• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Menuju Tuhan

A. Tahapan-Tahapan Menuju Tuhan

Dalam dunia tasawuf, tahapan spiritual (al-maqam) merupakan termi– nologi yang sangat populer dan sebagai bagian terpenting yang meng– hantarkan muri>d menuju wushu>l kepada Tuhannya. Kata ini sering dipa– dankan dengan tangga pendakian yang dalam bahasa Arab dikenal luas dengan kosa kata teknis al-maqa>ma>t bentuk plural dari singular al-maqam yang dalam Bahasa Inggris dipadankan dengan station dan memiliki makna dasar ”tempat berhenti” atau ”pos pemberhentian”. Tanpa mela– lui tangga-tangga atau tahapan-tahapan pendakian, nyaris mustahil bagi seorang muri>d dapat menuju Tuhannya dengan sempurna.

Secara literal, maqam bermakna tempat (al-maudhi’) dan kedudukan

(al-manzilah).216 Secara terminologis, maqa>m merujuk derajat tertentu yang

diperoleh muri>d atau sa>lik, disebabkan kesungguhan dan konsistensi me– reka untuk menjalani aktifitas-akatifitas sufistik tertentu. Al-Thusi> salah satunya, ketika ditanya ”apakah makna maqa>ma>t?”, maka ia menjawab– nya: ”derajat yang dimiliki oleh seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui berbagai amal ibadah, muja>hadah, riya>dhah, dan dedi–

216 Pengertian literal tentang maqam ini merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya: QS: al-Shaffa>t: 163, QS: al-Dukha>n: 51; QS: al-Rahma>n: 46; QS: al-Isra>’: 79, dan QS: Maryam: 73. Yusuf Muhammad Tha>ha Zaidan, al-Thari>q al-Shu>fi> wa Furu> al-Qa>diriyah bi Mishri, (Beirut: Da>r

al-Ji>l, 1991), 75.

5

Bagian

Tahapan-Tahapan

Zumrotul Mukaffa

kasi seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada-Nya”.217 Hampir sama dengan al-Thusi>, al-Qusyairi mendefinisikan maqa>m sebagai derajat yang telah berhasil direalisasikan oleh muri>d atau sa<lik melalui konsistensi dalam menjalankan tata krama yang berlaku dalam dunia tasawuf.218

Untuk mencapai wushu>l kepada Allah secara sempurna, muri>d atau

sa>lik tidak cukup hanya berhasil mencapai satu derajat tertentu, melain–

kan terdapat banyak maqam yang harus dijalaninya secara sungguh dan konsisten. Berangkat dari konsepsi inilah, muncul istilah maqa>ma>t yang berarti beberapa tempat, kedudukan atau derajat yang berjenjang, dari yang terbawah hingga pada puncaknya. Berjenjang sebagai karakter khas

maqama>t sama halnya dengan mengidentikkannya dengan tangga-tangga

atau tahapan-tahapan (stages).

Para ulama shu>fi memiliki perspektif yang berbeda-beda tentang be– rapa maqa>m atau tangga yang harus dilalui oleh sa>lik atau muri>d dalam proses pendakiannya menuju wushu>l kepada Allah. Perbedaan yang muncul sangat wajar, mengingat pengalaman spiritual masing-masing ulama berbeda, meskipun tujuannya sama-sama menuju Tuhan. Penting dicatat, maqa>ma>t di mata ulama-ulama sufi bukan sekedar bangunan keilmuan yang teoritik-konseptual, melainkan bersifat amaliyah dan seka– ligus kasbiyah. Hasil penelusuran Zaidan menunjukkan, al-Kalabadzi> memformulasikan dua puluh maqam untuk mencapai Tuhannya, semen– tara al-Qusyairi dua belas, al-Thu>si tujuh, dan sembilan menurut Yazid al-Makki> dan al-Ghazali. Bahkan Abdul Wahhab al-Sya’rani> dalam kitabnya al-Yawa>qit wa al-Jawa>hir mengatakan jumlah maqama>t yang se– sungguhnya lebih dari 40 ribu.219

Oleh karena karakternya yang berjenjang, maka seperti halnya tang– ga pendakian lainnya, masing-masing maqam tidak berdiri sendiri secara terpisah, tetapi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bersifat hirarkhis. Artinya, muri>d atau sa>lik tidak diperbolehkan untuk melakukan pendakian dengan meloncat-loncat atau dari tangga teratas menuju ke bawah. Yai Djamal menegaskan, sa>lik atau muri>d harus melangkah dari tahapan pertama menuju tahapan kedua, dan setelah tahapan kedua

217 Abu Nashr al-Sara>j al-Thu>si>, al-Luma>’, t. Halim Mahmud, (Kairo: Maktabah Dar Kutub

al-Hadi>tsah, 1960), 65.

218 Abu al-Qasi>m Abd al-Kari>m bin Hawaza>n al-Qusyairi, al-Risa>lah al-Qusyairiyah, t. Khalil

Manshur, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), 91. 219 Zaidan, al-Thari>q al-Shu>fi>, 76.

Tahapan Menuju Tuhan

dapat dilakukan dengan sempurna, baru melangkah ke tahapan beri– kutnya, dan begitu seterusnya hingga mencapai puncaknya.220

Hukum ketidak-bolehan terjadi, karena masing-masing tangga atau tahapan saling berkesinambungan. Misalnya, tidak mungkin bagi se– orang muri>d yang belum menjalani taubatan nashu>hah, ia dengan serta memasuki maqam qana>’ah, dan seterusnya. Ibnu Atha>’illah al-Sakandari, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Aji>bah, secara tegas mengatakan ”suatu tanda kelulusan muri>d di akhir perjuangannya, ketika ia berhasil menye– rahkan dirinya pada Allah sejak permulaannya”. Pernyataan ini menun– jukkan, tidak ada keberhasilan tahapan terakhirnya (al-niha>yah) tanpa didahului oleh keberhasilan pada tahapan pertamanya (al-bida>yah).221

Arti penting maqa>ma>t bagi muri>d didasari betul oleh Yai Djamal, se– hingga ia pun merumuskan tahapan-tahapan yang paling mungkin dapat dijalani tahap demi tahap. Hanya saja, terdapat dua perspektif Yai Dja– mal yang berbeda terkait dengan jumlah tahapan yang harus dilalui. Dalam bukunya ”Jalan Menuju Allah”, ia merumuskan sembilan tahapan, diantaranya: taubat, qana>’ah, zuhud, mempelajari ilmu syari’at, menjaga sunan dan adab, tawakkal, ikhlas, uzlah, dan menjaga waktu.222 Se– mentara dalam bukunya ”Islam, Iman, dan Ihsan”, ia membagi maqa>ma>t ke dalam tiga tingkatan yang masing-masing memiliki varian tahapan.

Pertama, tahapan bagi para muri>d yang baru memulai tarekatnya (ahl

al-bida>yah) yang didalmnya terdapat tiga maqam, diantaranya: taubat, takwa,

dan istiqa>mah. Kedua, tahapan bagi muri>d yang sudah mulai menata hatinya melalui tarekat (ahl al-wasath) dan terdiri: ikhlas, kesungguhan hati, dan thuma’ninah (tekun). Ketiga, tahapan bagi muri>d yang sudah me– masuki tingkatan khusus (ahl al-niha>yah) yang terdiri tiga tahapan, yaitu:

mura>qabah, musya>hadah, dan ma’rifah.223 Sedang dalam ”Tashawwuf Amali”,

220 Moch. Djamaluddin Achmad, Tashawwuf Amali, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin Tambakberas, 2011), 49.

221 Abdullah Ahmad bin Aji>bah, Mi’ra>j al-Tasyawwuf ila Haqa>’iq Tashawuf, (Mesir: Da>r

al-Baidha>’, tt), 49: Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Hasani, Iqa>dz al-Himam fi> Syarkh al-Hikam, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1983), 102-103.

222 Moch. Djamaluddin Achmad, Jalan Menuju Allah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin Tambak Beras, 2016) 41.

223 Moch. Djamaluddin Achmad, Islam, Iman, Ihsan, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin Tambak Beras, 2013), 18; Moch. Djamaluddin Achmad, Mutiara Indah Dari Syarkh Hikam Atha>’iyah untuk Menuju Mahhabah Allah, Vol. 1,(Jombang: Pustaka Al-Muhibbin Tambak Beras, 2012).

Zumrotul Mukaffa

Yai Djamal mendeskripsikan empat tahapan yang harus dilalui sa>lik atau muri>d menuju ija>bah Allah, yaitu: taubat, istiqa>mah, tahdzi>b, dan taqri>b.224

Jika ditelusuri secara mendalam, perbedaan tahapan atau tangga yang harus dilalui sa>lik atau muri>d yang berbeda-beda itu pada dasarnya muncul karena orientasinya yang berbeda. Dua kategori maqa>ma>t yang terakhir lebih diprioritaskan pada muri>d-muri>d yang hendak, sedang atau telah menjadi bagian dari tarekat, terutama tarekat Syadziliyah. Hal ini dapat dilihat dari sumber yang digunakan dengan banyak mengadaptasi dari Ibnu Ajibah dan Ibnu Iba>d. Kedua ulama sufi ini dikenal sebagai tokoh-tokoh terpenting tarekat Syadziliyah. Dari kedua tokoh tersebut, Yai Djamal banyak mengadaptasi pemikirannya, terutama Ibnu Aji>bah dalam ”Iqa>dz al-Himam fi> Syarkh al-Hikam”, sedangkan Ibnu Ibad dalam ”al-Mafa>khir al-’Aliyah”.225 Dengan demikian, dua kategori maqa>ma>t yang terakhir lebih mengambil orientasi pada pembaca yang hendak, sedang, dan telah menjadi bagian dari tarekat Syadziliyah.

Sementara maqa>ma>t kategori kedua lebih diorientasikan pada pemba– ca masyarakat muslim secara umum, terutama yang sedang mendalami dunia tasawuf. Maqa>mat yang kedua dengan sembilan varian maqa>m me– rujuk pada kitab induk yang sama, yaitu: ”Mandzu>mah al-Musamma> bi Hi–

dayah al-Azdkiya>’” karya Zainuddin bin Ali al-Ma’bari> al-Mali>bari. Dari

kitab yang sangat ringkas ini, dua intelektual muslim terkenal di Nusan– tara, yaitu Bakri al-Makki Ibnu al-Sayyid Muhammad al-Syatha> al-Dim– yathi dan Syaikh Nawawi Bantani menulis komentar (syarkh). Dari al-Syatha> al-Dimyathi muncul karya ”Kifa>yah al-Atqiya>’ wa Minha>j al-Ashfiya>’, sedangkan komtentar Nawawi al-Bantani berjudul ”Sala>lim al-Fudhala> ’ala>

Hida>yah al-Adzkiya>’ ila> Thari>q al-Auliya>’”.226 Dua kitab tersebut menjadi rujukan Yai Djamal untuk merumuskan maqa>ma>t katagori pertama.

Dengan demikian dapat dikatakan, kategori pertama ini dirumuskan Yai Djamal untuk seluruh masyarakat muslim, baik yang bertarekat atau

224 Moch. Djamaluddin Achmad, Tashawwuf Amali, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin Tambak Beras, 2011). 49.

225 Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Hasani, Iqa>dz al-Himam fi> Syarkh Hikam, (Kairo: Da>r

al-Ma’a>rif, 1983); Ahmad bin Muhammad bin Iba>d al-Mahalli> al-Sya>fi’i, al-Mufa>khir al-Aliyah fi>

Ma’atsir al-Sya>dziliyah, (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Tura>ts, 2004).

226 Sayyid Abu Bakar al-Makki> Ibn al-Sayyid Muhammad Syatha> al-Dimyati, Kifa>yah al-Atqiya>’ wa Minha>j al-Ashfiya>’, (Mesir: Mathba’ah al-Khairiyah, 1303 H); Muhammad Nawawi al-Bantani

al-Ja>wi>, Sala>lim al-Fudhala> ’ala> Hidayah al-Adzkiya> >’ ila> Thari>q al-Auliya>’, (Mesir: Mathba’ah

Tahapan Menuju Tuhan

tidak. Kategori kedua ini, terutama diorientasikan kepada anggota jama’– ah pengajian yang dikelolanya dengan jumlah ribuan, dan memiliki latar belakang pengetahuan keagamaan Islam yang sangat beragam. Pada saat yang sama, tidak dinafikan bahwa juga sangat banyak anggota pengajian yang sudah menjadi bagian atau pengikut tarekat, terutama Syadziliyah.

Oleh karena itu, pembahasan maqa>ma>t dalam pemikiran Yai Djamal lebih difokuskan pada kategori pertama yang banyak mengadaptasi dari karya Syaikh al-Syatha> al-Dimyathi dan Syaikh Nawawi al-Bantani. Kate– gori pertama ini cukup terkenal, bukan saja dikalangan tarekat, melain– kan juga di pesantren-pesantren Nusantara. Pilihan pada kategori perta– ma juga didasarkan pada pertimbangan, seluruh maqa>ma>t dalam kategori kedua dan ketiga telah terangkum dalam sembilan maqa>ma>t, baik secara eksplisit maupun implisit. Secara deskriptif dan hirarkhis, maqa>ma>t kate– gori pertama akan dideskripsikan pada pembahasan selanjutnya.