• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Potensi dan Kondisi Ekosistem Lahan Basah

Menurut Green (1998), beberapa hal penting pada lahan basah adalah: hidrologi, flora, fauna, kualitas air, penggunaan lahan, tanah dan substrat serta air tanah. Dalam penelitian ini, yang diamati adalah flora, fauna, geologi termasuk akresi dan abrasi, serta penggunaan lahan.

Kriteria Ramsar adalah kriteria identifikasi lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional atau dapat dikatakan, suatu lahan basah dapat diidentifikasikan sebagai daerah yang mempunyai kepentingan internasional apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria Ramsar tersebut diatas. Burung air yang dimaksud dalam Konvensi ramsar adalah burung-burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah (Ramsar 1971). Vegetasi di lahan basah dapat memperlambat aliran air sehingga mempercepat pengendapan sedimen dan menjernihkan air. Di samping itu vegetasi juga mampu menyerap unsur hara dan bahan pencemar yang berlebihan sehingga dapat menjaga kualitas air.

Kriteria untuk identifikasi lahan basah dengan kepentingan internasional (Ramsar Resolution COP VIII.13 2002), terdapat empat kelompok kriteria pengidentifikasian suatu kawasan lahan basah sebagai kawasan lahan basah yang memiliki nilai universal penting (untuk tercatat kedalam Daftar Situs Ramsar/Ramsar list) (Tabel 2).

Tabel 2. Kriteria Ramsar untuk kepentingan internasional. A. Keterwakilan langka atau unik, yaitu :

Kriteria 1 : Lahan basah tersebut merupakan suatu contoh keterwakilan,

langka atau unik dari tipe lahan basah alami atau yang mendekati alami, sesuai dengan karakteristik wilayah biogeografisnya.

B. Konservasi keanekaragaman hayati, yaitu:

Kriteria 2 : Lahan basah tersebut mendukung spesies rentan, langka atau

hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam.

Kriteria 3 : Lahan basah tersebut mendukung populasi jenis-jenis

tumbuhan dan/ atau hewan yang penting bagi pemeliharaan keanekaragaman hayati di wilayah biogeografi yang sesuai,

Kriteria 4 : Lahan basah tersebut mendukung jenis-jenis tumbuhan dan/

atau hewan yang kritis dalam siklus hidupnya atau merupakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis tersebut saat melewati masa kritis dalam siklus hidupnya

C. Kriteria khusus Waterbirds (Burung Air), yaitu :

Kriteria 5 : Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh

20.000 atau lebih jenis burung air.

Kriteria 6 : Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh

individu-individu dari satu spesies/sub spesies burung air hingga 1% dari total populasi spesies/sub spesies burung air tersebut.

D. Kriteria khusus ikan, yaitu :

Kriteria 7 : Lahan basah tersebut mendukung/dihuni oleh proporsi yang

nyata dari species/sub species/famili ikan-ikan asli, perkembangan sejarah kehidupan dan interaksi satu sama lainnya sehingga menunjukan adanya nilai-nilai atau kontribusi penting dari lahan basah tersebut terhadap keanekaragaman hayati global.

Kriteria 8 : Lahan basah tersebut merupakan sumber makanan yang

penting bagi ikan-ikan, tempat berpijah dan asuhan dan/atau sebagai jalur migrasi untuk stok ikan yang berada di lahan basah tersebut atau tempat lain di luar lahan basah tersebut.

Air adalah bagian integral dari ekosistem dan merupakan barang sosial dan ekonomis yang kualitas dan kuantitasnya menentukan sifat penggunaannya. Pengelolaan air secara terpadu dijelaskan sebagai suatu proses untuk mendorong koordinasi dalam pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait, yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi

15

Partnership 2000). Unsur kunci dalam alokasi air adalah keterlibatan stakeholder

dalam proses pembuatan keputusan. Melalui partisipasi stakeholder pemanfaatan

dan penggunaan air yang beragam dalam satu areal tangkapan air harus ditetapkan sesuai dengan tujuan alokasi air, yang harus melibatkan ciri ekologi lahan basah yang diharapkan. Tujuan alokasi air ke lahan basah diutamakan untuk kepentingan ekologis atau berkaitan dengan praktek penggunaan secara bijaksana, seperti

untuk perikanan (Ramsar Resolution COP VIII.14 2002).

Kondisi hidrologi merupakan faktor yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi lahan basah, walaupun hubungan sebab akibat yang sederhana namun sulit untuk dipertahankan. Kualitas air merupakan hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan lahan basah. Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak dari kualitas air terhadap nilai dari lahan basah seperti salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, keasaman yang berdampak terhadap flora dan fauna di lahan basah (NSW 2004). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0.5 psu, perairan payau antara 0.5 – 30 psu, dan perairan laut 30 – 40 psu. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40 – 80 psu. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003).

Lahan basah Muaragembong di dominasi oleh atau dibentuk oleh endapan sungai yang ditransfer oleh air. Bahan-bahan tersebut adalah bahan erosi yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS), baik sepanjang sungai maupun anak-anak sungai, khususnya dihulu sungai di mana topografi umumnya berundulasi, kadang-kadang terjal. Proses erosi di pantai adalah bagian dari transportasi sedimen yang tergantung pada profil pantai dan proses pantai di bawah pengaruh

gelombang, pasut dan arus (Moore et al. 1993). Erosi di pantai (abrasi) dalam hal

ini lahan basah pesisir membentuk serta merubah bentuk pantai dan membentuk morfologi pantai (Bird 1996).

Keterpaduan konservasi lahan basah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, keterpaduan konservasi lahan basah dan pemanfaatan secara bijaksana dalam pengelolaan daerah aliran sungai merupakan hal yang penting untuk dimaksimalkan dan dipertahankan agar keuntungan-keuntungan yang

diberikan lahan basah kepada masyarakat dapat tetap dinikmati (Wetlands

International 2003).

Zona pantai adalah peralihan yang relatif sempit antara laut dan darat, dimana fungsi dan proses ekologi yang komplek dan intensif yang bergantung pada interaksi antara laut dan darat (Ramsar Resolution VIII.4 2002). Zonasi bertujuan untuk membagi wilayah darat dan laut dalam kawasan yang sesuai

dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible)

serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible).

Zona merupakan suatu kawasan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama untuk suatu peruntukan yang sesuai di daratan dan laut (MCRMP-DKP 2004).

Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/264/KPTS/4/1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Departemen Kehutanan Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu sebesar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Disamping itu dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan lindung berupa kriteria sepadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Diperkirakan pasang surut pantai Utara Pulau Jawa lebih kurang 1.1 meter, sehingga lebar sepadan pantai berhutan bakau sekitar 143 meter atau 150 meter. Pada lahan basah Muaragembong, yang memungkinkan pembentukan kawasan lindung adalah hutan mangrove.

Rehabilitasi lahan basah didefinisikan oleh Whitaker (1998) sebagai: (1) aktivitas pemeliharaan di dalam atau di sekitar kawasan lahan basah alami yang meningkatkan fungsi dan status ekologi, (2) aktivitas yang mengurangi kesenjangan antara keuntungan yang diberikan oleh lahan basah saat ini dengan keuntungan yang seharusnya diberikan, dan (3) bagian dari pengelolaan lahan basah seperti menyembuhkan seseorang dari sakit. Rehabilitasi bukan sebagai

17 pengganti konservasi. Rehabilitasi lahan basah mencakup identifikasi proses- proses alami lahan basah dan meminimalkan aktivitas-aktivitas yang mengancam. Proses rehabilitasi mencakup: menilai kondisi eksisting, identifikasi sumberdaya air, identifikasi pengelolaan air, dan memperhatikan aktivitas yang dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi lahan basah (Richardson 1998). Klasifikasi lain yang membagi lahan basah (Duggan 1990) yang antara lain budidaya perairan / perikanan dan pertanian.

Dokumen terkait