• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME

B. Value Pluralism

Sebagai pemikir yang berusaha menentang dominasi pemikiran monisme, tapi tetap berada dalam arus Percerahan minus universalisme, Berlin mensistematisasi sebuah konsep yang ia sebut value pluralism. Sekalipun istilah ini dianggap oleh para komentator otentik dari Berlin,78 tetapi tampak jelas bahwa pemikiran ini adalah buah dari pembacaan dan ketertarikan dia kepada para pengkritik Pencerahan di abad ke-18, yakni Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir yang dibahas pada Bab III itu adalah pemikir yang mengembangkan gagasan pluralisme, terutama pluralisme nilai (value pluralismi).

Gagasan value pluralism Berlin ditemukan dalam esai terkenalnya, Two Concepts of Liberty. Berlin sangat percaya bahwa nilai itu beragam. Keragaman manusia selalu mengejar nilai-nilai yang beragam pula. Keberagaman itu tidak memiliki batas, atau setidaknya batasannya tidak terprediksi. Musuh utama pluralisme adalah monisme, suatu gagasan kuno yang mengandaikan satu harmoni kebenaran yang tunggal.79 Menurut Berlin, monisme, dan keyakinan akan adanya suatu standar-standar tunggal, senantiasa merupakan suatu sumber kepuasan baik

78

Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1984) lihat juga George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, (London & New York: Continuum, 2002), bandingkan dengan William A. Galston, Liberal Pluralism: The Implications of Value Pluralism for Political Theory and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002).

79

bagi akal pikiran, maupun bagi emosi.80 Dengan demikian, pemikir jenis monis senantiasa mengabsolutkan kategori-kategori dan kriteria kebenaran yang mereka buat. Andai saja kategori-kategori itu dibuat lentur, maka mereka akan menemui perkembangan manusia yang tak terduga, yang boleh jadi meruntuhkan kategori-kategori yang mereka yakini sebelumnya. Berlin menyatakan:

To preserve our absolut categories or ideals at the expense of human lives offends equally against the principles of science an of history; it is an attitude found in equal measure on the right and left wings in our days, and is not reconciliable with the principles accepted by those who respect the facts.”81

(Melindungi kategori-kategori dan tujuan-tujuan absolut kita dengan

mengorbankan kehidupan manusia tidak ada bedanya dengan melawan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan sejarah; inilah sikap, dalam tingkat yang sama, yang bisa ditemukan baik pada diri kaum sayap kanan maupun sayap kiri, dan tidak dapat didamaikan dengan prinsip-prinsip yang diyakini oleh mereka yang memberikan penghargaan kepada fakta).

Harus ditegaskan bahwa value pluralism adalah sebuah proyek yang memang diperuntukkan untuk menentang dominasi gagasan monisme, khususnya monisme moral.82 Bukan hanya utilitarianisme (seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya) yang menjadi contoh paling jelas dari monisme moral, melainkan juga imperatif kategoris Kant dan ide tentang hukum alam. Menurut Berlin, pemikiran monis adalah dasar bagi pemikiran otoritarianisme politik, dan menemukan puncak daya rusaknya pada abad ke-20. Satu garis antara monisme dan otoritarianisme

80

Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind, (London: Pimlico, 1998), hlm. 241.

81

Berlin, The Proper.

82

adalah utopianisme. Monisme dan otoritarianisme membayangkan pengejawantahan angan-angan utopis tentang sebuah masyarakat yang sempurna di mana akan terjadi persetujuan universal pada jalan hidup yang tunggal. Itulah kepercayaan dan mimpi tokoh seperti Plato, Rousseau, Hegel dan Marx. Bagi Berlin, monisme tidak hanya berbahaya, tapi juga salah.83

Penting untuk dikatakan bahwa, menurut Berlin, ada nilai-nilai tertentu yang mungkin diciptakan oleh satu generasi tertentu dan itu tidak ditemukan sebelumnya: seperti ide tentang keragaman sesuatu yang dianggap baik, bahwa suatu masyarakat di mana banyak opini tentang kebaikan itu muncul, lalu semuanya bisa hidup dalam toleransi, itu lebih baik daripada masyarakat monolitik yang hanya mengakui satu pendapat tentang kebaikan dari satu orang atau sekelompok orang saja. Ide seperti ini tidak ditemukan sebelum abad ke-18, di mana pemikiran yang berkembang adalah bahwa kebenaran itu tunggal, variasi kebenaran yang lain itu salah dan bertentangan dengannya.84 Singkretisme juga adalah ide yang baru. Akhirnya, keragaman nilai adalah fakta yang tak mungkin dihindari.

Beberapa komentator Berlin mencoba mensistematisasi dan mendefinisikan konsep value pluralism ini. William A. Galston menyebut sedikitnya empat ciri value pluralism: pertama, value pluralism bukanlah relativisme. Pembedaan antara kebaikan (good) dan keburukan (bad), juga antara kebaikan (good) dan kejahatan (evil), adalah sesuatu yang objektif dan secara rasional dapat dipertahankan. Kedua,

83

Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003).

84

segala sesuatu yang objektif tidak dapat diurut berdasarkan tingkatan. Ini bermakna bahwa semua hal yang objektif tidak memiliki takaran umum, karena mereka secara kualitatif heterogen. Oleh karena itu, semua nilai berlaku individual dan unik pada dirinya sendiri. Tidak ada nilai tertinggi atau nilai pertama yang menjadi acuan bagi nilai-nilai yang lain. Ketiga, tiap-tiap nilai bisa menjadi dasar bagi individu untuk menentukan pilihan hidup, yang itu bisa sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Keempat, melampaui upaya untuk membuat klasifikasi nilai berdasarkan pada kualitas tertentu, maka ada satu ruang yang luas yang memberikan legitimasi bagi keragaman nilai untuk hidup dan berkembang. Kelima, tentu saja value pluralism dibedakan dari berbagai macam varian nilai yang disebut monisme. Monisme, kira-kira, melegitimasi reduksi terhadap nilai ke dalam satu takaran umum dan menciptakan hirarki dan aturan yang komprehensif bagi semua nilai.85

Sementara itu, George Crowder menyebut ada empat elemen dalam value pluralism: pertama, universal values (nilai-nilai universal). Elemen pertama ini ingin mengatakan bahwa ada nilai-nilai tertentu yang universal dan objektif. Pandangan ini tampak tidak mendukung gagasan umum Isaiah Berlin yang menolak universalisme Pencerahan, hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada bagian sub bab berikutnya. Yang bisa dikatakan di sini adalah bahwa universalitas value pluralism adalah instrumen bagi adanya distingsi yang jelas antara value pluralism dan relativisme. Pembedaan dengan relativisme sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa value pluralism mengakui adanya nilai-nilai yang bersifat transhistoris dan bergerak melampaui

85

batas-batas kultural. Arti lain dari universalitas value pluralism adalah bahwa nilai ini sangat objektif. Pengertian objektif di sini tidak hanya dalam arti bahwa nilai-nilai itu benar-benar adalah nilai, tetapi memang bernilai bagi keberadaan manusia dan perkembangannya.86

Kedua, Pluralitas. Meskipun bersifat universal, gagasan value pluralism juga mengandung unsur pluralitas. Berlin sendiri selalu menekankan adanya variasi nilai, tujuan dan arti hidup. Banyak komentator lain yang menegaskan adanya variasi nilai ini dalam beragam klasifikasi. Thomas Nagel menganalisisi “the fragmentation of values” (fragmentasi nilai-nilai) ke dalam empat tipe fundamental: specific obligation (kewajiba khusus), general rights (hak-hak umum), utility (utilitas), perfectionist ends or values (tujuan atau nilai-nilai perfeksionis), dan commitments to one’s own projects (komitmen kepada proyek pribadi).87 Pluralitas yang ada dalam value pluralism menunjukkan bahwa pada dirinya, secara inheren, nilai-nilai itu kompleks dan mengandung banyak komponen.88

Ketiga, segala komponen yang kompleks yang terkandung dalam nilai-nilai begitu berbeda, sehingga pada tingkat yang radikal nilai-nilai itu tidak bisa diperbandingkan atau incommensurable. Incommensurability setidaknya memiliki tiga makna: incomparable, immeasurable, dan unrankable.89 Makna pertama adalah bahwa nilai-nilai tidak bisa diperbandingkan, cannot be compared. Kita tidak

86

Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 45.

87

Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 47.

88

Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 2.

89

mungkin melakukan perbandingan terhadap nilai-nilai yang memang berbeda. Karena perbedaan itu, maka nilai-nilai juga tidak bisa ditakar dengan menggunakan ukuran dan kategori nilai tertentu. Jika ingin menakar nilai, maka takaran harus dibuat menurut prinsip-prinsip yang dimiliki oleh nilai-nilai itu. Tapi karena semuanya berbeda, maka takaran menjadi tidak relevan. Karena menakar nilai adalah sesuatu yang tidak relevan, maka mencoba mengklasifikasi nilai berdasarkan mutu dan kualitas tertentu juga menjadi tidak relevan.

Keempat, karena nilai-nilai itu berbeda, maka konflik adalah konsekuensi yang kerapkali tidak bisa dihindarkan. Nilai-nilai yang berbeda itu, pada tingkat tertentu, akan masuk dalam kancah konflik antara satu dengan yang lainnya. 90 Konflik antar nilai tidak hanya terjadi pada tataran objektif di luar individu, tetapi konflik nilai terlah terjadi ketika seseorang akan menjatuhkan pilihan nilai yang akan dianut atau digunakan. Di dalam diri individu, telah ada nilai yang rasional, yang kurang rasional, yang emosional, dan lainnya, mereka berebut posisi untuk mendominasi kehidupan individu. Konflik antar nilai adalah sebuah keniscayaan dalam value pluralism.

Pluralisme secara umum memiliki banyak sumber yang bervariasi. Diantara variasi sumber itu dapat ditarik benang merah bahwa kaum pluralis percaya kepada adanya keragaman nilai, baik moral maupun non moral, yang tidak kompatibel secara

90

inheren dan berkesinambungan, bahkan tidak bisa dibandingkan.91 Menurut Bellamy, perbedaan nilai serta konfliknya adalah bentuk pengetahuan bagi kita: mereka adalah sesuatu yang objektif.

Dokumen terkait