• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.1 Definisi Gratitude

Gratitude merupakan kecenderungan untuk mengalami perasaan berterimakasih sebagai apresiasi terhadap kebaikan yang diterima (Watkins, W, &

Kolts, 2003). Gratitude adalah perasaan yang seseorang rasakan ketika dia menganggap bahwa sesuatu yang baik telah terjadi kepadanya dan dia menyadari bahwa pihak lain bertanggung jawab atas kebaikan tersebut. Gratitude adalah sebuah keadaan yang dialami oleh individu dari kesadarannya dan secara kognitif dapat memengaruhi emosi (Watkins, 2014). Penilaian secara kognitif pada individu akibat dari syukur yang terjadi dimana kondisi ini dapat dikarakteristikan sebagai “The Recognitions of Gratitude” (Watkins, 2014). Rekognisi adalah mengapresiasi atau mengetahui sebuah kebenaran, identifikasi seseorang, atau sesuatu, atau situasi karena seseorang sudah merasakan sebelumnya.

Menurut McCullough, Tsang, & Emmons (2004) gratitude adalah menerima segala sesuatu yang berharga berupa pengalaman yang bersumber dari individu dan wujud ungkapan dari perasaan individu saat menerima perlakuan baik dari individu lain. Kebermaknaan pengalaman yang telah terjadi membuat indiviudu lebih menghargai dirinya dan mengungkapkan perasaan dengan orang lain dengan bersikap baik.

“Gratitude is a sense of thankfulness and joy in response to receiving a gift, whether the gift be tangible benefit from a specifics other or a moment of peaceful bliss evoked by natural beauty.” (Peterson &

Seligman, 2004)

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Peterson dan Seligman (2004) mendefinisikan bersyukur sebagai perasaan berterima kasih dan bahagia sebagai respon atas suatu pemberian, baik pemberian tersebut merupakan keuntungan yang

nyata dari orang tertentu ataupun saat kedamaian yang diperoleh dari keindahan alamiah.

Menurut Emmons (2007) segala kata yang berasal dari kata gratia selalu berhubungan dengan kebaikan, kemurahan hati, dan keindahan memberi maupun menerima sehingga gratitude disebut sebagai nilai terbesar dalam diri individu dan menjadi induk dari nilai-nilai kebaikan yang lain. Gratitude dapat menciptakan individu menjadi pribadi bijaksana, lebih baik dan menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan lingkungannya.

Sansone & Sansone (2010) menjelaskan rasa syukur sebagai penghargaan atas hal yang mempunyai arti penting bagi diri sendiri dan berharga berharga, mewakili sebuah keadaan penghargaan atau syukur secara umum atas hal yang telah diterima.

Salah satu bentuk ungkapan bersyukur untuk pengalaman, adalah seperti pengalaman yang terjadi sepanjang hidup baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

Watkins (2014) mendefinisikan gratitude ke dalam tingkat pendekatan analisis emosi yang diuraikan berdasarkan three levels of analysis oleh Rosenberg (1998), yaitu emosi, trait, dan mood.

a. Gratitude as an Emotion

Watkins (2014) berpendapat bahwa emosi dari gratitude yang dialami ketika seseorang menegaskan “sesuatu yang baik telah terjadi pada mereka, dan mereka menyadari bahwa orang lain sebagian besar bertanggung jawab atas keuntungan ini".

Seseorang mungkin bersyukur untuk aspek diri mereka, tetapi ini karena mereka merasa bahwa orang lain telah berkontribusi pada hal yang mereka peroleh. Penelitian telah menunjukkan bahwa gratitude adalah pengaruh yang positif. Orang yang mengalami gratitude menganggap gratitude sebagai emosi yang menyenangkan dan orang tersebut cenderung menambahkan emosi positif lainnya.

b. Gratitude as an Affective Trait

Terdapat beberapa hal yang dapat membuat seseorang memiliki sifat untuk bersyukur, yaitu intensity. Orang yang bersyukur sudah pasti mengalami kebersyukuran daripada orang yang jarang mengalami kebersyukuran. Kedua, frequency seseorang dalam mengalami kebersyukuran. Sudah jelas bahwa orang yang

bersyukur harus merasakan emosi positif lebih sering daripada orang yang jarang mengalaminya. Orang yang bersyukur tidak membatasi rasa syukur mereka pada kehidupan mereka, tetapi merasa bersyukur setiap kali mengalami hal yang positif.

Ketiga, density atau jumlah orang yang membuat seseorang merasakan kebersyukuran. Seperti, ketika akan lulus dari bangku perkuliahan, seseorang akan berterima kasih kepada orang tuanya, dosennya, penasihatnya, dan teman-temannya.

c. Gratitude as a Mood

Watkins (2014) berpendapat bahwa kita perlu memperhatikan keadaan afektif terhadap suasana hati serta emosi. Baik emosi dan suasana hati merupakan keadaan sementara, tetapi suasana hati memiliki durasi lebih lama dan harus dilatarbelakangi adanya kesadaran. Suasana hati kebersyukuran seharusnya memiliki jangka waktu yang lebih panjang daripada emosi kebersyukuran. Jika seseorang berada dalam suasana hati kebersyukuran, maka orang tersebut dapat dipastikan akan mengalami emosi kebersyukuran.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka definisi gratitude yang digunakan peneliti adalah perasaan berterima kasih serta apresiasi atas hal-hal yang diperoleh selama hidup, baik dari Tuhan, manusia maupun alam semesta, yang kemudian mendorong seseorang untuk berperilaku positif dan melakukan hal yang sama seperti yang ia dapatkan.

2.1.2 Aspek Gratitude

Gratitude menurut Watkins dkk (2003) memiliki beberapa dimensi sebagai berikut:

a. Merasa Berkecukupan (Sense of Abundance)

Komponen ini berasal dari komponen pertama Fitzgerald (1998) yaitu perasaan apresiasi yang hangat terhadap seseorang atau sesuatu. Seseorang yang memiliki kecenderungan gratitude tinggi akan merasa puas dengan apa yang dimiliki dalam hidupnya. Orang tersebut tidak merasa kekurangan sesuatu. Mereka merasa apa yang mereka miliki sudah cukup dan berguna.

b. Menghargai hal simpel (Simple Appreciation)

Komponen ini berasal dari karakteristik orang bersyukur menurut Watkins dkk (2003), yaitu tidak merasa kekurangan dalam hidupnya atau dengan kata lain memiliki sense of abundance. Seseorang yang tidak merasa kekurangan akan memiliki perasaan positif dalam dirinya. Ia akan merasa berkecukupan terhadap apa yang dimilikinya, puas dengan kehidupan yang dijalaninya.

c. Menghargai kontribusi orang lain (Appreciation of others)

Seseorang yang memiliki gratitude yang tinggi menghargai pemberian dan bantuan yang diberikan orang lain dalam hidupnya. Hal tersebut didukung oleh McCullough dkk (dalam Watkins, 2003) yang menekankan bahwa perasaan bersyukur muncul salah satunya dikarenakan kontribusi orang lain terhadap seseorang.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gratitude

Menurut McCullough dkk (2002) terdapat setidaknya tiga faktor yang mempengaruhi gratitude, yaitu:

a. Emotionality

Individu yang puas pada kehidupan yang telah diraihnya memiliki pandangan dimana dunia dan segalanya yang mereka miliki adalah hadiah. Individu yang bersyukur cenderung memiliki emosi positif seperti lebih sering mengalami kebahagian, optimis dan memiliki harapan atau orientasi masa depan yang tinggi.

Sebaliknya mereka tidak mengalami emosi yang mengarah pada rasa sedih, marah, kecemasan, iri hati dan depresi.

b. Prosociality

Sifat prososial dari gratitude menunjukan bahwa bersyukur berakar pada sifat dasar individu yang mempunyai kecenderungan individu dalam sensitivitas dan kepedulian kepada orang lain. Individu yang bersyukur memiliki keinginan untuk menolong, rasa empati yang lebih, perilaku memaafkan dan kecenderungan untuk mendukung orang lain. Bersyukur juga meminimalisir terhadap emosi negatif seperti iri hati dan kecewa, dapat memicu sejenis perasaan dendam dan penghinaan yang ditunjukkan kepada orang lain.

c. Religiousness

Berkaitan dengan keimanan individu masing masing, menyangkut nilai-nilai transendental serta terkait hubungan langsung antara individu dengan Tuhan.

Individu dengan tingkat religiusitas yang tinggi cenderung lebih mudah untuk bersyukur. Hal tersebut ditandai dengan setiap perilaku dalam kehidupannya sehari hari individu seperti kecenderungan untuk bersyukur dirasakan karena hubungan kedekatan dengan Tuhan-Nya.

Dokumen terkait