KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
III. 2 ASAS DAN TUJUAN
3) hukum dasar. Menurut Bellefroid sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo, asas hukum umum adalah norma yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh
ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, yang merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Selanjutnya, Eikema Hommes sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkret,
tetapi harus dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum harus berorientasi pada asas-asas hukum tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1991: 32-34).
Jika dilihat dari pengertian di atas, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa asas hukum adalah pijakan/tumpuan berpikir atau pandangan dan bersifat umum. Oleh karena itu, asas hukum dalam suatu UU harus diterjemahkan lebih lanjut pada norma dalam UU tersebut.
Asas bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik menunjukkan dasar berpikir dari UU KIP. Makna terbuka dan dapat diakses berarti setiap informasi publik dapat dicari, dilihat, diperoleh, dimiliki, disimpan, diolah, disebarluaskan, dan dapat diakses melalui berbagai media. Selain itu jika dikaitkan dengan pasal tentang hak, asas ini menjadi dasar bagai pemenuhan hak setiap orang sebagaimana dijamin dalam UU KIP, yaitu: a) hak memperoleh informasi publik; b) hak melihat dan mengetahui informasi publik; c) hak menghadiri pertemuan yang terbuka untuk umum; mendapat salinan informasi melalui permohonan; dan d) hak menyebarluaskan informasi publik (lihat Pasal 4 UU KIP).
Keberadaan asas ini juga sebagai landasan semangat perwujudan keterbukaan dalam penyelenggaraan negara/pemerintahan dan penyelenggaraan aktivitas lainnya yang terkait kepentingan umum. Secara paradigmatis, asas menjadi dasar perubahan pandangan dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, pengelolaan negara dijalankan dengan paradigma ketertutupan, semua informasi yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan negara bersifat tertutup dan hanya sedikit yang dibuka. Dengan asas ini, maka semua hal yang berkaitan dengan kepentingan publik dipandang bersifat terbuka dan hanya informasi tertentu yang apabila dibuka justru akan membahayakan kepentingan publik saja yang dikecualikan/dirahasiakan. Sifat pengecualian adalah pembatasan terhadap informasi yang dinyatakan terbuka, bukan sebaliknya.
Selain itu, asas ini juga berimplikasi kepada pengaturan kewajiban. Karena informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses, maka badan publik memiliki kewajiban untuk menjamin akses masyarakat atas informasi yang dikuasai badan publik sepanjang bukan dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan/dirahasikan berdasarkan UU KIP.
Hal yang perlu dicermati dalam rumusan ini adalah penggunaan istilah “pengguna informasi publik”. Istilah ”Pengguna Informasi Publik” seharusnya diganti dengan ”publik” atau “orang”, mengingat subyek dalam UU KIP tidak terbatas pada pengguna informasi publik saja melainkan publik/setiap orang. Posisi publik di sini tidak dapat direduksi sekedar sebagai pengguna informasi publik. Dalam tata pemerintahan yang demokratis berdasarkan hukum sebagaimana dianut oleh UUD 1945, jaminan hak memperoleh informasi diberikan kepada “setiap orang” bukan hanya kepada pengguna informasi. Selain itu, jika dilihat dari istilah “pengguna informasi publik” yang didefinisikan sebagai orang yang mengunakan informasi publik berarti esensinya orang tersebut telah mengakses informasi public dan kemudian menggunakan informasi tersebut.
Pasal 2 Ayat (2)
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
Penjelasan
Cukup jelas.
Sejarah Pembahasan RUU di DPR
RUU Inisiatif DPR Usulan Pemerintah Rumusan yang disepakati
Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas
MASUKAN: Rumusan tidak bersifat normatif tetapi lebih bersifat azas
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
Keputusan Raker tanggal 29 November 2006
Rumusan ini semula tidak ditemukan pada bab tentang asas dan tujuan melainkan masuk ke bab tentang informasi yang dikecualikan. Terkait dengan rumusan tersebut Pemerintah memberikan tanggapan bahwa rumusan tersebut lebih tepat sebagai asas. Secara substansi, rumusan ini telah disepakati pada Raker tanggal 29 November 2006.
Perbandingan dengan Negara Lain
UU RTI India tidak secara eksplisit mengatur mengenai asas informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Tetapi asas ini terlihat dalam
batasan mengenai berbagai informasi yang dikecualikannya, yang menekankan pada kerugian/bahaya apabila informasi yang dikecualikan tersebut dibuka. (Pasal 8 sampai dengan Pasal 10). Sedangkan UU FOI Kanada mengatur asas pengecualian informasi bersifat ketat dan terbatas pada bagian tujuan dari UU ATI Kanada yang menyebutkan bahwa pengecualian informasi harus ketat dan terbatas, dan keputusan pengecualian informasi harus dapat ditinjau ulang secara independen oleh pemerintah (Pasal 2).
Tanggapan
Asas ini memiliki keterkaitan erat dengan asas sebelumnya tentang semua informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses. Lazimnya, kedua asas tersebut merupakan satu kesatuan yakni akses maksimal dengan pengecualian terbatas (maximum access, limited excemption). Jika dilihat dari kedua rumusan asas tersebut, terlihat bahwa asas ini merupakan pembatasan dari keterbukaan. Pembatasan terhadap hak asasi manusia dimungkinkan sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945. Hal ini juga telah diisyaratkan pada bagian “Mengingat” UU KIP yang mencantumkan Pasal 28 J UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan:
Orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
(1)
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
(2)
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Meskipun UUD 1945 memperkenankan adanya pembatasan, namun yang perlu diingat bahwa pembatasan tersebut: a) harus ditetapkan oleh Undang-Undang; b) pembatasan tersebut dilakukan hanya untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan mewujudkan keadilan berdasar pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Jadi sifat pembatasan tersebut harus ketat dan terbatas dengan alasan-alasan yang definitif sebagaimana dianut oleh Pasal 28 J UUD 1945 tersebut. Hal ini bisa dimengerti karena apabila pembatasan tidak dilakukan secara ketat dan terbatas, maka akan merugikan hak yang telah dijamin oleh hukum.
menghendaki adanya dasar keputusan yang obyektif dalam melakukan pembatasan melalui pengecualian informasi. Dalam KBBI, kata ketat juga diartikan teliti atau cermat. Jadi sifat ketat menunjukkan bahwa dalam mengecualikan informasi sebagai pembatasan tersebut harus dilakukan secara teliti dan cermat. Untuk itu, UU ini memperkenalkan uji konsekuensi bahaya (consequential harm test) dan uji kepentingan publik (balancing public interest test) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 19.
Sedangkan kata terbatas menurut KBBI diartikan sebagai: a) telah dibatasi/ditentukan batas-batasnya; b) tertentu/tidak boleh lebih; atau c) sedikit; tidak luas; tidak leluasa. Jadi dapat dilihat bahwa UU KIP menghendaki adanya pembatasan terhadap informasi yang dikecualikan/kerahasiaan -sebagai pembatasan hak akses- dari segi: a) obyek informasinya, misalnya dengan kewajiban melakukan penghitaman/pengaburan terhadap informasi yang dikecualikan (lihat Pasal 21 Ayat (7) huruf e UU KIP) dan masa keberlakukannya sehingga memunculkan aturan masa retensi sebagaimana diatur pada Pasal 20 UU KIP; dan b) proses/cara penetapan informasi rahasia, misalnya dalam menetapkan sebagai informasi rahasia harus melalui pertimbangan-pertimbangan yang obyektif mengacu pada UU KIP. Lihat Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 19 UU KIP.
Pasal 2 Ayat (3)
Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Penjelasan
Yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah pemenuhan atas permintaan informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
“Cara sederhana” adalah informasi yang diminta dapat diakses secara mudah dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami.
“Biaya ringan” adalah biaya yang dikenakan secara proporsional berdasarkan standar biaya pada umumnya.
Sejarah Pembahasan RUU di DPR
RUU Inisiatif DPR Usulan Pemerintah Rumusan yang disepakati
Setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap orang dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pengguna informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Ditetapkan Rumusan Baru
Setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon
informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Keputusan Rapat Panja tanggal 21 Juni 2007
Pasal ini masuk dalam DIM 29, dan pembahasannya ditemukan dalam Raker 26 Juni 2006. Namun demikian, tidak ditemukan perdebatan mengenai pasal ini. Dalam risalah Raker 26 Juni 2006 pimpinan rapat hanya mengungkapkan bahwa rumusan pasal ini sudah baku, dan tinggal disesuaikan dalam ayatnya saja. Kemudian pada rapat Panja tanggal 21 Juni 2007 rumusan ini tetap disepakati dengan menggunakan usulan pemerintah.
Perbandingan dengan Negara Lain
UU RTI India mengatur asas informasi dapat dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana pada bagian hak atas informasi dan kewajiban badan publik dalam penyebarluasan informasi, di mana dinyatakan bahwa informasi harus disebarluaskan kepada masyarakat luas dalam bentuk dan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat (Pasal 3, Ayat 1). Selain itu, dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa penyebarluasan informasi harus memperhatikan efektifitas biaya, bahasa daerah, dan cara paling mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya, misalnya melalui papan pengumuman, surat kabar, pemberitahuan umum, media televisi dan radio, internet, atau media lain yang dianggap mudah untuk diakses oleh masyarakat.
Sedangkan Undang-Undang ATI Kanada mengatur bahwa terhadap permohonan informasi, institusi pemerintah harus menanggapi dengan baik dengan memberikan informasi yang akurat, utuh, dan tepat waktu sesuai format
informasi yang diminta dan dengan biaya yang telah ditentukan oleh Undang-Undang FOI Kanada. (Pasal 2 Ayat 1)
Tanggapan
Asas ini terkait dengan asas maximum access, limited excemption
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 Ayat (1) dan (2). Sebagai implikasi bahwa setiap informasi bersifat terbuka dan dapat diakses, maka informasi tersebut harus dapat diakses/diperoleh dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan cara yang sederhana. Asas ini untuk memastikan agar informasi yang telah menjadi hak setiap orang dan terbuka tersebut dapat diperoleh sesegera mungkin agar informasi tersebut memiliki nilai yang bermanfaat untuk kepentingan yang sah menurut hukum. Nilai suatu informasi sangat tergantung dengan kecepatan dan ketepatan waktunya. Sebagai contoh adalah informasi tentang keadaan bahaya dimana dalam UU KIP dikategorikan sebagai informasi serta-merta. Ketiadaan penundaan terhadap penyampaian informasi tentang bahaya tersebut dimaksudkan agar orang yang menerima informasi dapat melakukan tindakan guna menghindari bahaya. Apabila waktu penyampaiannya tidak tepat, maka akan mengurangi kemampuan masyarakat dalam menghindari bahaya tersebut. Hal serupa juga berlaku pada informasi yang diberikan berdasarkan permintaan. Kecepatan dan ketepatan waktu akan berpengaruh pada nilai dan kemanfaatan penggunaan informasi yang diminta oleh pemohon tersebut.
Asas biaya ringan menunjukkan kehendak UU KIP agar suatu informasi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Biaya yang ringan berdasarkan penjelasan pasal ini adalah biaya yang proporsional sesuai dengan standar biaya pada umumnya. Sebagai konsekuensinya, perlu dibuat standar biaya sebagai acuan dengan tetap berpedoman pada kewajaran/kelayakan. Sebagai contoh, Pasal 27 SK KMA no 144/2007 menentukan standar biaya sebagai berikut: “Pengadilan hanya dapat membebani Pemohon sekedar biaya fotokopi atau biaya cetak (print) yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan berdasarkan biaya yang berlaku secara umum.” Kemudian, cara sederhana menunjukkan bahwa akses terhadap informasi harus dapat dilakukan oleh masyarakat dengan mudah dan tidak berbelit. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa cara sederhana adalah informasi yang diminta dapat diakses secara mudah dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami. Jadi ada dua penekanan dalam asas ini, yaitu: a) sederhana secara prosedur/proses mendapatkan informasi/media penyampaiannya; b) sederhana secara penyajian substansi, yaitu informasi yang diberikan haruslah menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Pasal 2 Ayat (4)
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Penjelasan
Yang dimaksud dengan “konsekuensi yang timbul” adalah konsekuensi yang membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang ini apabila suatu informasi dibuka. Suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu informasi, informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya.
Sejarah Pembahasan RUU di DPR
RUU Inisiatif DPR Usulan Pemerintah Rumusan yang disepakati
Informasi publik yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah ditimbang dengan seksama bahwa membuka suatu informasi
kepentingan publik lebih berat daripada menutupnya. Rumusan tidak bersifat normatif tetapi lebih merupakan penjelasan.
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada
membukanya atau sebaliknya. Keputusan Raker tanggal 29 November 2006
Seperti halnya rumusan asas Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas, rumusan ini semula juga tidak ditemukan pada bab tentang asas dan tujuan melainkan masuk ke bab tentang informasi yang dikecualikan. Terkait dengan rumusan tersebut pemerintah memberikan tanggapan bahwa
rumusan tersebut lebih tepat sebagai asas. Secara substansi, rumusan ini disepakati pada Raker tanggal 29 November 2006.
Perbandingan dengan Negara Lain
Terkait dengan uji bahaya/kerugian, baik UU RTI India maupun UU ATI Kanada tidak mengatur secara tegas sebagaimana UU KIP. Namun dalam pasal-pasal yang mengatur tentang informasi yang dikecualikan, kedua UU tersebut secara implisit mengatur pengujian bahaya/kerugian dengan menegaskan dalam pasalnya bahwa informasi yang apabila dibuka dapat menimbulkan bahaya/ kerugian maka harus dikecualikan.
Terkait dengan uji kepentingan yang lebih besar, UU RTI India tidak mengaturnya secara eksplisit seperti UU KIP. Namun pada bagian informasi yang dikecualikan tentang privasi/pribadi diatur bahwa informasi yang dikecualikan tersebut dapat dibuka apabila kepentingan publik yang lebih besar menghendaki untuk dibuka ( lihat Pasal 8 Ayat (1) huruf j). Sedangkan UU ATI Kanada tidak mengatur secara tegas tentang uji kepentingan publik.
Tanggapan
Asas ini terkait dengan asas sebelumnya, yakni asas informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Karena sifatnya pembatasan terhadap hak akses, maka pengecualian informasi tersebut harus ketat dan terbatas. Istilah ketat dalam KBBI diartikan teliti atau cermat. Jadi dalam mengecualikan informasi sebagai pembatasan atas hak akses tidak bisa dilakukan secara sembarangan atau subyektif melainkan harus dilakukan secara obyektif, teliti dan cermat. Demikian juga sifat terbatas, menurut KBBI diartikan sebagai:
a) telah dibatasi/ditentukan batas-batasnya; b) tertentu/tidak boleh lebih; atau
c) sedikit; tidak luas; tidak leluasa. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa UU KIP menghendaki adanya pembatasan terhadap informasi yang dikecualikan/ kerahasiaan - sebagai pembatasan hak akses - dari segi: a) obyek informasinya, misalnya dengan kewajiban melakukan penghitaman/pengaburan terhadap informasi yang dikecualikan (lihat Pasal 21 Ayat (7) huruf e UU KIP) dan masa keberlakukannya sehingga memunculkan aturan masa retensi sebagaimana diatur pada Pasal 20 UU KIP; dan b) proses/cara penetapan informasi rahasia, misalnya dalam menetapkan informasi rahasia harus melalui pertimbangan-pertimbangan yang obyektif mengacu pada UU KIP.
Melihat penjelasan tersebut, asas ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari asas pengecualian informasi bersifat ketat dan terbatas. Asas ini menghendaki agar dalam pengecualian informasi harus dilakukan:
a) Sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum; b) Didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Berdasarkan asas ini, informasi yang dikecualikan hanyalah informasi yang sifatnya rahasia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini maupun Undang-undang lainnya yang berlaku. Pengecualian informasi juga harus merujuk pada rasa kepatutan yang berlaku di masyarakat. Di samping itu, pengecualian juga harus didasarkan pada pertimbangan demi melindungi kepentingan umum.
Mengingat rasa kepatutan sangat ditentukan oleh kondisi dan perkembangan nilai-nilai masyarakat, sementara makna “demi kepentingan umum” dapat bersifat relatif, maka pengecualian informasi harus dilakukan secara sangat cermat dan hati-hati. Setiap pejabat publik yang akan mengecualikan informasi harus dengan cermat dan hati-hati menimbang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi dibuka, apakah akan membahayakan masyarakat atau tidak. Jika tidak, maka informasi tersebut harus dibuka. Sebaliknya, jika dengan dibukanya informasi justru membahayakan kepentingan masyarakat, maka informasi tersebut harus ditutup atau dirahasiakan (consequential harm test). Di samping uji konsekuensi bahaya, pejabat publik juga harus melakukan uji kepentingan umum (balancing public interst test). Pejabat publik dalam menentukan suatu informasi ditutup/dirahasiakan atau dibuka harus dengan cermat dan penuh kehati-hatian mempertimbangkan kepentingan publik mana yang lebih besar, untuk membuka atau menutupnya. Jika kepentingan publik yang lebih besar menghendaki untuk dibuka, maka informasi tersebut harus dibuka walaupun mungkin informasi dimaksud secara teori atau menurut peraturan termasuk kategori rahasia. Kepentingan publik di sini merujuk pada kemaslahatan kepada orang banyak dan rasa keadilan.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak.
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Penjelasan
Cukup jelas.
Sejarah Pembahasan RUU di DPR
RUU Inisiatif DPR Usulan Pemerintah Rumusan yang Disepakati
Undang-Undang ini bertujuan memberikan dan menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik dalam rangka : Undang-Undang ini bertujuan untuk: Ditetapkan Rumusan Pemerintah Undang-undang ini bertujuan untuk:
Keputusan Raker tanggal 26 Juni 2006
a. akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
a.menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
menjamin hak a.
warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
(tidak diperoleh data rumusan ini terakhir disepakati pada rapat apa)
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; Tetap Ditetapkan Rumusan Sesuai RUU b.mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
Keputusan Raker tanggal 26 Juni 2006 c. mendorong peningkatan kualitas aspirasi masyarakat dalam memberikan masukan bagi pengambilan kebijakan publik; c. Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan nasional serta dalam aktivitas penyelenggaraan negara yang baik;
Ditetapkan Rumusan Baru
c.meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
Keputusan TIMUS tanggal 14 September 2007
d. mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien; Rumusan perlu disempurnakan d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggung jawabkan; Ditetapkan Rumusan Pemerintah mewujudkan d. penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggung jawabkan; Keputusan Raker tanggal 26 Juni 2006 e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
Tetap
Ditetapkan Rumusan Sesuai RUU
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
Keputusan Raker tanggal 26 Juni 2006 f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan Tetap Ditetapkan Rumusan Sesuai RUU f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
Keputusan Raker tanggal 26 Juni 2006
g. mendorong peningkatan kualitas pengelolaan dan pelayanan informasi publik. Rumusan perlu disempurnakan g. meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Ditetapkan Rumusan Baru g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas
Keputusan Raker tanggal 26 Juni 2006
Pembahasan pasal ini paling banyak diputuskan pada Raker tanggal 26 Juni 2006. Secara prinsip tidak terdapat perbedaan mendasar antara rumusan RUU Inisiatif DPR dengan usulan Pemerintah. Perdebatan antara DPR dengan Pemerintah bukan menyangkut substansi pasal, tetapi formulasi pasal. Misalnya, pada pasal 3 huruf a, pemerintah mengubah RUU Inisiatif DPR dengan memformulasikan menjadi kalimat aktif sehingga konsisten dengan pasal 3 huruf yang lain. Kemudian terkait dengan pasal 3 huruf c, perbedaan terletak pada kata “kualitas” pada RUU Inisiatif DPR dan pemerintah menghilangkan