TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR
B. Landasan Teori
4. Hakikat Kemampuan Menemukan Isi dan Pesan Tembang Macapat
g. Pengertian Kemampuan
Setiap siswa memiliki kemampuan untuk merespon terhadap proses pembelajaran dan kemampuan ini bersifat kompleks. Hal ini sebagai mana diungkapkan Werren (1994: 1) bahwa kemampuan adalah kekuatan siswa dalam menunjukkan tindakan responsif, termasuk gerakan-gerakan terkoordinasi yang bersifat kompleks dan pemecahan problem mental.
Menurut Chaplin (2000:1) kemampuan diartikan sebagai kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan, tenaga (daya/kekuatan)
commit to user
untuk melakukan suatu perbuatan. Sementara itu Sternberg (1994: 4) berpendapat bahwa kemampuan adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan khusus atau tugas khusus, baik secara fisik maupun mental
Kemampuan siswa bisa dilihat dari hasil belajar siswa. Siswa telah mencapai kemampuan atau belum bisa diukur pada setiap akhir pembelajaran. Ini karena kemampuan sangat erat hubungannya dengan hasil prestasi sebagai mana yang diungkapkan Gagne dan Briggs (1997: 57) bahwa kemampuan adalah hasil belajar siswa setelah mengikuti suatu proses belajar-mengajar. Selaras dengan itu, Eysenck, Arnold, dan Meili (1995: 5) mengemukakan bahwa kemampuan adalah suatu pertimbangan konseptual. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa kemampuan berarti semua kondisi psikologi yang diperlukan siswa untuk menunjukkan suatu aktivitas
Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya kemampuan adalah kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan, tenaga yang dimiliki siswa yang menunjukan tindakan reponsif sebagai hasil belajar setelah mengikuti proses pembelajaran. Bila
menemukan isi dan pesan tembang macapat
aktivitas siswa yang ditunjukkan adalah kecakapan atau ketangkasan siswa dalam menemukan isi dan pesan tembang macapat.
commit to user
h. Isi dan Pesan (Amanat) Tembang Macapat
Sebuah puisi-termasuk puisi Jawa-pada hakekatnya terdiri atas bentuk fisik puisi dan bentuk batin puisi. Bentuk fisik dan bentuk batin lazim disebut pula dengan bahasa dan isi atau bentuk dan isi. Marjori Boulton menyebut kedua unsur pembentuk puisi tersebut dengan istilah
bentuk fisik dan bentuk mental. Bentuk fisik dan bentuk mental bersatu
padu menyatu raga (Waluyo, 2010: 26)
I.A Richards menyebut adanya hakekat puisi untuk mengganti
bentuk batin atau isi puisi, dan metode puisi untuk mengganti bentuk fisik. Bentuk batin meliputi tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair
terhadap pembaca, dan amanat. Sementara bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi, kata konkret, bunyi yang menghasilkan rima dan ritma (Waluyo, 2010: 27)
Jadi yang dimaksud isi puisi adalah unsur batin yang membentuk puisi, yang terdiri atas (1) tema/makna, yaitu gagasan pokok atau subject-master yang dikemukakan ole penyair, (2) rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya, (3) nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain, dan (4)Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada
commit to user
tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Berikut ini diberikan contoh tembang durma sebagai berikut.
Iki sapa kethek papat bareng mara, apa arep ngayoni,
iki Kumbakarna,
gegedhuging Ngalengka, apa tan kulak pawarti, tandhing lan ingong, mesthi tumekeng pati
Isi yang dikemukakan tembang durma ini adalah tantangan yang diberikan oleh Kumbakarna kepada empat prajurut kera dalam perang antara pasukan Rama dengan pasukan Rahwana yang dipimpin olah Kumbakarna. Tantangan ini bernada marah, keras dan panuh kesombongan. Mengungkapkan jiwa yang dibakar api patriotisme mempertahankan negara Alengka yang akan diduduki oleh pasukan kera.
untuk menyebut kera.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa isi lebih luas dari pada pesan. Pesan merupakan bagian dari isi puisi. Dalam sebuah puisi (tembang macapat), pengarang selain mengemukakan tema juga ingin menyampaikan pesan kepada pembaca. Amanat menurut Soediro Satoto (1993:42) adalah pesan yag ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Sementara itu, Panuti Sudjiman (1988:57) mengatakan bahwa
commit to user
amanat adalah pesan atau ajaran moral yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Sementara menurut Herman J Waluyo (2002:28) tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, sedangkan amanat berhubungan dengan makna (significance) dari karya sastra itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus; sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah ajaran moral atau pesan yang disampaikan secara tersirat maupun tersurat oleh pengarang yang termuat dalam sebuah karya sastra termasuk tembang
macapat kepada pembaca.
i. Pengertian Tembang Macapat
Tembang adalah karangan dengan menggunakan aturan tertentu yang sudah pasti. Cara mengucapkan tembang tidak seperti karangan yang lain yang berbentuk gancaran (prosa) tetapi harus dilagukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh S. Padmosoekatjo (1960) bahwa yang dimaksud tembang adalah
paugeran tertamtu (gumathok) kang pamacane (olehe ngutjapake) kudu
(karangan atau pembentukan bahasa dengan aturan tertentu (pasti) dengan cara membacanya harus dilagukan dengan seni suara).
commit to user
Sementara itu, tembang menurut Martopangrawit adalah vokal yang berhubungan dengan karawitan (musik Jawa) seperti sindhenan,
bawa, gerong, sulukan, sekar ageng, sekar tengahan, dan sekar macapat
(Martopangrawit, 1975: 3)
Tembang biasanya dilagukan dengan iringan gamelan Jawa yang memiliki bentuk yang bermacam-macam seperti bawa, lagon, ada-ada,
gerongan, sindhenan, dan rambangan. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Murdiati dan Untung Muljono sebagai berikut.
Tembang adalah nyanyian Jawa atau vokal Jawa yang
diiringi gamelan Jawa dan tembang itu sendiri bentuknya ada bermacam-macam di antaranya bawa,lagon,
ada-ada, gerongan, sindhenan, dan rambangan. Bawa adalah
vokal tunggal yang dilakukan seorang pria atau wanita, tanpa iringan gamelan dan pada akhir bawa diterima
gendhing. Dengan kata lain adalah introduksi oleh vokal
tunggal untuk mengawali gending tertentu. Lagon adalah vokal yang dilakukan oleh beberapa pria secara bersama (koor). Ada-ada adalah bentuk lagu yang dibawakan oleh beberapa orang (koor) pada umumnya menggambarkan suasana tegang dan marah. Gerongan adalah tembang yang dibuat dan disesuaikan dengan gendingnya.
Sindhenan adalah vokal tunggal yang dilakukan oleh
wanita atau pesindhen dengan pola gendhing yang disajikan. Rambangan adalah vokal tunggal yang dilakukan seorang pria atau wanita dengan menggunakan tembang macapat dan diiringan dengan beberapa instrumen gamelan.
Pengertian tembang seperti di atas senada dengan apa yang diungkapkan oleh Suyoto dkk yang tertuang dalam laporan penelitian yang berjudul Bawa Kaitannya dengan Gendhing (1996) bahwa tembang adalah sajian vokal dalam karawitan yang meliputi sindhenan, palaran, gerong, dan bawa. Sementara itu, Darsono dkk, (1995:2) dalam laporan
commit to user
penelitiannya yang berjudul Perkembangan Musikal Sekar Macapat di
Surakarta menyatakan bahwa tembang adalah vokal pria atau wanita
dalam karawitan Jawa yang mencakup sekar ageng, sekar tengahan, dan
sekar macapat (Darsono, 1995:2)
Kata tembang merupakan merupakan bahasa Jawa ngoko, dan bahasa kramanya adalah sekar. Tembang atau sekar itu hasil atau manfaat
dari bahasa yang edi endah -kata
yang terikat oleh aturan-aturan tertentu yaitu lagu (Sutardjo, 2011:8) Sementara itu yang dimaksud macapat adalah sekar waosan yang keempat sebagai mana yang diungkapkan oleh R.Ng Ranggawarsita dalam bukunya yang berjudul Mardawalagu seperti berikut:
Mungguh kang diarani matja-pat lagu iku, tegese tembang wewacan kang kaping pat, kang diarani tembang cilik, ija kaya lelagoning wewatjan lajang djarwa, awit saka panganggite Kangjeng Susuhunan ing Giri Kedhaton, bandjur kababarake dening Sunan ing Benang, waratane marang wali kabeh nganti tumeka ing saprene iki. Dene wewatone padha uga karo tembang tengahan, ora nganggo angetung pada pala, mung ngetung pada lingga bae, ija nganggo kaupakara lungguhe tibaning dhong dhing ing dalem sapada-linggane nganti tumekaning pada gedhe sarta ora mesthi etunge lingganing sarta ing dalem sapada lingsa mau iku (R.Ng Ranggawarsita, 1957:15)
Yang dimaksud macapat itu, maksudnya tembang bacaan yang ke empat, yang disebut juga dengan tembang cilik, ya seperti lagu-lagu dalam bacaan serat Jarwa, yang merupakan karya Kangjeng Susuhunan Giri Kedaton terus disebarluaskan lebih lanjut oleh Sunan Bonan, merata ke para wali semua sampai sekarang ini. Sedangkan aturannya sama dengan tembang tengahan, tidak menghitung pada pala, hanya menghitung pada lingganya saja, iya juga memperhatikan dhongdhing dalam setiap sapada-lingganya sampai ke pada gedhe
commit to user
serta tidak harus menghitung pada lingganya serta di dalam sapad-lingsa itu tadi.
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa sekar macapat disebut juga dengan istilah sekar cilik. Sekar cilik pernah dipakai oleh Kangjeng Susuhunan Giri dalam menyusun layang jarwa dan kemudian diturunkan ke Sunan Bonang dan akirnya kita terima seperti sekarang.
Maca Pat Lagu adalah sekar waosan yang keempat yang dikenal
dengan nama macapat atau sekar alit. Satu bait sekar macapat disebut
pada, sedangkan baris-baris macapat disebut gatra. Perbedaan sekar macapat yang satu dengan macapat yang lain dapat dilihat pada guru lagu
dan guru wilangan. Guru lagu adalah bunyi huruf hidup (vokal) pada akhir baris, sedangkan adalah jumlah suku kata dalam setiap barisnya (Darsono, 1995:3-4)
Macapat menurut Karsono (2001) adalah suatu bentuk puisi Jawa
yang menggunakan bahasa Jawa baru, diikat oleh persajakan yang meliputi
guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu.
Macapat memiliki aturan atau persajakan yang meliputi: (1)guru gatra, yaitu baris yang terdapat dalam satu bait tembang, (2) guru lagu,
yaitu jatuhnya suara atau dong dingnya suara diakhir baris, dan (3) guru
wilangan, yaitu jumlah suku kata setiap baris
Jadi yang dimaksud tembang macapat adalah suatu bentuk karangan dengan menggunakan bahasa Jawa baru yang diikat oleh persajakan tertentu dan cara membacanya dengan dilagukan.
commit to user
j. Jenis Tembang Macapat
Menurut Subalidinata (1968: 89) tembang macapat terdiri dari sembilan macam yaitu: pocong, maskumambang, mijil, kinanti, durma,
asmaradana, pangkur, sinom, dandanggula.
Karsono (2001) mengelompokan pola persajakan atau metrum macapat menjadi tiga golongan yaitu: (1) metrum sekar macapat asli, meliputi dandanggula, sinom, asmaradana, durma, pangkur, mijil,
kinanthi, maskumambang, pocong, (2) metrum sekar tengahan yang
sudah dianggap sebagai metrum macapat, meliputi jurudemung,
wirangrong, balabak, gambuh, dan dhudhukwuluh (megatruh), (3)
metrum sekar ageng yang sering muncul bersama dengan macakup, yakni
girisa.
R.Ng Ranggawarsita (1957:15) menjelaskan bahwa jenis tembang
macapat terdiri dari delapan jenis yakni dhandhanggula, mijil, asmaradana, sinom, pangkur, durma, kinanthi, dan pocong.
Padmosoekotjo (1960:28) menjelaskan bahwa tembang macapat pada mulanya terdiri dari sembilan, yakni dhandhanggula, kinanthi,
pocong, asmaradana, pangkur, durma, mijil, sinom, dan maskumambang.
Selanjutnya tembang macapat berkembang menjadi lima belas jenis dengan tambahan tembang girisa, wirangrong, jurudemung, dan balabak. Keempat jenis tembang tersebut sebelumnya termasuk jenis tembang
commit to user
Gunawan Sri Hastjarja (tanpa tahun) dalam buku macapat menjelaskan bahwa tembang macapat berjumlah dua belas jenis, yakni
dhandhanggula, sinom, kinanthi, pangkur, asmaradana, mijil, durma, pocong, maskumambang, megatruh, dudukwuluh, dan gambuh (Gunawan
Sri Hastjarja, t.th:1-95)
R.S Tjiptasoehardja menjelaskan bahwa tembang macapat ada sebelas jenis dan mengalami perubahan yaitu bertambah empat jenis sehingga jumlahnya menjadi lima belas jenis, yakni dhandhanggula,
sinom, pangkur, asmaradana, kinanthi, mijil, durma, maskumambang, gambuh, megatruh, pocong, jurudemung, balabak, wirangrong, dan girisa
(R.S Tjiptasoehardja, 1969: 17-18 )
M. Soeharto menjelaskan bahwa tembang macapat berjumlah sebelas jenis yakni pocong, maskumambang, megatruh, gambuh, kinanthi,
mijil, pangkur, durma, asmaradana, sinom dan dhandhanggula (M
Soeharto, 1978:96)
Sementara itu, Sutardjo (2011) mengatakan bahwa tembang
macapat berdasarkan perkembangan kesasteraan, sekarang berjumlah
sebelas, yaitu pucung, maskumambang, mijil, kinanti, durma, asmaradana,
pangkur, dandanggula, sinom, megatruh, dan gambuh.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa para ahli terdapat perbedaan pendapat. Meski demikian, jika kita cermati tembang macapat yang beredar di masyarakat sekarang terdiri dari sebelas jenis, yakni pocung,
commit to user
gambuh, pangkur, durma, maskumambang, megatruh, mijil, kinanthi, asmarandana, sinom, dhandhanggula
k. Watak Tembang Macapat
Tembang macapat dalam membacanya harus dilagukan dan harus
memperhatikan watak agar tercipta rasa yang mendukung suasana yang diinginkan. Menurut Tedjohadisumarto (1958), Soedjono (1964), Gunawan Sri Hastjarjo (1978), Sadjijo Prawiradisastra (1991), Sukiyat (1997) tembang macapat memiliki watak sebagai berikut.
1. Pucung
Pucung berwatak sesuka hati, ceroboh, lucu dan menggelikan; selain itu tembang pucung juga mempunyai watak kurang bersemangat, lemah, narima, tidak sungguh-sungguh, sereng
ampang. Tembang pucung itu dalam karawitan Jawa sering digunakan
untuk mengiringi seni pertunjukan wayang atau tari untuk menggambarkan suasana menggelikan dan kurang kesungguhan. Tembang
pucung biasa digunakan untuk sembranan, cerita lucu dan menyenangkan.
Perhatikan tembang pucung dibawah ini.
Bapak pucung dudu watu dudu gunung sabamu ing sendhang
pencokanmu lambung kering
prapteng wisma si pocung mutah guwaya
Terjemahan:
Bapak pucung bukan batu bukan gunung kelanamu di sendang,
hinggapmu di pinggul kiri,