• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TIGA PENGKRITIK

A. Giambattista Vico

Gugatan utama Vico terfokus kepada klaim kebenaran subjektif yang dideklarasikan oleh kaum Pencerahan, dalam hal ini diwakili oleh Rene Descartes. Descartes telah mendaku menemukan satu pendasaran bagi kebenaran yang pasti melalui apa yang dia sebut sebagai kesangsian metodis atau metode kesangsian (le doute methodique).44 Untuk mencapai kebenaran, mula-mula kita harus meragukan segala sesuatu. Keraguan harus ada sebab jangan-jangan semua kebenaran yang kita andaikan adalah tipuan belaka dari semacam iblis yang begitu cerdik (genius malignus), khayalan-khayalan yang tak berdasar, atau bahkan Tuhan itu sendirilah yang telah menipu, bahkan tipuan itu sendiri.

Metode kesangsian menjadi penting bagi dasar kepastian adalah bahwa dengan menyangsikan segala sesuatu, maka akan ditemukan satu kepastian, yakni kesangsian itu sendiri. Yang pasti dari semua kesangsian adalah kesangsian itu sendiri. Dari sana kemudian ditemukan bahwa aku yang sangsi benar-benar ada. Semakin kita menyangsikan, termasuk menyangsikan bahwa kita sangsi, maka kita semakin nyata. Menyangsikan adalah satu bentuk kegiatan berpikir, maka berpikir adalah proses mengada. Descartes mengatakan je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).45

44

Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 38.

45

Descartes kemudian menemukan apa yang disebut res cogitans sebagai ide bawaan yang melekat pada manusia sejak semula. Tapi pada kenyataannya, manusia tidak hanya terdiri dari pikiran, melainkan juga sesuatu yang bisa diraba dan dirasakan. Oleh karenanya, kejasmanian adalah sesuatu yang nyata. Kejasmanian ini juga adalah ide bawaan. Descartes menyebut kejasmanian dengan istilah res axtensa. Pada akhirnya, Descartes juga menemukan bahwa aku juga memiliki ide kesempurnaan yang juga merupakan bawaan sejak lahir. Allah adalah ide bawaan.

Kendatipun Descartes mengakui bahwa bukan hanya res cogitans yang menjadi ide bawaan, melainkan juga res extensa dan Allah, tetapi tampak nyata bahwa res cogitans memiliki otoritas yang lebih tinggi. Aspek pikiran cenderung mendominasi dalam filsafat Descartes, itulah sebabnya ia masuk dalam aliran rasionalisme. Aliran ini berkeyakinan bahwa kebenaran pengetahuan diperoleh dari rasio, bukan dari kenyataan di luarnya.

Pada titik inilah Vico masuk untuk melakukan gugatan terhadap Descartes. Keyakinan Descartes pada kebenaran matematis dari realitas digugat, karena hal ini mengabsolutkan kebenaran manusia atau subjek. Dualisme subjek-objek benar-benar merupakan reduksi terhadap kebenaran sejati. Bagi Vico, manusia tidak serta merta bisa mengetahui segala sesuatu dengan melakukan kesimpulan secara clear and distinct karena realitas adalah proses yang terus berjalan.

Kriteria kebenaran bagi Descartes adalah sejauh klaim kebenaran itu berada dalam kategori clear and distinct.46 Kemajuan intelektual sejati tergantung, sebagaimana pandangan natural science, kepada reduksi atas sesuatu yang dipelajari ke dalam clear and distinct, konsep dan keputusan yang bersifat matematis. Vico mengatakan, jika begitu, maka para sejarawan dan ahli purbakala bisa menyampaikan kepada kita tahun-tahun sejarah Republik Romawi hanya dengan informasi tidak lebih dari pembantu Cicero. Inikah yang disebut science?47 Awalnya Vico menerima pandangan semacam ini, tapi kemudian dengan sangat berani menyerangnya.

Bagi Vico, pengetahuan sempurna hanya diperoleh melalui kasus-kasus, dalam bahasa Vico disebut per caussas. Mengetahui sesuatu secara sempurna hanya jika, dan hanya jika, kita tahu kenapa ia ada sebagaimana adanya, bagaimana ia datang untuk ada, untuk apa ia ada, atau apa dia, bukan semata-mata karena dia ada dengan segala atributnya. Pemahaman tentang per caussas adalah ide kuno yang telah ditemukan dalam filsafat skolastik.48

Dari sini kemudian Vico menghubungkan pengetahuan dengan proses penciptaan. Francisco Sanchez, dalam Quod Nihil Scitur (1581), dalam satu diskusi mengenai sukarnya mengetahui alam dan kekuatan jiwa, menyebutkan bahwa jika manusia ingin memiliki pengetahuan ini dalam tingkat yang sempurna maka

46

Lihat Isaiah Berlin, Three Critics of the Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 30.

47

Berlin, Three Critics.

48

hendaklah ia menjadi seperti Tuhan, atau menjadi Tuhan itu sendiri.49 Vico mengatakan: “Kita mendemonstrasikan geometri karena kita memakainya.”50

Tuhan mengetahui dunia karena Ia yang membuatnya dengan cara dan alasan yang hanya Ia yang tahu, sementara kita tidak pernah mengetahuinya secara sempurna, karena bukan kita yang membuatnya – karena kita menemukannya siap pakai – dia telah terberi sebagai sebuah ‘brute fact.’51 Hal yang sama bisa diajukan bagi para pengarang novel, bahwa yang paling mengerti maksud dan tujuan satu novel adalah pengarangnya sendiri. Tapi tidak semua apa yang dibuat oleh novelis atau composer atau pematung benar-benar baru, ada saja hal yang ia ambil dari sesuatu yang terberi. Berarti, dalam karya manusia selalu ada unsur ‘brute fact’nya. Manusia hanya bebas menentukan pilihannya, tapi pilihan itu terbatas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, semakin kita memahami per caussas, maka pengetahuan kita semakin memiliki kemungkinan benar (the more we can be said to understand per caussas, the more we truly know).52

Thomas Hobbes dalam De Corpore mengungkapkan: “Si physica demonstrare possemus, faceremus” (if we could demonstrate physics, we would make it). Jika kita mampu menunjukkan kebenaran dan rahasia fisika, maka kita akan menggunakan dan menciptakannya. Tetapi kita tidak pernah bisa, karena hanya Tuhan yang mengetahuinya secara sempurna, dan Tuhan itu sendiri adalah kebenaran

49

Lihat Benedetto Crooce, The Philosophy of Giambattista Vico, (New York: Russel & Russel Inc, 1964), h. 4.

50

Crooce, The Philosophy..

51

Crooce, The Philosophy, h. 32.

52

sempurna. Isaiah Berlin menyebut hal ini adalah bentuk Platonisme Kristian atau Neoplatonisme.53 Doktrin Pencerahan mengatakan bahwa mengetahui sesuatu haruslah menjadi dirinya, atau setidaknya mendominasinya. Bukan hanya Hobbes yang mendukung keyakinan Vico mengenai keidentikan pengetahuan dan penciptaan, Patrizi mengatakan: “mengetahui haruslah disatukan dengan apa yang diketahui,” Campanella juga menegaskan: “mengetahui haruslah menjadi apa yang diketahui.”54

Tidak diragukan bahwa, dalam Vico, doktrin pengetahuan sempurna identik dengan penciptaan. Bagi Vico, hanya Allah yang bisa mengetahui realitas dengan sebenar-benarnya, manusia tidak bisa melakukannya, mereka tidak dapat mengkontemplasikan (merenungkan) esensi Platonik. Vico tidak sepakat, misalnya dengan Leonardo, bahwa akal menyingkirkan kebutuhan bagi pengalaman. Bahkan pada dasarnya, Vico melampaui pandangan Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan matematika tidak identik dengan pengetahuan dengan dunia riil.55 Vico terutama menolak matematika sebagai sebuah alat bagi pengetahuan terhadap alam, fisika, dan kemanusiaan. Matemetika, bagi Vico, hanya mungkin dipakai bagi dirinya sendiri. Vico menegaskan, “The true (verum) and the made (factum) are convertible” (kebenaran dan penciptaan dapat dipertukarkan).56

Isaiah Berlin tidak hanya terpengaruh oleh pemikiran Vico, pemikiran itu juga dijadikan sebagai instrumen untuk menyerang tradisi berpikir modern yang

53

Crooce, The Philosophy, h. 33.

54

Crooce, The Philosophy.

55

Crooce, The Philosophy, h. 34.

56

universalistik. Titik berat kebenaran kepada kemanusiaan adalah reduksi habis-habisan terhadap realitas yang memiliki beragam nuansa yang berlapis-lapis. Adanya realitas tidak mungkin dikurung dalam kategori-kategori simplistis. Realitas memiliki latar belakang dan motivasi keberadaan yang terlalu panjang untu disimpulkan dengan menggunakan kategori subjektif. Dari sini Berlin juga menyerang pangkal totalitarianisme modern yang muncul secara sangat kejam dalam bentuk Nazisme, fasisme dan anti-semitisme. Rasionalitas yang dikembangkan Descartes telah merambah jauh membelenggu realitas dan kemanusiaan secara umum.

Dokumen terkait