• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialektika Guru dan Murid

A. Guru dalam Tasawuf; Tarekat

Guru dalam tasawuf, khususnya tarekat, memiliki peran yang sangat penting, sebab seorang sa>lik akan mengalami kerumitan tersendiri dalam perjalanannya menuju h{aqi>qat. Ia harus memulai dengan menuntaskan

syari’atnya, kemudian secara beriringan juga harus menempuh t{ari>qah

dengan beragam sulu>k yang tidak hanya cukup dipahami doktrinnya, te– tapi dijalaninya secara istiqa>mah hingga benar-benar menemukan jati diri sebagai makhlu>q, a’bu>d, mah{bu>b, ataupun waliy Allah. Syari’ah, tarekat, dan hakekat yang merupakan tiga pilar paling penting dalam dunia tasawuf dengan kompleksitas doktrin di dalamnya meniscayakan seorang sa>lik memiliki guru sebagai pembimbing dalam menapaki jalan menuju Allah. Dalam lingkup tarekat sebagai ajaran, misalnya, betapa banyak keraga– man praktek perjalanan menuju Allah yang diajarkan dan diteladankan ulama-ulama sufi ternama. Demikian pula, ketika sa>lik hendak merambah dan menjadi bagian dari tarekat tertentu yang telah melembaga juga tak kalah rumitnya, karena begitu banyaknya pilihan dengan berbagai ka– rakteristik. Kebutuhan akan guru, syaikh, maupun mursyid, mengharus– kan sa>lik untuk selektif dalam menemukan dan memilihnya.

Sa>lik harus mencari guru atau syaikh yang memiliki kriteria sebagai

guru yang sempurna (al-shaikh al-ka>mil). Terutama bagi sa>lik yang meng– hendaki untuk bertarekat, mereka bukan hanya diharuskan mencari, me– lainkan juga harus dapat menemukan guru. Tanpa guru dalam bertare–

4

Bagian

DIALEKTIKA GURU DAN MURID

Zumrotul Mukaffa

kat, maka pendakian sa>lik menuju Tuhannya dalam dunia tasawuf dianggap sia-sia belaka. Al-Sha’rani, sebagaimana diadaptasi Yai Djamal, menegaskan:

Ketahuilah saudaraku! Bahwa sesungguhnya seorang sa>lik

selamanya tidak akan sampai pada tingkatan mulia didalam tarekat, kecuali dengan bertemu guru dan berpegang teguh tata krama terhadapnya serta banyak melayani (khidmah kepadanya). Barangsiapa mengaku telah bertarekat tanpa guru, maka gurunya adalah iblis, walaupun di tangannya ada karamah, maka karamah itu adalah merupakan istidra>j (Jawa: penglulu), karena karamah Dajja>l yang buta sebelah matanya akan muncul diakhir zaman.132

Abu al-Qa>sim al-Junaidi juga mensyaratkan adanya guru bagi sa>lik yang hendak mengarungi dunia tasawuf melalui tarekat. Ia mengatakan:

تقملاب الله هلاتبا خايشلأا مارتحا م ّرح نمو ،ّلضأو ّلض خيش ريغب كلس نم

.ناميلإا رون مرحو دابعلا نيب

Barangsiapa yang sulu>k tanpa bimbingan guru, maka ia tersesat dan menyesatkan. Dan barang siapa tidak menghormati guru, maka Allah akan mengujinya dengan kemurkaan-Nya diantara para hamba, dan terhalang baginya cahaya keimanan.133

132 Moch. Djamaluddin Achmad, Tashawwuf Amali, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin Tambakberas, 2011), 124. Al-Sha’rani termasuk salah satu tokoh sufi ternama yang mengharuskan secara mutlak adanya guru sebagai pembimbing muri>d. Untuk memperkuat

argumennya, ia menggunakan kaidah fikih “ma> la> yatimmu al-wa>jib illa> bihi fahuwa wa>jibun”

yang berarti “sesuatu yang wajib tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang tersebut juga wajib hukumnya”. Adalah wajib bagi muri>d untuk

memahami basis keilmuan etika-etika yang telah diwariskan oleh Rasul Muhammad

(al-akhla>q al-Muhammadiyah), dan sekaligus mengamalkannya. Muri>d tidak akan mampu

memahami dan mengamalkannya secara benar dan sempurna tanpa ada guru yang membimbingnya. Oleh karena itu, kedudukan guru hakikatnya adalah sama-sama penting dan wajib dengan al-akhla>q al-Muhammadiyah. Abdul Wahhab Al-Sha’rani, Lawa>qih al-Anwa>r al-Qudsiyah fi> Baya>n al-Uhu>d al-Muhammadiyah, (Halab: Da>r al-Qalam al-Arabi>, 1993); 4. Abdul

Hafi>dz Farghali> Ali> al-Qarni>, Abdul Wahhab al-Sya’rani>, Imam al-Qarni> al-‘A>syir, (Mesir: Da>r

al-Kutub, 1985).

Dialektika Guru dan Murid

Apa yang disampaikan al-Sha’ra>ni dan al-Junaid tersebut mengisya– ratkan pentingnya peran guru dalam sebuah proses pembelajaran yang tidak hanya transformasi ilmu semata, melainkan sampai bagaimana il– mu tersebut diinternalisasikan dalam diri seorang muri>d dan diimple– mentasikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan berkontribusi terhadap perubahan masyarakat di sekitarnya. Proses yang sedemikian panjang dan membutuhkan komitmen tinggi dari seorang guru yang harus me– miliki kesabaran tinggi dalam menyampaikan ilmunya, memberikan bimbingan agar memiliki kesadaran penuh atas penting dan bermakna– nya apa yang sudah dipelajarinya, mendampingi dalam menumbuhkan keyakinan penuh atas yang akan menjadi jalan hidup dan kehidupannya berdasarkan yang telah dipelajarinya, hingga ilmu yang telah dimiliki oleh muri>dnya telah dipastikan menyatu dalam diri muri>d. Demikian juga seorang mur>id harus memiliki kesabaran tinggi untuk menerima dengan segenap hatinya, menghilangkan ego, mengosongkan jiwanya seperti gelas yang kosong akan mudah diisi oleh air agar mudah diisi ilmu pe– ngetahuan. Jika ada sedikit saja tinggi hati maka ilmu sulit masuk seperti halnya gelas yg tertutup tidak akan mampu menampung air meski hanya sedikit. Proses penanggalan ego, identitas diri dengan segala macam atribut yang dimiliki seorang muri>d hingga ia mengisi penuh diri dan jiwanya dengan ilmu lahir dan batin, tidak mungkin dapat dicapai tanpa ajaran, bimbingan, kasih sayang, dan suri tauladan dari seorang guru. Proses interaksi antara guru dan murid inilah yang sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam sebuah proses pembelajaran, sebab tanpa proses tersebut al-Sha’ra>ni mengilustrasikan murid tanpa guru sebagai sosok yang mengerikan sebagaimana sosok Dajja>l yang lazim dikenali oleh masyarakat muslim sebagai makhluq buruk rupa dan perangainya.

Zumrotul Mukaffa