HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Latar Belakang Sosio Budaya dalam Novel Hubbu 1.Proses Kreatif Novel Hubbu
2. Latar Belakang Sosiobudaya Masyarakat dalam Novel Hubbu
Latar belakang sosial budaya dalam novel Hubbu menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa pesisir. Latar belakang sosial budaya dalam cerita novel Hubbu ditampilkan berkenaan dengan nilai budaya Jawa yang dianggap ideal dan berharga bagi manusia Jawa sebagai makhluk pribadi, sosial dan spiritual. Nilai budaya Jawa tersebut terwujud dalam norma-norma, aturan-aturan, hukum-hukum, dan ajaran-ajaran tertentu. Sementara itu fenomena empiris, misalnya tampak pada ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku seseorang atau sekelompok orang Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang merupakan manifestasi, aktualisasi, artikulasi, dan eksternalisasi dari nilai budaya Jawa. Hal tersebut tampak pada warna lokal budaya Jawa berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, sopan santun, hubungan kekerabatan, cara berpikir, keadaan alam dan lingkungan, perumahan, dan kesenian.
a. Latar Sosial Budaya
Pada cerita Hubbu ditunjukkan kehidupan masyarakat Jawa (pesisir) yang berada di lingkup budaya pesantren pada saat Jarot masih hidup bersama orang tua dan saudara-saudaranya, dan budaya metropolitan saat Jarot sebagai tokoh utama dalam novel tersebut sedang menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya. Latar sosial budaya tersebut tampak pada penggalan berikut.
Adzan dzuhur berkumandang, tetapi serasa suasana Alas Abang seperti maghrib, cuaca sejak tadi memang murung. Hujan deras menebah bumi. Air-air parit meluap ke jalanan tanah. Meski becek dan berlumpur, anak-anak kecil berpesta. Mereka berlarian, bermain air. Ada yang ke sawah mengejar burung. Tak ketinggalan, ada yang masuk ke luapan air kali kecil, sambil bersiap-siap menangkap ikan. Suara rumpun bambu yang berderak oleh angin, serta suara air jatuh kemrosak menimpa daunan, menjadikan suasanan desa semakin temaram, cenderung gelap. (Mashuri, 2007:20)
Latar sosial pesantren tampak sekali pada penggalan berikut. Menu sore dan malam berupa hapalan juga menyangkut pelajaran tajwid, aqidah, akhlak, dan pelajaran lainnya, mulai dari siir berbahasa Jawa, sampai nadloman berbahasa Arab dan sebagainya. Sejak duduk di kelas dua Sekolah Arab, ketika usianya baru tujuh tahun, Jarot merasa terus tertantang. Berawal dari sang ustad yang mengancam akan mengadukan ke orang tuanya bila ia tidak bisa. Jarot merasa, ustad yang masih saudara jauhnya itu memang kejam. Saat itu, ia diminta menghapal juz terakhir Alquran, Juz,amma, lengkap dengan terjemahannya, dan ia pun harus bergetar saat ingatannya tiba-tiba susut. (Mashuri, 2007:22)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Perkembangan sosial budaya pada saat Jarot berada pada lingkungan tempatnya menempuh kuliah di kota Surabaya yang memiliki heterogenitas budaya dalam norma yang longgar, yang sangat jauh berbeda dengan lingkungan yang membesarkannya saat di Alas Abang, tempat orang tua dan saudara-saudaranya mengemban hidup dalam budaya pesantren yang masih terikat dalam aturan-aturan dan budaya yang permisif.
Perbedaan sosial budaya tersebut pada novel Hubbu diperlihatkan dalam penggalan paragraf berikut.
Ah, pagi-pagi begini, suasana hatiku telah dihajar oleh cuaca Surabaya. Suasana hatiku telah dikacaukan oleh mimpi-mimpi masa lalu. Tak terasa, aku sampai di perempatan Jalan Kertajaya. Lampu lalu lintas menyala merah. Aku menghentikan laju motor. Lalu lintas cukup padat walau masih pagi. Bemo, becak, sepeda motor, mobil, dan tentunya aku sendiri, antri menunggu traffic light hijau menyala. Aku merasa suasana seperti biasa. Rutinitas pagi kota yang beranjak dari lelap ke siang. Banyak orang yang berjejal di jalan-jalan untuk mencari penghidupan atau melewatkan hidupnya. (Mashuri, 2007:12)
Latar sosial tempat Jarot kuliah tampak pada penggalan berikut.
Para pelacur setiap malam mangkal menjajakan diri di jalan-jalan dengan beban sejarah tersebut, ….. “Kamu tanya soal jalan-jalan itu sangat benar, karena sesuai pepatah: malu bertanya sesat di jalan!” Tandas Ipin, yang pernah mengaku sebagai anak kedokteran.
“Dancuk!” serapahku.
“Fasih juga,” sambutnya sambil tersenyum. Tarik saja ke masalah kemiskinan, persoalan urban, atau masalah kehidupan malam di kota. Tidak perlu berbicara asal-usul dan kenyataan. Meski sebenarnya ada pula nama jalan terkait dengan masa lalu atau kampong Surabaya jaman dulu. Tetapi bagiku yang penting saat ini, bukan masa lalu”. (Mashuri, 2007:15)
b. Golongan Sosial dalam Masyarakat Jawa
Novel Hubbu, memperlihatkan adanya penggolongan antara priyayi, santri dan abangan. Sesuai dengan konsep Geertz pada kajian teori, santri adalah pemeluk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Islam yang taat, yang pada umumnya terdiri atas pedagang di kota, dan petani yang berkecukupan. Tradisi keagamaan yang dimilikinya tidak saja terdiri dari pelaksanaan agama yang cermat, teratur atas pokok peribadatan Islam, tetapi juga merupakan suatu oganisasi keagamaan yang kompleks.
Pengakuan atas penggolongan santri diperlihatkan dengan pelaksanaan lima rukun Islam, yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji. Sembahyang lima waktu merupakan ritus pokok golongan santri, para santri juga memberikan zakat fitrah yang diperuntukkan fakir miskin. Mereka juga berpuasa dan membaca Al-Quran.
Pengakuan terhadap penggolongan kelas sosial dalam masyarakat digambarkan dalam kepemimpinan, kepemilikan, kewenangan, jabatan, dan ketokohan, sehingga sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi dan internalisasi baik secara strukturan maupun kultural dalam lingkup sosial masyarakatnya yang berpengaruh terhadap meluasnya interaksi sosial pada pelaku sosial yang lain. Penggolongan kelas sosial tersebut dapat dilihat dalam penggalan berikut.
Hari itu Desa Alas Abang banjir air mata. Mbah Kiai Adnan wafat. Setelah disalati sebanyak 151 gelombang secara berjamaah, akhirnya jenazah Mbah Kiai Adnan diberangkatkan di peristirahatan terakhir. Perjalanan jenazahnya membuat siapa saja bergidik. Sepanjang jalan desa dipenuhi orang seakan-akan menjelma lautan manusia. Banyak orang berebut membawa keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di antara kepala manusia. Gerakannya demikian cepat. Pelayatnya ditaksir ribuan, seperti suporter sepak bola yang memadati sebuah pertandingan tim kesayangan. (Mashuri, 2007: 27-28)
Sementara itu, golongan abangan atau kejawen adalah golongan Islam yang walaupun tidak menjalankan salah satu rukun Islam, tetapi tetap percaya kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ajaran keimanan agama Islam, dan tidak terhindar dari kewajiban berzakat.
Golongan abangan sangat yakin akan adanya Allah. Seperti halnya orang muslim pada umumnya, mereka juga percaya bahwa Muhammad adalah Nabinya. Mereka juga percaya bahwa orang yang baik akan masuk sorga (minggah swargi) dan yang banyak berbuat dosa akan masuk neraka.
Golongan abangan atau kejawen menitikberatkan pada aspek animistis dan sinkretisme Jawa secara keseluruhan, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini.
Dua jam kami di luar ruangan. Untung kami adalah anak-anak yang terbiasa di bawah terik matahari. Masing-masing adalah pencari rumput dan penggembala. Aku sendiri seorang yang sering keluyuran ke tegalan, sawah-sawah, mencari jengkerik, burung, mencari ikan di parit, berenang dengan batang pisang, atau mencari buah-buahan yang terbiar matang di pohonan. Di kala senggang, di antara kami pasti akan membantu orang tua menyiangi rumput di sawah. Bahkan pada musim tanam atau panen, sekolah kami akan libur dengan sendirinya karena murid akan bergelut di sawah orang tuanya. (Mashuri, 2007: 34)
Novel Hubbu juga memperlihatkan adanya pengakuan strata sosial dalam masyarakat kota. Pengakuan kelas atas diperlihatkan dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan. Pengakuan pada strata sosial kelas atas terlihat dalam penggalan berikut.
Sejak awal, ia mengesankan diri bukan orang sembarangan. Ia ke kampus naik mobil bagus dan berkelas. Dari sana, kutahu ia berasal dari keluarga berada. Ketika awalnya ia cuek kepadaku, aku pun maklum. Antara aku dan dia, kupandang seperti langit dan bumi. (Mashuri, 2007:60) c. Seni Budaya Jawa
Kesenian juga menjadi warna dalam memberikan karakter sosial budaya masyarakat. Dalam novel Hubbu diperlihatkan bentuk seni sastra berupa pantun Jawa, tembang dan shalawatan, dan wayang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Wak Sumar sedang mengkhitankan anaknya, dan nanggap wayang kulit dengan dalang terkenal Soleman. Lakonnya “Sumantri Ngenger”. Entah mengapa aku turut larut dalam pertunjukkan itu. Bahkan, ketika orang-orang tua yang biasa nonton wayang beringsut, aku masih tetap berjaga. Semalam suntuk aku terkesima. (Mashuri, 2007: 33)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa seni wayang masih menjadi tradisi yang tetap diemban dalam kehidupan sosial masyarakat meski hanya bisa disaksikan pada peristiwa-peristiwa tertentu, dan hanya bisa dinikmati pada tiap-tiap orang mempunyai hajat mengkhitankan anaknya, atau menikahkan anaknya, atau hajat yang lain. Hal ini terjadi bukan karena seni ini sudah terpinggirkan atau tergeser oleh budaya yang lain, tetapi lebih bersebab pertunjukkan wayang membutuhkan dana yang cukup besar sehingga hanya orang-orang dengan kondisi ekonomi yang mapan yang bisa menggelarkan pertunjukan tersebut.
Pantun berbahasa Jawa juga diperlihatkan dalam novel Hubbu, pantun berbahasa Jawa tersebut dimunculkan pada saat Jarot oleh guru bahasa Jawa diberi tugas membuat parikan, semacam pantun berbahasa Jawa, parikan memang hampir sama dengan puisi berbahasa Jawa. Tetapi parikan mempunyai kaidah yang berbeda dengan pantun, karena harus sesuai dengan aturan guru lagu (rima akhir), guru wilangan (jumlah suku kata untuk tiap-tiap baris), dan guru gatra (jumlah baris untuk tiap bait). Gatra parikan terdiri dari gatra purwaka (baris sampiran) dan gatra tebusan (baris isi). Hubungan keduanya ditentukan oleh rima akhir. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Aja enakkalungsaputangan saputangansingakehkembange Aja waniguruajar parikan amarga guruikimandhiunine (Mashuri, 2007: 37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam novel Hubbu juga diperlihatkan berulang-ulang dari awal sampai akhir gurit Sastra Gendra yang mampu mengobrak-abrik segala pertahanan Jarot sebagai
pemeluk Islam yang taat. Dengan membaca dan mempelajari Sastra Gendra kepada
Wak Tomo, pemeluk Islam abangan inilah yang menjadikan Jarot dihakimi oleh keluarga besar trah Mbah Adnan sebagai pesakitan dan dianggap sangat bersalah karena sudah dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Gurit Sastra Gendra tersebut tertulis seperti berikut.
Sastra Gendra/ hayuningrat sun regem tangan tengen/ klakon gendra tlatah kapujanggan/ nalika sun gedrug punjer unyering bumi/ kanyatan/ ilang kabeh pangimpening wong kang nedya memungsub buyut sun.
Bayuningrat klakon dadi roh rah karuh sun/ gendra tlatah kapujanggan nalika kabeh/ wong/ gandrung memuji aji gusti kang nyawiji/ mring jatining urip sun tang pati salawase. (Mashuri, 2007:142)
Diceritakan pula bahwa masyarakat juga menyukai gending-gending/ tembang berbahasa Jawa yang membuatnya merasa damai jika mendengarkan, bisa dimaklumi apalagi bagi Jarot, jika menyukai seni karena dia kuliah di jurusan sastra.
Dari arah timur terdengar gending Monggang berayun, sebuah suara yang menyeret jiwanya untuk merenungi diri, suara yang mampu menerbitkan rasa takut di kalbu. (Mashuri, 2007: 104)
Masyarakat pantura, terlebih masyarakat Desa Alas Abang yang menyukai sholawatan sebagai sebuah tradisi berzanzi karena di desa tersebut berdiri pondok pesantren yang tentu saja sholawatan sudah jamak bisa didengarkan setiap waktu.
Illahi lastulil Firdausi ahla wala aqwaa ‘alan naril jahiimi…
Duh, Tuhanku, aku tak pantas di surgaMu, tapi aku tak kuat di nerakaMu. Terus disambung dengan bait-bait lanjutan terus bergelombang di kalbunya. (Mashuri, 2007: 105)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id d. Mitos Masyarakat Jawa
Masyarakat desa Alas Abang masih percaya dengan mitos, percaya pada mitos bukan berarti keimanan dan ketakwaan mereka tidak didasari oleh kesadaran tauhid. Kesadaran tauhid tersebut lebih didasari oleh kesadaran purbani lubuk hati sebagian orang dan sebagian kesadaran komunalitas dari desa yang jauh dari pusat budaya Jawa, bukan didasari oleh kesadaran keberagamaan tertentu. Alam semestalah dan tradisi lisanlah yang lebih mengajari kesadaran berketuhanan kepada orang-orang yang masih percaya kepada mitos, daripada pengetahuan rasional atau tarikat tertentu. Atau kesadaran tauhid tersebut lebih didasari oleh pengetahuan kejawaan atau Kejawen. Di sini Kejawen berkembang karena pengetahuan-pengetahuan kejawaan yang dihayati dan dipelajari. Kesadaran tauhid yang berpangkal pada Kejawen tersebut tentu saja merupakan akomodasi atau komporomi berbagai paham kepercayaan, mistisisme, agama primitif, dan agama Islam. Seperti mitos pada mimpi, orang Alas Abang mempercayainya sebagai ilham, juga wahyu yang mengandung kebenaran-kebenaran dari Gusti kang Murbeng Dumadi. Bagi mereka, mimpi bukan sekedar bunga tidur sehingga mereka memaknainya sesuai dengan waktu-waktu tertentu mimpi tersebut hadir dalam tidur. Mimpi yang ditafsirkan pada waktu-waktu tertentu tersebut pada akhirnya menjadi petunjuk dan menjadi pegangan, menjadi pedoman hidup, menjadi mitos, karena apa yang diimpikan terkadang menjadi kenyataan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Aku ingin tahu sampai di mana batas akalku, juga mimpi-mimpiku, juga impianku, tukasnya. Untuk impian, mungkin seperti cita-cita. Tak ada masalah kukira, tetapi yang terus mengusikku adalah soal mimpi-mimpiku. Mimpi tak bernalar!
Tapi kenapa dengan mimpi? Bukankah mimpi tak bernalar? Jika memang tak bernalar, berarti perjalanan hidupku juga tak bernalar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Jarot kembali terusik dengan mimpinya. Setelah ia merasa terjebak dengan sebuah kebetulan yang tidak kebetulan, yaitu menemukan Sastra Gendra di Surabaya, sehingga segala pintu ingatan yang selama ini tertutup, kembali terbuka. (Mashuri, 2007: 98)
Jarot tahu banyak soal mimpi. Ia pun mendapatkan ilmu tafsir mimpi dari Wak Tomo. Kata Wak Tomo, mimpi kadang juga berupa ilham, juga wahyu. Berarti mengandung kebenaran-kebenaran ilahiah, kebenaran Gusti Kang Murbeng Dumadi, begitu istilah Wak Tomo. Mimpi ada kalanya bukan sekadar bunga tidur. (Mashuri, 2007: 99)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa kesadaran tauhid Wak Tomo bersumber pada mistisime Jawa atau kebatinan Jawa. Setidak-tidaknya hal ini tampak pada konsep murbeng dumadi, sumber rujukan ini tidak jauh berbeda dengan sumber nilai yang dianutnya, yaitu Islam.
Mitos terhadap mimpi ternyata bukan hanya menjadi mitos bagi orang-orang Desa Alas Abang saja. Mimpi sudah menjadi mitos pada masyarakat novel Hubbu yang juga hidup di kota besar, kota metropolitan, yang memiliki budaya dan memiliki pendidikan tinggi serta sudah tidak lagi mengemban mitis, animistis, dan dinamistis. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Mimpi pertama membuatku terperanjat. Apalagi didukung waktu dan materi dalam alam mimpi yang menunjuk pada alam sensitif. Aku tak pernah tidur di bawah jam 02.00, jadi bisa dipastikan mimpi itu antara jam 02.00-03.00, karena aku langsung terbangun tepat pukul 03.10. Materinya membuatku seperti orang sedang makan dan tersedak. Mbah datang, padahal sepeninggal Mbah aku tak pernah bermimpi tentangnya. (Mashuri, 2007: 102)
Mimpi yang dialami Jarot berturut-turut dan apa yang dipelajari dari Wak Tomo semasa remaja tentang tafsir mimpi, menjadikannya mimpi sebagai mitos sehingga jika mimpi-mimpi itu datang maka diyakini akan terjadi sesuatu, meski sesungguhnya batas antara mimpi dan kenyataan diyakini sangat tipis. Seperti ada satu celah, dan itu menjadi rahasia jiwa yang dimuntahkan dalam mimpi. Tapi tak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ada seorang pun yang tahu batas itu sehingga manusia diberi kesempatan untuk mencari sampai ambang batas itu sendiri. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Aku mencoba menyimpulkan sendiri fenomena mimpi, serta labirin yang diciptakannya. Tiga hari ini, aku seakan-akan dipaksa kembali berakrab dengan soal mimpi, padahal perihal yang satu ini ingin aku buang jauh. Aku mengakrabi pemikiran modern, postmodern,teori-teori sosial, politik, dan berbagai hal yang mendewakan nalar, tetapi tak jelas tarikan ke arah itu tiba-tiba terbuka kembali. (Mashuri, 2007:101)
Aku tergeragap. Keringat dingin membasahi singletku. Ketengok jam meja: pukul 03.00 WIB. Aku menyebut nama Tuhan. Perilakuku di luar kebiasaanku. Aku terpaksa, sudah tiga kali ini, aku bermimpi tentang Puteri, dan mimpiku selalu seram. Semuanya tersa dan terjadi sejak Puteri menunjukkan prombon berisi Sasmita Jati, dan aku berusaha masuk ke dalam wilayah gelisahnya; berusaha bermain kembali pada persoalan hidup dan mati. (Mashuri, 2007:84)
Mitos yang terlanjur diyakini oleh Jarot, menjadikan mimpi-mimpi yang dialami secara berturut-turut menggelisahkannya, terlebih dua hari kemudian kecelakaan menimpa Puteri, dan dalam kecelakaan tersebut Puteri mati secara tragis. Pada akhirnya antara mimpi dan kenyataan yang dihubungsambungkan makin mengukuhkan kepercayaan mitos tentang mimpi yang diyakini tidak sekedar sebagai bunga tidur.
e. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat
Keberadaan masyarakat dengan budaya yang mengitarinya tentu tidak akan bisa dipisahkan dari aspek bahasa sebagai salah satu bentuk perkembangangan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Hal tersebut ditunjukkan dalam novel Hubbu. Masyarakat dalam novel Hubbu yang tidak hanya terlokasi dalam satu tempat menjadikan bahasa yang digunakan mengalami campur kode. Latar belakang sosial masyarakat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Kutipan berikut akan menunjukkan hal itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id “Kamu Tanya soal-soal jalan-jalan itu sangat benar, karena sesuai pepatah: malu bertanya sesat di jalan!” tandas Ipin, yang pernah mengaku sebagai anak kedokteran.
“Dancuk!” serapahku. (Mashuri,2007:15)
“Mentang-mentang ketua kelas, tidak bekerja!” sindir Lukman kepadaku, sambil cengar-cengir. Ia teman satu kelas, anak sekdes. “Jangan nyolong balung!” . (Mashuri, 2007:31)
Angin, sampaikan salamku pada kasihku. Aku mencintainya sejujur merpati. Don’t’ worry, if you girl is no coment. (Mashuri, 2007:53)
Begitu rampung, aku merasakan sebuah daya baru, semangat baru. Sebuah semangat yang meluber ke sikap dan tindakanku. Aku mendapatkan sebuah kesadaran baru: aku harus berubah dan terus maju. Aku tak bisa bergantung pada ibu-bapa, orang-orang desa, aku harus terus berupaya, meski nanti berjuang sendiri. Toh sebentar lagi gerbang kelulusan segera terbuka dan aku menentukan masa depanku sendiri sejak mula. Wait! There stone’s in my heart! (Mashuri, 2007:53)
f. Kekerabatan Masyarakat
Masyarakat Jawa mempunyai hubungan kekerabatan yang baik, rasa kekerabatan ini terjadi dengan interaksi sosial yang berlangsung intensif karena satu sama lain saling membutuhkan dalam kepentingannya. Kutipan dalam novel Hubbu berikut ini memperlihatkan hubungan harmonis dari interaksi hubungan kekerabatan yang dibangun antar anggota masyarakat.
Tampak orang-orang mulai bergerak. Mungkin jenazah Mbah segera diberangkatkan. Benar juga, ternyata Mbah sudah mulai diberangkatkan ke masjid desa untuk disalati bersama. Jaraknya tak lebih dari 100 meter dari rumah. Selama orang menyalati Mbah, aku merasa terpaku sendiri di langgar, tetap bersandar di bawah jendela kamar santri, berada di sebelah kiri langgar. Aku lama di sana. Bahkan dari corong masjid aku mendengar salat jenazah itu sudah mencapai 100 gelombang berjamah. (Mashuri, 2007:27)
Setelah disalati sebanyak 151 gelombang secara berjamaah, akhirnya jenazah Mbah Kiai Adnan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir. Perjalanan jenazahnya membuat siapa saja bergidik. Sepanjang jalan desa dipenuhi orang seakan-akan menjelma lautan manusia. Banyak orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berebut membawa keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di antara kepala manusia. (Mashuri, 2007:28)
g. Pewarisan Kepemimpinan
Novel Hubbu juga menampilkan pewarisan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa berkembang di pondok pesantren. Pewarisan kepemimpinan yang terjadi di pondok pesantren Alas Abang bukan secara turun-temurun sesuai dengan urut-urutan keturunan, yang terjadi justru sebaliknya. Pada saat Mbah Adnan meninggal, kepemimpinan pondok tidak diserahkan kepada anak-anaknya laki-laki sebagai penerus keberlangsungan pondok, akan tetapi kepemimpinan pondok diwariskan kepada cucunya Jarot karena Jarot dianggap memiliki daya kemampuan yang berbeda dengan anak-anak maupun cucunya yang lain. Ilmu laduni, daya linuwih, yang dimiliki Jarot sudah terlihat sejak dia masih anak-anak. Kareana daya linuwihnya ini maka dipandang dialah yang paling pantas memangku dan meneruskan kepemimpinan pondok. Tetapi karena ketika Mbah Adnan wafat Jarot masih kecil, maka kepemimpinan pondok dialihkan kepada Mas Amin untuk sementara sampai Jarot dewasa.
Buyutku, Mbah Adnan, sebenarnya menaruh harapan besar pada ayah, seorang cucunya yang paling ia cintai. Ketika Mbah Adnan wafat, ayah terlalu kecil, sehingga tongkat estafet pemangku warisan pun jatuh pada Mas Amin. Sebenarnya Mas Amin termasuk orang yang telah disiapkan untuk memimpin, tetapi itu hanya untuk sementara, sebab calon utama tetaplah ayah. (Mashuri, 2007:191)
Tampaknya peralihan kepemimpinan pondok setelah meninggalnya Mbah Adnan menjadi konflik perebutan kepemimpinan antar anggota keluarga.
“Jabir tersingkir dari kepengurusan di sini, ia juga tersingkir di ajang politik. Dia berseteru dengan family sendiri, dengan putra-putra Mas Amin. Anak-anak Jabir pun kini bermusushan dengan anak-anak mas Amin. Awalnya permusuhan di luar tetapi di bawa ke dalam sini. Ada pula sih yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id