara keras. Tidak ada orang yang tersinggung, karena lawan bicaranya berbicara dengan suara keras. Namun, jika orang yang berasal dari luar Surabaya berbicara dengan orang Surabaya, dan kebetulan menggunakan suara keras, maka kemungkinan besar, mereka akan tersinggung, karena di tempat lain, berbicara keras adalah tanda kurang ajar. Tanggapan terhadap suara keras pun dibentuk oleh lingkungan sosial kita.

Keberadaan jati diri sosial ini, yang bisa merasa senang sekaligus takut, haruslah disadari terlebih dahulu. Inilah langkah awal pengolahan jiwa. Setelah disadari, orang harus mengambil jarak dari jati diri sosial ini. Ia harus sadar, bahwa ketika ia merasa senang, yang sesungguhnya senang adalah jati diri bentukan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, ketika ia merasa sedih, yang sesungguhnya sedih adalah jati diri sosial yang juga adalah bentukan sosialnya.

Setelah orang memahami gerak jati diri sosial di dalam dirinya, perlahan namun pasti, ia akan menyentuh jati diri sejatinya, yang bersifat esensial, dan melampaui bentukan sosial. Sekali lagi, tidak ada bahasa yang cukup rumit untuk mendefinisikan jati diri sejati ini. Para mistik di berbagai tradisi religius maupun filosofis berupaya menggambarkannya dengan cerita, karena tidak ada satu kata yang bisa menggambarkannya secara tepat.

Ketika kita menyentuh diri sejati kita, dan mengambil jarak dari semua gejolak emosional yang diciptakan oleh jati diri sosial kita, maka kita akan hidup dalam kebebasan yang sejati. Kita tidak lagi merasa sedih ataupun senang, karena hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Yang dirasakan bukan lagi gejolak emosi sesaat, entah itu senang ataupun sedih, melainkan ketenangan yang sesungguhnya, yang bisa juga disebut sebagai kebahagiaan. Hinaan maupun pujian tidak lagi membuat emosi kita

bergejolak, karena kita sadar, bahwa itu semua ditujukan untuk jati diri sosial kita yang rapuh dan semu.

Pelayanan yang Sejati

Mekanisme pengolahan jiwa inilah yang membawa orang pada kesadaran sejati, dan tidak lagi dibuat susah oleh gejolak kehidupan yang terus berubah. Dengan cara ini, orang bisa jadi pribadi yang lebih reflektif, karena ia terus sadar apa yang terjadi di dalam jiwanya. Tindak melayani yang sejati terletak pada kebebasan diri, bukan emosi. Ketika orang sudah menyentuh jati diri sejatinya, dan menjaga jarak dari jati diri sosialnya, ia akan bisa melayani dengan bebas dan efektif.

Ia tidak melayani untuk mencari nama baik. Ia tidak melayani untuk bisa diterima di lingkungan sosialnya. Terlebih, ia tidak melayani untuk menjilat Tuhan, supaya diberikan hadiah oleh Tuhan. Ia melayani, karena tindakan itu sendiri sesuai dengan dorongan diri sejati yang ada di dalam jiwanya. Ia tidak membutuhkan pamrih, karena ia sadar, itu semua hanya kebutuhan dari jati diri sosial yang semu dan mudah berubah.

Ketika melayani, ia tidak merasa terhina, ketika gagal, atau ditolak dengan kasar. Ketika melayani, ia tidak merasa lelah, karena tidak ada orang yang menghargainya, karena ia memang tidak mencari penghargaan. Ketika bekerja dan melayani, ia tidak takut oleh ancaman, karena ia tahu, semua ancaman itu ditujukan pada jati diri sosialnya yang bersifat rapuh dan semu. Ia akan menjadi pelayan yang sejati, yang melayani dengan spiritualitas yang sejati, bukan dengan kepentingan sesaat, mencari nama baik, apalagi untuk menjilat Tuhan.

Dalam dokumen reza a a wattimena dunia dalam gelembung (Halaman 66-71)