• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

3.4. Analisis Data 1 Distribus

3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang mantel cumi-cumi sirip besar. Data frekuensi panjang mantel dianalisis dengan mengunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool). Sebaran frekuensi panjang mantel dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok ukuran yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata dan simpangan baku. Dalam memisahkan kelompok ukuran perlu diperhatikan nilai indeks separasi karena sangat diperhatikan dalam penggunaan metode NORMSEP (Hasselblad 1996, Mc New & Summeffelt 1978, serta Clark 1981 in Sparre & Venema 1999). Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih antara kedua kelompok ukuran yang dipisahkan. Apabila nilai indeks separasi lebih dari dua (>2) maka hasil pemisahan kelompok ukuran dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya.

3.4.4. Pola pertumbuhan

Pola pertumbuhan dapat dilihat dari hubungan panjang dan bobot yang digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan alometrik (Effendi 2002). Menurut Bagenal & Tesch (1978) dan Ricker (1975) in Shivashantini et al. (2009)

untuk cumi-cumi sirip besar hubungan panjang mantel dan bobot tubuh berlaku persamaan: W = a L b Keterangan: W = bobot tubuh (g) L = panjang mantel (mm) a & b = Konstanta hasil regresi

Untuk menguji nilai b=3 atau b≠3 (b=3, pertumbuhan panjang mantel seimbang dengan pertumbuhan bobot) atau (b≠3, pertumbuhan panjang mantel tidak seimbang dengan pertumbuhan bobot) dilakukan uji-t, dengan hipotesis :

H0 : b = 3, hubungan panjang mantel dengan bobot adalah isometrik H1 : b ≠ 3, hubungan panjang mantel dengan bobot adalah allometrik

thitung = 1 0 1 Sb b b − Keterangan :

b1 = nilai b (hubungan dari panjang mantel dan bobot tubuh) b0 = 3

Sb1 = simpangan koefisien b

Selanjutnya, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Apabila:

thitung > ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis nol (H0)

Setelah itu apabila hasil uji diperoleh allometrik, maka dapat ditentukan bentuk allometriknya dari nilai b yang diperoleh dimana allometrik positif, jika b>3 (pertumbuhan bobot lebih dominan daripada pertumbuhan panjang mantel) dan allometrik negatif, jika b<3 (pertumbuhan panjang mantel lebih dominan daripada pertumbuhan bobot) (Effendie 2002).

22

3.4.5. Pendugaan parameter pertumbuhan

Pertumbuhan panjang sumberdaya ikan dapat dinyatakan dengan model Von Bertalanffy sebagai berikut (Sparre & Venema 1999).

Lt = L∞ (1-e-K(t- t0))

Keterangan:

Lt = panjang cumi-cumi pada saat umur ke-t

L = panjang maksimum yang tidak mungkin dicapai (panjang asimtotik) (mm) K = koefisien pertumbuhan (per tahun)

t0 = umur teoritis saat panjang sama dengan nol (tahun)

Nilai L dan K diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode Non Parametrik Scoring of Von Bertalanffy Growth Function melalui bantuan software ELEFAN 1 (Electronic Length Frequencys Análisis) yang terintegrasi dalam program FiSAT II. Umur teoritis (t0) saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah dengan menggunakan persamaan empiris (Pauly 1984 in Sparre dan Venema 1999) sebagai berikut:

Log (-t0) = 0.3922 – 0.2752 (Log L∞ ) – 1.0380 (Log K)

Keterangan:

Lt = panjang cumi-cumi pada saat umur ke-t

L = panjang maksimum yang tidak mungkin dicapai (panjang asimtotik) (mm) K = koefisien pertumbuhan (per tahun)

4.1.Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1.Distribusi spasial

Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap tersebar di perairan dangkal hingga dalam. Penangkapan cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun lebih banyak dilakukan di wilayah yang lebih dalam seperti tubir dan goba (Gambar 2). Nelayan cenderung menangkap cumi-cumi sirip besar di perairan yang lebih dalam karena pengaruh pasang surut laut. Nelayan Pulau Panggang melakukan aktivitas penangkapan cumi-cumi sirip besar pada pagi hingga sore hari, dan selama penelitian berlangsung terjadi surut pada siang hari yang mengakibatkan nelayan lebih sering melakukan penangkapan pada daerah yang lebih dalam. Kondisi pasang surut juga mempengaruhi jalan kapal nelayan dalam melakukan penangkapan cumi-cumi sirip besar karena saat pasang kapal nelayan dapat masuk ke dalam perairan dangkal, sedangkan saat kondisi surut kapal nelayan tidak dapat masuk ke perairan dangkal sehingga lebih banyak melakukan aktivitas penangkapan di daerah yang lebih dalam seperti tubir, goba, dan hamparan dangkal yang lebih dalam.

Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun dibedakan menjadi tiga sub area yaitu hamparan dangkal, goba, dan tubir. Pada perairan Karang Congkak rata-rata tangkapan cumi-cumi sirip besar yang paling banyak terdapat di tubir sebesar 5 + 15 ekor, sedangkan di perairan Karang Lebar dan Semak Daun rata-rata tangkapan paling banyak di daerah goba sebanyak 3 + 2 ekor (Gambar 4 dan Tabel 2). Rata-rata tangkapan cumi-cumi sirip besar pada masing-masing sub area pada kedua lokasi penelitian bervariasi nilainya (Gambar 4 dan Tabel 2).

24

Gambar 4. Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar berdasarkan hasil rata-rata tangkapan nelayan: (a) perairan Karang Congkak, (b) perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Tabel 2. Rata-rata tangkapan cumi-cumi sirip besar berdasarkan distribusi spasial

Sub Area

Rata-Rata Tangkapan (ekor) Perairan Karang

Congkak

Perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Hamparan Dangkal 4 + 8 2 + 2

Goba 2 + 2 3 + 2

Tubir 5 + 15 2 + 2

Setelah dilakukan uji z (p<0.05), diperoleh bahwa rata-rata tangkapan cumi- cumi sirip besar di hamparan dangkal dengan goba, hamparan dangkal dengan tubir, dan goba dengan tubir di perairan Karang Congkak tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal yang sama juga terjadi di perairan Karang Lebar dan Semak Daun di mana tidak ditunjukkan adanya perbedaan rata-rata tangkapan di hamparan dangkal dengan goba, hamparan dangkal dengan tubir, dan goba dengan tubir (Lampiran 3). Hal tersebut dapat menunjukkan cumi-cumi sirip besar tersebar merata masing- masing sub area. Selain itu juga dilakukan uji z rata-rata tangkapan pada masing- masing sub area pada kedua lokasi penelitian dan diperoleh hasil yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara hamparan dangkal perairan Karang Congkak dengan hamparan dangkal perairan Karang Lebar dan Semak Daun, goba perairan Karang Congkak dengan goba perairan Karang Lebar dan Semak Daun, dan tubir perairan Karang Congkak dengan tubir perairan Karang Lebar dan Semak Daun (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata tangkapan pada masing-masing sub area pada kedua lokasi penelitian ialah sama dan didukung oleh pernyataan Roper et al. (1984) in Prasetyo (2007) yang menyatakan bahwa cumi-cumi sirip besar hidup

pada perairan pantai dengan daerah sebaran mulai dari permukaan hingga kedalaman 100 m. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan jumlah tangkapan pada kedua lokasi penelitian diduga karena kegiatan penangkapan yang lebih sering dilakukan di perairan Karang Congkak dibandingkan perairan Karang Lebar dan Semak Daun.

Ukuran terkecil cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak terdapat di tubir dengan panjang mantel 26 mm, sedangkan ukuran terbesar terdapat di hamparan dangkal dengan panjang mantel 257 mm (Tabel 3). Pada perairan Karang Lebar dan Semak Daun cumi-cumi sirip besar dengan ukuran terkecil dan terbesar juga terdapat pada tubir dan hamparan dangkal dengan panjang mantel berturut-turut 71 mm dan 285 mm. Adapun panjang mantel rata-rata cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak yang terkecil terdapat di tubir sebesar 79.60 + 58.24 mm dan yang terbesar terdapat di goba sebesar 129.08 + 40.72 mm. Sementara itu di perairan Karang Lebar dan Semak Daun panjang mantel rata-rata terkecil terdapat di goba sebesar 126.81 + 39.74 mm dan terbesar di hamparan dangkal sebesar 179.73 + 68.55 mm (Tabel 4).

Tabel 3. Kisaran panjang mantel cumi-cumi sirip besar berdasarkan distribusi spasial

Sub Area

Kisaran Panjang Mantel (mm) Perairan Karang

Congkak

Perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Hamparan Dangkal 41-257 90-285

Goba 71-240 81-250

Tubir 26-217 71-256

Tabel 4. Panjang mantel rata-rata cumi-cumi sirip besar berdasarkan distribusi spasial

Sub Area

Panjang Mantel Rata-Rata + SD (mm) Perairan Karang

Congkak

Perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Hamparan Dangkal 98.22 + 46.29 179.73 + 68.55

Goba 129.08 + 40.72 126.81 + 39.74

26

Panjang mantel rata-rata cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing sub area setelah dilakukan uji z (p>0.05) yaitu antara hamparan dangkal dengan goba, hamparan dangkal dengan tubir, dan goba dengan tubir. Hal yang sama juga terjadi di perairan Karang Lebar dan Semak Daun di mana ditunjukkan adanya perbedaan panjang mantel rata-rata pada hamparan dangkal dengan goba dan hamparan dangkal dengan tubir, kecuali antara goba dengan tubir di mana terdapat perbedaan (p<0.05) (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran cumi-cumi sirip besar pada masing-masing sub area berbeda satu sama lain. Selain itu juga dilakukan uji z panjang mantel rata-rata pada masing-masing sub area pada kedua lokasi penelitian dan diperoleh hasil yang menunjukkan adanya perbedaan (p>0.05) antara hamparan dangkal perairan Karang Congkak dengan hamparan dangkal perairan Karang Lebar dan Semak Daun dan tubir perairan Karang Congkak dengan tubir perairan Karang Lebar dan Semak Daun, kecuali goba perairan Karang Congkak dengan goba perairan Karang Lebar dan Semak Daun yang menunjukkan tidak adanya perbedaan (p<0.05) (Lampiran 3). Salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan panjang mantel rata-rata pada kedua lokasi penelitian diduga karena intensitas penggunaan alat tangkap yang tidak seimbang pada kedua lokasi penelitian, selain itu kegiatan penangkapan yang lebih sering dilakukan di perairan Karang Congkak dibandingkan perairan Karang Lebar dan Semak Daun juga diduga memberikan pengaruh yang berbeda.

Cumi-cumi sirip besar menghuni daerah neritik dan hidup bergerombol pada perairan pantai yang memiliki ekosistem karang dan lamun dengan daerah sebaran mulai dari permukaan hingga kedalaman 100 m (Roper et al. 1984 in Prasetyo 2007). Hasil wawancara dengan nelayan menunjukkan bahwa cumi-cumi sirip besar banyak tertangkap pada daerah hamparan dangkal, goba, dan tubir namun rata-rata tangkapan selama penelitian paling banyak terdapat di daerah tubir karena aktivitas penangkapan yang dilakukan pada siang hari di mana terjadi kondisi surut (Tabel 2). Hasil wawancara dengan nelayan juga menunjukkan umumnya cumi-cumi sirip besar yang berukuran besar terdapat di daerah goba namun selama penelitian selain ditemukan pada goba di perairan Karang Congkak, juga banyak ditemukan di hamparan dangkal seperti terdapat di perairan Karang Lebar dan Semak Daun (Tabel 4). Hal ini diduga cumi-cumi sirip besar melakukan aktivitas mencari makan. Hal

tersebut dapat diketahui karena cumi-cumi sirip besar yang tertangkap di hamparan dangkal umumnya berdekatan dengan goba (Gambar 2).

Adapun cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak yang berukuran kecil terdapat di tubir (Tabel 4) dikarenakan daerah tubir merupakan area yang didominasi oleh Acropora (Nybakken 1992) dan diduga cumi-cumi sirip besar menempelkan kapsul telurnya pada karang tersebut. Selain itu cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Lebar dan Semak Daun yang berukuran kecil terdapat di goba (Tabel 4) juga dikarenakan daerah terumbu goba juga didominasi oleh karang bercabang dari Acropora (Nybakken 1992) dan diduga pula cumi-cumi sirip besar menempelkan kapsul telurnya pada karang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Segawa (1993) in Andy Omar (2002) yang menyatakan bahwa cumi- cumi sirip besar sering meletakkan telurnya pada Acropora spp. Danakusumah et al. (1996) in Andy Omar (2002) juga memperoleh cumi-cumi sirip besar yang menempelkan kapsul telurnya pada kedalaman 5, 15, dan 18 m yang merupakan kedalaman bagi terumbu karang dapat hidup. Melimpahnya karang di tubir dan goba yang didominasi oleh karang keras juga diduga dapat dijadikan tempat berlindung bagi cumi-cumi sirip besar yang berukuran kecil dari predator. Selama penelitian diperoleh kapsul telur cumi-cumi sirip besar yang ditempelkan di hamparan dangkal pada lamun jenis Sargassum spp. yang disebut oseng-oseng oleh masyarakat lokal (Lampiran 2).

4.1.2.Distribusi temporal

Distribusi temporal cumi-cumi sirip besar dapat diketahui dari jumlah tangkapan per periode pengambilan contoh. Apabila hasil tangkapan semakin meningkat maka bobot tangkapan umumnya juga akan semakin meningkat, namun ada kalanya di mana sedikit tangkapan yang diperoleh juga dapat menghasilkan bobot tangkapan yang tinggi pula. Hal tersebut dapat disebabkan tujuan penangkapan utama cumi-cumi sirip besar oleh nelayan ialah cumi-cumi sirip besar yang berukuran besar.

Distribusi temporal berdasarkan jumlah tangkapan yang diperoleh di perairan Karang Congkak maupun perairan Karang Lebar dan Semak Daun bervariasi pada

28

tiap pengambilan contoh. Adapun distribusi temporal pada kedua perairan disajikan pada Gambar 5:

Gambar 5. Distribusi temporal cumi-cumi sirip besar pada setiap periode pengambilan contoh: (a) perairan Karang Congkak, (b) perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Distribusi temporal cumi-cumi sirip besar berdasarkan jumlah tangkapannya di perairan Karang Congkak terus meningkat dari pengambilan contoh pertama hingga keempat, lalu mengalami penurunan pada pengambilan contoh kelima. Hal itu diiringi dengan penurunan bobot tangkapan pada pengambilan contoh pertama hingga kedua dan peningkatan bobot dari pengambilan contoh ketiga hingga kelima. Jumlah tangkapan tertinggi terdapat pada pengambilan contoh keempat sebanyak

101 ekor, sedangkan jumlah tangkapan terendah terdapat pada pengambilan contoh pertama yaitu sebanyak 22 ekor. Bobot tangkapan yang diperoleh juga bervariasi pada setiap pengambilan contoh, bobot tertinggi terdapat pada pengambilan contoh kelima yaitu 13.91 kg dan bobot terendah terdapat pada pengambilan contoh kedua yaitu 1.36 kg (Gambar 5).

Distribusi temporal cumi-cumi sirip besar berdasarkan jumlah tangkapannya di perairan Karang Lebar dan Semak Daun meningkat dari pengambilan contoh kedua hingga ketiga dan mengalami penurunan pada pengambilan contoh keempat hingga kelima. Hal tersebut diiringi dengan penurunan bobot dari pengambilan contoh kedua hingga kelima. jumlah tangkapan tertinggi terdapat pada pengambilan contoh kedua sebanyak 33 ekor, sedangkan jumlah tangkapan terendah terdapat pada pengambilan contoh kelima sebanyak 8 ekor. Bobot tangkapan yang diperoleh juga bervariasi pada setiap pengambilan contoh, bobot tertinggi terdapat pada pengambilan contoh ketiga yaitu 5.75 kg dan bobot terendah terdapat pada pengambilan contoh kelima yaitu 1.83 kg, pada perairan ini tidak dilakukan pengambilan contoh pertama karena nelayan sepenuhnya melakukan penangkapan di perairan Karang Congkak (Gambar 5).

Salah satu faktor yang menyebabkan berbedanya hasil tangkapan baik dari jumlah tangkapan maupun bobot tangkapan pada setiap pengambilan contoh di kedua perairan diduga akibat pertumbuhan cumi-cumi sirip besar itu sendiri yang akan dibahas pada sub bab pertumbuhan. Umumnya target tangkapan utama nelayan ialah cumi-cumi sirip besar yang berukuran besar, namun apabila cumi-cumi sirip besar berukuran kecil dan bergerombol nelayan juga menangkapnya dengan menggunakan alat tangkap jaring. Pertumbuhan cumi-cumi sirip besar pada perairan Karang Congkak jika dilihat dari tren hubungan panjang mantel dan bobot tubuhnya menunjukkan adanya pertumbuhan yang tidak terlalu cepat pada pengambilan contoh pertama hingga ketiga, lalu pada pengambilan contoh keempat hingga kelima mengalami pertumbuhan yang lebih cepat. Hal tersebut sesuai dengan distribusi temporal yang diperoleh yaitu pada pengambilan contoh pertama hingga ketiga jumlah tangkapan mengalami peningkatan yang diiringi dengan peningkatan bobot tangkapannya. Lalu pada pengambilan contoh keempat hingga kelima jumlah tangkapan mengalami penurunan namun bobot tangkapannya meningkat. Hal

30

tersebut mengindikasikan cumi-cumi sirip besar pada pengambilan contoh keempat hingga kelima berukuran lebih besar daripada pengambilan contoh pertama hingga ketiga (Gambar 11).

Adapun pertumbuhan cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Lebar dan Semak Daun jika dilihat dari tren hubungan panjang mantel dan bobot tubuhnya menunjukkan adanya pertumbuhan yang cepat yang artinya cumi-cumi sirip besar sudah berukuran besar pada pengambilan contoh kedua hingga keempat, lalu pada pengambilan contoh kelima pertumbuhan lebih lambat. Hal tersebut sesuai dengan distribusi temporal yang diperoleh dari hasil tangkapan yang meningkat dari pengambilan contoh kedua hingga ketiga lalu mengalami penurunan pada pengambilan contoh keempat hingga kelima yang diiringi dengan menurunnya bobot tangkapan dari pengambilan contoh kedua hingga kelima (Gambar 11).

Menurut Moyle dan Cech (2004) in Tutupoho (2008) pertumbuhan yang cepat dapat disebabkan persediaan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai. Pertumbuhan yang cepat pada cumi-cumi sirip besar membuatnya menjadi sumberdaya komersial (Nabitabhata 1996). Selain itu sifat dari cumi-cumi sirip besar ialah hidupnya bergerombol (Roper et al. 1984 in Prasetio 2007). Sifatnya yang komersial dan pertumbuhannya yang cepat membuat nelayan sering menangkap cumi-cumi sirip besar. Tekanan ekonomi yang semakin tinggi mengakibatkan nelayan terpaksa menangkap cumi-cumi sirip besar yang berukuran kecil dalam jumlah banyak agar bobot tangkapannya dapat meningkat dan menghasilkan keuntungan yang lebih banyak.

4.2.Pertumbuhan

4.2.1. Distribusi frekuensi panjang mantel

Selama penelitian diperoleh 283 ekor cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak dan 83 ekor di perairan Karang Lebar dan Semak Daun. Ukuran panjang mantel yang ditemukan di perairan Karang Congkak berkisar antara 26-257 mm, sedangkan di perairan Karang Lebar dan Semak Daun berkisar antara 71- 285 mm (Gambar 6).

Gambar 6. Distribusi frekuensi panjang mantel cumi-cumi sirip besar: (a) perairan Karang Congkak, (b) perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Cumi-cumi sirip besar tersebar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun mulai dari selang panjang mantel 26-38 mm sampai selang 273- 285 mm. Cumi-cumi sirip besar yang tersebar di perairan Karang Congkak lebih banyak dan lebih merata pada berbagai ukuran yang memiliki frekuensi terbesar pada selang 39-51 mm sebanyak 38 ekor. Frekuensi yang relatif banyak terdapat pada selang 26-38 mm sampai selang 182-194 mm.Kemudian pada selang 195-207 mm sampai selang 273-285 mm frekuensi cumi-cumi sirip besar tidak sampai 10 ekor pada tiap selangnya. Pada selang 260-272 mm sampai selang 273-285 mm sama sekali tidak ditemukan cumi-cumi sirip besar (Gambar 6).

Cumi-cumi sirip besar yang tersebar di perairan Karang Lebar dan Semak Daun memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan perairan Karang Congkak. Cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Lebar dan Semak Daun memiliki frekuensi terbesar pada selang 91-103 mm sebanyak 18 ekor. Berbeda dengan di perairan Karang Congkak, cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Lebar dan Semak Daun memiliki frekuensi yang relatif banyak pada selang 79-90 mm sampai

32

selang 91-103 mm. Pada selang 65-77 mm, 104-116 mm sampai 208-220 mm, dan 260-272 mm sampai 273-285 mm frekuensi cumi-cumi sirip besar tidak sampai 10 ekor tiap selangnya. Pada selang 26-38 mm sampai 52-64 mm, dan 221-233 mm sampai 234-246 mm sama sekali tidak ditemukan cumi-cumi sirip besar (Gambar 6). Hal tersebut menunjukkan ukuran cumi-cumi sirip besar yang tertangkap di perairan Karang Congkak lebih kecil dibandingkan yang tertangkap di perairan Karang Lebar dan Semak Daun. Ketersediaan makanan (Effendie 2002) dan tekanan penangkapan diduga menjadi faktor yang menyebabkan perbedaan ukuran cumi- cumi sirip besar pada kedua perairan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Cushing (1970) yang mengatakan bahwa ukuran tubuh suatu sumberdaya ikan yang semakin kecil mengecil dari tahun sebelumnya menunjukkan adanya tekanan penangkapan yang meningkat terhadap sumberdaya tersebut. Umumnya nelayan- nelayan Pulau Panggang lebih sering melakukan penangkapan cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak dibandingkan dengan perairan Karang Lebar dan Semak Daun, hal tersebut disebabkan sejak beberapa tahun sebelumnya mereka selalu mendapatkan hasil tangkapan cumi-cumi sirip besar yang banyak di perairan Karang Congkak. Oleh karena itu jumlah contoh yang diperoleh di perairan Karang Congkak lebih banyak dibandingkan perairan Karang Lebar dan Semak Daun.

Penelitian Andy Omar (2002) di Teluk Banten menunjukkan cumi-cumi sirip besar jantan yang telah mengalami matang gonad pertama kali terdapat pada kisaran ukuran panjang mantel 100-109 mm, dan pada cumi-cumi sirip besar betina terdapat pada kisaran ukuran panjang mantel 150-159 mm. Hasil tangkapan cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun termasuk pada ukuran muda dan dewasa. Hasil tangkapan cumi-cumi sirip besar yang diperoleh di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang memiliki sebaran ukuran 91-168 mm cukup banyak. Hal tersebut dapat berdampak negatif bagi keberadaan populasi cumi-cumi sirip besar di perairan tersebut apabila didasarkan atas data penelitian Andy Omar (2002). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kematangan gonad cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak dan perairan Karang Lebar dan Semak Daun.

Distribusi ukuran panjang mantel cumi-cumi sirip besar juga dapat dibedakan berdasarkan alat tangkapnya. Pada perairan Karang Congkak diperoleh hasil

tangkapan sebanyak 132 ekor cumi-cumi sirip besar yang berasal dari pancing dengan kisaran panjang mantel 67-257 mm dan 151 ekor berasal dari jaring dengan kisaran panjang mantel 26-239 mm. Pada perairan Karang Lebar dan Semak Daun diperoleh hasil tangkapan sebanyak 67 ekor cumi-cumi sirip besar yang berasal dari pancing dengan kisaran panjang mantel 81-285 mm dan 16 ekor berasal dari jaring dengan kisaran panjang mantel 71-281 mm (Gambar 7).

Gambar 7. Distribusi frekuensi panjang mantel cumi-cumi sirip besar yang tertangkap dengan menggunakan pancing dan jaring: (a) perairan Karang Congkak, (b) perairan Karang Lebar dan Semak Daun

Hasil tangkapan cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak dengan menggunakan pancing memiliki frekuensi terbesar pada selang 104-116 mm sebanyak 25 ekor sedangkan frekuensi terbesar dengan menggunakan jaring terdapat pada selang 39-51 mm sebanyak 38 ekor. Umumnya cumi-cumi sirip besar yang tertangkap dengan jaring memiliki variasi ukuran yang tersebar dari yang terkecil hingga terbesar.Namun hasil tersebut dapat berdampak negatif bagi populasi cumi-

Dokumen terkait