• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Sastra .1Pengertian Sastra dan Sastra Anak .1Pengertian Sastra dan Sastra Anak

KAJIAN PUSTAKA

2.1.5 Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Sastra .1Pengertian Sastra dan Sastra Anak .1Pengertian Sastra dan Sastra Anak

Tujuan dari membaca pemahaman adalah agar siswa memahami makna isi bacaan secara menyeluruh sehingga siswa mampu melakukan apresiasi sastra. Sastra merupakan bagian dari kesenian yang dapat memberikan kesenangan, hiburan, kebahagiaan pada manusia. Untuk itu, maka manusia ingin mewujudkan keindahan itu dalam bentuk, seperti: seni tari, mewujudkan keindahan gerak tubuh manusia; seni rupa, mewujudkan keindahan bentuk benda dan susunannya; seni sastra, mewujudkan keindahan bentuk keindahan susunan bahasa; dan masih banyak seni lainnya. Sastra berhubungan dengan penciptaan dan ungkapan pribadi (ekspresi). Jadi sastra merupakan bagian kecil dari kebutuhan hidup manusia yang berupa perwujudan dari rasa seni dan keindahan yang menjadikan bahasa sebagai

media. Keindahan karya sastra terletak pada pengolahan bahan pokoknya melalui bahasa. Jadi sastra adalah seni, bukanlah ilmu pengetahuan (Zulela 2013:18).

Dalam bahasa Indonesia, karya sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yakni berasal dari akar kata sas-, yang dalam kata kerja turunannya diartikan sebagai “mengarahkan”, “mengajar”, dan “memberi petunjuk atau intruksi”. Akhiran –tra menunjukkan alat berdasarkan kata dalam bahasa Sansekerta, diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, dan buku instruksiatau pengajaran (Rosdiana 2008:5.3).

Sedangkan sastra siswa merupakan suatu karya sastra yang bahasa dan isinya sesuai perkembangan usia dan kehidupan anak, baik ditulis oleh pengarang yang sudah dewasa, remaja, atau oleh siswa itu sendiri. Dalam segi bahasa, sastra siswa memiliki nilai estetis dan dari segi isi mengandung nilai-nilai yang dapat memperkaya pengalaman ruhani bagi kalangan siswa (Faisal, dkk 2009:7.4).

Rosdiana (2008:5.3) mendeskripsikan sastra anak adalah sastra yang disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan, baik berupa prosa, puisi, maupun drama, dan berisi pelajaran moral untuk siswa, serta ditulis oleh orang tua.

Berdasarkan pendapat di atas, maka sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan ungkapan perasaan atau emosi yang spontan dan mampu mengungkapkan aspek estetika baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Sedangkan sastra anak merupakan karya sastra yang ditujukan untuk siswa dan mengandung nilai-nilai moral yang ditulis oleh orang dewasa, remaja, maupun siswa. Salah satu hal penting dalam pembelajaran membaca karya sastra adalah apresiasi sastra, karena siswa dapat mengenal,

memahami, menghayati, dan menikmati karya sastra, serta dapat menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra.

2.1.5.2 Pengertian Apresiasi Sastra

Upaya pemahaman unsur-unsur bacaan sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah membaca. Jadi untuk mengetahui pemahaman terhadap unsur-unsur sastra, perlu adanya kegiatan apresiasi. Apresiasi berasal dari bahasa latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove (dalam Aminuddin, 2013:34) mengandung makna: (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin; dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Selain itu, Squire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni: (1) aspek kognitif; (2) aspek emotif; dan (3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Berdasarkan pendapat Squire dan Taba tersebut, indikator dalam kemampuan apresiasi ini meliputi tiga unsur inti apresiasi yang telah dikembangkan lagi oleh peneliti.

Effendi mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Jadi kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya (Aminuddin 2013:35).

Bentuk apresiasi sastra yang diharapkan dapat berwujud kegiatan langsung maupun kegiatan tak langsung. Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca untuk menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung itu dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, naskah drama, maupun teks sastra yang berupa puisi. Sedangkan kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah maupun di koran, mempelajari buku-buku maupun essay yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra (Aminuddin, 2013:36).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka apresiasi sastra merupakan suatu kegiatan seseorang dalam menggauli karya sastra untuk memberikan penilaian/pujian terhadap kualitas sebuah karya melalui perasaan atau kepekaan batin, pemikiran kritis, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan

yang diungkapkan oleh pengarang. Sedangkan apresiasi sastra anak merupakan serangkaian kegiatan bermain dengan sastra sehingga tumbuh pemahaman, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, kepekaan perasaan yang baik bagi siswa terhadap karya sastra anak. Apresiasi sastra sangat bermanfaat bagi siswa, karena dapat melatih siswa mengembangkan tingkat imajinasi dan menambah wawasan dan pengetahuan baru kepada siswa.

2.1.5.3 Manfaat Mengapresiasi Sastra

Sebagai sesuatu yang mengandung berbagai aspek, manfaat yang diperoleh seseorang sewaktu atau setelah membaca sastra dibedakan menjadi dua ragam, yaitu:

1. Manfaat secara Umum

Sebagian besar masyarakat peminat atau pembaca sastra melakukan kegiatan membaca hanya untuk mendapatkan hiburan dan pengisi waktu luang. Sedangkan menurut Olsen, cipta sastra pada dasarnya mampu memberikan man-faat yang lebih bernilai dari sekedar pengisi waktu luang atau pemberi hiburan.

2. Manfaat secara Khusus

Manfaat yang akan diperoleh oleh seorang pembaca sehubungan dengan upaya pencapaian tujuan-tujuan tertentu yaitu: (1) dapat dijadikan pengisi waktu luang; (2) pemberian atau pemerolehan hiburan; (3) untuk mendapatkan informasi; (4) media pengembang dan pemerkaya pandangan kehidupan; (5) memberikan pengetahuan nilai sosio-kultural dari zaman atau masa karya sastra itu dilahirkan (Aminuddin 2013:60).

Manfaat lain dari apresiasi sastra menurut Moody dan Leslie (dalam Faisal, 2009:7.6) yaitu: (1) melatih keempat keterampilan berbahasa; (2) menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia seperti adat istiadat, agama, kebudayaan, dsb; (3) membantu mengembangkan pribadi; (4) membantu pembentukan watak; (5) memberi kenyamanan; (6) meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman baru.

2.1.5.4 Pendekatan dalam Apresiasi Sastra

Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi karya sastra dapat bermacam-macam. Berdasarkan dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi, pembaca dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Parafrastis dalam Mengapresiasi Sastra

Pendekatan parafrastis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan pendekatan parafrastis adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

2. Pendekatan Emotif dalam Mengapresiasi Sastra

Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengaduk emosi dan perasaan pembaca. Prinsip-prinsip dasar adanya pendekatan emotif adalah pandangan bahwa cipta sastra

merupakan bagian dari karya seni yang hadir di hadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan. 3. Pendekatan Analitis dalam Mengapresiasi Sastra

Pendekatan analitis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang atau mengimajinasikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

4. Pendekatan Historis dalam Mengapresiasi Sastra

Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatar-belakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.

5. Pendekatan Sosiopsikologis dalam Mengapresiasi Sastra

Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan. 6. Pendekatan Didaktis dalam Mengapresiasi Sastra

Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap

kehidupan. Penerapan pendekatan didaktis akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya (Aminuddin 2013:40).

2.1.5.5 Jenis-jenis Karya Sastra

Jenis sastra merupakan hasil dari klasifikasi terhadap bentuk dan isi dari karya sastra. Berdasarkan bentuknya, karya sastra terbagi atas prosa, puisi, dan drama.

1. Prosa

Surana (dalam Faisal, 2009:7.16), prosa adalah bentuk karangan sastra dengan bahasa biasa, bukan puisi, terdiri atas kalimat-kalimat yang jelas pula runtutan pemikirannya, biasanya ditulis satu kalimat setelah yang lain, dalam kelompok-kelompok yang merupakan alenia-alenia. Sedangkan prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin 2013:66). Karya sastra berbentuk prosa dapat berupa novel, roman, novelet, cerpen, dan beberapa istilah lain, yang berisi sebuah cerita tentang kehidupan khusus untuk anak-anak bisa dikelompokkan ke dalam cerita anak-anak. Sebuah karya prosa dibangun oleh unsur-unsur yang saling mendukung, yaitu: tokoh, tema, alur, latar, gaya, dan pusat pengisahan (Rosdiana 2008:5.18). Unsur intrinsik prosa adalah unsur yang terdapat dalam diri prosa. Unsur intrinsik prosa meliputi ; tema, penokohan, latar, alur, amanat, gaya bahasa, dan sudut pandang.

2. Puisi

Puisi berasal dari bahasa Yunani pocima “membuat” atau poeisis “pembuatan”, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Hudson menyatakan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Unsur pembentuk puisi meliputi (1) bunyi; (2) kata; (3) larik atau baris; (4) baik; dan (5) tipografi (Aminuddin 2013:134).

3. Drama

Drama adalah suatu cerita konflik tentang kehidupan manusia yang ditulis dalam bentuk dialog. Secara teknis unsur drama meliputi wawancang atau dialog dan kramagung yang merupakan petunjuk bagi aktor, penata panggung, dan sutradara yang melaksanakan tugasnya dengan baik (Faisal, dkk 2009:9.27).

Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada apresiasi karya sastra prosa dalam bentuk cerita pendek, karena siswa sekolah dasar lebih tertarik untuk membaca cerita pendek daripada drama, puisi, atau yang lainnya.

2.1.5.6 Pengertian Cerita Pendek

Cerita adalah susunan dari beberapa kalimat yang mengisahkan atau menjelaskan sesuatu. Cerita ada dua macam yakni, cerita fiksi dan cerita nonfiksi. Cerita fiksi adalah cerita yang isinya berdasarkan imajinasi atau khayalan pengarang. Misalnya, cerita Abu Nawas, Si Kancil dan Aladin. Sedangkan cerita nonfiksi adalah cerita yang isinya berdasarkan kejadian nyata. Misalnya, cerita sejarah, laporan penelitian dan karangan ilmiah.

Cerita pendek adalah suatu bentuk karya sastra yang mengisahkan kehidupan manusia, baik nyata atau khayalan yang disajikan secara singkat dan padat. Karena cerita pendek ditunjukan untuk anak SD, isi cerita pendek berbeda dengan cerita pendek untuk anak dewasa. Cerita pendek anak sering disebut dengan cerita anak yang merupakan cerita pendek berisi tentang kehidupan siswa. Sejalan dengan itu, Nurgiyantoro (2013: 12) mengatakan sesuai dengan namanya, cerpen adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berupa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli.

Ian Reid (dalam Herman, 2014:4) menyebutkan panjang cerita pendek antara 1.600 kata sampai dengan 20.000 kata. Sementara S. Tasrif menyatakan bahwa panjang cerita pendek antara 500 sampai dengan 32.000 kata. Nugroho Notosusanto menyebut panjang cerita pendek sekitar 5.000 kata atau 17 halaman kertas kuarto spasi rangkap. Guntur Tarigan membandingkan panjang cerita pendek 10.000 kata, sedangkan novel kurang lebih 35.000 kata (atau 30 halaman dibandingkan 100 halaman kertas folio). Untuk panjang cerita pendek anak sekitar 5.000 kata. Jika dibaca memerlukan waktu sekitar 10-20 menit. Pendapat lain dari Nurgiyantoro (2013:12), ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.

Tarigan (dalam Herman, 2014:5) menyatakan bahwa ciri-ciri cerita pendek adalah: (1) singkat, padu, dan ringkas; (2) memiliki unsur utama berupa adegan,

tokoh, dan gerakan; (3) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian; (4) mengandung tentang konsepsi kehidupan; (5) memberikan efek tunggal dalam pikiran pembaca; (6) mengandung detil dan insiden yang betul terpilih; (7) ada pelaku utama yang benar-benar menonjol dalam cerita; (8) menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka cerpen adalah cerita yang pendek yang menceritakan kehidupan manusia dengan panjang atau jumlah kata-katanya di bawah 10.000 kata. Cerita pendek mempunyai beberapa jenis/genre yang khusus untuk siswa sekolah dasar yang biasanya berisi nilai-nilai moral kehidupan.

2.1.5.7 Jenis-jenis Cerita Siswa SD

Rosdiana (2008:6.7), cerita dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan atau fungsi cerita, kelompok usia anak, atau sifat cerita itu sendiri. Untuk keperluan sekolah (SD) maka pengelompokan cerita siswa didasarkan atas perkembangan jiwa sesuai dengan usia anak. Jenis-jenis cerita untuk siswa SD, yaitu:

1. Cerita Jenaka

Cerita jenaka merupakan cerita yang mengungkapkan hal ihwal atau tingkah laku seorang tokoh yang lucu. Misalnya cerita Kabayan, Abu Nawas, Nasaruddin, dan lainnya.

2. Dongeng

Dongeng adalah cerita yang didasari atas angan-angan atau khayalan. Dongeng mengandung cerita yang menggambarkan sesuatu di luar dunia

nyata. Misalnya kisah-kisah Ketimun Emas, Tongkat Ajaib, Cinderella, dan lainnya.

3. Fabel

Fabel adalah cerita yang menampilkan hewan-hewan sebagai tokoh-tokohnya. Misalnya cerita Kancil dan Kera, Kancil dan Buaya, dan lainnya. 4. Legenda

Legenda adalah cerita yang berasal dari zaman dahulu. Cerita legenda bertalian dengan sejarah yang sesuai dengan kenyataan yang ada pada alam. Misalnya cerita Malin Kundang, Batu Menangis, Sangkuriang, dan sebagainya.

5. Mite atau Mitos

Mite atau mitos merupakan cerita yang berkaitan dengan kepercayaan kuno,

menyangkut kehidupan dewa-dewa atau kehidupan makhluk halus. Misalnya cerita Nyi Roro Kidul.

Setiap jenis cerita terdiri dari unsur-unsur pembangun, baik unsur instrinsik maupun unsur ekstrinsik. Unsur pembangun cerita inilah yang membuat sebuah cerita menjadi hidup dan dapat dinikmati oleh pembacanya, serta pembaca dapat memahami makna yang ingin disampaikan oleh penulis.

2.1.5.8 Unsur Pembangun Cerita Pendek

Suatu karya sastra yang baik pasti mengandung unsur-unsur pembangun yang mendukung karya sastra tersebut. Unsur-unsur pembangun/intrinsik yang dapat dimanfaatkan pengarang untuk membangun suatu cerita yang menyenangkan dan bermakna dalam cerita pendek yaitu:

1. Tema

Tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pegarang dalam menyusun cerita dan sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dalam karyanya serta merupakan gagasan, ide, atau pikiran yang ada dalam cerita. Tema yang terkandung dalam cerita anak dapat berupa pendidikan, hiburan, kasih sayang orang tua, cita-cita, dan lain-lain. 2. Alur/plot

Alur merupakan cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara berentetan dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga membentuk suatu kesatuan cerita yang utuh dan padu. Dilihat dari segi bentuknya, alur terdiri atas beberapa macam seperti alur maju, mundur, dan maju mundur.

3. Penokohan

Penokohan merupakan pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita. Penokohan ini dapat berwujud manusia, hewan, atau yang lain. Dalam suatu cerita ada tiga macam pelaku, yaitu protagonis, antagonis, dan tritagonis. Protagonis, yaitu tokoh yang berwatak baik, sedangkan antagonis yaitu tokoh yang berwatak kurang baik (penentang protagonis) dan tokoh yang menjadi penengah antara protagonis dan antagonis adalah tritagonis.

4. Latar Cerita (setting)

Latar adalah segala petunjuk, keterangan, atau hal yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam cerita. Penggambaran latar yang rinci dalam narasi dapat membantu penyusunan alur, memperjelas pelaku narasi,

dan memudahkan pembaca menangkap amanat atau pesan yang disampaikan oleh penulisnya.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah posisi penulis dalam cerita yang ditulisnya. Secara garis besar, ada dua sudut pandang yang digunakan dalam menulis cerita yaitu: (a) sudut pandang orang pertama atau gaya saya (aku atau kami); dan (b) sudut pandang orang ketiga atau gaya dia (manusia atau binatang).

6. Amanat

Amanat merupakan hal-hal yang baik untuk dilakukan atau hal yang negatif untuk tidak dilaksanakan yang terdapat dalam karya sastra.

7. Gaya Pengungkapan

Gaya merupakan teknik penyampaian gagasan pengarang tertentu dalam bercerita sebagai karakteristik tersendiri bagi dirinya yang tidak ditemukan pada pengarang yang lain (Faisal, dkk 2009:8.8).

Seorang apresiator harus menguasai unsur-unsur pembangun/instrinsik dari suatu cerita sebelum melakukan kegiatan apresiasi. Setelah apresiator mengetahui dan memahami, selanjutnya apresiator harus menguasai juga langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengapresiasi suatu karya sastra khususnya cerita pendek.

2.1.5.9 Langkah-langkah Mengapresiasi Cerita Pendek

Seorang apresiator harus memiliki pengetahuan awal dalam megapresiasi cerita pendek. Apresiasi sastra merupakan suatu kegiatan seseorang dalam menggauli karya sastra untuk memberikan penilaian/pujian terhadap kualitas

sebuah karya melalui perasaan atau kepekaan batin, pemikiran kritis, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh pengarang. Pengetahuan awal yang harus dimiliki oleh seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan dalam cipta sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan masalah kemanusiaan, baik melalui penghayatan kehidupan ini, maupun dengan membaca buku yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan, baik lewat penghayatan kehidupan ini secara intensif-kontemplantif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur instrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam mengapresiasi cerita pendek seorang apresiator dituntut mempunyai pengetahuan tentang karya sastra yang akan diapresiasi. Langkah-langkah dalam mengapresiasi cerita pendek yaitu mengetahui unsur-unsur instinsik cerita pendek, membaca cerita pendek dan memahami maknanya, kemudian menemukan dan memahami unsur-unsur instrinsik cerita pendek yang telah dibaca. Melalui langkah-langkah tersebut diharapkan seorang apresiator dapat mengapresiasi cerita pendek dengan tepat dan hasilnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.5.10Kendala dan Solusi dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra

Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal banyak ditemukan berbagai persoalan yang disebabkan karena berbagai hal yaitu sebagai berikut.

1. Rendahnya tingkat keaktifan siswa dalam mengapresiasi karya sastra.

2. Pembelajaran sastra Indonesia yang dianggap membosankan, karena bentuk penyampaian materi yang kurang menarik.

3. Pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas.

4. Keterbatasan buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah. 5. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah.

Berdasarkan permasalahan yang ditemukan pada pembelajaran apresiasi sastra di atas, maka solusi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.

1. Memperbaiki kurikulum dengan mengarahkan pengajaran sastra pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya.

2. Pengajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada. 3. Mengadakan program membawa kembali sastra ke sekolah dan melibatkan

guru-guru untuk mengikuti pelatihan sastra.

4. Pemanfaatan media massa tercetak, seperti koran harian, mingguan, tabloid, dan majalah yang memuat karya sastra serta

5. Penggunaan metode penyajian dan pengevalusian hasil pembelajaran sastra di sekolah yang menarik sehingga pengajaran sastra tidak hanya bersifat teoretis. Serta guru juga dapat mengundang sastrawan ke sekolah untuk menarik minat siswa dalam belajar sastra.

2.1.6 Pengaruh Kemampuan Membaca Pemahaman terhadap Kemampuan