• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2. Research and Development ( R&D )

3.2. GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)

Direktorat P2HP (2004) mendefinisikan Good Manufacturing Practices (GMP) sebagai cara produksi atau pengolahan yang baik, yang mencakup ketentuan atau pedoman atau prosedur mengenai lokasi, bangunan, ruang dan sarana pabrik, proses pengolahan, peralatan pengolahan, penyimpanan, distribusi, kebersihan dan kesehatan pekerja, serta penanganan limbah dan pengelolaan lingkungan. Penerapan GMP dalam suatu unit usaha pangan berguna untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang baik dari sisi kimia, fisik, maupun mikrobiologi serta menjamin konsistensi produk baik dari keamanan maupun mutunya. Dengan kata lain, GMP merupakan alat untuk menghasilkan makanan yang aman dan bermutu. Berdasarkan

11

Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2008, GMP merupakan standar yang wajib digunakan dalam suatu unit usaha pangan karena merupakan persyaratan dasar yang berkaitan dengan sistem keamanan pangan (Ambarsari dan Sarjana 2008). Ruang lingkup GMP meliputi lingkungan sarana pengolahan, bangunan dan fasilitas, peralatan pengolahan, fasilitas dan kegiatan sanitasi, sistem pengendalian hama, higiene karyawan, pengendalian proses, pengawasan, serta pencatatan dan dokumentasi.

3.3.

DAGING

Daging merupakan semua jaringan hewan yang dapat atau pantas digunakan sebagai bahan makanan (Judge et al. 1989). Menurut Soeparno (1992), daging adalah jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Sementara itu, menurut Lawrie (1991), daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, mempunyai penampakkan yang menarik selera, dan merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Daging merupakan salah satu produk pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi, yaitu sebagai sumber protein hewani, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Keistimewaan nutrisi yang dikandungnya, menjadikan daging sebagai bahan pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, terutama kebutuhan protein (Indra et al. 2004). Dari berbagai jenis daging yang ada, daging ayam dan daging sapi merupakan jenis daging yang paling banyak dikonsumsi.

Daging sapi dan daging ayam merupakan bahan pangan bermutu tinggi, karena dapat mensuplai kira-kira setengah dari kebutuhan manusia akan protein. Protein daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang sehingga dikategorikan sebagai bahan pangan bernilai gizi tinggi. Komposisi lengkap daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan komposisi lengkap daging ayam dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi kimia daging sapi (dalam 100 g bahan)

Komponen Jumlah Kalori (kal) 207.00 Protein (g) 18.80 Lemak (g) 14.00 Hidrat arang (g) 0.00 Kalsium (mg) 11.00 Fosfor (mg) 170.00 Besi (mg) 2.80 Vitamin A (SI) 30 Vitamin B1 (mg) 0.08 Vitamin C (mg) 0.00 Air (g) 66.0

12

Tabel 3. Komposisi kimia daging ayam (dalam 100 g bahan)

Komponen Jumlah Kalori (g) 30.2 Protein (g) 18.2 Lemak (g) 25.0 Karbohidrat (g) 0 Kalsium (mg) 14 Fosfor (mg) 200 Besi (mg) 1.5 Vitamin A (SI) 810 Vitamin B1 (mg) 0.08 Vitamin C (mg) 0 Air (g) 55.9

Sumber : Departemen Kesehatan RI (1996)

Daging sapi dan daging ayam banyak diolah menjadi berbagai produk olahan, seperti korned, sosis, abon, nagget, bakso, dan sebagainya. Salah satu produk olahan daging yang banyak dikonsumsi di berbagai negara adalah sosis. Menurut BSN (1995), sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati, dengan atau tanpa penambahan bumbu atau bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis. Sosis umumnya dibungkus menggunakan selubung dari usus hewan, tetapi sekarang sering kali menggunakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan cara tertentu, misalnya dengan pengasapan. Pembuatan sosis merupakan suatu teknik produksi dan pengawetan makanan yang telah dilakukan sejak lama. Di banyak negara, sosis merupakan topping populer untuk pizza. Sosis terdiri atas bermacam-macam tipe, diantaranya sosis mentah dan sosis matang. Gambar 3 memperlihatkan beberapa produk olahan daging.

Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya biologi, fisik, dan kimia (Nugroho 2004). Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen. Bahaya kimia ditimbulkan oleh adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida, dan sebagainya, sedangkan bahaya fisik disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga cutting, dan proses pengolahan menjadi produk olahan. Dari ketiga potensi bahaya, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena menyebabkan kebusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba. Produk daging dan olahan daging merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba sehingga daging dan produk olahannya mudah sekali mengalami

13

kerusakan. Batas cemaran mikroba beberapa produk olahan daging berdasarkan SNI 7388:2009 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Batas cemaran mikroba pada daging berdasarkan SNI 7388:2009 No Kategori pangan Jenis cemaran mikroba Batas maksimum

1 Produk olahan daging, daging unggas, dan daging hewan buruan utuh/potongan

Dendeng sapi, daging asap yang diolah dengan panas

Angka lempeng total APM Escherichia coli Salmonella sp. Staphylococcus aureus Bacillus cereus 1 x 105 koloni/g <3/g negatif/25g 1 x 102 1 x 103

2 Produk olahan daging, daging unggas, dan daging hewan buruan dihaluskan

Daging olahan dan daging ayam olahan (bakso, sosis, naget, burger)

Angka lempeng total APM koliform APM Escherichia coli Salmonella sp. Staphylococcus aureus Clostridium perfringens 1 x 105 koloni/g 10/g <3/g negatif/25 g 1 x 102 koloni/g 1 x 102 koloni/g Sumber : BSN (2009)

Menurut Soeparno (1992) daging sangat mudah ditumbuhi mikroba, terutama mikroba perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 68 – 75 %), kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda-beda, mengandung sejumlah karbohidrat yang mudah difermentasi, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, serta mempunyai pH yang menguntungkan sejumlah mikroorganisme (sekitar 5.3 – 6.5). Kerusakan pada daging yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pembusuk memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

1. Terjadi pembentukan lendir 2. Terjadi perubahan warna

3. Terjadi perubahan bau menjadi busuk, karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau seperti ammonia, H2S, dan senyawa lain

4. Terjadi perubahan rasa menjadi asam dan pahit

5. Terjadi ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi lemak

Karena daging dan produk olahan daging mudah mengalami kerusakan oleh adanya aktivitas mikroorganisme, maka diperlukan penanganan penyimpanan atau pengolahan yang sesuai. Pada dasarnya metode penyimpanan atau pengolahan hanya bisa menghambat perkembangan mikroorganisme, sehingga setiap metode penyimpanan atau pengolahan hanya bisa mempertahankan kualitas daging atau produk olahan daging untuk jangka waktu yang terbatas. Biasanya metode yang sering digunakan untuk menekan pertumbuhan mikroba pada daging adalah dengan penyimpanan dingin antara -2oC – 5oC.

3.4.

SALAD

Awalnya salad sering diartikan sebagai makanan yang terdiri atas sayuran atau daun- daunan hijau yang segar. Tetapi dalam perkembangannya pengertian ini tidak sepenuhnya

14

benar, karena banyak bahan makanan lain yang ditambahkan pada sayuran sehingga lahirlah salad yang beranekaragam. Pada akhirnya salad dapat diartikan sebagai suatu makanan yang merupakan campuran dari sayuran hijau segar, buah, daging, unggas, dan ikan yang dihidangkan bersama dressing (Prihastuti et al. 2008). Jenis dressing yang sering digunakan pada penyajian salad antara lain Mayonaise, French dressing, Thousand Island dressing, Italian dressing, Sour Cream dressing, Russian dressing, dan Boiled dressing. Produk salad dapat disajikan dalam keadaan dingin (sebelumnya dimasukkan dalam lemari pendingin) atau disajikan langsung pada suhu ruang.

Salah satu bahan yang biasa digunakan untuk salad adalah sayuran. Salad dapat dibuat dari sayuran segar maupun sayuran yang dimasak terlebih dahulu. Jenis sayuran yang umumnya digunakan dalam pembuatan salad antara lain selada, buncis, wortel, jagung manis, tomat, dan kentang. Sayuran merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan. Menurut Singh (1994), kerusakan bahan pangan seperti sayuran dapat disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia, fisik, dan mikrobiologi. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama panen, produksi, dan distribusi. Perubahan kimia dapat disebabkan oleh enzim, reaksi oksidasi, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakkan. Perubahan ini melibatkan faktor internal dari bahan pangan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan. Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan timbulnya pembusukkan yang mengakibatkan munculnya karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Muchtadi (2000) menjelaskan kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakkan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, atau busa.

Umumnya, untuk mempertahankan mutu sayuran dilakukan penyimpanan pada suhu dingin. Namun, pada suhu tersebut aktivitas mikroorganisme tidak sepenuhnya berhenti. Hal ini disebabkan pada produk pangan yang disimpan di suhu dingin masih terdapat air yang tidak terikat, sehingga memungkinkan mikroorganisme untuk tumbuh. Selain itu, terdapat jenis mikroorganisme tertentu yang tahan terhadap suhu dingin. Batas cemaran mikroba pada produk salad berdasarkan SNI 7388:2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Batas cemaran mikroba pada produk salad berdasarkan SNI 7388:2009 Jenis cemaran mikroba Batas maksimum

Angka lempeng total 1 x 104 koloni/g

APM koliform 10/g

Salmonella sp. Negatif/25g

Staphylococcus aureus 1 x 104 koloni/g Sumber : BSN (2009)

3.5.

PASTA

Dalam bahasa Italia, pasta didefinisikan sebagai bahan makanan seperti mie, karena dibuat dari campuran tepung terigu, air, telur, dan garam yang membentuk adonan yang dapat dibentuk menjadi lembaran seperti tali (Anonim 2011). Namun, terdapat juga bentuk pasta lain seperti bentuk keriting dan kupu-kupu. Pasta biasanya dibuat dari jenis gandum durum yang digiling, yang lebih dulu dihilangkan kulit dan lembaganya. Hasil gilingan yang paling banyak berupa bubuk kasar bercampur sedikit tepung (kurang dari 3 persen) yang disebut semolina.

15

Semolina kemudian dicampur dengan air untuk membentuk adonan kental atau pasta dan diproses melalui penekanan mekanis yang mempunyai ujung keluar (disebut die) yang bentuknya dapat diatur sesuai dengan produk pasta yang ingin dihasilkan. Produk pasta yang dibuat dari semolina gandum durum mempunyai ciri berwarna kuning cerah. Jika produk dibuat dari gandum jenis lain selain durum hasilnya berwarna pucat atau kehijauan (Koeswara 2000). Keistimewaan produk pasta antara lain kaya akan karbohidrat kompleks terutama pati, tinggi kandungan proteinnya, berlemak rendah, dan yang terpenting adalah tidak menyebabkan kegemukan. Di samping itu, mudah disiapkan dan tersedia dalam ratusan bentuk dan ukuran serta dapat digunakan dalam ratusan jenis masakan. Pembuatannya juga lebih sederhana dan disimpan lebih mudah dibandingkan produk olahan gandum lain seperti roti dan kue. Selain itu, karena keadaannya yang kering produk ini awet disimpan.

Produk pasta memiliki beragam nama. Nama yang diberikan pada produk pasta tergantung dari bentuknya dan umumnya menggunakan bahasa Itali, misalnya spaghetti, rigotani, vermicelli, linguine, lasagna, dan lain-lain. Spaghetti termasuk salah satu produk pasta yang paling popuper di Indonesia. Spaghetti adalah produk pasta yang berbentuk seperti tali dan berukuran panjang. Seperti halnya produk pasta lain yang terbuat dari gandum durum, spaghetti memiliki warna kuning cerah.

Menurut legenda, pengembara Itali terkenal bernama Marcopolo setelah kembali dari Cina, pertama kali memperkenalkan produk pasta di Itali pada abad ke-13. Penyimpanan bahan pangan adalah masalah utama selama pelayaran. Pertimbangan utama adalah membawa cukup bahan pangan dalam pelayaran ke luar negeri untuk jangka waktu beberapa bulan. Dalam hal ini, dibutuhkan bahan pangan yang dapat disimpan tanpa terjadi kerusakan selama periode waktu yang diperlukan. Produk-produk pasta jika dalam keadaan keringnya, dapat disimpan tanpa lemari pendingin untuk beberapa tahun atau lebih, dengan tingkat kerusakan yang tidak berarti baik dari segi gizi maupun mutu estetisnya. Hal ini disebabkan keadaan produk yang kering berarti kadar airnya pun rendah sehingga mikroorganisme perusak sulit untuk tumbuh. Namun, dalam keadaan setelah diolah, produk pasta harus disimpan dalam suhu dingin agar produk tersebut lebih awet. Meskipun disimpan dalam suhu dingin umur simpan produk pasta relatif sangat pendek. Hal ini disebabkan setelah diolah atau direbus produk pasta mengalami proses pendinginan dengan air, sehingga saat proses tersebut pasta banyak menyerap air. Produk pasta yang terlalu banyak mengandung air, akan memudahkan mikroorganisme untuk tumbuh sehingga produk menjadi tidak tahan lama walaupun disimpan di suhu dingin (Anonim 2010). Batas cemaran mikroba pada produk pasta dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Batas cemaran pada produk pasta berdasarkan SNI 7388:2009 Jenis cemaran mikroba Batas maksimum Angka lempeng total 1 x 106 koloni/g

APM Escherichia coli 10/g

Staphylococcus aureus 1 x 103 koloni/g

Bacillus cereus 1 x 103 koloni/g

Kapang 1 x 104 koloni/g

Sumber : BSN (2009)

3.6.

MARGARIN

Berdasarkan SNI 01-3541-2002 (BSN 2002), margarin adalah produk makanan berbentuk emulsi (w/o), baik semi padat maupun cair, yang dibuat dari lemak makan dan atau

16

minyak makan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, interesterifikasi, dan telah melalui proses pemurnian, sebagai bahan utama serta mengandung air dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Margarin dapat digunakan sebagai pengganti mentega, karena memiliki penampakan, bau, konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama dengan mentega. Ciri-ciri margarin yang paling menonjol adalah bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah, teksturnya mudah dioleskan, serta segera dapat mencair di dalam mulut. Margarin mempunyai titik beku yang tinggi (di atas suhu kamar) dan titik cair sekitar suhu badan. Pada suhu kamar (25 oC) margarin mempunyai sifat plastis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengoles makanan (Ketaren 2008).

Pada industri jasa boga margarin digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai pengganti minyak untuk memasak dan bahan pengoles untuk roti. Salah satu industri jasa boga yang menggunakan margarin dalam pengolahan produknya adalah Pizza Hut. Pada restoran Pizza Hut margarin salah satunya digunakan untuk bahan pengoles roti. Produk margarin dapat memiliki masa simpan yang lebih panjang, jika disimpan di suhu pendinginan. Sementara itu, margarin yang disimpan di suhu ruang akan kontak langsung dengan udara terbuka yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme meningkat dan margarin mudah teroksidasi sehingga produk lebih cepat mengalami ketengikan. Tabel 7 menunjukkan batas cemaran mikroba produk margarin berdasarkan SNI 7388:2009.

Tabel 7. Batas cemaran mikroba pada produk margarin berdasarkan SNI 7388:2009 Jenis cemaran mikroba Batas maksimum

Angka lempeng total 1 x 105 koloni/g

APM koliform 10/g

APM Escherichia coli < 3/g

Salmonella sp. Negatif/25 g

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/g

Sumber : BSN (2009)

3.7.

UMUR SIMPAN

Umur simpan menurut Floros dan Gnanasekharan (1993) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Sementara itu, definisi umur simpan menurut Arpah (2007) adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima seperti yang dijanjikan. Oleh karena degradasi mutu akibat kerusakan pada produk pangan bersifat dinamis dan berlangsung hampir setiap saat dari mulai segera sejak diproduksi sampai kadaluarsa, maka masa simpan dapat juga didefinisikan sebagai waktu hingga produk mengalami suatu tingkat degradasi mutu akibat reaksi deteriorasi yang menyebabkan produk tersebut tidak layak dikonsumsi atau tidak lagi sesuai kriteria yang tertera pada kemasan atau yang telah dijanjikan (Arpah 2007).

Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100% dan akan mengalami penurunan sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan yang mempengaruhi masa simpannya, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan

17

terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan protein, reaksi pencoklatan, perubahan organoleptik, dan kemungkinan terbentuknya racun (Herawati 2008).

Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor, yaitu karakteristik produk, lingkungan dimana produk didistribusikan, dan karakteristik kemasan yang digunakan (Robertson 1993). Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi bahan pangan yang dikemas diantaranya (1) keadaan alamiah atau sifat makanan; (2) ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume; (3) kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban; (4) kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau.

3.8.

PENYIMPANAN DINGIN

Menurut Winarno (1997), pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu 2oC – 10oC. Pendinginan yang biasa dilakukan dalam lemari es umumnya mencapai 4oC – 8oC. Pendinginan merupakan metode pengawetan pangan yang paling banyak digunakan. Penyimpanan dingin atau pendinginan bertujuan mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Menurut Pantastico (1997), asas dasar pendinginan adalah penghambatan respirasi pada suhu tersebut. Pendinginan dapat menghambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 8oC akan menurunkan kecepatan reaksi menjadi kira-kira setengahnya. Oleh sebab itu, penyimpanan pada suhu dingin dapat mempertahankan kualitas bahan pangan, sehingga bahan pangan tersebut memiliki masa simpan yang lebih lama. Penyimpanan dingin dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme termofilik dan mesofilik, tetapi mikroorganisme psikrofilik masih bisa tumbuh selama penyimpanan dingin, terutama di antara 0oC dan 5oC. Beberapa jenis mikroorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukkan, tetapi mikroorganisme jenis ini tidak bersifat patogen (Fellows 1990). Penyimpanan pada suhu dingin memiliki pengaruh yang kecil terhadap cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, bentuk, dan penampakan bahan pangan, Namun, perlu mengikuti prosedur standar dengan lama penyimpanan tertentu (Daulay 1988).

Masa simpan bahan pangan yang bersifat perishable, seperti daging dan ikan mentah pada suhu dingin adalah kurang dari satu minggu. Produk olahan daging seperti sosis memiliki masa simpan yang berbeda-beda pada suhu dingin, tergantung dari cara pengolahannya. Sosis mentah dapat disimpan selama tiga hari, sosis matang dapat disimpan selama tujuh hari setelah kemasan dibuka, sosis kering dapat disimpan lebih dari tiga minggu, dan sosis semi kering dapat disimpan sampai tiga minggu dengan syarat kemasan masih utuh. Tabel 8 menunjukkan penyimpanan dingin dari produk segar dan sudah dimasak berdasarkan USDA tahun 2000.

Tabel 8. Penyimpanan dingin untuk produk segar dan sudah dimasak

Produk Lama penyimpanan

Unggas 1 atau 2 hari

Daging sapi, daging kambing 3 sampai 5 hari Hati, otak, jantung (organ bagian dalam) 1 atau 2 hari

Sosis 1 sampai 3 hari

Telur 3 sampai 5 hari

Daging yang telah diasinkan, dimasak

sebelum dimakan 5 sampai 7 hari

18

Sama halnya dengan produk daging dan olahannya, penyimpanan dingin pada produk sayuran pun dapat memperpanjang umur simpan. Penyimpanan dingin dapat menurunkan laju respirasi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme, sehingga kemunduran mutu menjadi terhambat. Peningkatan suhu antara 0oC – 35oC akan meningkatkan laju respirasi sayuran, yang menunjukkan bahwa baik proses biologi maupun kimiawi dipengaruhi oleh suhu. Peningkatan suhu tersebut akan mengakibatkan kerusakan atau kemunduran mutu yang lebih cepat pada produk. Penyimpanan dingin pada 0oC – 5oC baik bagi beberapa sayuran, tetapi beberapa sayuran lain disimpan di atas suhu 7oC untuk menghindari chilling injury. Selain suhu, faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam sayuran adalah kadar CO2 dan

O2 serta tingkat kelembaban (RH).

Selain dapat memperpanjang umur simpan, penyimpanan bahan pangan dalam suhu dingin juga dapat menyebabkan kerusakan. Kerusakan tersebut dapat dilihat dari perubahan karakteristik fisik, kimia, dan organoleptiknya. Perubahan fisik produk pangan dapat dilihat tanpa menggunakan bantuan bahan kimia. Penelitian yang dilakukan oleh Ruban (2008), menyebutkan perubahan sifat fisik pada sosis dengan perlakuan penambahan tepung kentang dan tepung tapioka pada suhu penyimpanan dingin diantaranya adalah perubahan pH. Nilai pH sosis tersebut semakin lama semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sosis dalam lemari pendingin. Menurut Reddy et al. (1995), peningkatan pH disebabkan oleh peningkatan substansi dasar volatil yaitu ammonia akibat aktivitas bakteri. Salah satu perubahan kimia yang dapat terjadi selama penyimpanan dingin adalah peningkatan kadar TVB. Menurut penelitian Pathir et al. (2009), nilai TVB-N pada ikan fillet meningkat secara konstan seiring dengan lama simpan 84 hari mencapai 11,41-19,12 mg/100g. Penyimpanan dingin juga dapat mempengaruhi sifat organoleptik dari bahan pangan. Perubahan organoleptik tersebut disebabkan oleh penyimpanan yang terlalu lama pada suhu dingin. Menurut Ogunbowo dan Okanlawon (2006) dalam Putri (2009), semakin panjang masa simpan bahan makanan dalam refrigerator, maka semakin menurun daya terima sensori bahan makanan dengan atau tanpa perlakuan apapun.

19

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

4.1.

KEGIATAN MAGANG

Kegiatan magang dilakukan selama empat bulan terhitung mulai tanggal 1 Maret 2011 sampai 1 Juli 2011 pada divisi Quality Assurance PT. Sarimelati Kencana (Pizza Hut). Kegiatan magang yang dilakukan antara lain:

1. Identifikasi masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk mengetahui masalah utama yang saat ini sedang terjadi dalam perusahaan sehingga dapat dicari solusi untuk pemecahan masalah tersebut. Identifikasi masalah dilakukan dengan melakukan diskusi dengan bagian Divisi Quality Assurance. Selain itu, dilakukan pula identifikasi terhadap data- data yang dimiliki oleh Pizza Hut yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi. Selanjutnya dilakukan kegiatan studi pustaka untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai topik permasalahan yang dikaji. Studi pustaka ini sangat berguna untuk mengaitkan masalah yang saat ini terjadi di perusahaan, sehingga banyak diperoleh informasi untuk mendukung dalam mencari solusi pemecahan masalah tersebut. Studi pustaka diperoleh dari skripsi, tesis, internet, jurnal, dan data- data yang ada di perusahaan.

2. Observasi lapang

Kegiatan awal dalam observasi adalah pengecekan suhu penyimpanan bahan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah suhu penyimpanan sudah sesuai standar yang ditetapkan atau belum. Dalam hal ini pengecekan suhu dilakukan untuk mengetahui outlet yang paling baik suhu penyimpanannya yang selanjutnya outlet

Dokumen terkait