• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.2. Habitat dan Penyebaran

Menurut Nabithabhata (1996) cumi-cumi sirip besar hidup di daerah lepas pantai, terumbu karang, dekat daerah pantai dan estuaria. Roper et al. (1984) in Prasetio (2007) menyatakan bahwa cumi-cumi sirip besar merupakan hewan daerah neritik yang senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi pada perairan dangkal

6

yang mempunyai ekosistem terumbu karang dan lamun dengan daerah sebaran dari permukaan hingga kedalaman 100 m. Sumberdaya ini tersedia sepanjang tahun, musim utama penangkapan terjadi pada bulan Desember hingga Maret (Shivashantini et al. 2009).

Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun merupakan salah satu wilayah perairan dangkal di gugusan Kepulauan Seribu yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Laut. Perairan dangkal merupakan wilayah yang terletak antara perairan rendah di pantai hingga kedalaman 10-20 m (Nybakken 1992). Perairan dangkal memiliki goba (laguna) di mana terdapat ekosistem lamun dan ekosistem karang. Goba merupakan sebuah kawasan dangkal di pesisir lautan yang terpisah dari lautan terbuka yang dibatasi oleh suatu tepian atau karang, biasanya berupa terumbu karang. Dapat juga diartikan sebagai perairan terpisah yang memiliki kedalaman hingga 30 m seperti atol (Clapham 1973 in Wijaksana 2008). Goba memiliki dua zona utama yaitu terumbu goba dan dasar goba. Terumbu goba ditemukan di sekeliling batas pinggir goba dan juga merupakan potongan karang yang muncul dari dasar goba ke permukaan. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 m dan ini merupakan kedalaman untuk terumbu karang dapat hidup. Kondisi pertumbuhan terumbu karang di goba tidak sebaik di tubir. Hal tersebut disebabkan kondisi gelombang dan sirkulasi yang tidak besar, dan sedimentasi yang lebih besar di daerah goba. Terumbu karang yang mendominasi terumbu goba ialah Porites yang terpencil dan karang bercabang dari Acropora dengan kedalaman 15-20 m. Sementara itu pada dasar goba tidak ada karang yang dapat tumbuh. Sedimentasi di daerah pasir membuat dasar goba dapat dijadikan hamparan yang luas bagi rumput laut (Thalassia dan Cymodocea) atau alga hijau (Caulerpa dan Halimeda) (Nybakken 1992). Adapun Wijaksana (2008) memperoleh kedalaman goba di perairan Pulau Pari berkisar antara 10.30–40.60 m dengan kedalaman rata-rata 30.60 m. Hal tersebut tidak sesuai Darsono (1977) in Wijaksana (2008) yang melakukan penelitian di lokasi yang sama, menyatakan bahwa kedalaman rata-rata goba adalah 6 m.

Pada tepi perairan suatu pulau terdapat lereng terluar yang menghadap ke laut atau sering disebut sebagai zona penopang (tubir), di mana kehidupan karang mulai melimpah pada kedalaman 50 m. Karang di daerah tersebut umumnya sedikit dan

bersifat lunak. Pada kedalaman 15 m terdapat lereng yang curam ke arah laut lepas, dari permukaan hingga kedalaman tersebut karang dapat tumbuh dengan subur karena kondisi lingkungan yang optimal. Pada daerah ini terdapat gelombang yang besar. Karang yang dominan hidup dan berkembang dengan cepat di daerah tersebut ialah Acropora (Nybakken 1992).

Daerah penyebarannya meliputi Indopasifik, Laut Merah, Laut Arab bagian timur, Australia bagian utara, serta perairan Jepang sampai Kepulauan Hawai. Menurut Chikuni (1984) in Sulistyowati (2002) spesies ini terdapat di Laut Kuning dan Laut Cina Timur, perairan sekitar Filipina, Laut Cina Selatan, Laut Jawa hingga Laut Arafura, perairan sekitar Australia, Teluk Bengal dan Laut Arab bagian Barat. Menurut Djajasasmita et al. (1993) daerah penyebaran cumi-cumi sirip besar meliputi Indonesia, Laut Merah, Teluk Persia, Laut Arab, perairan Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, Andaman dan Nikobar, Australia Utara dan Timur, sampai Selatan Jepang.

Studi tentang migrasi ialah hal dasar dalam biologi perikanan karena suatu sumberdaya ikan akan terus bergerak membentuk suatu putaran mulai dari spawning ground, nursery ground, hingga feeding ground. Migrasi dari suatu sumberdaya ikan akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu populasi sumberdaya tersebut (Cushing 1970).

Tulak (2000) in Andy Omar (2002) menemukan cumi-cumi sirip besar di perairan pantai sebelah selatan Pulau Kubur, Teluk Banten saat bulan Juni meletakkan kapsul telurnya di substrat bunga karang (sponge) di kedalaman 3 m. Danakusumah et al. (1996) in Andy Omar (2002) menyatakan bahwa terjadi musim pemijahan cumi-cumi sirip besar di Perairan Bojo pada bulan Juni hingga Juli dan diperoleh kapsul telur cumi-cumi sirip besar yang dipasang pada kedalaman 5, 15, dan 18 m. Segawa (1993) in Andy Omar (2002) menyatakan bahwa di perairan Jepang, cumi-cumi sirip besar sering meletakkan kapsul telurnya pada karang- karang yang telah mati di ekosistem karang, khususnya jenis Acropora spp. Cumi- cumi sirip besar juga sering meletakkan kapsul telurnya pada substrat lamun Sargassum ringgoldianum, S. pattens, S. serratifolium, Padina arborescens, dan Zostera marina (Segawa 1987 in Andy Omar 2002).

8

2.3. Pertumbuhan

Petumbuhan secara sederhana dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam suatu kurun waktu. Di lain pihak pertumbuhan populasi diartikan sebagai pertambahan jumlah individu. Hubungan antara pertambahan ukuran dengan waktu dapat digambarkan dalam bentuk sistem koordinat yang dikenal sebagai “kurva pertumbuhan”, yaitu kurva dengan ukuran waktu yang digunakan diletakkan pada sumbu x dan ukuran dimensi lainnya (panjang atau bobot) pada sumbu y (Effendie 1997 in Andy Omar 2002). Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat selama periode waktu tertentu. Pertumbuhan populasi merupakan peningkatan biomassa suatu populasi yang dihasilkan oleh akumulasi bahan-bahan dari dalam lingkungannya (Effendie 2002).

Forsythe & Van Heukelem (1987) in Warsiati (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang mempengaruhi pertumbuhan adalah umur, ukuran, jenis kelamin, kondisi makanan, aktivitas, dan pengaruh populasi. Sementara itu faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu, cahaya, salinitas, dan kualitas perairan. Menurut Effendie (2002) faktor-faktor yang sangat penting mempengaruhi pertumbuhan ialah suhu dan makanan, di mana pada perairan tropis makanan menjadi faktor yang lebih penting.

Pertumbuhan cephalopoda dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah fluktuasi suhu musiman, ketersediaan makanan, dan jenis kelamin. Kebanyakan cumi-cumi memiliki masa hidup yang pendek, umur cumi-cumi sirip besar berdasarkan hasil studi dinamika populasi adalah 913 hari sampai 1278 hari (Roper et al. 1984 in Prasetio 2007).

Menurut Effendie (2002) untuk mengkaji pertumbuhan diperlukan beberapa analisis diantaranya distribusi frekuensi panjang, pola pertumbuhan, dan pendugaan parameter pertumbuhan.

2.3.1.Distribusi frekuensi panjang mantel

Mempelajari umur ikan (dalam hal ini cumi-cumi sirip besar) menggunakan metode frekuensi panjang digunakan anggapan bahwa ikan yang berada dalam satu kelompok umur yang mempunyai tendensi membentuk suatu distribusi normal

ukuran panjang di sekitar panjang rata-ratanya. Bila frekuensi ukuran panjang tersebut digambarkan dengan grafik akan membentuk beberapa puncak, di mana puncak-puncak tersebut yang kemudian digunakan sebagai kelompok umur ikan. Adapun panjang yang digunakan pada cumi-cumi sirip besar ialah panjang mantel (Ricker 1975 in Sivashanthini et al. 2009).

2.3.2.Pola pertumbuhan

Pola pertumbuhan diperoleh dari analisis hubungan panjang dan bobot yang merupakan bagian dari sifat morfometrik yang berkaitan dengan sifat pertumbuhan. Hasil studi hubungan panjang dan bobot memiliki nilai praktis yang memungkinkan berubah nilai panjang ke dalam bobot atau sebaliknya dan juga memberi keterangan mengenai pertumbuhan, kemontokan, dan perubahan lingkungan. Bobot dapat dinyatakan sebagai fungsi panjangnya di mana hubungan panjang bobot ini hampir mengikuti hukum kubik yaitu bobot sebagai pangkat tiga dari panjangnya (Effendie 2002). Adapun panjang yang digunakan dalam penelitian ini ialah panjang mantel dan bobot yang digunakan ialah bobot tubuh. Andy Omar (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diketahui melalui hubungan panjang dan bobot, dalam hal ini bobot dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang.

Pengetahuan akan hubungan panjang dan bobot memiliki peran penting bagi biologi perikanan dan dinamika populasi suatu sumberdaya ikan. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi stok atau biomassa yang ada di alam (Petrakis & Stergiou 1995 in Shivashantini et al. 2009).

2.3.3.Parameter pertumbuhan

Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy merupakan persamaan yang umumnya digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi. Persamaan Von Bertalanffy didasarkan pada konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Parameter-parameter yang digunakan untuk menduga pertumbuhan populasi ialah panjang asimtotik (L) yang merupakan panjang maksimum yang tidak mungkin dicapai, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yang merupakan umur teoritis saat panjang sama dengan nol. Segawa (1987) in Andy Omar (2002)

10

mengatakan bahwa laju pertumbuhan cumi-cumi sirip besar berkisar 0.7–0.9 mm/hari.

Penggunaan parameter pertumbuhan dapat memudahkan dalam penyusunan perencanaan pengelolaan (Sparre & Venema 1999). Cushing (1970) menyatakan bahwa variasi dari nilai panjang asimtotik (L) mungkin berhubungan dengan ketersediaan makanan di alam.

Dokumen terkait