• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN

B. Pemikiran

Perhatian Berlin terhadap filsafat dimulai ketika ia menjadi mahasiswa pada akhir 1920-an dan awal 1930-an di Oxford. Saat itu memang kebanyakan mahasiswa begitu terpesona dengan filfasat. Perhatian terhadap filsafat akhirnya membawa Berlin

kepada arus empirisme yang begitu kuat saat itu, terutama yang dibawakan oleh G.E. Moore dan Betrand Russell. Pertama-tama, Berlin tertarik dengan konsep mengenai dunia kebermaknaan, yang dihubungkan dengan paradigma kebenaran dan kesalahan,

pengetahuan dan opini, dan terutama mengenai kemungkinan satu preposisi dapat diverifikasi ketika dia diekspresikan. Pandangan seperti ini dianut dan dikembangkan

oleh kelompok pemikir yang dikenal sebagai Vienna School (Mazhab Wina): mereka adalah murid-murid Russell, antara lain Carnap, Wittgenstein, dan Schlick. Pandangan

mereka kira-kira adalah, bahwa makna sebuah preposisi adalah cara di mana ia diverifikasi. Jika tidak ada cara dalam memverifikasi satu ungkapan, maka hal itu bukanlah statement yang kapabel bagi analisa kebenaran atau kesalahan, tidak faktual,

dan oleh karenanya tidak bermakna. Barangkali itu hanyalah ungkapan hasrat, imajinasi sastrawi, atau ekspresi lain yang tidak layak berada dalam klaim kebenaran empiris.36

Kendatipun Berlin dipengaruhi oleh Mazhab Wina, ia tidak pernah benar-benar menjadi pengikut setianya. Bagi Berlin, posisi Mazhab Wina berbahaya, karena pada akhirnya semua preposisi akan dipertanyakan. Menyatakan bahwa semua angsa itu putih adalah generalisasi yang bukan tanpa makna. Jika berpegang teguh pada verifikasionalisme, maka keseluruhan konsep tentang angsa yang putih akan runtuh jika ada satu saja angsa yang berwarna hitam. Semua preposisi dan kesimpulan akan memiliki cacat verifikasional. Satu preposisi, bagi Berlin, sudah memiliki makna sejak awal, kendatipun ada yang kurang dan ada yang sedikit lengkap.37

Sebagaimana yang telah diceritakan pada bagian awal Bab ini, Berlin juga sempat bergaul dengan filsuf-filsuf semacam A.J. Ayer, J.L. Austin, dan Stuatr Hampshire yang berada dalam bayang-bayang Oxford Empirisism, dan dalam beberapa tingkat oleh Oxford Realism—yaitu kepercayaan bahwa ada dunia external yang independen dari observasi manusia. Kendati demikian, Berlin masih percaya bahwa pengalaman empiris adalah semua kata yang dapat diekspresikan, tidak ada dunia yang lain. Dalam hal ini, verifikasi bukan hanya kriteria pengetahuan, kepercayaan, atau hipotesis. Preposisi, pada dirinya sendiri, memiliki kebenaran.

Berlin juga bersentuhan dengan arus pemikiran fenomenalisme (phenomenalism). Fenomenalisme berbicara seputar pertanyaan mengenai apakah

36

Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 2.

37

pengalaman manusia dibatasi kepada apa yang diberikan oleh pengertian, sebagaimana yang dipikirkan oleh filsuf Inggris, Berkeley dan Hume, ataukah di sana ada satu entitas independen dari pengalaman. Bagi filsuf seperti John Lock dan pengikutnya, di sana ada realitas, kendatipun tidak mungkin kita tidak bisa rasakan secara langsung, namun ia menjadi penyebab atas pengalaman atas perasaan tersebut. Filsuf lain menyatakan bahwa dunia eksternal adalah realitas material yang bisa dicecap secara langsung. Pandangan semacam ini biasanya disebut sebagai realisme, sebagai lawan dari pandangan bahwa dunia diciptakan oleh kecakapan-kecakapan kemanusiaan, seperti akal imajinasi dan semacamnya.

Penolakan terhadap realisme ini muncul dari mereka yang disebut rasionalis maupun idealis. Berlin menyatakan bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa percaya kepada semua klaim kebenaran metafisis—baik dari kebenaran kaum rasionalis, yang dipelopori oleh Descartes, Spinoza, Leibniz dan, pada beberapa bentuk, Kant, juga kebenaran dari penganut idealisme, yang dikomandoi oleh Fichte, Friedrich Schellling dan Hegel.38 Dunia eksternal ini menyita perhatian Berlin: ia banyak membicarakan dan menuliskan topik-topik ini.

Hidup Berlin yang dilatarbelakangi ancaman otoritarianisme membawanya kepada pemikiran kontra-otoritarianisme tersebut. Ia menemukan bahwa sejarah pemikiran Perancis berujung pada otoritarianisme. Ketika menulis buku Karl Marx: His Life and Environment (1963), Berlin menyatakan bahwa sebetulnya bukan Marx yang begitu menarik perhatiannya, melainkan ia ingin menginvestigasi para

38

pendahulu Marx, terutama pemikir-pemikir pencerahan Perancis. Berlin mengakui dan memberikan apresiasi terhadap pemikiran Perancis yang telah melakukan pembebasan dari kegelapan dan yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayyul (superstition), kebodohan, tekanan, dan semacamnya. Keberatan Berlin terhadap pemikiran Pencerahan Perancis terletak pada konsekuensinya yang berakhir pada dogmatisme baru. Karl Marx adalah dogmatisme baru yang lahir dari pemikiran Pencerahan Perancis.

Semasa perang, Berlin menjadi pegawai pemerintahan Inggris. Ketika ia kembali ke Oxford untuk mengajar filsafat, ia terjebak ke dalam dua persoalan: pertama, tentang monisme, tradisi pemikiran yang mempengaruhi semesta pemikiran sejak Plato sampai saat itu; kedua, persoalan makna dan aplikasi pemikiran liberal. Kedua masalah inilah yang akan mewarnai perjalanan intelektual Isaiah.

Para pemikir Pencerahan yang terpesona oleh kesuksesan ilmu pengetahuan alam mengambil kesimpulan simplistis bahwa metode investigatif terhadap dunia luar telah memperoleh kemenangan. Yang lain menyatakan bahwa metode saintifik adalah satu-satunya kunci bagi pengetahuan. Saat itu, terjadi perdebatan sengit tentang apakah metode ilmu alam bisa juga masuk ke dalam ranah kemanusiaan.39 Muncul pemikiran bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan satu metode. Inilah dasar monisme modern.

39

Saat itu terjadi apa yang disebut methodenstrait, perdebatan tentang metode. Perdebatan ini menyangkut tentang apakah metode ilmu alam bisa diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.

Tesis umum dari kaum monis adalah bahwa semua pertanyaan yang benar pasti memiliki jawaban satu jawaban yang benar dan hanya satu, sementara jawaban-jawaban lain pasti salah. Pasti ada satu cara yang mengarahkan pemikir-pemikir cemerlang untuk sampai kepada jawaban yang benar itu. Pada intinya, kaum monis memercai satu solusi final bagi semua persoalan, baik sosial, moral, maupun politik. Penjelasan lebih jauh mengenai monisme akan kita bahas pada Bab IV.

Pemikiran monistik, bagi Berlin, sungguh berbahaya. Dari bentuk pemikiran inilah muncul kediktatoran dan otoritarianisme. Untuk itu, Berlin berusaha mencari pemikiran alternatif sebagai counter terhadap tradisi monistik. Berlin kemudian menemukan pluralisme sebagai jawaban. Pertama-tama, Berlin menggali kembali tradisi pemikiran pluralis yang berkembang di masa-masa awal Pencerahan. Di sana, Berlin menemukan pemikiran seperti Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder, dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir ini, oleh Berlin, disebut sebagai pemikir pluralis murni. Giambattista Vico melancarkan serangan terhadap motode matematis yang dikampanyekan oleh Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Bagi Vico, kemanusiaan tidak bisa direduksi ke dalam pengetahuan matematis. Bukan hanya manusia, yang nota bene memiliki hasrat dan keinginan yang tak bisa ditebak, melainkan keseluruhan alam. Pengetahuan hanya mungkin valid ketika ia berangkat dari alasan kenapa dan bagaimana sesuatu itu ada. Pengetahuan, bagi Vico, identik dengan penciptaan.40

40

Lihat Isaiah Berlin, Vico and Herder, dalam Isaiah Berlin, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Haman, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 32.

Di samping Vico, Berlin juga membaca dengan serius pemikiran Herder dan Hamann. Pada Herder, Berlin menemukan pemikiran yang bisa menolak tradisi monisme. Herder mengembangkan apa yang disebut perbedaan dan keunikan masing-masing budaya. Herder percaya bahwa setiap budaya memiliki jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan utama. Bagi Herder, setiap budaya menempati kedudukan di pusat grafitasinya masing-masing, dengan rujukan tradisi yang berbeda. Herder menegaskan, bahwa toleransi universal memang mungkin, tapi univikasi budaya adalah destruksi yang berbahaya.41 Sementara Hamann menunjukkan kepada Berlin bahwa semua pengetahuan dan kebenaran adalah partikular. Rasio tak mampu menangkap realitas secara utuh. Sebab realitas menyimpan banyak kejutan. Setiap realitas selalu berbeda karena mereka memiliki individualitasnya masing-masing. Yang paling riil adalah individualitas, bukan kesimpulan deduktif yang reduktif.42

Dari sinilah kemudian Berlin percaya kepada pluralisme. Teori yang muncul dari pemahaman pluralisme ini, oleh Berlin, disebut value pluralism.Value pluralism ingin menunjukkan bahwa adalah nilai-nilai yang beragam. Masing-masing nilai berbeda, tidak mungkin dimusnahkan tapi juga tidak mungkin dipersatukan. Bukan berarti Berlin kemudian jatuh ke dalam relativisme, sebab pada akhirnya Berlin akan berdiri sebagai seorang liberal. Sebagai bentuk kritikan terhadap tradisi Pencerahan, maka bentuk liberalisme Berlin cukup unik. Berlin menolak keras liberalisme model Pencerahan yang universalistik (atau disebut juga sebagai pisitive liberty), melainkan

41

Berlin, The Power, h. 9.

42

Lihat Isaih Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 250.

liberalisme pluralis (Berlin senang menyebut negative liberty untuk mewakili pendiriannya ini). Posisi liberalisme Berlin yang unik, oleh John Gray, disebut sebagai agonistic liberalisme.43Perdebatan mengenai pluralisme dan liberalism akan hadir secara lebih detail pada Bab V.

Dokumen terkait