LANDASAN TEORITIS, PENELITIAN YANG RELEVAN. DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoritis
2. Hakikat Novel
Pada subbagian ini dibahas beberapa hal tentang: (a) pengertian novel, (b) struktur novel, dan (c) unsur-unsur novel
a. Pengertian Novel
Novel sebagai salah satu genre prosa fiksi memiliki keluasan dalam menuangkan gagasan baik dari unsur instrinsik maupun ekstrinsik. Novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
Menurut khasanah kesusastraan Indonesia modern, novel berbeda dengan roman. Sebuah roman menyajikan alur cerita yang lebih kompleks dan jumlah pemeran (tokoh cerita) lebih banyak. Hal ini sangat berbeda dengan novel yang lebih sederhana dalam penyajian alur cerita dan tokoh cerita yang ditampilkan.
Banyak orang memberikan batasan atau definisi novel tetapi hingga kini belum ada patokan yang jelas yang dapat berterima oleh semua pihak. Batasan atau definisi yang diberikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Hal ini karena novel memiliki keluasan wilayah dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mengemban cerita. Novel berasal dari bahasa latin novellas yang berasal dari kata novies yang bermakna baru. Kata baru ini dimaknai sebagai bandingan dari genre sastra yang lain seperti puisi, drama, dan roman. Genre prosa ini muncul kemudian. Berikut ini pengertian novel menurut beberapa ahli.
Pengertian novel menurut Jakob Sumarjo adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat. Sementara itu, menurut Herman J. Waluyo (1994:37) novel jauh lebih panjang jika dibanding cerpen, sehingga novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, lebih rinci, lebih mendetail, dan menyajikan sesuatu lebih banyak. Lebih lanjut Herman J. Waluyo mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.
Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985:165) memberi kesimpulan bah-wa novel bergantung pada tokohnya, menyajikan lebih dari satu impresi, menyajikan lebih dari satu efek, dan menyajikan lebih dari satu emosi. Goldman (dalam Faruk, 1994: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh diungkapkan bahwa novel merupakan genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antar sang hero.
Stanton (2007:90) mempunyai gambaran sendiri tentang novel, ia mengemukakan bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id situasi sosial yaang sangat rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan cerpen. Yang lebih memikat dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.
Burhan Nurgiyantoro (2002:4) memberikan batasan novel sebagai karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui beberapa unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja bersifat imajiner. Ditambahkan bahwa suasana yang digambarkan di dalam novel adalah sesuatu yang realitis dan masuk akal. Kehidupannya digambarkan bukan hanya sebatas kehebatan dan kelebihan tokoh (untuk tokoh utama/ yang dikagumi) tetapi juga digambarkan kekurangannya.
Jika dilihat dari tebal tipisnya halaman dan jumlah kata yang digunakan, serta jumlah halamannya, Koesno Soebroto dan Sunaryo Basuki (1998:10) memberikan definisi novel sebagai berikut:
Novel is a long work of fiction that contaiss than 10.000 word. It is more incidents, settings, characters, and may take place in a long span of time. I may have more than one theme and more conflicts. Novel tends to expan and it is very complex in its structure. It does not finish to be read once a seat as short story because its length develops the character’s problem.
Seperti halnya pendapat Koesno Soebroto dan Sunaryo Basuki, Suminto A. Sayuti (2000:7-8) memberikan pengertian novel (cerita rekaan) dilihat dari beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya (cerita rekaan) bersifat ekspan, meluas yang menitikberatkan pada kompleksitasnya. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca dalam sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerpen. Dalam novel juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang. Sementara itu, Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural. Ia mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis.
Nampaknya Goldmann tidak mempersoalkan panjang pendek ukuran jumlah kata yang harus dituliskan, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah novel secara leluasa mampu menjelaskan dan mencantumkan segala aktifitas mental dan kesadaran sosial. Kepadanya dituntut adanya rekonstruksi gejala sosial, perilaku impersonal, dan peristiwa-peristiwa historis yang dialami tokoh-tokohnya dengan keleluasaan mengelola bahasa.
Melengkapi beberapa pendapat para pakar di atas, Jakob Sumarjo (1994:29) memberikan batasan novel sebagai cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran yang luas dapat berarti cerita yang alurnya kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun, ukuran luas juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id unsur fiksinya saja, misalnya tema, sedangkan karakter, setting, dan lain-lainnya hanya salah satu saja.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar di atas dapat disimpulakan bahwa novel sebagai cerita fiksi merupakan genre prosa yang dibangun dari unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki keterkaitan di antaranya, untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai gagasan pengarang tentang peristiwa hidup dan kehidupan dalam lingkup kehidupan sosialnya.
b. Struktur Novel
Sebagaimana genre prosa yang lain, novel memiliki unsur pembangun dari dalam dan dari luar yang dikenal dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik novel yang terdiri dari cerita, peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut pandang, bahasa dan gaya bahasa, serta tema, merupakan unsur - unsur yang mewujudkan novel.
Unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun novel dari luar yang tidak menjadi bagian di dalam novel tersebut. Namun, unsur ekstrinsik cukup memiliki pengaruh dalam terwujudnya totalitas konstruksi cerita yang dibangun. Menurut Wellek dan Werren (1989:75) antara lain adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi pengarang dalam proses kreatifnya, psikologi pembaca, maupun penerapan psikologi dalam karya, sedangkan keadaan lingkungan pengarang dalam hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ekonomi, politik, dan sosial, pandangan hidup, dan lain sebagainya juga turut mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya.
Novel sebagai sebuah cerita rakaan memiliki konvensinya sendiri yaitu konvensi sastra yang memiliki “watak otonom”. Seperti yang ditegaskan Teeuw (1988:11) bahwa karya sastra merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh, setia pada dirinya sendiri. Clara Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989:282) menyatakan bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan indah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap novel selayaknya menimbang keutuhan dan kebulatan struktur cerita sebagai keutuhan konstruksi bangunan karya dalam lingkaran unsur-unsur naratif sebagai elemen fiksional yang membangun totalitas karya.
Burhan Nurgiyantoro (2002:4) berpendapat bahwa, novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur instrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, yang semuanya tentu bersifat imajiner. Lebih lanjut, Burhan Nurgiyantoro (2002:10-11) membedakan cerpen dengan novel yaitu: (1) novel lebih panjang dari cerpen, cerpen selesai dibaca dalam sekali duduk, suatu hal yang tidak mungkin diperlakukan sama dengan novel; (2) cerpen mempunyai plot tunggal, sedangkan novel umumnya lebih dari satu plot; (3) setting dalam novel lebih detail, dalam cerpen pelukisan setting hanya garis besarnya saja; (4) tema dalam cerpen hanya satu, tema novel lebih dari satu yaitu tema utama dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tema tambahan; (5) kepaduan dalam cerpen lebih mudah tercipta, sedangkan dalam novel lebih sulit karena novel biasanya terdiri dari beberapa baris sehingga sulit mencari kepaduan dalam novel. Burhan Nurgiyantoro membagi unsur instrinsik novel menjadi beberapa unsur, yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.
Foster (1980:19) membagi unsur novel menjadi enam, yaitu: (1) cerita; (2) manusia; (3) plot; (4) khayalan; (5) ramalan; dan (6) irama. Unsur-unsur cerita, manusia, khayalan, dan ramalan dapat mewakili istilah yang lebih populer yaitu: jalan cerita, karakterisasi, suspense, dan foregrounding. Dalam cerita fiksi ditambahkan ramalan terhadap peristiwa yang terjadi pada masa yang akan datang. Sementara Boulton (1984:29-45) membagi struktur novel menjadi enam, yaitu: (1) point of fiew; (2) plot; (3) character; (4) percakapan; (5) latar dan tempat kejadian; dan (6) tema.
Melengkapi beberapa pendapat tentang struktur novel, Jakob Sumardjo (1982:11) menyebutkan bahwa struktur novel terdiri dari: (1) plot atau alur; (2) karakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau latar; (5) suasana; (6) gaya; (7) sudut pandang penceritaan.
c. Unsur-Unsur Novel
Berikut ini dijabarkan beberapa unsur instrinsik sebagai pembangun novel yang berkaitan dengan pengkajian sosiologis, budaya, dan resepsi sastra.
1) Tema
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id seringkali diformulasikan sebagai ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan sebuah karya fiksi. Karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, maka tema yang diusung di dalamnya menjadi sangat beragam, seberagam permasalahan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tema dalam karya fiksi dapat berupa persoalan moral, agama, sosial, politik, hukum, cinta, serta masalah-masalah kehidupan.
Kenney (dalam Herma J. Waluyo, 2009:11)) menyebut tema sebagai “ the meaning of the story” , dengan penjelasannya: “ Theme is not closely approach the meaning of the moral of story, it is not the subject, it is not what people have in mind when they speak of what the story really means, not what the story illustrates” . Jika
Kenney menyebut tema bukan moral cerita, bukan subjek, dan bukan sebuah hidden
meaning, makna tersembunyi, maka tema dinyatakan sebagai “ theme is meaning the story releses; it may be the meaning the story discovers. By theme we mean the necessary implications of the whole story, not a saparable part of a story” . Pemahaman tema tidak akan dapat dicapai tanpa memahami keseluruhan cerita secara holistis, secara bulat/utuh.
Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986:142), tema merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaannya. Di samping itu, penentuan tema juga harus mendasarkan pada pengertian bahwa kebermaknaan sebuah cerita yang secara khusus menerangkan yang sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana (Stanton, 1965:21). Akhirnya, tema itu bersinonim dengan apa yang oleh Stanton disebutkan dengan ide
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id utama (central of idea) dan tujuan utama dari cerita itu sendiri (central purpose).
Tema dalam sebuah novel dapat diungkapkan melalui banyak cara, seperti lewat dialog antartokoh, melalui konflik yang dibangun, atau melalui narasi dan komentar langsung dari pengarangnya. Di sini pengarang diuji keberhasilannya dalam menyampaikan dan mengemas tema dari upaya menyeleksi dan merekam kejadian yang ada di masyarakat.
Penggolongan tema menurut Herman J. Waluyo (2009:12) dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); (5) tema divine (tema ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, politik, ekonomi, adat, tatacara dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual. Sedangkan tema devine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat relejius yang menghubungkan manusia dengan penciptanya.
Adapun penggolongan tema menurut Burhan Nurgiyantoro (1998:77) dibedakan ke dalam: (1) tema tradisional dan nontradisional; (2) penggolongan tema yang didasarkan pada tingkat pengalaman jiwa menurut Shippley, dan (3) penggolongan tema dari tingkat keutamaannya (tema utama dan tema tambahan). Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berbagai cerita. Tema tradional biasanya dapat dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut: (1) kebenaran dan keadilan selalu mengalahkan kejahatan; (2) tindak kejahatan meski ditutup-tutupi akan terbongkar juga; (3) tindak kejahatan atau kebenaran masing-masing akan memetik hasilnya; (4) cinta sejati menuntut pengorbanan; (5) kawan sejati adalah kawan di masa duka; (6) setelah menderita orang baru mengingat Tuhan; (7) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan sebagainya. Simpulannya, menurut Meredith dan Fitzgerald (1972:6), tema tradisional itu selalu bermuara pada rentangan antara kebenaran dan kejahatan.
Shippley (1962:417) mengungkapkan beberapa tingkatan tema yang didasarkan pada pengalaman kejiwaan. Tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Tema tingkat fisik (man as molecul), tema fiksi dalam tingkat ini lebih banyak pada banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan, yang menekankan pada mobilitas fisik daripada psikologis yang dikembangkan dalam teks cerita. Tema tingkat organik (man as protoplasm), tema jenis ini lebih mengarah pada persoalan seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Dalam banyak problem kehidupan seksual manusia mendapat penekanan pada karya fiksi. Tema tingkat sosial (man as socious) manusia dipandang sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, karena itu merupakan wahana manusia dalam berinteraksi secara maksimal. Dalam kehidupan itulah muncul banyak konflik dan muncul problem sosial yang sering diangkat menjadi tema dalam novel. Tema tingkat egoik, manusia dipandang sebagai individu (man as individualism). Persoalan individualitas itulah, seringkali mengilhami pengarang dalam melahirkan novel sebagai karya fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Masalah individualisme ini menyangkut masalah: egoisitas, martabat, harga diri, sikap, maupun sikap tertentu yang berkait dengan individualitas seseorang. Tingkatan tema terakhir adalah tema tingkat devine. Manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang tidak semua orang dapat mencapainya. Masalah yang menonjol dalam cerita fiksi adalah komunikasi intensif manusia dengan sang Khaliq-Nya. Dalam karya-karya inilah nilai sufistik dan relegiusitas mencapai titik puncak. Sebuah pengungkapan gambaran, visi, dan keyakinan yang adiluhung. Pengelompokan terakhir adalah tema mayor (tema utama) dan tema minor (tema tambahan). Tema mayor adalah tema yang menyaran pada tema pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar dalam pengembangan cerita di dalam novel; sedangkan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu (peristiwa), tema yang demikian dimaksudkan sebagai tema tambahan.
Stanton (1965:27) mengemukakan langkah-langkah menafsirkan tema sebagai berikut:
Pertama, menafsirkan tema dalam karya fiksi mestinya mempertimbanngkan setiap detil yang ada dalam cerita (utamanya yang menonjol). Parameter ini merupakan yang paling urgen. Sebab, identifikasi terhadap persoalan yang menonjol dalam cerita fiksi umumnya menunjukkan bagaimana cerita dikembangkan dari konflik-konflik yang dibangun pengarang. Karena, detil-detil itu akan mencakup pada pusaran masalah utama. Sebuah muara cerita yang harus ditelusuri secara intensif.
Kedua, penafsiran sebuah tema dalam karya fiksi mestinya tidak bertentangan dengan tiap detail cerita. Peristiwa dn fakta yang diangkat tidak akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id memberikan detail yang bertentangan dan saling kontradiksi dalam menjalin kebulatan tema.
Ketiga , penafsiran tema mestinya tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang kurang akurat (tidak baik penyajiannya) baik langsung maupun tidak langsung. Sebab, tema cerita tidak bisa hanya mendasarkan pada perkiraan pembaca saja, sebaliknya harus melalui proses kajian yang intensif.
Keempat, penafsiran dalam karya fiksi mestinya mendasarkan pada bukti-bukti yang secara langsung ada di dalam cerita. Parameter ini mempertegas bahwa penetapan tema haruslah didasarkan pada bukti-bukti yang ada dalam cerita, baik langsung maupun tidak langsung. Kesimpulan yang diambil karenanya tidak boleh bertentangan dengan bukti dan fakta-fakta yang ada.
Berpijak pada beberapa pendapat para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tema novel pada hakikatnya adalah gagasan dasar dalam sebuah novel. Dan dari tema inilah dari sudut pandang pengarang digunakan sebagai kompas pemandu dan pengembangan sebuah cerita. Sebaliknya, sebagai pembaca justru harus dirunut dari segala sudut dan aspek dari cerita yang didasarkan pada komponen fiksi yang membangunnya.
2) Tokoh dan Penokohan
Kata penokohan merupakan kata jadian dari kata tokoh, yang berarti “pelaku”. Dengan demikian , pengertian tokoh merujuk pada aktor yang ada dalam cerita fiksi. Berbicara tentang penokohan berarti merujuk pada apa yang disebut dengan karakter atau perwatakan tokohnya, juga berbicara tentang cara-cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengarang dalam menampilkan pelaku melalui sifat, sikap, dan tingkah laku pemain dalam novel. Dalam bahasa Jones (1968:33) penokohan dimaksudkan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam cerita fiksi; sedangkan menurut Stanton (1968:), istilah perwatakan itu sendiri merujuk pada dua konsep yang berbeda: (1) sebagai tokoh–tokoh yang ditampilkan, dan (2) sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki para tokohnya.
Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi berfungsi untuk memainkan cerita, di samping juga untuk memainkan ide, motif, plot, dan tema yag sedang diangkat oleh pengarangnya. Semakin berkembang aspek psikologisnya, semakin mengukuhkan pentingnya kajian menarik berkaitan dengan tokoh dan penokohan dalam cerita fiksi. Menjadi alasan penting akan peranan tokoh-tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan pengarang (Jakob Sumardjo, 1986:63). Konflik-konflik yang terdapat dalam cerita fiksi mendasari plot yang pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari peran dan karakter para tokohnya.
Penokohan merupakan salah satu unsur novel yang menggambarkan keadaan lahir maupun batin seorang tokoh atau pelaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pelukisan pelaku dapat dilaksanakan dengan menceritakan keadaan fisik dan psikis pelaku. Dalam menampilkan tokoh cerita, pengarang dapat melakukan dengan cara analitik, dramatik, dan gabungan antara keduanya. Cara analitik digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan atau menguraikan sifat-sifat pelaku secara langsung. Sementara itu, dramatik ialah cara yang dipergunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan atau menampilkan pelaku dalam: melukiskan tempat atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id lingkungan pelaku; melukiskan dialog antara pelaku dengan pelaku, atau dialog pelaku lain tentang pelaku utama; menampilkan pikiran-pikiran pelaku atau pendapat pelaku lain tentang pelaku utama; dan menceritakan tingkah laku setiap pelaku.
Cara lain yang dipergunakan pengarang dalam menampilkan pelaku atau penokohan adalah dengan: a) Physical description, yaitu melukiskan bentuk lahir para pelaku; b) Portrayal of thought stream or consious tought, yaitu melukiskan jalan pikiran para pelaku; c) Reaction to events, yaitu melukiskan reaksi pelaku terhadap kejadian yang ada; d) Direct to author analysis, yaitu pengarang secara langsung menganalisis watak pelaku; e) Discussion of environtment, yaitu pengarang menggambarkan keadaan yang ada disekitar para pelaku; f) Reaction of others to-character, yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama; g) Conversation of other about character, yaitu pengarang melukiskan percakapan pelaku lain mengenai pelaku utama (Tasrif dalam Mochtar Lubis, 1983:11).
Pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiganya biasanya digunakan bersama-sama. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analitis yang oleh Hudson (1963:146) disebut metode langsung dan oleh Kenney (1966:34) disebut metode deskriptif atau diskursif; (2) metode tidak langsung yang juga disebut metode peragaan atau dramatisasi; dan (3) metode kontekstual menurut Kenney (1966:36).
Dalam metode analitis atau deskriptif atau langsung, pengarang secara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Deskripsi tentang diri sang tokoh itu dapat secara fisik (keadaan fisiknya), dapat secara psikis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (wataknya), dan dapat juga keadaan sosialnya (kedudukan dan pangkat) yang lazim adalah ketiga-tiganya. Metode tidak langsung atau metode dramatik kiranya lebih hidup daripada metode deskriptif. Pembaca ingin diberi fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita dan tidak perlu dibeberkan tersendiri oleh pengarang. Penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya.
Metode kontekstual adalah metode menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Jika seorang diberi julukan “buaya” misalnya, maka tokoh itu mempunyai watak yang dapat diwakili oleh perkataan buaya itu. Jika ia digambarkan sebagai