• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Pengelolaan Lahan Basah Pesisir

Untuk mengelola lahan basah secara efektif, diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai isu utama yang akan dilakukan dan dampaknya terhadap lahan basah, flora dan fauna, dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Isu yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori; (1) lahan basah membutuhkan pengelolaan sumberdaya fisik seperti air dan sumberdaya biologisnya seperti burung, ikan, satwa liar, dan vegetasi, (2) lahan basah dapat dikelola sebagai masalah khusus yang secara umum berasal dari aktivitas antropogenik seperti pengendapan dan polusi, (3) lahan basah juga dapat dikelola dari jasa-jasa lingkunganya seperti rekreasi dan nilai estetika (Gopal 1995).

Suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis apabila pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien, berkelanjutan secara ekologi apabila dapat mempertahankan integritas ekosistem, memeliharan daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan berkelanjutan secara sosial apabila pemerataan hasil-hasil, mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Serageldin 1996).

Pembangunan berkelanjutan dari suatu lingkungan alami adalah mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial di satu pihak dan melindungi alam di pihak lain, dengan kata lain, antara pemanfaatan di satu pihak

dan konservasi di lain pihak. Banyak kegiatan manusia yang secara ekologis tidak berkelanjutan dan menyebabkan degradasi serta hilangnya lahan basah. Konvensi Ramsar telah mengembangkan panduan untuk pemanfaatan lahan basah secara bijaksana yaitu penggunaan lahan basah yang lestari untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan tetap menjaga sifat-sifat alami dari ekosistem. Konsep pemanfaatan bijaksana tersebut, menunjukkan modifikasi pemanfaatan lahan basah oleh manusia sehingga memberikan keuntungan secara kontinu kepada generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang. Pengelolaan ini harus diadaptasikan kepada masyarakat lokal, agar menjadi budaya dalam pemanfaatan lahan basah yang sifatnya masih tradisional (Biro Konvensi Ramsar 1997).

Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah konservasi sumberdaya, harmonisasi pembangunan dengan pemanfaatan lingkungan fisik, meningkatkan kualitas lingkungan, keadilan sosial, partisipasi politik: meningkatkan partisipasi dalam pembuatan keputusan politik dan berinisiatif dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan pada semua level komunitas lokal ke atas (Blowers 1995).

Kondisi lahan basah yang kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal apabila mengalami degradasi, memerlukan pengelolaan yang bijaksana. Pengelolaan lahan basah khususnya di negara berkembang sudah banyak dilakukan. Konsep mitigasi lahan basah, dan restorasi dan mitigasi telah menjadi strategi konservasi lahan basah (Swanson 1979; Brinson and Lee 1990). Konsep mitigasi mencakup tindakan preventif dan korektif selama dan setelah kegiatan berlangsung yang berdampak negatif terhadap lahan basah sedangkan restorasi merupakan proses pengembalian fungsi-fungsi ekologis bagi lahan basah yang terdegradasi. Dalam rangka mencapai pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di daerah, maka terdapat pentahapan unsur-unsur utama kerangka kerja pengelolaan wilayah pesisir terpadu di daerah yang terdiri atas perencanaan strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil seperti pada Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dilaksanakan dengan tahapan: (1) Rencana strategis, (2) Rencana Zonasi (3) Rencana Pengelolaan (4) Rencana Aksi.

19

Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara

terpadu (Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).

Fungsi lahan basah mencakup keanekaragaman hayati, pengisian kembali air tanah, penyimpan air, kualitas air, habitat, dan pemanfaatan langsung lahan basah oleh manusia seperti rumput, stok makanan ternak, perburuan, dan rekreasi. Fungsi lahan basah ini sangat bernilai bagi masyarakat. Variabel ekonomi dan lingkungan ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi nilai sosial lahan basah di kawasan pertaniann (CAST 1994; Berry and Buechler 1993). Dalam

buku Handbook of Wetland Management (WWF – India 1995), hal yang perlu

diperhatikan pengelolaan lahan basah selain pengelolaan habitat dan pemanfaatan lahan basah adalah perhatian terhadap pelibatan masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan, kegiatan monitoring lahan basah, dan penegakan hukum dan kelembagaan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan lahan basah merupakan salah satu indikator kunci keberhasilan. Pelibatan masyarakat dalam hal ini berorientasi pada konsep pembangunan partisipatif dimana masyarakat lokal turut menentukan tujuan dan sasaran kebijakan dan berperan dalam proses untuk mencapai tujuan. Masyarakat yang terkait dengan pengelolaan lahan basah adalah mereka yang berpotensi terkena dampak atau memiliki kekuatan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan, yang disebut

agar masyarakat terlibat dalam kegiatan pengelolaan antara lain: inisiasi konsep kegiatan oleh masyarakat lokal, kepemimpinan lokal yang disegani sehingga dapat mengendalikan kegiatan masyarakat lokal, komposisi sosial-ekonomi masyarakat, dan pendekatan pengelolaan oleh masyarakat secara sukarela (WWF- India 1995).

Pengelolaan lahan basah, khususnya lahan basah pesisir membutuhkan pendekatan dari tiga dimensi yakni pengelolaan lahan basah itu sendiri, pengelolaan sumberdaya pesisir dan pengelolaan daerah aliran sungai. Ketiga pendekatan ini harus terpadu dan terintegrasi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pengelolaan suatu ekosistem yang kompleks. Monitoring merupakan proses pengukuran perubahan karakter ekologi pada lahan basah sepanjang periode tertentu. Kegiatan monitoring merupakan bagian dari pengelolaan lahan basah. Kondisi lahan basah dapat dinilai dengan memeriksa kondisi lingkungan dan menyesuaikan hasil pengamatan ini dengan tujuan dan sasaran pengelolaan.

Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, yang selanjutnya disebut kawasan Jabodetabekpinjur adalah kawasan strategis nasional yang meliputi seluruh wilayah Propinsi Khusus Ibukota Jakarta, sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Propinsi Banten. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Sepadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi pantai. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008).

21

Dokumen terkait