• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gunung Gede

Dalam dokumen Berwisata ke Gunung api (Halaman 73-76)

Informasi; gedung II; 2002-2005, saat sebagai

Menggeluti masalah Gerakan Tanah Kepala Subbag RT; gedung III, 2005-2007, saat Pak Sugiharto adalah salah seorang ahli masalah menjadi Kepala Subbid Sarana Penyelidikan; dan gerakan tanah. Beliau banyak menulis tentang gedung IV, 2007-sekarang, sebagai Kepala hal itu. Tampak bahwa tugas Pemerintah yang Subbid Penyedia Informasi Publik. “Karena saya beliau emban sejak di DG (1976) hingga bergonta-ganti jabatan, semua gedung di PLG sekarang di PLG (2007), menumbuhkan beliau pernah saya tempati”, kata beliau. Pak Sugiharto hingga senang menggeluti masalah gerakan juga termasuk orang yang senang menjalin tanah dan menjadi salah seorang ahlinya. Hal silaturahmi. “Saya hapal semua rekan kerja, tersebut sebagaimana penuturannya dibawah ini hingga nama-namanya”, kata beliau.

“Saya masuk seksi Gerakan Tanah (Gertan) yang Pak Sugiharto juga memiliki empati yang tinggi kala itu sangat tidak diminati oleh kawan-kawan terhadap para pensiunan pegawai di bidang sepekerjaan. Tapi, karena sudah ditentukan geologi. “Saya kira kita harus menjembatani disitu, ya saya terima saja. Perjalanan di seksi mereka untuk bertemu. Kasihan para pensiunan Gertan saya tekuni secara sungguh-sungguh. itu. Mereka tidak tahu harus menghubungi siapa Lama kelamaan bidang tersebut sangat saya jika kontak mereka dengan teman-teman semasa senangi, saya dapat kebanggaan di sana. Saat di kerjanya terputus.”

sana (seksi Gertan-red) saya banyak sekali

berinteraksi dengan masyarakat di daerah Masyarakat dan Bencana, Listrik dan Air

Dengan ilmu yang dimilikinya dan tugas yang bencana. Di satu sisi, secara teori kita mengetahui

diembannya, Pak Sugiharto berkunjung ke masalah gerakan tanah. Di sisi lain, masyarakat

daerah-daerah yang terkena bencana gerakan sudah biasa hidup “kejar-kejaran” dengan

tanah. Dari pengalamannya bergaul dengan bahaya gerakan tanah. Perpaduan itu membuat

masyarakat, beliau mengetahui alasan mengapa kita menjadi matang dan bijak dalam menggeluti

banyak penduduk tetap tinggal di daerah rawan masalah gerakan tanah. Lebih jauh lagi gerakan

bencana. “Ada tiga alasan pokok. Pertama, tanah membawa saya beberapa kali bertugas ke

mereka tidak tahu daerah tersebut termasuk berbagai negara maju seperti Belanda, Jepang

daerah rawan bencana. Kedua, mereka d a n A m e r i k a . T a n p a b e r m a k s u d

sebenarnya tahu daerah itu daerah bencana, menyombongkan diri, kala itu rasanya saya siap

tetapi daerah itu adalah daerah leluhur mereka berbicara masalah gerakan tanah di ujung dunia

sehingga tidak dapat mereka tinggalkan. Ketiga, manapun.

mereka terpaksa tinggal disana karena tidak Cukup lama, bahkan sebagian besar masa kerja mempunyai pilihan akibat secara ekonomi saya (kurang lebih 20 tahun) untuk urusan mereka tidak mampu. Jadi, dalam kaitannya gerakan tanah. Dua orang senior yang dengan mitigasi bencana, kita harus melakukan mengantarkan saya ke ilmu geologi teknik dan upaya-upaya memberitahu mereka yang tidak gerakan tanah yang tak mungkin saya lupakan tahu dan upaya memindahkan mereka dari adalah Bapak Joedo D. Elifas dan Bapak Yousana daerah rawan bencana”, demikian Pak Sugiharto OP. Siagian. Dari keduanya saya bukan saja bertutur tentang beberapa hal penting mendapatkan pengetahuan tapi disiplin kerja berkenaan dengan bencana.

dan how to manage”.

Selanjutnya, dalam perjalanan karirnya, Pak

Pernah di Semua Gedung, Hapal Semua Sugiharto menyaksikan dari dekat bagaimana

Rekan Kerja kehidupan rakyat di daerah-daerah sulit air atau Salah satu yang mengesankan beliau selama di desa-desa tertinggal. “Wah, hidup mereka itu, bekerja adalah berpindah-pindah gedung mulai dari, bapak, ibu, hingga anak, melulu tempatnya berkantor. Empat buah gedung di hanya untuk memperoleh air. Jadi kehidupan lingkungan PLG seluruhnya pernah beliau mereka tidak produktif. Coba bayangkan, untuk tempati. Mulai gedung I, 1990-2001, saat memperoleh air bersih mereka harus berjalan menjabat Kepala Seksi Pengolahan Data dan kaki sejauh 2 kilometer hingga 3 kilometer.

P r o f i l

74 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 2 0 0 7 Makanya di daerah sulit air itu kita membangun sumur bor, untuk menyediakan sarana air bersih”, ujar Pak Sugiharto berkenaan dengan kegiatan pemboran airtanah di daerah sulit air. Tahun 1983 pada suatu kesempatan presentasi tentang proyek di DESDM, Jakarta, Pak Sugiharto menunjukkan data bahwa keadaan di desa-desa kita sangat banyak yang kesulitan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Beliau pun mengusulkan agar DESDM membantu mengebor di daerah sulit air karena memang secara teknologi dan peralatan DESDM sebenarnya mampu. Beliau tercengang bercampur gembira, karena ada seorang jajaran pimpinan dalam pertemuan tersebut yang menyatakan bahwa air bersih harus didahulukan sebelum listrik (penerangan). Dibawah ini penuturan beliau tentang kejadian yang menjadi cikal bakal kegiatan pengeboran airtanah di daerah sulit air atau desa tertinggal, yaitu salah satu kegiatan unggulan di PLG saat ini.

”Pada saat presentasi rencana kegiatan pemboran airtanah untuk desa tertinggal, di DESDM, Jakarta, ada hal yang sama sekali diluar dugaan kami saat itu. Biasanya kalau presentasi

itu begitu-begitu saja, selalu dihambat atau dicari kelemahannya, bahkan ditentang. Tetapi 'surprise; buat kami pada waktu itu, karena salah seorang 'bos' dari luar Ditjen kita (DJGSM-red) berpandangan sangat positif terhadap kegiatan pemboran airtanah di daerah sulit air. Waktu sang bos itu menyatakan:'Mana yang lebih penting antara mandi dan listrik? Semua desa mau dilistriki tapi masih banyak orang yang tidak mandi karena kesulitan air. Menurut saya, utamakan air!'.

Selanjutnya, sebagaimana cerita Pak Sugiharto, sang bos itu menunjuk beliau dan menyarankan agar beliau meminta dana satu persen dari dana proyek listrik untuk pengeboran air tanah di daerah sulit air. 'You, bisa ngebor ratusan titik dengan dana sekian', katanya kepada beliau. Sejak saat itu kegiatan instansinya ini banyak mendapat dukungan dari DESDM. Dari daerah- daerah pun berdatangan permintaan pemboran air tanah ke intansinya ”Sejak itu kami makin yakin, walau tetap hati-hati, dengan pekerjaan ini (pemboran air tanah-red). Dan suatu kebanggan dan kebahagiaan yang sukar diukur, saat pemboran kita menghasilkan air sesuai harapan, baik kualitas maupun kuantitasnya; dan ketika Sarana ibadah, Masjid, salah satu fasilitas umum yang dilengkapi dengan sarana air bersih hasil pengeboran air tanah di daerah sulit air

tampak suka-cita masyarakat yang sudah puluhan tahun mendambakan air bersih di desanya”, Pak Sugiharto mengakhiri kisah pelaksanaan salah satu tugasnya.

B e r b a g i R a s a y a n g P o s i t i f d a n Mensyukuri

WG sangat terkesan dengan kesederhanaan Pak Sugiharto. Demikian pula terhadap kiat beliau dalam membina ketahanan kerja: berbagi rasa dan mensyukuri apa yang diterima. Hal ini terungkap di akhir wawancara dengan beliau berikut ini: ”Saya selalu berbagi rasa yang positif dengan semua teman-teman di PLG. Bahwa kita ini sudah tinggal di kota yang adem, Bandung yang banyak di gandrungi semua orang Indonesia. Di Bandung, kantor kita di Jalan Diponegoro, sebuah lokasi yang paling 'elit' pula. Jadi sudah cukup baiklah kita ini. Kesejahteraan kita sekarang juga sudah lumayan; ada tambahan TK, Pokja, dll. Rasanya tinggal tenang dan bekerja dengan baik, cukuplah”, tutur beliau.

PNS yang memiliki banyak hal untuk diteladani ini menutup wawancaranya dengan WG dengan kalimat-kalimat sederhana namun mendalam berikut ini: ”Empat gedung PLG sudah pernah saya tempati, 100% rekan kerja yang berjumlah 333 orang saya kenal dengan baik, baik nama maupun orangnya. Mudah-mudahan riwayat 'unik' bagi saya ini dapat saya kenang kelak saat memasukai masa pensiun, 1 Agustus 2008”. n

”Sejak itu kami makin yakin,

walau tetap hati-hati, dengan

pekerjaan ini. Dan suatu

kebanggan dan kebahagiaan

yang sukar diukur, saat

pemboran kita menghasilkan

Dalam dokumen Berwisata ke Gunung api (Halaman 73-76)

Dokumen terkait