• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Arahan Zonasi

Tujuan rencana zonasi adalah untuk memadukan pemanfaatan dan pembangunan sumberdaya jangka panjang dalam suatu kawasan perencanaan, serta untuk mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya (Bappeda Provinsi Sumatera Barat 2005). Undang-undang Perencanaan Tata Ruang (UU Nomor 26 tahun 2006) menetapkan 2 (dua) kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Zonasi pada lahan basah Muaragembong sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Dalam hal ini identifikasi isu- isu sumberdaya yang didapat dari kondisi dan potensi ekosistem serta berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan basah. Disamping itu zonasi yang diusulkan juga mempertimbangkan Kebijakan Tata Ruang pesisir Muaragembong tahun 2003 – 2013 Kabupaten Bekasi (Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi 2003), Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/Menhut-II/2005 yaitu perubahanan fungsi sebagai kawasan hutan lindung Ujungkarawang Muaragembong menjadi hutan produksi tetap, Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Zonasi ini

digunakan sebagai bahan usulan pengelolaan dalam menetapkan arahan pemanfaatan untuk setiap bagian dari lahan basah Muaragembong.

Pembagian zonasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Batas zona yang

digunakan adalah batas ekologi (habitat). Pada kawasan lahan basah Muaragembong dibagi menjadi dua kawasan yaitu (1) kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan lindung yang optimal bagi pengendalian abrasi dan akresi, serta perlindungan habitat satwa; (2) kawasan pemanfaatan umum.

Metode analisis dan pemetaan yang dilakukan dalam penentuan zonasi pemanfaatan lahan adalah Sistim Informasi Geografis. Perangkat yang digunakan adalah Program Arc GIS 9.3 untuk pengolahan data citra dan untuk pengolahan

data vektor dalam database lahan. Citra yang digunakan adalah citra LANDSAT

7 untuk mendapatkan pata Rupa Bumi (RBI) Tahun 2008, SPOT5 untuk mendapatkan peta Rupa Bumi (RBI) Tahun 2004, dan data digitasi RBI tahun 1946, 1992, dan 1998. Referensi posisi dan sistem koordinat yang digunakan mengikuti standar SNI (Standar Nasional Indonesia), yaitu sesuai dengan Peta Rupabumi Indonesia yang dipublikasikan oleh Bakosurtanal, skala 1:25 000.

Untuk mempercepat dan membuat lebih tepat dalam proses perhitungan luas pada Tabel 42, maka tahapan perhitungan luas dengan menggunakan GIS

sesuai dengan posisi dalam proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator).

Tahapan tersebut adalah sebagai berikut; (1) sumber peta dari citra maupu n dari peta rupa bumi, (2) peta didigitasi yang menghasilkan peta dalam koordinat lokal, (3) Posisi lahan basah Muaragembong berada pada UTM zona 49 selatan dengan hasil tersebut maka luas hasil digitasi akan sama luasnya yang ada dipermukaan bumi.

Proses penentuan zona dengan jalan overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2008 dengan (1) peta Ramsar (1987), (2) peta Tata Ruang Muaragembong Bekasi tahun 2003 – 20013, (3) Surat Keputusan Nomor 475/MENHUT-II/2005, (4) peta Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008, dan (5) hasil analisis kesesuaian lahan.

Disamping itu juga dilakukan secara partisipatif melibatkan masyarakat, pemerintah, pengusaha dan perguruan tinggi (pakar). Teknik pembahasan yang

37 dilakukan adalah forum diskusi. Forum diskusi dilaksanakan dengan Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat di kota Bekasi dan di kantor kecamatan Muaragembong yang diikuti oleh wakil dari setiap

stakeholder.

3.4.4 Penentuan arahan kebijakan pengelolaan

Penentuan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan adalah dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Analisis perubahan penggunaan lahan dengan jalan overlay beberapa peta tahun 1946, 1998, 2004 dan 2008. Pada tahap awal dilakukan kajian terhadap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah Muaragembong. Kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong mencakup dua hal utama yakni pengelolaan lahan basah dan kelembagaan pengelolaan lahan basah Muaragembong.

Strategi implementasi pengelolaan lahan basah dilakukan dengan diskusi

dengan stakeholder, difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang

pengelolaan lahan basah Muaragembong, dengan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan lahan basah Muaragembong.

Metoda yang digunakan adalah dengan cara forum diskusi yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu (1) forum diskusi I untuk menggali kebutuhan dan keberatan dari masyarakat terhadap pengelolaan lahan basah, (2) forum diskusi II adalah konsultasi hasil kompilasi masukan yang didapat dari masyarakat dan hasil penelitian kedalam usulan penelitian pengelolaan lahan basah.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi dan Potensi Ekosistem Lahan Basah Muaragembong.

Analisis kondisi dan potensi lahan basah Muaragembong dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi flora, fauna, geologi termasuk abrasi dan akresi dan kualitas air. Aspek yang diamati adalah perubahan kualitas lahan basah untuk jangka waktu tertentu. Peta yang digunakan adalah peta tahun 1946 (Gambar 4), peta 1998 ( Gambar 5), SPOT5 tahun 2004 (Gambar 6), dan LANDSAT7 tahun 2008 (Gambar 7).

4.1.1 Mangrove

Kondisi mangrove ditinjau terhadap; (1) perubahan luas penutupan mangrove tahun 1946, 1998, 2004, 2008 dan Ramsar (1987) yang mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove dan; (2) jumlah jenis mangrove yang hilang untuk tahun 2000, tahun 2003, tahun 2004, tahun 2005 dan tahun 2008; yang mengacu pada kriteria Ramsar tahun 1987. Kriteria tersebut menyatakan lahan basah Muaragembong adalah daerah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang

surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang

memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp.,

Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans) (Silvius et al. 1987).

1. Luas penutupan mangrove

Luas penutupan mangrove berkurang dari tahun ke tahun, diakibatkan oleh perubahan peruntukan penggunaan lahan. Kondisi ini disebabkan oleh eksploitasi berlebihan oleh masyarakat dan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah untuk penggunaan lahan basah, misalnya merubah kawasan hutan tetap menjadi kawasan hutan produksi tetap seluas 5 170 ha (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/MENHUT-II/2005). Hasil overlay beberapa kebijakan dengan kondisi lahan basah tahun 2008, menggambarkan prosentasi luas penutupan mangrove pada kondisi tahun 2008 di beberapa kebijakan sangat kecil (Tabel 14 dan Gambar 8).

39

41

43 Tabel 12 adalah hasil overlay peta Ramsar tahun 1987 seluas 10 481 ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Ramsar, tahun 2008 penutupan mangrove tinggal seluas 535 ha atau sebesar 5 % dari 10 481 ha. Tabel 13 adalah overlay peta Tata Ruang Tahun 2003 – 2013 Kabupaten Bekasi seluas 600 ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Tata Ruang, tahun 2008 penutupan mangrove hanya tinggal seluas 75 ha atau sebesar 13 % dari 600 ha. Tabel 14 adalah hasil overlay peta Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/MENHUT-II/2005 tahun 2005 seluas 8 390 ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, tahun 2008 penutupan mangrove hanya tinggal seluas 405 ha atau 5 % dari 8 390 ha. Serta Tabel 15 adalah hasil overlay peta Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 seluas 4 494 ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Peraturan Presiden tersebut, maka penutupan mangrove tahun 2008 hanya tinggal seluas 387 ha atau 8% dari 4 494 ha.

Hal ini menunjukan, luas lahan penutupan mangrove (lahan basah alami) pada tahun 2008, hanya 5% sampai dengan 13% jika dibandingkan dengan luasan penutupan mangrove yang terdapat pada Ramsar, Tata Ruang 2003-2013 dari Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Keputusan Menteri Kehutanan tahun 2005 serta Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008. Resume hasil analisis luas penutupan mangrove kondisi saat ini (2008), pada beberapa kebijakan pada lahan basah Muaragembong pada Tabel 16.

Tabel 12. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap Ramsar. Hasil Analisis

Lahan Basah Alami

(Mangrove) (ha) (%)

Luasan Ramsar 10 480 10 480 100

(Silvius et al., 1987)

Hasil Analisis 535 535 5

Penggunaan lahan basah alami tahun 2008 (Mangrove)

Total Mangrove pada Lahan Basah

Alami Penggunaan Lahan Bassah Tahun 2008

Terhadap Luasan Ramsar (ha) Lahan Basah Non Alami

Tabel 13. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap RTR 2003 – 2013.

Hasil Analisis

Lahan Basah Alami

(Kawasan Lindung) Pariwisata Kawasan Kawasan Pemukiman Perkantoran Pelabuhan (ha) (%)

Hutan Tambak & KPI

Peta Tata Ruang Kabupaten 600 932 9 286 1 462 673 72 535 600 100 Bekasi Tahun 2003-2013

Hasil Analisis 75 16 435 9 75 13 Penggunaan lahan basah

alami tahun 2008 (Mangrove)

Total Mangrove pada Lahan Basah

alami Penggunaan Lahan Basah Tahun 2008

Terhadap Peta Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2003-2013 (ha) Lahan Basah Non Alami

Tabel 14. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap SK 475/MENHUT-II/2005.

Hasil Analisis

Lahan Basah Alami

(Hutan Lindung) (ha) (%)

KEPMEN No. 475/Menhut-II/2005 8 390 5 170 8 390 100 Hasil Analisis 405 130 405 5 Penggunaan lahan basah

alami tahun 2008 (Mangrove)

Hutan Produksi Lahan Basah Non Alami Terhadap KEPMEN No.54/Menhut-II/2005 (ha)

Penggunaan Lahan Bassah Tahun 2008 Total Mangrove pada Lahan Basah

Alami

Tabel 15. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap PP 54/2008. Hasil Analisis

Lahan Basah Alami

(Hutan Lindung) Hutan Hutan Pemukiman Pemukiman (ha) (%)

Produksi Produksi Terbatas Hunian Padat Hunian Sedang

Perpres 54/2008 4 954 5 989 2 080 45 492 4 954 100

Hasil Analisis 387 131 17 387 8 Penggunaan lahan basah

alami tahun 2008 (Mangrove)

Total Mangrove pada Lahan Basah

Alami Penggunaan Lahan Basah Tahun 2008

Terhadap Perpres 54/2008 (ha) Lahan Basah Non Alami

Tabel 16. Hasil overlay luas penutupan mangrove (2008) dengan kebijakan- kebijakan di lahan basah Muaragembong.

Kebijakan pada lahan basah Muaragembong Luas penutupan mangrove

berdasarkan kondisi saat ini (peta tahun 2008) (%)

Ramsar 1987 (Silvius et al.) 5

Tata Ruang Kabupaten Bekasi (2003-2013) 13

KEPMEN 475/Menhut-II/2005 5

Perpres 54/2008 8

Luas kawasan hutan mangrove setiap tahun semakin menurun (Tabel 17 dan Gambar 9). Tahun 1946 luas kawassan hutan mangrove seluas 10 955 ha (104%) dan berdasarkan Ramsar tahun 1987 seluas 10.481 ha (100%), namun pada tahun 1998 menurun tajam menjadi seluas 704 ha (7%), tahun 2004 seluas

45 198 ha (2.3%) dan tahun 2008 menjadi tinggal 1.92 ha (2.17%). Perubahan pada pantai bagian utara akibat kegiatan penduduk. Berkurangnya luas kawasan mangrove akibat adanya pengaruh konversi lahan menjadi tambak dan sawah. Tabel 17. Luas penggunaan lahan basah untuk mangrove tahun 1946 s/d 2008.

Tahun 1946 1987

(Ramsar)

1998 2004 2008

Luas (ha) 10 955 10 481 704 198 192

Persentase (%) 104 100 8 2.3 2.17

Gambar 8. Luas penutupan mangrove kondisi saat tahun 2008 pada kebijakan yang berlaku di lahan basah Muaragembong.

- 2 000 4 000 6 000 8 000 10 000 12 000 1946 1987 (Ramsar) 1998 2004 2008

Perubahan Luas Kawasan Mangrove pada Lahan Basah Muaragembong Tahun 1946 - 2008 (ha)

Luas kawasan mangrove (ha) T a hun (ha)

2. Perubahan Jenis Mangrove.

Jenis mangrove yang terdapat di lahan basah ini, umumnya terdiri dari

Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp., dan Nypa fruticans.

Pada tahun 1998 dilakukan penanaman mangrove oleh Fakultas Kehutanan IPB,

Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi (Biro Lingkungan Hidup) dan Perhutani. Hasil penanaman sebagai berikut: pada daerah pantai cukup baik, sedangkan daerah lainnya mempunyai kondisi yang sangat buruk. Pada 30 m dari garis pantai terdapat jenis Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., dan Bruguiera sp.

Pada daerah tersebut, didominasi oleh Avicennia sp. yang merupakan permudaan

alam dan mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat (LPP Mangrove 2000). Permudaan hutan terus berlangsung dengan adanya pertambahan daratan yang terus-menerus sepanjang tahun. Mangrove tumbuh lebat di Muara Bendera dan Muara Sorongan. Mangrove tumbuh jarang di Tanjung Wetan. Di Muara Beting mempunyai dua jenis mangrove yang mempunyai ketebalan mangrove terluas

yaitu jenis Avicennia sp. dan Rhizopora sp., namun sebagian besar lokasi lain,

mangrove berkurang bahkan terancam hilang dengan tergantikannya dengan tanaman-tanaman daratan.

Di lokasi permudaan alam, didominasi oleh Avicennia sp. Di Muara

Bendera, komposi jenis didominasi oleh Avicennia sp., dan Rhizophora sp. Jenis

Avicennia sp. mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat dan merupakan

permudaan alam. Pada bagian pantai sebagian besar adalah Avicennia sp.,

sedangkan dekat muara banyak dijumpai jenis Rhizophora sp. Pada bagian tengah

tambak atau pada pinggir tambak dan sepanjang sungai banyak dijumpai jenis

Sonneratia sp. (Pidada). Sedangkan pada areal bekas pertambakan, persawahan

yang tidak terurus ataupun daratan yang terbuka yang sedikit digenangi oleh air

banyak dijumpai pohon Nipah (Nypa fruticans). Perubahan kawasan mangrove

menjadi kawasan pemanfaatan (tambak, sawah dan pemukiman), menyebabkan

berkurangnya satu jenis jenis mangrove yaitu jenis Bruguiera sp. dari lima jenis

mangrove yang ada (Tabel 18 dan Gambar 10), disebabkan oleh Bruguiera sp.

tumbuh pada bagian hulu lahan basah. Mangrove yang ada saat ini hanya pada daerah pantai. Jenis mangrove didominasi oleh Api-Api.

47 Tabel 18. Perubahan jenis mangrove di lahan basah Muaragembong.

No Jenis Mangrove Tahun

1987 2000 2003 2004 2005/2008

1. Avicennia sp. (Api-api) √ √ √ √ √

2. Bruguiera sp. (Tancang) √ √ √ - -

3. Rhizophora sp. (Bakau) √ √ √ √ √

4. Sonneratia sp. (Prapat) √ √ √ √ √

5. Nypa fruticans (Nipa) √ √ √ √ √

Sumber: Silvius et al. (1987), LPP Mangrove (2000 dan 2003), Handayani et al.

(2004), Suhaeri (2005) dan Observasi lapangan (2004, 2005 dan 2008).

Besarnya penutupan lahan alami sebesar 1.7% < 50% dari total luas lahan, maka berdasarkan kriteria kerusakan mangrove pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, kondisi mangrove dinyatakan rusak.

Gambar 10. Jenis mangrove yang ada di lahan basah Muaragembong.

4.1.2. Fauna

Jumlah jenis fauna dalam kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong (1987), diperbandingkan terhadap jenis fauna tahun 1994, 2000, 2002, 2004, 2005 dan 2008. Jenis fauna yang diamati adalah mamalia, burung dan reptilia serta ikan. Sedangkan jumlah fauna tidak termasuk dalam penelitian ini.

1. Mamalia.

Pada lahan basah ini, jenis mamalia dalam kriteria Ramsar ada tiga yaitu

Macan tutul jawa, kera ekor panjang dan lutung (Silvius et al. 1987). Di sepanjang

Ci Tarum, mamalia yang ditemukan adalah kera ekor panjang, banyak dijumpai di daerah sungai Kramat dan sungai Larangan, Lutung terdapat didaerah di Muara Beting dan Muara Bendera. Ancaman kepunahan mamalia tersebut adalah diburu dan pengrusakan hutan tempat hidup tempat sumber makanan dari satwa tersebut.

Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia (2002) menemukan beberapa jenis mamalia dan beberapa jenis satwa dalam kategori kriteria Ramsar yaitu jenis Lutung dan Kera Ekor Panjang. Tim Terpadu (2005) dan bedasarkan observasi lapangan (2006), terdapat Kera Ekor Panjang di daerah Sungai Kramat dan sungai Larangan dan Lutung di Muara Beting dan Muara Bendera.

Terdapat 15 jenis mamalia di kawasan hutan lindung Muaragembong (Tim Terpadu 2005).

2. Burung.

Pada lahan basah ini, jenis-jenis burung berdasarkan kriteria Ramsar yaitu Bluwok putih, Bangau tong-tong, Kacamata Jawa, Burung pecuk ular, Kuntul

kecil dan Burung kipas-kipasan (Silvius et al. 1987). Berdasarkan hasil

pengamatan Sunarto dan Melisch (1994), di kawasan mangrove, tepi sungai, tambak terdapat Kuntul Kecil dan Burung Kipas-kipasan. Di sepanjang Ci Tarum dijumpai Bluwok Putih, Bangau Tong-tong (LPP Mangrove 2000). Di berbagai habitat pada lahan basah Muaragembong terdapat Bluwok putih, Bangau tong- tong, Kuntul kecil, Burung pecuk ular, Kacamata jawa dan Kipas-kipasan (Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia 2002; Suhaeri 2005 dan Tim Terpadu 2005).

49 Dan tedapat Kuntul Kecil dalam jumlah yang cukup besar di Muara Bendera. Hal ini disebabkan hutan mangrove di daerah tersebut masih lebat.

Seratus lima puluh delapan (158) jenis burung tercatat di wilayah hutan lindung Muaragembong, enam jenis terancam punah berdasarkan kriteria IUCN (Tabel 20). Pada saat musim dingin di bumi belahan utara, jenis-jenis burung perancah dan burung laut seperti cerek, gajahan, trinil, kedidi dan dara laut akan berimigrasi ke selatan termasuk ke wilayah hutan lindung Muaragembong (Tim Terpadu 2005).

Di sepanjang Ci Tarum dijumpai Bluwok Putih, Bangau Tong-tong, (LPP Mangrove 2000). Di berbagai habitat pada lahan basah Muaragembong terdapat Bluwok Putih, Bangau Tong-tong, Kuntul Kecil, Burung Pecuk Ular, Kacamata Jawa dan Kipas-kipasan (Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia 2002; Suhaeri 2005 dan Tim Terpadu 2005). Dalam peninjauan lapangan, di Muara Bendera tedapat Kuntul Kecil dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini disebabkan hutan mangrove di daerah tersebut masih lebat.

3. Reptilia

Terdapat enam jenis reptilia termasuk Biawak sesuai kriteria Ramsar

(Silvius et.al. 1987) di lahan basah Muaragembong yang berada di sepanjang Ci

Tarum (LPP Mangrove 2003; Suhaeri 2005 dan Tim Terpadu 2005).

5. Ikan

Sebanyak 11 jenis ikan di lahan basah Muaragembong, yaitu Kepala Timah, ikan Sepat, ikan Kakap, ikan Bandeng, ikan Gabus, ikan Mujair, ikan Blosok, ikan Sidat, ikan Belanak, ikan Blodok dan ikan Sembilang. Sebanyak 2 016 ton/tahun produksi ikan dari empang dan 1 120.50 ton/tahun ikan dari laut lepas yang dihasilkan dari kecamatan Muaragembong (Tim Terpadu 2005).

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka disimpulkan bahwa fauna yang hilang adalah satu jenis mamalia (Macan tutul jawa) dari tiga jenis yang ada, sedangkan jenis burung dan reptilia tidak mengalami penurunan jenis (Tabel 19), atau dengan kata lain masih dijumpai jenis fauna dalam kriteria Ramsar.

Tabel 19. Keadaan populasi fauna di Muaragembong berdasarkan berbagai laporan penelitian.

Jenis fauna

Jenis fauna berdasarkan kriterian Ramsar

Jenis fauna berdasarkan tahun 1987 1994 2000 2002 2005 2008 Mamalia 1. Macan Tutul Jawa (Panthera

pardus melas).

√ - - - - -

2. Kera Ekor Panjang (Macaca

fasciculairs).

√ √ √ √ √ √

3. Lutung (Trachypithecus cristata). √ √ √ √ √ √ Burung 1. Bluwok Putih (Mycteria cinerea). √ √ √ √ √ √

2. Bangau Tong-tong (Leptoptilos

javanicus).

√ √ √ √ √ √

3. Kacamata Jawa (Zosterops flavus). √ √ √ √ √ √ 4. Burung Pecuk Ular (Anhinga

melanogaster).

√ √ √ √ √ √

5. Kuntul Kecil (Egretta garzetta). √ √ √ √ √ √ 6. Burung Kipas-kipasan (Rhipidura

javanica).

√ √ √ √ √ √

Reptilia 1. Biawak (Varanus salvator). √ √ √ √ √ √

Sumber: Data diolah dari Silvius et al. (1987), Sawego (1994); LPP Mangrove

(2000), DKP-PKSPL IPB (2000); Pusat Studi Kelautan UI (2002); Tim Terpadu (2005); dan Peninjauan lapangan (2004, 2005 dan 2008).

4.1.3. Geologi Pesisir

Fisiografi dataran pantai ini seluruhnya merupakan daerah datar yang agak miring ke arah utara (Situmorang 1997). Wilayah lahan basah Muaragembong berdasarkan Peta Sketsa Zona Fisiografi Jawa dan Madura (Van Bemmelen 1949 dalam Situmorang 1982) terletak pada Dataran Aluvium Utara Jawa yang terkenal dengan sebutan ”Dataran Pantai Batavia”. Pedataran pantai ini terbentang mulai dari barat ke timur, dari Provinsi Banten sampai ke Provinsi Jawa Timur dengan ketinggian dari muka laut antara 1 meter sampai 10 meter.

Geologi di wilayah ini terdiri dari endapan yang terbentuk dari hasil sedimentasi. Endapan tersebut umumnya ditutupi oleh endapan dataran banjir, sehingga untuk mengetahui endapan lainnya harus dilakukan pemboran. Data bor hingga kedalaman 16 meter (Situmorang 1982) dan peta geologi Kuarter (Koesoemadinata dan Situmorang 1985) (Gambar 11), menunjukkan beberapa endapan yang mendominasi yaitu: endapan laut dangkal, endapan rawa diatas endapan laut dangkal, endapan pantai dan pematang pantai diatas endapan laut dangkal, endapan dataran banjir diatas endapan rawa dan endapan sungai.

51

Gambar 11. Peta geologi kuarter lembar Batujaya dan Galian, Jawa

(Koesoemadinata et al. 1981).

Fasies-fasies ini umumnya relatif muda, berlangsung selama Holosen (Awal Kuarter). Berdasarkan penentuan umur mutlak C-14 dating (Situmorang 1983) telah diketahui umur endapan laut dan gambut yang berjarak 20 km dari garis pantai, pada kedalaman 6 m dari permukaan tanah berumur sekitar 6 000 tahun. Berarti Dataran Pantai Batavia tersebut ditafsirkan terbentuk pada masa Holosen (kurang dari 10 000 tahun yang lalu).

Topografi di wilayah lahan basah Muaragembong (Gambar 12) berkisar antara 1 sampai 4 m, dimana wilayah pantai paling datar terdapat di bagian utara

didominasi oleh ketinggian 1 dan 2 m. Wilayah yang terdatar ketinggian 0 - 1 m terdapat di sekitar Muara Tanjung Karawang – Tanjung Bungin. Batimetri wilayah perairan ini termasuk perairan dangkal berkisar antara satu sampai 22 meter di bawah laut (Gambar 12). Daerah pendangkalan terluas terletak di selatan Muaragembong sampai Muara Tawar (Situmorang 1997).

Gambar 12. Peta topografi dan batimetri pada lahan basah Muaragembong (Peta Rupabumi Tahun 1981/1982).

Faktor penting yang menentukan ciri ekologis lahan basah adalah pola aliran air, frekuensi dan lamanya genangan, dan pasokan air tawar. Pola aliran air di pantai dipengaruhi oleh arus laut regional pada wilayah pantai Utara dan arus pasang surut pada wilayah Barat (Tim Terpadu 2005). Pola aliran air di dataran dipengaruhi oleh keberadaan Ci Tarum beserta anak-anak sungainya dan topografi pada lahan basah ini.

Frekuensi dan lamanya genangan dipengaruhi oleh curah hujan dan pasang surut. Curah hujan pada daerah ini relatif kecil sekitar 1 500 – 1 700 mm/tahun (BMG Jakarta 1971). Perairan pada lahan basah Muaragembong memiliki perairan yang relatif sama untuk pesisir di utara Jawa lainnya, yaitu dengan tipe

53 pasang surut diurnal (perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari). Tinggi pasang surut berkisar antara 27 – 97 cm. Tunggang air pasang tertinggi (TAPT) di perairan pantai Jawa utara adalah 1.1 meter (KMNLH RI dan PKSPL dalam Tim Terpadu 2005).

Pasokan air tawar pada lahan basah dipengaruhi oleh keberadaan Ci Tarum dan Ci Herang. Ci Tarum terdapat di wilayah administrasi desa Pantai Bahagia, yang mengalir dari arah timur ke barat. Sedangkan Ci Herang yang mengalir hampir sejajar dengan aliran Ci Tarum, bermuara di wilayah administrasi Desa Harapan Jaya. Musim kemarau, tidak pernah mengalami kekeringan atau masih tersedia air, sedang musim penghujan volume dan debit air begitu tinggi sehingga sering mengalami kelimpahan air yang menyebabkan banjir menggenangi areal-areal disekitarnya. Kelimpahan air semakin meningkat apabila dimusim penghujan disertai oleh peristiwa air laut pasang. Pengaruh kontribusi hujan sangat berarti terhadap kelimpahan air di badan-badan sungai utama maupun anak-anak sungainya. Kelimpahan air yang terdapat di desa Harapan Jaya, terutama di wilayah-wilayah pengelolaan budidaya pertanian sering merupakan faktor penunjang keberhasilan budidaya pertanian. Tipe aliran sungai

merupakan tipe braided river yang secara umum sungai utamanya masih belum

banyak berubah. Sungai-sungai dengan ukuran dan debit yang relatif kecil merupakan anak-anak sungai Ci Tarum maupun Ci Herang. Musim kemarau, tidak pernah mengalami kekeringan atau masih tersedia air, tetapi baik volume maupun debit air di sungai-sungai tersebut menjadi sangat berkurang. Musim penghujan volume dan debit air begitu tinggi sehingga sering mengalami kelimpahan air yang menyebabkan banjir menggenangi areal-areal disekitarnya. Kelimpasan dan pasokan air tawar dipengaruhi oleh keberadaan sungai tersebut.

Data foto udara tahun 1981/1982 (Gambar 13) memperlihatkan bahwa sungai yang mengalir di wilayah lahan basah Muaragembong terdiri dari Ci Tarum, Kali Bekasi, Ci Karang, Ci Herang, Kali Kratan. Ci Tarum merupakan sungai yang mendominasi wilayah ini dengan anak-anak sungainya seperti Kali Muaragembong, Solo Bungin, Solo Wetan dan Solo Kulonsorongan. Pola aliran sungai di bagian selatan sebagian besar telah diubah oleh penduduk setempat menjadi saluran irigasi pertanian.

Gambar 13. Pola dan daerah alirah aliran sungai sekitar lahan basah Muaragembong

Berdasarkan penafsiran data foto udara tersebut, maka dapat ditentukan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu:

a. DAS Citarum Utara, merupakan bagian dari aliran Ci Tarum di sebelah utara

dengan anak-anak sungainya yaitu Solo Bungin, Solo Wetan dan Solo

Kulonsorongan. Tipe aliran sungai merupakan tipe Braided River yang secara

Dokumen terkait