• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

III. 3 HAK DAN KEWAJIBAN

PEMOHON DAN PENGGUNA

INFORMASI PUBLIK SERTA

HAK DAN KEWAJIBAN BADAN PUBLIK

Pasal 4

(1) Setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

(2) Setiap Orang berhak:

a. Melihat dan mengetahui informasi publik.

b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi publik.

c. Mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau

d. Menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap pemohon informasi publik berhak mengajukan permintaan informasi publik disertai alasan permintaan tersebut.

(4) Setiap pemohon informasi publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Penjelasan Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

Sejarah Pembahasan RUU di DPR

RUU Inisiatif DPR Usulan Pemerintah Rumusan yang Disepakati

Setiap orang berhak (1) memperoleh informasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Rumusan Perlu Disempurnakan Setiap pengguna (1) infomasi publik berhak memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ditetapkan Rumusan Sesuai RUU Setiap orang berhak (1) memperoleh informasi publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Keputusan Rapat Panja tanggal 21 Juni 2007 Setiap Orang (2) berhak: Rumusan Perlu Disempurnakan Setiap pengguna (2) informasi publik berhak: Ditetapkan Rumusan Sesuai RUU (2) Setiap Orang berhak:

Keputusan Rapat Panja tanggal 21 Juni 2007 melihat dan a. mengetahui informasi; Rumusan Perlu Disempurnakan melihat dan a. mengetahui informasi publik; Ditetapkan Rumusan Pemerintah Melihat dan a. mengetahui informasi publik.

Keputusan Raker tanggal 4 September 2006 menghadiri b. pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi; Rumusan Perlu Disempurnakan menghadiri b. pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi publik; Ditetapkan Rumusan Pemerintah Menghadiri b. pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk

memperoleh informasi publik.

Keputusan Raker tanggal 4 September 2006

mendapatkan c. salinan informasi; Rumusan Perlu Disempurnakan mendapatkan c. salinan informasi publik sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh badan publik dimaksud; dan

Ditetapkan Rumusan Baru Mendapatkan salinan c.

informasi publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau

Keputusan Rapat Panja tanggal 21 Juni 2007 d. menyebarluaskan informasi Rumusan Perlu Disempurnakan d. menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan internal badan publik yang bersangkutan.

Ditetapkan Rumusan Baru

d. Menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keputusan Rapat Panja tanggal 21 Juni 2007 Setiap orang (3) dalam mengajukan permintaan informasi publik menyertakan alasan permintaan tersebut. Rumusan Perlu Disempurnakan (3) Setiap pengguna informasi publik berhak mengajukan permintaan informasi publik disertai alasan permintaan tersebut. Ditetapkan Rumusan Baru (3) Setiap pemohon informasi publik berhak mengajukan permintaan informasi publik disertai alasan permintaan tersebut.

Keputusan Rapat Panja tanggal 26 Juni 2007

Setiap pengguna (4) informasi publik berhak mengajukan tuntutan ke pengadilan, apabila dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan/ kegagalan. Pemerintah mengusulkan agar ketentuan ini dihilangkan. Alasannya

adalah: Hak ini sudah merupakan hak masyarakat yang tidak

perlu diatur lagi.

Ditetapkan Rumusan Baru (4) Setiap pemohon informasi publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Keputusan Raker Tanggal 26 Maret 2007

Perdebatan Pasal 4 Ayat (1) ditemukan dalam risalah Raker tanggal 4 September 2006. Perbedaan antara RUU inisiatif DPR dengan usulan Pemerintah terletak pada penggunaan terminologi “orang” oleh DPR, dan “pengguna informasi publik” oleh Pemerintah. Terhadap perbedaan ini, F-PG menyatakan bahwa dalam pasal ini memang harus menggunakan terminologi “orang.” Alasannya pasal ini berbicara mengenai jaminan hak, dan yang memiliki hak tersebut adalah orang, terlepas dia menggunakan informasi tersebut atau tidak. Penggunaan terminologi “orang” dalam pasal ini juga merupakan pelaksanaan amanat Pasal 28F UUD NRI 1945. Dalam Raker tersebut, perdebatan mengenai penggunaan terminologi “orang” atau “pengguna informasi publik” ini disepakati akan dibahas dan diputuskan dalam rapat Panja.

Kemudian pada rapat Panja 21 Juni 2007, perdebatan mengenai pilihan penggunaan terminologi “orang” atau “pengguna” dimulai dengan pendapat Pemerintah. Awalnya Pemerintah mengusulkan menggunakan istilah “pengguna”. Namun dalam Panja 21 Juni 2007 Pemerintah mengusulkan untuk menggunakan istilah “pemohon”. Alasannya, seseorang baru menjadi subyek ketika melakukan permohonan informasi. Pemohon informasi sesuai dengan kesepakatan pada ketentuan umum adalah orang atau badan hukum Indonesia. Namun demikian, atas penjelasan Pemerintah tersebut, DPR tetap bersikukuh menggunakan istilah “orang.” Menurut DPR, makna “orang” sesuai dengan kesepakatan definisi orang pada ketentuan umum, orang tidak hanya terbatas pada orang atau badan hukum Indonesia, tetapi juga termasuk orang atau badan hukum asing.

Kemudian, perdebatan Pasal 4 Ayat (2) juga terjadi pada Raker tanggal 4 September 2006 dan Panja 21 Juni 2007. Sama halnya dengan ayat sebelumnya, Perdebatan Pasal 4 Ayat (2) ini juga terkait penggunaan istilah “orang” atau “pengguna” atau “pemohon.” DPR tetap berpendapat menggunakan istilah “orang”, tetapi Pemerintah berpendapat agar Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan b menggunakan istilah “orang,” sedangkan Pasal 4 Ayat (2) huruf c dan d menggunakan istilah “pemohon.” Alasan Pemerintah, penggunaan istilah pemohon pada huruf c dan d lebih tepat karena klausul “mendapatkan salinan” berarti dilakukan melalui permohonan sesuai dengan tata cara permohonan yang telah diatur dalam UU KIP. Kemudian klausul “menyebarluaskan informasi” mengandung makna bahwa hak ini adalah “hak pemohon informasi” untuk memberikan informasi kepada pengguna informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan penyebarluasan informasi tidak hanya tunduk pada UU KIP, tetapi juga pada undang-undang lainnya, misalnya UU Hak Cipta, UU Hak Kekayaan Intelektual, dan sebagainya.

Terhadap usulan Pemerintah, F-PDIP mengingatkan bahwa pasal ini sebenarnya mengatur mengenai hak, oleh karena itu harus diberikan kepada setiap orang. Selain itu istilah “orang” sudah mencakup pemohon maupun pengguna. Jadi, penggunaan istilah “orang” sudah dipandang tepat. Kemudian terkait dengan huruf d, tentang hak menyebarluaskan informasi dapat diatur dalam pasal mengenai tanggung jawab dan kewajiban pemohon informasi. Namun demikian, DPR menyetujui Pemerintah tentang: a) penambahan bahwa hak mendapatkan salinan harus dilakukan dengan permohonan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UU KIP; b) penyebarluasan informasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perdebatan Pasal 4 Ayat 3 ditemukan dalam Raker tanggal 4 September 2006. Seperti halnya ayat sebelumnya, perdebatan tersebut lebih banyak tentang penggunaan istilah orang, pemohon, atau pengguna. Pemerintah juga menggarisbawahi perbedaan penggunaan kalimat “menyertakan alasan” yang digunakan oleh DPR dan“disertai alasan” yang digunakan oleh Pemerintah. Namun demikian, baik DPR dan Pemerintah menganggap bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan. Oleh karena itu, perumusan pasalnya akan dikonsultasikan kepada ahli bahasa. Akhirnya rapat Panja tanggal 26 Juni 2007 menyepakati rumusan Pemerintah. Namun demikian, hasil akhir sebagaimana dalam UU KIP, digunakan istilah “pemohon”. Terkait dengan perubahan ini tidak ditemukan data risalahnya.

Pembahasan Pasal 4 Ayat (4) ditemukan dalam risalah Raker tanggal 4 September 2006. Usulan Pemerintah adalah menghapus rumusan dalam RUU Inisiatif DPR tersebut. Alasannya, hak ini sudah merupakan hak masyarakat yang tidak perlu diatur lagi. Apabila tetap akan diatur, maka harus secara tegas ditentukan kompetensi pengadilan mana yang akan menangani sengketa informasi ini, apakah PTUN atau Peradilan Umum. Terhadap tanggapan Pemerintah tersebut, sebagian DPR menyatakan sependapat karena memang hak menuntut ke pengadilan telah diatur dalam pasal-pasal selanjutnya pada Bab Keberatan dan Banding. Tetapi F-KB, F-PDIP, dan F-PG menyatakan pasal ini harus tetap ada karena merupakan satu kesatuan hak dalam memperoleh informasi. Artinya, publik diberikan hak untuk memperoleh informasi, dalam makna demikian, publik juga dibekali hak untuk menuntut ke pengadilan apabila pelaksanaan hak tersebut mengalami hambatan.

Terhadap perbedaan tersebut, Pemerintah mengemukakan pendapatnya untuk memperkuat argumen menghilangkan pasal tersebut. Pertama, pengadilan harus merupakan upaya terakhir untuk menyelesaikan sengketa, termasuk sengketa informasi. Kedua, apabila tetap dimasukkan dalam pasal ini, maka terkesan bahwa Undang-Undang ini “memaksakan” penyelesaian sengketa informasi dilakukan oleh pengadilan. Ketiga, apabila menunjuk pengadilan, maka harus definitif, pengadilan mana yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa informasi. Terhadap perbedaan pendapat ini, Pemerintah mengusulkan agar pembahasan pasal ini di pending dan dilanjutkan pada rapat Panja. Kemudian, dalam Raker tanggal 26 Maret 2007 terjadi lagi perdebatan mengenai rumusan tersebut. Seperti sebelumnya, di internal DPR sendiri terdapat dua pendapat antara yang setuju dengan usulan Pemerintah dengan yang mempertahankan rumusan RUU Inisiatif DPR sendiri seperti F-KB, F-PDIP, F-PG, dan F-PAN. Setelah melalui perdebatan panjang, Pemerintah berpendapat bisa saja rumusan tersebut dipertahankan, tetapi harus ditegaskan bahwa hak menggugat ke pengadilan harus dilakukan setelah upaya mediasi dan ajudikasi oleh Komisi Informasi dilakukan. Dengan demikian Pemerintah mengusulkan agar rumusan pasalnya menjadi: “Setiap pengguna informasi publik berhak mengajukan tuntutan pengadilan ke pengadilan, apabila dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan/kegagalan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.” Namun, dalam rumusan akhir sebagaimana dalam UU KIP, istilah pengguna diganti dengan pemohon. Terkait dengan hal ini tidak diperoleh risalah pembahasannya.

Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain

Pasal 14 UU HAM menyatakan:

(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan sejenis sarana yang tersedia.

Pasal 103 UU HAM menyatakan:

“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.”

Lihat pula anotasi Pasal 2 Ayat (1) UU KIP.

Perbandingan dengan Negara Lain

Hak Memperoleh Informasi.

Dalam UU RTI India ditetapkan bahwa semua warganegara mempunyai hak atas informasi yang dapat diperoleh sesuai undang-undang yang berada di/atau berdasarkan pengawasan setiap badan publik dan termasuk hak atas/ untuk:

1. melakukan pemeriksaan karya, dokumen, record;

2. mencatat, meringkas atau menerima salinan sah dokumen dan rekor; 3. menerima sampel bahan yang sah;

4. memperoleh informasi dalam bentuk disket, flopi, pita, kaset video atau dalam bentuk elektronik lainnnya atau melalui hasil cetakan di mana informasi tersebut disimpan di komputer atau alat lain. Perbedaan kecil dengan India adalah bahwa hak atas informasi di India tidak mencakup konsep “menghadiri pertemuan” dan “menyebarluaskan informasi” (Pasal 2 (j)).

Sedangkan UU ATI Kanada, menyatakan bahwa setiap orang yang warga negara Kanada atau penduduk tetap memiliki hak akses ke informasi yang dikuasai oleh lembaga Pemerintah dimana akses tersebut dapat diberikan

berdasarkan permintaan dan badan publik harus menyediakan fasilitas bagi masyarakat yang ingin memeriksa panduan (manual) yang menjadi pegangan pegawai dalam melaksanakan program atau kegiatannya yang berkaitan dengan publik (Pasal 5 (1)).

Kewajiban menyebutkan alasan permintaan informasi.

Baik UU RTI India maupun UU ATI Kanada tidak mengatur mengenai kewajiban pemohon informasi untuk memberikan alasan apapun dalam meminta informasi.

Hak mengajukan gugatan ke pengadilan.

Baik UU RTI India mengatur gugatan atas sengketa informasi diselesaikan oleh Komisi Informasi, di mana Komisi Informasi India memiliki kewenangan sebagaimana kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa informasi (Pasal 18 Ayat 3). Sedangkan UU ATI Kanada mengatur mengenai gugatan ke pengadilan khusus untuk penolakan terhadap permohonan informasi setelah diputusakan oleh Komisioner Informasi. Sengketa di luar penolakan permohonan informasi diselesaikan oleh Komisioner Informasi (Pasal 41).

Tanggapan

Hak memperoleh informasi.

Pasal ini mengatur tentang ruang lingkup hak setiap orang yang dijamin oleh UU KIP. Di lihat dari tata urutan perundang-undangan dan konsideran UU KIP, pengaturan ini dapat dikatakan sebagai penerjemahan Pasal 28 F UUD NRI 1945. Prinsipnya, setiap orang memiliki hak memperoleh informasi. Kemudian, hak tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa hak lainnya, yaitu:

hak melihat dan mengetahui informasi publik. Dengan jaminan ini, a)

maka setiap badan publik harus memberikan akses bagi orang yang ingin melihat, mengetahui, atau mendengarkan informasi yang ia butuhkannya, sepanjang informasi tersebut tidak dikecualikan (dirahasiakan) sesuai dengan ketentuan pasal 17.

hak menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum. b)

Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum merupakan salah satu cara mendapatkan informasi bagi masyarakat.

Implikasinya rumusan ini, setiap badan publik seharusnya memberitahukan/mengumumkan setiap pertemuan yang sifatnya terbuka untuk publik agar masyarakat yang berkepentingan mendapatkan informasi dapat menghadiri pertemuan tersebut. hak mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan c)

sesuai dengan UU KIP. Implikasi dari rumusan ini, setiap badan publik harus mengembangkan tata cara pendokumentasian dan pelayanan permohonan informasi. Hak ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam bab mekanisme memperoleh informasi dalam UU KIP.

hak menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan d)

perundang-undangan. Hak memperoleh informasi melekat dengan hak penyebarluasan informasi. Melalui penyebarluasan informasi sebenarnya tugas badan publik untuk memberikan informasi kepada masyarakat telah terbantu dengan sendirinya. Badan publik tidak perlu terlalu khawatir dengan rumusan ini. Informasi yang disebarluaskan tersebut tentunya informasi yang telah diperoleh dari badan publik yang telah melalui proses pengklasifikasian dan dinyatakan sebagai informasi terbuka.

Pasal ini juga menunjukkan bahwa lingkup hak atas informasi bukan hanya berbentuk dokumen saja, melainkan juga tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan badan publik agar masyarakat dapat mengakses informasi yang dibutuhkan. Dengan demikian keberagaman akses terhadap informasi dapat terwujud, tidak hanya melalui permohonan saja.

UU KIP memberikan mandat agar badan publik secara proaktif memberikan akses kepada publik tanpa adanya permintaan terlebih dahulu, khususnya untuk informasi-infomasi tertentu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal berikut ini:

1. Setiap badan publik wajib mengumumkan informasi yang wajib disediakan secara berkala setidak-tidaknya enam bulan sekali (Pasal 9 Ayat 3). 2. Setiap badan publik wajib menyebarluaskan informasi publik yang wajib

diumumkan dengan cara-cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami (Pasal 9 Ayat 4).

3. Setiap Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi wajib mengatur lebih lanjut dan memastikan agar cara-cara penyebarluasan informasi yang wajib diumumkan secara berkala sebagaimana di atas terlaksana

4. Setiap badan publik wajib menyebarluaskan informasi serta merta dengan cara-cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami (Pasal 10 Ayat 2).

5. Untuk mewujudkan pelayanan informasi yang cepat, tepat, dan sederhana setiap badan publik wajib membuat dan mengembangkan sistem pelayanan informasi secara capat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan informasi yang berlaku secara nasional (Pasal 13 Ayat 1 huruf b).

Keharusan menyebutkan alasan permintaan.

Salah satu prinsip penting dalam keterbukaan informasi adalah permintaan/permohonan informasi tanpa disertai dengan alasan (Koalisi untuk Kebebasan Informasi, tanpa tahun: 58). Prinsip ini merupakan konsekuensi dari premis informasi publik adalah milik publik, sedangkan badna publik hanyalah pengelola. UU keterbukaan informasi di negara lain, misalnya India dan Kanada juga tidak mencantumkan kewajiban penyertaan alasan dalam melakukan permintaan informasi.

Dengan premis demikian,maka permintaan informasi yang disertai dengan alasan harus diletakan dalam konteks untuk mendukung kemudahan layanan informasi. Artinya, alasan permohonan diperlukan untuk mempermudah pejabat PPID dalam mengidentifikasi atau menemukan informasi yang diminta. Alasan permohonan tidak boleh digunakan untuk menghambat masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan alasan, misalnya, pemberian informasi dimaksud justru akan merugikan badan publik yang bersangkutan padahal pejabat PPID mengetahui bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang memang dapat dibuka. UU KIP tidak memberikan dasar bagi penolakan informasi karena alasan yang disertakan oleh pemohon. Satu-satunya alasan bagi penolakan informasi yang sah menurut UU KIP adalah alasan pengecualian informasi (lihat Pasal 14 UU KIP), tentunya setelah melalui proses uji konsekuensi bahaya (consequential harm test) dan uji kepentingan publik (balancing publik interest test) (lihat Pasal 2 Ayat 4; Pasal 19 UU KIP).

Penyebutan alasan dapat dimanfaatkan oleh badan publik untuk mengembangkan sistem pengelolaan informasi dan dokumentasinya, misalnya dengan mengetahui apa saja alasan permintaan terhadap suatu informasi, maka badan publik dapat mengetahui kebutuhan masyarakat sehingga penyediaan informasi dapat dipersiapkan lebih baik.

Hak mengajukan gugatan ke pengadilan.

Hak memperoleh informasi harus dipandang melekat dengan hak untuk mengajukan keberatan/gugatan melalui lembaga penyelesaian sengketa yang ditunjuk (atasan, Komisi Informasi, maupun pengadilan) apabila dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan atau kegagalan. Hak mengajukan keberatan/gugatan ini merupakan akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice).

Pasal ini merupakan dasar untuk mengajukan banding administrasi dan hak gugat (legal standing) bagi masyarakat ke pengadilan. Perlu diperhatikan bahwa pengaturan hak gugat pada pasal ini harus memperhatikan ketentuan UU KIP lainnya, khususnya dalam hal keberatan dan penyelesaian sengketa (lihat Anotasi Pasal 35 sampai dengan Pasal 46 UU KIP )

Pasal 5

(1) Pengguna informasi publik wajib menggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengguna informasi publik wajib mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh informasi publik, baik yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan publikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Sejarah Pembahasan RUU di DPR

RUU Inisiatif DPR Usulan Pemerintah Rumusan yang Disepakati

(1) Pengguna informasi publik memiliki kewajiban untuk menjaga dan tidak melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Rumusan Perlu Disempurnakan (1) Pengguna informasi publik wajib menggunakan Informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

ketertiban umum, dan kepatutan.

Ditetapkan Rumusan Baru

(1) Pengguna informasi publik wajib menggunakan

informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keputusan rapat Panja Tanggal 26 Juni 2007

(2) Pengguna informasi publik wajib mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh informasi publik, baik yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan publikasi. Rumusan Perlu Disempurnakan (2) Kecuali ditetapkan lain berdasarkan kesepakatan, pengguna informasi publik mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh informasi publik, baik yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan publikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditetapkan Rumusan Baru (2) Pengguna informasi publik wajib mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh informasi publik, baik yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan publikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keputusan rapat Panja Tanggal 26 Juni 2007

Kewajiban Penggunaan Informasi (Pasal 5 Ayat 1)

Perdebatan pasal ini ditemukan dalam Raker 4 September 2006. Perbedaan signifikan antara RUU inisiatif DPR dengan usulan Pemerintah terletak pada pembatasan dalam menggunakan informasi yang telah didapat.

DPR mengusulkan agar pembatasan penggunaan informasi hanya oleh Undang-Undang ini. Sedangkan Pemerintah mengusulkan pembatasan penggunaan informasi merujuk perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, dan kepatutan. Alasan Pemerintah adalah bahwa undang-undang yang mengatur hak memperoleh informasi tidak terbatas pada Undang-Undang ini, tetapi juga di undang-undang lain, misalnya Undang-Undang tentang Rahasia Dagang. Selain itu, Pemerintah juga mengusulkan agar kewajiban penggunaan informasi juga dilakukan merujuk pada ketertiban umum dan kepatutan, di mana ketertiban umum dan kepatutan ini akan diputuskan oleh pengadilan dan forum penyelesaian sengketa.

DPR tidak sependapat dengan usulan Pemerintah tersebut, khususnya terkait dengan penambahan klausul ketertiban umum dan kepatutan. DPR menganggap bahwa ukuran ketertiban umum dan kepatutan sangat abstrak, dan sulit untuk ditentukan. Selain itu, DPR juga menanggapi usulan Pemerintah tentang kewajiban penggunaan informasi dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. DPR menganggap bahwa usulan Pemerintah akan membuat Undang-Undang ini menjadi undang-undang yang lebih umum dibanding undang-undang lain, misal Undang-Undang Rahasia Dagang, sehingga keberlakuan Undang-Undang ini harus merujuk pada undang-undang lain. Namun Pemerintah tetap pada usulannya ini, menurutnya usulan tersebut justru dimaksudkan untuk membuat Undang-Undang ini sebagai undang-undang payung terhadap undang-undang lainnya. Namun DPR tetap pada rumusannya. Akhirnya disepakati untuk melanjutkan pembahasan rumusan ini dalam rapat Panja dengan agenda pembahasan: a) menjelaskan lebih lanjut mengenai ketertiban umum dan kepatutan; b) Usulan Pemerintah untuk menambahkan kalimat peraturan perundang-undangan yang berlaku, kepatutan, dan ketertiban umum.

Selanjutnya, pada rapat Panja tanggal 26 Juni 2007, Pemerintah mengungkapkan alasannya menambah klausul ketertiban umum dan kepatutan. Menurutnya Pemerintah, implementasi UU KIP ini tidak terbatas pada UU KIP saja, melainkan juga terhadap hal-hal lain yang belum diatur dalam undang-undang, misalnya mengenai privasi seseorang. Selain itu, batasan ketertiban umum dan kepatutan juga lazim dalam hukum Indonesia. Hal ini terlihat pada pengaturan dalam pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, ketertiban umum dan kesusilaan. Pemerintah mengusulkan jalan tengah dengan mengajukan rumusan baru, yaitu penggunaan informasi harus sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan mengenai ketertiban umum dan kepatutan dapat dicantumkan dalam penjelasan sebagai unsur pertimbangan. Namun DPR berpendapat sebaiknya tidak menggunakan klausul kepatutan dan ketertiban umum. Terhadap usulan bahwa penggunaan