• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Hakekat Motivasi Belajar 1. Definisi Motivasi Belajar 1.Definisi Motivasi Belajar

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini dipaparkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir. Keempat sub-judul tersebut dibahas oleh peneliti melalui studi kepustakaan. Peneliti mengangkat beberapa teori yang bisa menjadi rujukan dan landasan dalam menjelaskan masalah yang diangkat oleh peneliti dalam skripsi ini. Selain itu landasan teoritis ini membantu peneliti dalam penelitian tentang motivasi belajar siswa di SMA Budya Wacana Yogyakarta.

A. Hakekat Motivasi Belajar 1. Definisi Motivasi Belajar

Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai “daya penggerak yang telah menjadi aktif” (Sardiman, 2001: 71). Kata motif itu sendiri diartikan sebagai daya upaya yang mendoroang seseorang untuk melakukan sesuatu (Sardiman 2008: 73). Menurut Donald dalam Sardiman (2008: 73) yang dimaksud dengan motivasi adalah perubahan energi

dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan

didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Sardiman menyebutkan bahwa motivasi belajar adalah faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan orang dalam bertingkah laku dan mendorong orang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya (Uno, 2008: 1). Secara

etimologis motivasi berasal dari Bahasa Latin “movere” yang berarti menggerakkan. Wlodkowski menjelaskan bahwa motivasi merupakan dorongan yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah serta ketahanan pada perilaku yang bersangkutan (Siregar dan Hartini Nara, 2010: 49). Sedangkan menurut Donald motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi orang yang ditandai dengan timbulnya afeksi (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan (Djamarah, 2011: 148). Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan orang ke arah suatu tujuan. Motivasi juga merupakan keadaan dalam diri individu yang mendorong perilaku ke arah tujuan (Purwanto 2002: 71).

Selain pengertian etimologis dan pandangan para ahli di atas, ada beberapa pendapat lain yang memberi definisi tentang motivasi. Soeharto mengatakan bahwa motivasi adalah “keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan” (Soeharto, dkk., 2003:110). Dalyono (2005:55) memaparkan bahwa motivasi adalah daya penggerak/pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan, yang bisa berasal dari dalam diri dan juga dari luar (Purwanto 2007 : 61). Senada dengan Daylon, Sartain mengatakan bahwa motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan (goal) atau perangsang

(incentive). Tujuan adalah sesuatu yang membatasi/menentukan tingkah

seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 1992:173).

Winkel (2012: 169) secara khusus menjelaskan tentang motivasi belajar. Menurut Winkel motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar. Motivasi menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan itu demi mencapai suatu tujuan. Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku (Uno, 2008: 23).

Dari beberapa defenisi mengenai motivasi yang dikemukakan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa motivasi adalah keadaan dalam diri individu yang mendorong, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku-perilaku individu yang bersangkutan guna mencapai tujuannya. Motivasi dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan untuk terjadinya percepatan dalam mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara khusus. Dengan demikian motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Siswa yang memiliki motivasi yang cukup baik dalam belajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar siswa yang bersangkutan. Keberhasilan dalam belajar sangat tergantung seberapa tinggi/seberapa baik motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu.

2. Jenis Motivasi dalam Belajar

Menurut Sardiman (2006:89) ada 2 jenis motivasi, yaitu:

a. Motivasi Intrinsik. Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Seorang siswa melakukan belajar karena didorong oleh tujuan ingin mendapatkan pengetahuan, nilai dan keterampilan.

b. Motivasi Ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Oleh karena itu motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.

Winkel (2012) menyebutkan beberapa bentuk motivasi belajar yang ekstrinsik yaitu:

a. Belajar demi memenuhi kewajiban b. Belajar demi menghindari hukuman

c. Belajar demi memperoleh hadiah material yang dijanjikan

d. Belajar demi memperoleh pujian dari orang yang penting misalnya guru dan orang tua.

3. Ciri-ciri Motivasi

Menurut Sardiman (2006 :83) motivasi yang ada dalam diri seseorang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama,tidak pernah berhenti sebelum selesai).

b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa).

c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah (minat untuk sukses).

d. Mempunyai orientasi ke masa depan. e. Lebih senang bekerja mandiri.

f. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).

g. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu). h. Tidak pernah mudah melepaskan hal yang sudah diyakini.

Apabila seseorang telah memiliki ciri-ciri motivasi di atas maka orang tersebut selalu memiliki motivasi yang cukup kuat. Dalam kegiatan belajar mengajar akan berhasil baik, kalau siswa tekun mengerjakan tugas, ulet dalam memecahkan berbagai masalah dan hambatan secara mandiri. Selain itu siswa juga harus peka dan responsif terhadap masalah umum dan bagaimana memikirkan pemecahannya. Siswa yang telah termotivasi memiliki keinginan dan harapan untuk berhasil dan apabila mengalami kegagalan mereka akan berusaha keras untuk mencapai keberhasilan itu yang ditunjukkan dalam prestasi belajarnya. Dengan kata lain dengan

adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi maka seseorang yang belajar akan melahirkan prestasi belajar yang baik.

4. Fungsi Motivasi

Sardiman (2006:85) mengungkapkan bahwa, motivasi belajar berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi juga berfungsi sebagai:

a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.

b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang telah dicapai. c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan mana

yang akan dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Dalam hubungannya dengan kegiatan belajar, menurut Cecco seperti yang dikutip oleh Abd. Rachman (1989: 155), ada 4 fungsi motivasi, yaitu

a. Fungsi memambangkitkan (arousal function)

Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi yang membangkitkan keinginan untuk memenuhi tujuan yang diinginkan.

b. Fungsi harapan (exepectancy function)

Jika seseorang berhasil melakukan tugasnya atau berhasil dalam kegiatan belajarnya, dia dapat memperoleh dan mencapai harapan-harapan yang telah diberikan kepadanya sebelumnya.

c. Fungsi insentif (insentive function)

Individu termotivasi melakukan aktivitas karena mengharapkan insentif atau imbalan yang akan diterimanya.

d. Fungsi disiplin (Disciplin function)

Seseorang yang termotivasi dalam mencapai tujuan yang diinginkan, maka dia akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih keinginan tersebut dengan disiplin yang tinggi. Sedangkan tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan para siswa agar timbul keinginan atau kemauan untuk meningkatkan prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan ditetapkan di dalam kurikulum sekolah.

5. Faktor-taktor yang Mempengaruhi Motivasi

Max Darsono, dkk (2000:65) menyatakan bahwa, ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, yaitu :

a. Cita-cita atau aspirasi siswa adalah suatu target yang ingin dicapai. Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar.

b. Kemampuan belajar. Dalam belajar dibutuhkan berbagai kemampuan. Kemampuan ini meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat dalam

diri siswa, misalnya penghematan, ingatan, perhatian, daya pikir, dan fantasi.

c. Kondisi siswa. Siswa adalah makhluk yang terdiri dari kesatuan psikofisik. Kondisi siswa yang mempengaruhi motivasi belajar di sini berkaitan dengan kondisi fisik dan kondisi psikologis. Seorang siswa yang kondisi jasmani dan rohani yang terganggu, akan mengganggu perhatian belajar siswa, begitu juga sebaliknya.

d. Kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan merupakan unsur-unsur yang datang dari luar diri siswa. Kondisi lingkungan yang sehat, kerukunan hidup, keterlibatan pergaulan perlu dipertinggi mutunya dengan lingkungan yang aman, tentram, tertib dan indah, maka semanngat dan motivasi belajar mudah diperkuat.

e. Unsur-unsur dinamis dalam belajar. Unsur-unsur dinamis dalam belajar, yaitu unsur-unsur yang keberadaannya dalam proses belajar mengajar tidak stabil, kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah dan bahkan hilang sama sekali. Misalnya keadaan emosi siswa, gairah belajar, situasi dalam keluarga dan lain-lain.

f. Upaya guru dalam pembelajaran siswa. Upaya yang dimaksud disini, adalah bagaimana guru mempersiapkan diri dalam pembelajaran, mulai dari penguasaan materi, cara menyampaikan, menarik perhatian siswa, mengevaluasi hasil belajar siswa, dan lain-lain. Bila upaya-upaya tersebut dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan siswa, maka diharapkan dapat menimbulkan motivasi belajar siswa.

6. Karakteristik Siswa yang Mempunyai Motivasi Belajar Tinggi

Beberapa ciri siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi (Dimyati dan Mujiono, 2009: 30-31 dan Sardiman, 2010; 84) yaitu:

a. Mempunyai dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar. Karakteristik siswa yang mempunyai dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar adalah:

1) Tertarik pada cara guru mengajar

2) Tertarik pada semua mata pelajaran yang diajarkan 3) Mempunyai semangat tinggi dalam belajar

4) Berusaha menyelesaikan tugas secara benar dan tepat waktu 5) Ingin diakui sebagai siswa yang pintar

b. Mempunyai arah dalam melaksanakan kegiatan belajar.

Karakteristik siswa yang mempunyai arah dalam melaksanakan kegiatan belajar adalah:

1) Membina hubungan yang akrab dengan teman satu kelas 2) Mempunyai tujuan untuk berhasil dalam belajar

3) Melaksanakan kegiatan belajar tanpa tergantung bimbingan guru 4) Memanfaatkan fasilitas yang ada di sekolah untuk belajar

c. Mampu bertahan selama melaksanakan kegiatan belajar.

Karakateristik siswa yang mampu bertahan selama melaksanakan kegiatan belajar adalah:

2) Tekun dalam menghadapi tugas atau dapat bekerja secara terus menerus dalam waktu lama

3) Tidak cepat puas atas prestasi yang diperoleh 4) Tidak cepat bosan dengan tugas-tugas rutin 5) Tidak mudah melepas apa yang diyakini

Ciri-ciri inilah yang dijadikan dasar penyusunan instrumen dalam penelitian ini.

7. Karakteristik Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar Rendah

Winkel (2012: 196-197) menyebutkan beberapa ciri siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, yaitu:

a. Berkurangnya perhatian siswa pada waktu pelajaran b. Kelalaian dalam mengerjakan tugas/pekerjaan rumah

c. Penundaan persiapan ulangan/ujian sampai saat terakhir (belajar musiman)

d. Pandangan “asal lulus, asal cukup”.

B. Hakikat Konseling Kelompok 1. Definisi Konseling Kelompok.

Konseling kelompok, menurut Pauline Harrison (2002) adalah konseling yang terdiri dari empat sampai delapan konseli yang bertemu dengan satu sampai dua konselor. Dalam prosesnya, konseling kelompok dapat membicarakan beberapa masalah, seperti kemampuan dalam

membangun hubungan dan komunikasi, pengembangan harga diri, dan keterampilan-keterampilan dalam mengatasi masalah. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Juntika Nurihsan (2006:24) yang mengatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu bantuan kepada individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta diarahkan pada kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya.

Sukardi (2003) menyatakan, bahwa konseling kelompok merupakan konseling yang diselenggarakan dalam kelompok, dengan memanfaatkan dinamika kelompok yang terjadi di dalam kelompok itu. Masalah-masalah yang dibahas merupakan masalah perorangan yang muncul di dalam kelompok itu, yang meliputi berbagai masalah dalam segenap bidang bimbingan (bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karier).

Sejalan dengan pengertian di atas, Winkel (2007) mendefinikan konseling kelompok adalah suatu proses antarpribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Corey (1990) dalam

Group Counseling a Developmental Approach memberi pengertian

konseling kelompok adalah sebuah proses interpersonal yang dinamis yang terfokus pada kesadaran, pikiran dan perilaku yang berguna sebagai fungsi terapi, pemahaman yang benar, pelepasan (katarsis), membangun kepercayaan saling peduli, saling memahami, saling menerima, dan saling mendukung.

Sementara itu, Warner (1976) mengatakan: Group counseling is an

interpersonal process involing a counselor and several members who

explore themselves and their situations in an attempt to modify their

attitudes and behaviors. Pernyataan ini menjelaskan bahwa konseling

kelompok adalah proses interpersonal yang melibatkan konselor dan beberapa anggota yang mengeksplorasi diri dan situasi mereka dalam upaya untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.

Dari uraian yang disampaikan beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok merupakan salah satu layanan konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok yang memanfaatkan dinamika kelompok, serta terdapat hubungan konseling yang hangat, terbuka, permisif, dan penuh keakraban. Hal ini merupakan upaya individu untuk membantu individu agar dapat menjalani perkembangannya dengan lebih lancar, upaya itu bersifat preventif dan perbaikan. Konseling kelompok juga ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah, kegiatan evaluasi dan tindak lanjut.

2. Fungsi Layanan Konseling Kelompok.

Berdasakan definisi konseling kelompok sebagaimana telah disebutkan di atas, maka konseling kelompok mempunyai dua fungsi, yaitu:

a. Fungsi layanan kuratif.

Fungsi layanan kuratif, yaitu layanan yang diarahkan untuk mengatasi persoalan yang dialami individu.

b. Funsi layanan preventif.

Fungsi layanan preventif, yaitu layanan yang diarahkan untuk mencegah terjadinya persoalan pada diri individu. Konseling kelompok bersifat pencegahan, dalam arti bahwa individu yang dibantu mempunyai kemampuan normal atau berfungsi secara wajar di masyarakat, tetapi memiliki beberapa kelemahan dalam kehidupannya sehingga mengganggu kelancaran berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan konseling kelompok bersifat penyembuhan dalam pengertian membantu individu untuk dapat keluar dari persoalan yang dialaminya dengan cara memberikan kesempatan, dorongan, dan pengarahan kepada individu untuk mengubah sikap dan perilakunya agar selaras dengan lingkungannya.

3. Tujuan Layanan Konseling Kelompok.

Tujuan umum dari layanan konseling kelompok dapat ditemukan dalam sejumlah literatur profesional yang mengupas tentang tujuan konseling kelompok, sebagaimana ditulis oleh Ohlsen, Dinkmeyer, Muro, serta Corey (dalam Winkel, 1997) sebagai berikut.

a. Masing-masing konseli mampu menemukan dirinya dan memahami dirinya sendiri dengan lebih baik. Berdasarkan pemahaman diri tersebut, konseli rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif kepribadiannya.

b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga mereka dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas pada setiap fase-fase perkembangannya. c. Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan

mengarahkan hidupnya sendiri, dimulai dari hubungan antarpribadi di dalam kelompok, dan dilanjutkan kemudian dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya.

d. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati/memahami perasaan orang lain. Kepekaan dan pemahaman ini akan membuat para konseli lebih sensitif terhadap kebutuhan psikologis diri sendiri dan orang lain.

e. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran/target yang ingin dicapai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

f. Konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima oleh orang lain.

4. Tahap-tahap Layanan Konseling Kelompok.

Adapun tahapan-tahapan konseling kelompok terdiri dari: a. Pembukaan.

Diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antarpribadi (working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah pada penyelesaian masalah. Yang paling pokok adalah pembukaan pada awal proses konseling kelompok, bila kelompok saling bertemu untuk pertama kali. Mengingat jumlah pertemuan pertemuan lebih dari satu kali, pertemuan-pertemuan berikutnya juga memakai suatu pembukaan, tetapi caranya akan lain dibanding dengan pembukaan pada waktu saling bertemu untuk pertama kali. Selain itu dalam pembukaan ini terjadi perkenalan konseli satu dengan yang lain serta konselor sendiri.

b. Penjelasan masalah.

Masing-masing konseli mengutarakan masalah yang dihadapi berkaitan dengan materi diskusi, sambil mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara bebas. Selama seseorang konseli mengungkapkan apa yang dipandangnya perlu dikemukakan, konseli lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan berusaha ikut menghayati ungkapkan pikiran perasaan temanya. Mereka dapat menanggapi ungkapan teman dengan memberikan komentar singkat, yang menunjukan ungkapan itu telah ditangkap dengan konkret. Setelah semua konseli selesai mengungkapkan masalahnya menurut

pandagan sendiri-sendiri, konselor meringkas apa yang dikatakan oleh masing-masing konseli dan mengusulkan suatu perumusan masalah yang umum, yang mencakup semua ungkapan yang telah dikemukakan oleh para konseli.

c. Penggalian latar belakang masalah.

Karena para konseli pada fase (2) biasanya belum menyajikan gambaran lengkap mengenai kedudukan masalah dalam keseluruhan situasi hidup masing-masing, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan mendalam. Pada fase ini konselor membawa kelompok masuk ke fase analisis kasus, dengan tujuan supaya para konseli lebih memahami latarbelakang masalahnya sendiri-sendiri dan masalah teman, sekaligus mulai sedikit mengerti tentang asal-usul permasalahan yang dibahas bersama.

d. Penyelesaian masalah.

Berdasarkan apa yang telah digali dalam fase analisis kasus, konselor dan para konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi. Kelompok konseli selama fase ini harus ikut berpikir, memandang, dan mempertimbangkan, narnun peranan konselor di institusi pendidikan dalam mencari bersama penyelesaian permasalahan pada umumnya lebih besar.

e. Penutup.

Bilamana kelompok sudah siap untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan bersama, proses konseling dapat diakhiri dan kelompok

dibubarkan pada pertemuan terakhir. Bilamana proses konseling belum selesai, pertemuan yang sedang berlangsung ditutup untuk dilanjutkan pada lain hari.