• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai undang-undang yang tidak hanya sekedar mengatur hak atas informasi, melainkan juga mengatur tentang hak akses terhadap informasi tersebut, UU KIP mengandung beberapa pokok pikiran berikut:

1. Setiap Badan Publik wajib menjamin keterbukaan informasi publik.

Salah satu permasalahan mendasar penyelenggaraan pemerintahan masa lalu kita adalah rendahnya tingkat keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas. Pada saat reformasi, diskursus tentang pentingnya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) semakin mengemuka dan memunculkan wacana publik tentang pentingnya jaminan hukum yang komprehensif bagi hak atas informasi. Jaminan hukum tersebut diharapkan dapat mempertegas kewajiban badan publik dalam pemenuhan hak atas informasi sebagai implikasi dari jaminan pengakuan hak masyarakat terhadap informasi.

UU KIP mengatur tentang siapa yang diberi kewajiban untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi, yang selanjutnya disebut badan publik. Definisi badan publik dalam UU KIP mencakup:

Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif;

a)

Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

b)

penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; atau

Organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya

c)

bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau luar negeri.

Kategori badan publik di atas adalah pengemban utama pelaksanaan keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP.

2. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Konsep negara demokrasi memandang bahwa penyelenggaraan pemerintahan merupakan amanat rakyat. Oleh karena itu, segala informasi yang dihasilkan dan mengenai penyelenggaraan pemerintah tersebut merupakan milik rakyat sebagai pemberi mandat. Dengan demikian sudah selayaknya jika informasi tentang kegiatan yang didanai dengan dana publik menjadi informasi milik publik pula. Inilah yang menjadi dasar bagi asas bahwa informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses.

Di sisi lain, informasi publik memiliki cakupan yang luas. Informasi publik mencakup segala informasi yang dihasilkan, dikelola, atau dihimpun dari kegiatan yang didanai oleh badan publik dalam berbagai bentuk (hutang, sumber daya alam, pajak, dll). Dengan demikian prinsip bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses merupakan prinsip utama. Sedangkan kerahasiaan/informasi yang dirahasaikan adalah merupakan pembatasan atau pengecualian dari prinsip tersebut yang harus dilakukan secara ketat dan terbatas.

3. Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat, terbatas, dan tidak mutlak / tidak permanen.

Meskipun pada dasarnya informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses, namun dalam praktek tidak semua informasi dapat dibuka. Ada informasi tertentu yang apabila dibuka dapat menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang sah dilindungi oleh UU. Namun prinsipnya, pengecualian informasi publik tersebut haruslah untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri.

Pengecualian informasi bersifat ketat mengindikasikan bahwa UU KIP menghendaki adanya dasar keputusan yang obyektif dalam melakukan pembatasan melalui pengecualian informasi. Sifat ketat juga menghendaki pengecualian informasi harus dilakukan secara teliti dan cermat. Untuk itu, UU ini memperkenalkan uji konsekuensi bahaya (consequential harm test) dan uji kepentingan publik (balancing public interest test). Uji konsekuensi bahaya mewajibkan agar badan publik dalam menetapkan informasi yang

dikecualikan mendasarkan pada pertimbangan bahwa apabila informasi tersebut dibuka, maka akan menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang dilindungi oleh hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 19. Sedangkan uji kepentingan publik mewajibkan agar badan publik membuka informasi yang dikecualikan jika kepentingan publik yang lebih besar menghendaki atau sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4).

Pembatasan terhadap informasi yang dikecualikan/kerahasiaan - sebagai pembatasan hak akses – sebagaimana diatur dalam UU KIP ini dapat dilihat dari segi: a) obyek informasinya, misalnya dengan kewajiban melakukan penghitaman/pengaburan terhadap informasi yang dikecualikan (lihat Pasal 21 Ayat (7) huruf e UU KIP) dan masa keberlakukannya sehingga memunculkan aturan masa retensi sebagaimana diatur pada Pasal 20 UU KIP; dan b) proses/cara penetapan informasi rahasia, misalnya dalam menetapkan sebagai informasi rahasia harus melalui pertimbangan-pertimbangan yang obyektif mengacu pada UU KIP. Lihat Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 19 UU KIP.

Pengecualian informasi bersifat tidak mutlak/permanen artinya bahwa tidak ada pengecualian informasi berlaku selama-lamanya. Pengecualian informasi harus dapat dibuka apabila dikehendaki oleh kepentingan publik yang lebih besar sebagaimana dijelaskan di atas. Selain itu, pengecualian informasi juga harus memiliki masa retensi. Ketentuan masa retensi ini diatur dalam Pasal 20 UU KIP dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

4. Setiap informasi publik harus dapat diperoleh dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.

Selama ini telah banyak UU yang memberikan jaminan hak atas informasi. Namun belum ada yang mengatur tentang bagaimana akses terhadap hak tersebut. Asas ini merupakan dasar pengaturan bagi pemberian akses terhadap informasi oleh badan publik. Badan publik harus menjamin akses setiap orang terhadap informasi publik sedemikian rupa secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan dengan cara sederhana. Penjabaran dari prinsip ini kemudian diatur lebih lanjut pada kewajiban badan publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi serta pengembangan sistem penyediaan layanan informasi sesuai dengan asas

tersebut (lihat Pasal 13 UU KIP). Selain itu, asas ini juga dijadikan dasar bagi pengembangan aturan tentang mekanisme memperoleh informasi yang mengatur tata cara bagi badan publik dalam memberikan layanan informasi (register, tanda terima, jangka waktu layanan, biaya) maupun tata cara penyelesaian sengketa informasi baik ditingkat internal badan publik, komisi informasi, maupun pengadilan (kepada siapa keberatan diajukan, jangka waktu pemberian tanggapan, jangka waktu medisasi dan ajudikasi, serta jangka waktu pengadilan memutus perkara sengketa informasi)

5. Informasi publik bersifat proaktif

Prinsip bahwa informasi bersifat proaktif menunjukkan bahwa badan publiklah yang seharusnya secara proaktif menyampaikan informasi, khususnya mengenai informasi dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. UU KIP mengatur tentang informasi aktif dimana informasi publik tertentu harus disampaikan kepada publik tanpa menunggu adanya permintaan. Informasi seperti ini diklasifikasikan pada Pasal 9 mengenai informasi dasar yang wajib diumumkan secara berkala, misalnya informasi tentang kegiatan badan publik dan Pasal 10 mengenai informasi yang harus disampaikan serta-merta tanpa adanya penundaan karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, misalnya informasi tentang bencana. Sedangkan Pasal 11 mengatur mengenai informasi yang wajib disediakan apabila ada permintaan, misalnya dokumen pendukung pengambilan kebijakan dan perjanjian badan publik dengan pihak ketiga.

Secara prinsip, penyelesaian sengketa informasi antara masyarakat dengan badan publik haruslah menganut prinsip cepat, murah, dan sederhana. Selain itu juga harus bersifat kompeten dan independen. Pada saat pembahasan UU KIP, kalangan masyarakat sipil khususnya Koalisi untuk Kebebasan Informasi mengusulkan agar penyelesaian sengketa informasi yang bersifat teknis (biaya, jangka waktu, tanggapan permintaan informasi tidak sebagaimana mestinya, tidak ditanggapinya permintaan informasi), final dan mengikat di tingkat Komisi Informasi sebagai lembaga semi pengadilan (quasi judicial). Sedangkan untuk sengketa yang bersifat question of law yaitu pengecualian informasi, dapat final dan mengikat di tingkat pengadilan.

Tidak direkomendasikannya lembaga pengadilan untuk menyelesaikan sengketa informasi yang bersifat teknis pada saat itu

6. Informasi publik harus bersifat utuh, akurat, dan dapat dipercaya.

Melekat dalam hak atas informasi tentunya adalah informasi yang utuh, akurat dan dapat dipercaya (reliable). UU KIP menerjemahkan prinsip ini ke dalam ketentuan tentang:

a) Kewajiban membuat sistem pengelolaan informasi dan dokumentasi (Pasal 13),

b) Kewajiban membuat sistem layanan informasi dan mekanisme memperoleh informasi (Pasal 13, Pasal 21, dan Pasal 22)

c) Mekanisme keberatan dan penyelesaian sengketa baik ditingkat badan publik, komisi informasi maupun pengadilan. Mekanisme keberatan ditingkat badan publik diatur pada Pasal 35 dan Pasal 36. Penyelesaian sengketa di tingkat komisi informasi diatur pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 46. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan ke pengadilan diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 50.

d) Ancaman sanksi bagi penghancuran informasi maupun pembuatan informasi yang tidak benar (untrue/false information) atau menyesatkan (misleading). Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 53 dan Pasal 55.

dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa proses penyelesaian sengketa informasi perlu dilakukan secara cepat. Jika penyelesian sengketa dilakukan dengan waktu yang lama dikhawatirkan mengurangi nilai informasi itu sendiri pada saat putusan dikeluarkan. Dengan demikian bagi sengketa informasi yang bersifat teknis dapat diselesaikan pada lembaga quasi judicial tanpa harus melalui pengadilan. Sengketa informasi yang bersifat teknis terlalu berat bagi masyarakat baik dari sisi kemampuan teknis hukum maupun biaya jika semuanya harus berujung kepada pengadilan. Bisa dibayangkan jika hanya sengketa tentang jangka waktu pelayanan informasi yang sudah jelas diatur dalam UU KIP, seseorang harus membuat gugatan dan beracara di pengadilan. Selain itu, upaya untuk membentuk lembaga quasi judicial dengan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi sengketa informasi yang sifatnya teknis diharapkan juga akan memperingan beban perkara di pengadilan.

7. Penyelesaian sengketa secara cepat, murah, kompeten, dan independen

UU KIP membagi penyelesaian sengketa dalam tingkat badan publik melalui pengajuan keberatan, di tingkat komisi informasi melalui mediasi dan ajudikasi, serta di tingkat pengadilan melalui pengadilan negeri dan pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Agung RI tetap dipilih oleh perumus UU KIP sebagai lembaga terakhir bagi seluruh penyelesaian sengekta informasi tersebut. Pengaturan tentang pengajuan keberatan, jangka waktu, dan pemberian tanggapan atas keberatan oleh badan publik diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36. Hukum acara penyelesaian sengketa di tingkat komisi informasi diatur pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 46. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan ke pengadilan dan kasasi ke Mahlamah Agung diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 50.

8. Ancaman pidana bagi penghambat informasi

Sanksi pidana merupakan salah satu perangkat untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelanggar ketentuan UU KIP. Namun demikian penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara selektif mengingat efektifitas suatu aturan tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan ancaman pidana semata yang berimplikasi pada pengurangan kemerdekaan seseorang. Ancaman sanksi pidana dalam UU KIP ditekankan kepada penghambat informasi, yaitu: a) mereka yang secara sengaja menghancurkan informasi (Pasal 53); b) mereka yang secara sengaja membuat informasi yang tidak benar (Pasal 55); dan c) pejabat publik yang tidak menjalankan kewajibannya dalam rangka keterbukaan informasi (Pasal 52).

UU KIP juga mengatur tentang ancaman pidana bagi penyalahgunaan informasi dan pembocoran informasi rahasia. Terkait dengan pembahasan kedua ketentuan tersebut, pada saat pembahasan terdapat masukan dari Koalisi untuk Kebebasan Informasi agar ketentuan tersebut tidak perlu diatur dalam UU KIP karena sudah banyak diatur dalam ketentuan undang-undang lainnya, misalnya: KUHP, UU Perbankan, UU Pokok Kearsipan, UU Rahsia Dagang, dll. Untuk itu penerapan ancaman pidan ini harus dilakukan secara hati-hati oleh penegak hukum dengan memperhatikan ketentuan pidana yang telah diatur dalam UU lain tersebut. Ancaman bagi penyalahgunaan informasi diatur dalam Pasal 51. Sedangkan ancaman pidana bagi pembocoran informasi rahasia diatur dalam Pasal 54.

Pokok-pokok pikiran di atas termuat dalam 12 bab dan 64 pasal yang tersusun dalam struktur sebagai berikut :

BAB I Ketentuan Umum Pasal 1

BAB II Asas dan Tujuan Pasal 2 - 3

BAB III Hak dan Kewajiban Pemohon dan Pengguna Informasi Publik Serta Hak dan Kewajiban Badan Publik

Pasal 4 - 8

BAB IV Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan

Pasal 9 - 16

BAB V Informasi yang Dikecualikan Pasal 17 - 20

BAB VI Mekanisme Memperoleh Informasi Pasal 21 - 22

BAB VII Komisi Informasi Pasal 23 - 34

BAB VIII Keberatan dan Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi Informasi

Pasal 35 - 39

BAB IX Hukum Acara Komisi Pasal 40 - 46

BAB X Gugatan ke Pengadilan dan Kasasi Pasal 47 - 50

BAB XI Ketentuan Pidana Pasal 51 - 57

BAB XII Ketentuan Lain-lain Pasal 58

BAB XIII Ketentuan Peralihan Pasal 59 - 62

BAB III