• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN

A. Riwayat Hidup

Isaiah Berlin dikenal sebagai pemikir yang berdiri pada posisi kritis antara monisme dan pluralisme. Kendati ia menaruh perhatian serius kepada pluralisme, tapi ia tidak pernah benar-benar meninggalkan monisme. Itulah sebabnya, pluralisme yang dianut oleh Berlin adalah pluralisme yang tidak terjebak kepada relativisme atau nihilisme. Banyak komentar yang meneguhkan posisi Berlin tersebut, sebagai pluralis yang bukan relativis. Penegasan banyak komentator itu dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman sejumlah kalangan yang menganggap Berlin adalah seorang relativis.

Di usia 88 tahun, Isaiah Berlin meninggal dunia di Oxford, Inggris, 6 November 1997. Kepergian Berlin meninggalkan luka, ia adalah seorang filsuf dan sejarawan ide yang merekam dengan baik perkembangan dan masa depan intelektual Barat. Berlin bahkan bisa dikatakan sebagai ensiklopedi pemikiran. Berbagai karya dan buah pemikiran pelbagai tokoh begitu hidup di tangan Berlin.22

Berlin lahir dari keluarga Yahudi di sebuah apartemen bernama Albertsrasse, lantai 4, di pinggiran ibu kota Latvia atau Livonia, Riga, 6 Juni 1909. Silsilah keluarga

22

Berlin berasal dari Chabad Hasidim, yang sekarang disebut sebagai Lubavich. Keluarga Berlin adalah kaum Yahudi yang taat, terutama kakeknya. Awalnya, kelahiran Isaiah

Berlin tidak terlalu diharapkan. Ibu Isaiah Berlin, Mussa Marie Berlin, sebelumnya mengalami trauma ketika ia melahirkan anak pertama tahun 1907, anak itu meninggal. Ibu Berlin bahkan dikatakan tidak akan mungkin melahirkan lagi. Religiusitas keluarga

Berlin tampak ketika ibunya mengandung. Di tengah kepanikan akan bahaya melahirkan, keluarga Berlin selalu mengunjungi rumah ibadah untuk berdo’a agar proses melahirkan tidak membawa bencana. Mereka juga menjadikan kisah-kisah Bible

sebagai pegangan.23

Livonia pada masa itu adalah salah satu provinsi imperium Tsar Rusia. Riga adalah kota yang unik, ia masuk wilayah Imperium Rusia, tapi secara budaya dekat ke Jerman. Warga Riga berkebangsaan Rusia, tapi menggunakan bahasa Jerman.24 Irisan dan pertemuan antar budaya membaur dalam keramaian kota. Riga juga menjadi salah satu pusat pengembangan gereja atau catedral Ortodox. Di kota dengan budaya yang unik inilah Berlin menghabiskan masa kecilnya, sampai akhirnya ia pindah ke Andreapol tahun 1915.Berlin mengalami pahitnya berada di kota perbatasan ketika Rusia dan Jerman meningkatkan kekuatan militer, saling mengancam, dan akhirnya Jerman menduduki Livonia pada tahun 1914, ketika Berlin berusia 5 tahun.25

23

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 10

24

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 11.

25

Masa-masa itu adalah pergolakan revolusi Rusia. Berlin tumbuh di tengah pergolakan revolusi. Kelak ia akan menjadi penetang komunisme yang sangat cerdas. Tahun 1917, ketika revolusi Rusia benar-benar dimulai untuk pertama kalinya, Berlin, sebagaimana keluarga yang lain, mengalami guncangan dan harus menyelamatkan diri. Situasi buruk itu diperparah oleh invasi Jerman yang telah menjadi sangat anti-Semit. Berlin kemudian dibawa serta keluarganya pindah ke Petrograd.

Pelajaran pertama tentang agama diperoleh Berlin ketika ia masuk sekolah Hebrew, sebuah sekolah untuk anak-anak Yahudi. Di sekolah ini, Berlin secara serius mengikuti pelajaran tentang agama dan budaya Yahudi. Dari para rabbi, Berlin mendengarkan tulisan-tulisan dalam bahasa asli Hebrew. Suatu ketika, rabbi mengatakan, “anak-anak sekalian, ketika kamu beranjak dewasa, kalian akan menyaksikan bagaimana setiap lembar tulisan ini adalah darah dan airmata Yahudi.” Bertahun-tahun kemudian Berlin akan mengatakan bahwa kaum Yahudi memang diliputi oleh trauma darah dan airmata.26 Di sekolah pertama ini, Berlin sudah membaca War and Peace dan Anne Karenina karya Leo Tolstoy, pemikir dan sastrawan yang pemikirannya diidentikkan dengan pemikiran Berlin.

Karena situasi yang selalu tidak bersahabat, bahkan cenderung mengerikan, bagi kaum Yahudi, keluarga Berlin kemudian berusaha pindah ke London, Inggris. London menjadi pilihan karena di kota ini, kaum Yahudi tumbuh subur dengan aman. 3 Februari 1921, keluarga Berlin benar-benar pindah ke kota kecil di pinggiran

26

London, Surbiton, tepatnya di St James Road. Berlin kemudian melanjutkan sekolah di Arundel House School di Surbiton. Di London, keluarga Berlin hidup berpindah-pindah. Tahun pertama, keluarga penuh cerita ini berpindah tempah sebanyak tiga kali: St James Road, Surbiton; 8 Barrylands Road, Surbiton; dan Effingham Road, Long Ditton, Surrey.27

Angan-angan keluarga Berlin tentang London yang damai dan ramah kepada Yahudi ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Berlin bersusah payah menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa yang relatif baru tersebut. Kendatipun di Petrograd Berlin telah lulus bahasa Inggris, ia tetap kesulitan ketika harus menggunakan bahasa tersebut sehari-hari di lingkungan yang berbahasa Inggris asli. Bahasa Inggris Berlin yang tidak memadai itu kerapkali menjadi bahan cemoohan teman-teman Berlin. Tapi lambat laun, Berlin berhasil mengatasi rasa inferior. Suatu ketika Berlin diejek oleh teman-temannya dengan sebutan “dirty jew”, ia menjawab dengan rasa percaya diri, “no, dirty German,”28

Pada musim gugur 1928, Berlin pindah ke Oxford. Kota ini kemudian akan menjadi sangat berarti bagi Berlin. Berlin menyebut Oxford sebagai kota pembebasan. Kota ini memperkenalkan Berlin kepada dunia yang sebenarnya. Berlin mulai harus belajar berdansa dan bergaul dengan banyak kalangan. Tahun 1920-an adalah tahun emas bagi para homoseksual. Berlin menyimak Harold Acton membaca Sea and Sardinia karya D.H. Lawrence dalam sebuah ‘very oily, buttery voice dan

27

Ignatief, Isaiah Berlin.

28

sedang tenggelam dalam permainan erotik homo. Berlin pun bergaul dengan dunia homoseksualitas ini. Pada masa itu, homoseksualitas adalah style dan menjadi semacam bentuk perlawanan terhadap anti-intelektualisme di sekolah-sekolah publik.29

Tahun 1930, Berlin semakin jauh masuk ke dalam pergaulan intelektual di mana ia menjadi editor Oxford Outlook, sebuah penerbitan mahasiswa. Sekitar tahun itu pula, Oxford menjadi pusat perhatian dunia filsafat. Di sana muncul nama-nama terkenal seperti Bertrand Russell dan Wittgenstein. Bukan hanya intelektualisme, tapi juga kesenian menjadi semacam instrumen Berlin untuk melakukan perlawanan terhadap kampanye anti-Semitisme yang dilancarkan Nazi Jerman. Di Oxford Outlook, Beethoven dan Schubert menjadi musik perlawanan. Berlin sendiri sangat terpukau kepada Bach, Mozart, Beethoven, Schubert, Rossini, dan Donizeti. Kecintaan Berlin kepada musik piano pertengahan abad ke-19, membuatnya tidak mudah untuk berpaling dari tokoh seperti Wagner. Berlin kagum kepada Wagner, meskipun ia tidak sepakat dengan gagasan kekerasan dan hasrat seksualnya.30 Sebagaimana umumnya diketahui, Wagner adalah musikus yang menginspirasi Nietzsche. Sementara Nietzsche dipahami sebagai sumber idiologi totaliter NAZI.

Hari-hari selanjutnya dilewatkan Berlin di sebuah lembaga pendidikan yang bernama All Soul College. Berlin mendaftar ke All Soul tahun 1932. Sebagai seorang Yahudi, Berlin tidak cukup percaya diri untuk masuk ke All Soul. Teman-teman

29

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 43.

30

dekat Berlinlah yang meyakinkan bahwa All Soul adalah salah satu pilihan terbaik. Teman-teman Berlin di All Soul memanggilnya Shaya, nama kecil Berlin yang diambil dari Isaiah.

Darah keluarga Yahudi yang saleh ternyata tetap diwarisi secara kreatif oleh Berlin. Kendati ia bergaul secara bebas, Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan

kesalehan sebagai seorang Yahudi. Identitas Yahudi yang masih dipegangnya barangkali sebagai akibat dari represi terhadap kaum Yahudi ketika itu. Berlin bahkan menjadi pengikut Zionis, sebuah sekte Yahudi yang memperjuangkan berdirinya negara

Israel di Palestina. Kendati Berlin mengaku sebagai Zionis, dia menolak anggapan umum bahwa seluruh hidupnya diabdikan kepada kelompok ini. Berlin sendiri masih

bingung dengan mitos yang berkembang di kalangan kaum Zionis bahwa Palestina yang merupakan tanah tanpa rakyat itu harus diberikan kepada rakyat tanpa tanah. Akhirnya, Berlin memilih sebuah rekonsiliasi, bahwa tanah Yahudi di Palestina harus

menjadi awal bagi integrasi ekonomi seluruh bangsa Arab. Tapi setelah mengamati secara bijak, ternyata pendirian negara Israel menyimpan banyak masalah yakni

munculnya sinkretisme, korupsi, dan fasisme. Tahun 1934, Berlin membatalnya kunjungannya ke Tanah Yang Dijanjikan (the Promised Land), Palestina, ia memilih

berkunjung ke Italia.31

Dalam pengertian intelektual, Berlin dipengarhi oleh kehidupan ganda: pertama, Rachmilievitch – sebagai pengembara, sejarahwan, yang dipenuhi oleh literatur Rusia, Jerman, dan Yahudi, yang berada dalam kesatuan bahasa yang unik;

31

kedua, oleh kolega-kolega filosofis di Oxford – yaitu Anglo-Saxon, prosedural dan rasionalis.32 Berlin menemukan sahabat akrab yang gagah, seorang berdarah setengah Yahudi, A.J. Ayer, yang akrab ia panggil Freddie. Mereka berdua menjalin persahabatan yang kompetitif selama 50 tahun. Keduanya begitu dekat, tapi juga begitu berbeda dalam banyak hal. Perbedaan pandangan itu, misalnya, terlihat ketika mereka mendefinisikan keyahudian yang mengalir dalam darah mereka. Bagi Ayer, keyahudian adalah warisan atavistik dimana pemikiran rasional akan membuangnya; sementara Berlin memandang keyahudian sebagai satu identitas yang dapat dipertanyakan tetapi tidak pernah benar-benar bisa dibuang. Persaingan keduanya memuncak ketika mereka berkompentisi mendapatkan tiket masuk ke All Soul, di mana Berlin berhasil masuk, sementara Ayer tidak. Mereka berpisah: Berlin ke All Soul, Ayer melanjutkan studi ke Vienna.33 Ayer kemudian muncul sebagai seorang yang sangat terpengaruh positivistik, sebuah aliran filsafat yang sangat kuat di Vienna.

Mazhab Vienna lambat laun merasuk ke dalam pemikiran Berlin. Sahabatnya, Ayer, telah mempopulerkan doktrin-doktrin mazhab Vienna secara umum dan terutama pemikiran Wittgenstein. Sebetulnya, Wittgenstein tidak murni menjadi bagian lingkaran Vienna (Vienna Circle), ia menjadi begitu terkenal ketika karyanya, Tractatus, dipublikasikan pada tahun 1921. Di semua tempat, Wittgenstein dibicarakan. Wittgenstein menjadi bahan utama perbincangan di kafe-kafe, kendati

32

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 81.

33

tidak begitu banyak orang yang benar-benar mengerti dan pernah membaca karyanya. Ayer dan Berlin berada di antara sekian pengagum Wittgenstein. Mereka kerapkali mengulang-ulang diktum Wittgenstein, “whereaof one cannot speak, thereof one must silent” (ketika seseorang tidak bisa berbicara, maka sebaiknya ia diam). Berlin memang telah membaca Tractatus, tapi kalimat yang selalu terngiang di kepalanya adalah “death is not an event in life” (mati bukanlah satu fase dari kehidupan).34

Di samping A.J. Ayer, sahabat lain yang begitu dekat dengan Berlin adalah J.L. Austin. Austin terpilih masuk ke All Soul satu tahun setelah Berlin. Berlin dan Austin melewatkan hari-harinya di All Soul bersama-sama. Mereka saling mempengaruhi, dan

kerapkali saling mengunjungi kamar masing-masing. Austin kerapkali membisikkan sesuatu kepada Berlin:

they all talk about determinism and say they believe in it. I’ve never met a determinist in my life, I mean a man who really did believe in it, as you and I believe than men a mortal. Have you?35

(mereka bicara tentang determinism dan mereka mengatakan bahwa mereka mempercainya. Saya belum pernah bertemu dengan seorang determinis dalam hidup saya, yang saya maksud adalah orang yang benar-benar mempercainya, sebagaimana kamu dan saya yang percaya bahwa manusia itu fana. Bukankah demikian?)

Kata-kata itu untuk menggambarkan komitmen mereka untuk ide tentang kebebasan yang tak mungkin dihindarkan dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya, Berlin tampak berusaha menggabungkan kecenderungan pemikiran dua sahabat

34

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 83.

35

karibnya: antara positivisme logis (logical positivism) dari Ayer dan filsafat bahasa yang skeptis dari Austin. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari di mana Berlin terlibat aktif dalam dua arus pemikiran, antara kecenderungan universalistik dan pluralistik, antara skeptisisme dan determinisme, antara antara kebebasan dan ketergantungan, dan seterusnya. Semuanya itu terjadi dalam sebuah forum diskusi di Brethrem.

Dokumen terkait