• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI (Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI (Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)"

Copied!
238
0
0

Teks penuh

(1)

.

SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI

(Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

(2)

SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI

(Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

Disusun oleh:

Dian Aksanti

S840809203

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ___________ _________ NIP 19440315 197804 1 001

Pembimbing II Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. ___________ _________ NIP 19560121 198203 2 003

Mengetahui

(3)

SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI

(Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

Disusun oleh:

Dian Aksanti

S840809203

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua : Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi,M.Pd. ___________ ___________

Sekretaris : Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. _________ __________

Anggota Penguji

1. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ___________ ___________

2. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. ____________ ___________

Mengetahui Ketua Program Studi

(4)

PERNYATAAN

Nama : Dian Aksanti

NIM : S840809203

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya Mashuri (Kajian Sosiologis, Budaya, Dan Resepsi Pembaca) betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya

peroleh dari tesis tersebut.

Ponorogo, Januari 2011

Yang membuat pernyataan,

Dian Aksanti

(5)

MOTTO

(6)

PERSEMBAHAN

Tanda kenang: Ibuku

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan anugrah rahmat

yang diberikan-Nya tesis dengan judul “ Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya

Mashuri (Kajian Sosiologi, Budaya, dan Resepsi Pembaca)” akhirnya dapat

terselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister

Pendidikan Bahasa Indonesia.

Ucapan terima kasih dengan tulus penulis sampaikan kepada beberapa pihak

yang telah membantu terselesaikannya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa

Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai Pembimbing I

yang dengan kesabarannya telah membimbing dan memberikan arahan hingga

terselesaikannya penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., selaku Pembimbing II yang dengan telaten dan

sabar membimbing dan memberikan masukan penulis dalam menyelesaikan tesis

ini.

(8)

4. Para reseptor Novel Hubbu, Saudara Azis Abdul Ghofar, Widi Pranoto, dan

Tjahjono Widarmanto, yang telah berkenan membantu penulis dalam kaitannya

dengan memberikan respons atau tanggapan terhadap Novel Hubbu yang menjadi

substansi kajian ini.

5. Kawan-kawan sekelas di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang terus memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini.

6. Keluarga penulis, dan teman-teman pengajar di SMA Muhammadiyah 1

Ponorogo yang telah memberikan dukungan yang luar biasa selama penulis

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Semoga Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa melimpahkan

rahmat-Nya kepada semua pihak yang penulis sebutkan dan semua pihak yang tidak

mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini.

Ponorogo, Januari 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ………..…... i

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI …….. ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

(10)

Halaman

2. Hakikat Novel... 17

a. Pengertian Novel... 17

b. Struktur Novel... 21

c. Unsur-unsur Novel... 23

1) Tema... 23

2) Tokoh dan Penokohan... 28

3) Plot (Alur Cerita)... 36

4) Setting (Pelataran)... 39

5) Sudut Pandang... 40

6) Gaya Bercerita... 42

7) Pesan (Amanat)... 44

3. Hakikat Sosiologi Sastra... 44

a. Sosiologi Sastra... 45

b. Aspek Budaya... 49

c. Konsep Sinkretisme sebagai Aspek Sosial Budaya... 67

d. Hermeunetik sebagai Tafsiran Teks Sastra... 82

4. Resepsi Sastra... 87

B. Penelitian yang Relevan... 90

C. Kerangka Berpikir... 95

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 98

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 98

(11)

Halaman

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 108

A. Deskripsi Latar Belakang Sosial Budaya dalam Novel Hubbu 108 1. Proses Kreatif Novel Hubbu... 108

2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Hubbu... 112

a. Latar Sosial Budaya... 113

b. Golongan Sosial dalam Masyarakat Jawa... 114

c. Seni Budaya Jawa... 116

d. Mitos Masyarakat Jawa... 119

e. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat... 121

f. Kekerabatan Masyarakat... 122

g. Pewarisan Kepemimpinan... 123

h. Penyampaian Kritik... 124

3. Penokohan dalam Novel Hubbu sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa... 125

B. Wujud Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme... 127

1. Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme... 127

a. Wujud Nilai Religius... 127

b. Wjud Nilai Ketauhidan... 133

c. Wujud Nilai Keimanan... 136

d. Wujud Nilai Keutamaan... 140

(12)

Halaman

3. Nilai Etis Jawa... 163

a. Wujud Nilai Kebijaksanaan Manusia Jawa... 166

b. Wujud Nilai Tepat Janji... 168

c. Wujud Nilai Pengertian Manusia Jawa... 174

d. Wujud Nilai Lapang Dada... 181

e. Wujud Nilai Rendah Hati... 185

f. Wujud Nilai Toleransi/Tenggangrasa... 188

g. Wujud Nilai Kasih Sayang... 191

4. Nilai Estetis Jawa... 195

C. Resepsi Pembaca... 202

1. Tanggapan dari Widi Pranoto... 204

2. Tanggapan dari Tjahjono Widarmanto... 205

3. Tanggapan dari Aziz Abdul Gofar... 206

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 212

A. Simpulan... ... 212

B. Implikasi ... 214

C. Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA ……….. 223

Lampiran 1. Tanggapan Reseptor 1 terhadap Novel Hubbu karya Mashuri…… 230

Lampiran 2. Tanggapan Reseptor 2 terhadap Novel Hubbu karya Mashuri…… 232

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ... 98

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Bagan Alur Berpikir... 97

(15)

ABSTRAK

Dian Aksanti. S 840809203. Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya Mashuri (Kajian Sosilogis, Budaya, dan Resepsi Pembaca). Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Januari. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur sosiobudaya masyarakat dalam novel Hubbu karya Mashuri, (2) wujud nilai sosiobudaya dan sinkretisme, dan (3) resepsi pembaca.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode lingkar hermeneutik. Sumber data penelitian ini adalah novel Hubbu karya Mashuri, biografi penulis, komentar-komentar pembaca, dialog dengan penulis, dan artikel, surat kabar, internet sebagai penunjang permasalahan penelitian. Teknik cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode trianggulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif

dialektik. Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) tahap eksplorasi untuk memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus,

(3) tahap pengecekan dan keabsahan data.

(16)

ABSTRACT

Dian Aksanti. S 840809203. Syncretism in Novel of Hubbu Written by Mashuri, Study of Social Culture and Reader Reception. Thesis. Surakarta: Indonesian Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011. newspaper, internet as supporter of problems of research. Technique analyzes of this research uses sampling purposive. The Data research validity uses method of triangulation theory. Technique analyze data used is model of interactive dialectic. Research procedure which is researcher done pass through three steps, they are: (1) phase of exploration to obtain general view, ( 2) phase of exploration focus, ( 3) checking phase and authenticity of data.

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id A. Latar Belakang Masalah

Terlepas dari konsep, kedudukan, dan fungsi sosial politiknya, sastra tidak

hanya hadir sebagai ekspresi atau eksternalisasi intuisi, afeksi, dan emosi pengarang.

tetapi juga berisikan ingatan, pikiran, gagasan, hayatan, dan renungan. Sepanjang

sejarah keberadaannya, sastra terbukti mampu menunjukkan diri sebagai karya

artistik-estetik sekaligus karya intelektual. Oleh karena itu, sudah semestinya teks

sastra diperlakukan sebagai lambang budaya verbal yang ekspresif-kognitif atau

intuitif-intelektual.

Secara empiris, sastra selalu berpangkal pada penghayatan, dan pemikiran

secara serempak, dan merupakan persenyawaan antara kecerdasan hati dan

kecerdasan otak. Di dalamnya selalu melekat kualitas gagasan, pikiran, dan

pandangan, di samping kualitas hayatan, renungan, dan ingatan tentang realitas.

Dengan demikian, sebenarnya kenyataan empiris ini telah merontokkan

dikotomi-dikotomi lama yang sudah mapan. Misalnya, fakta versus fiksi, intuisi versus

kognisi, teks sastra versus filsafat, imajinasi versus persepsi, dan sebagainya (Arief

Rokhman, 2003:112).

Perkembangan sastra Indonesia, baik prosa maupun puisi pada dasarnya

bersumber atau mengarah pada dua sisi. Sisi yang pertama mengacu pada

bentuk-bentuk pembaharuan yang bersumber dari barat, dan sisi yang kedua kecenderungan

(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada sisi pertama yang mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan dari

barat, menampakkan pula isi dan konsep pandangan hidup yang merupakan hasil

pencarian, penggalian, dan pergumulan pengarang terhadap pemikiran modern,

sehingga melahirkan karya sastra (novel) yang bernafaskan filsafat barat. Sementara

itu, pada sisi kedua, muncul novel-novel yang berbau etnis atau kedaerahan yang

dapat ditemui pada struktur, bahasa, atau pada ruh novel tersebut.

Novel sebagai teks sastra telah lama dianggap sebagai fakta kemanusiaan,

fakta sejarah, dan kesadaran kolektif kebudayaan. Sebagai fakta kemanusiaan, fakta

sejarah, dan kesadaran kolektif kebudayaan, sastra dapat berfungsi sebagai sejarah

intelektual atau pemikiran yang di dalamnya dapat ditemukan cara pemahaman

(mode of comprehension), cara komunikasi (mode of communication), dan cara

kreasi (mode of creation) masyarakat dan budaya beserta segenap perubahan dan

permasalahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa novel (teks sastra) dapat

dipandang sebagai teks sejarah intelektual yang mewakili kehadiran pengarang

karena setiap novel yang diciptakan terikat oleh konteks keberadaan dan keadaan

pengarangnya.

Novel, menurut Kuntowijoyo (1987:172) juga merupakan strukturalisasi

pengalaman. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan

dari pengalaman hidup, sikap, pandangan hidup, dan idiologi pengarangnya. Karena

merupakan strukturalisasi pengalaman, maka objek karya sastra adalah realitas.

Mempertegas pendapat tersebut, Zaimar (dalam Kuntowijoyo, 1987:172)

mengatakan bahwa yang dimaksud realitas adalah pemikiran, kehidupan, dan tradisi

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Karya sastra selalu mengambil bahan dan menggali inspirasi dari realitas

pengalaman hidup, namun pengalaman hidup tersebut telah ditafsirkan oleh

pengarangnya. Griffith (1982:14) menyebutnya sebagai the total form of a work

represent its interpretation. Lebih lanjut Griffit (1982:17) menegaskan bahwa sastra

merupakan ungkapan kepribadian, perasaan, sikap, dan keyakinan pengarangnya.

Segala sikap, pribadi, dan keyakinan pengarang akan memberi warna pada karya

sastra yang dilahirkannya. Demikian juga idiologi yang dianut pengarang akan

memberi warna kuat pada karya sastra yang dihasilkannya. Idiologi sebagai sistem

berpikir normatif akan dilahirkan pengarang ke dalam karyanya melalui unsur-unsur

atau piranti-piranti teks sastra.

Lull (1998:24), memberi definisi idiologi sebagai sebuah pikiran yang

terorganisasi, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi

sehingga membentuk prespektif-prespektif ide yang diungkapkan melalui

komunikasi, baik antarpribadi maupun dengan media teknologi. Lebih jauh Lull

mengemukakan bahwa idiologi boleh berlandaskan pada fakta yang dapat dicek

kebenarannya dalam sejarah secara empiris, bisa pula tidak. Bisa tersusun secara

ketat, bisa pula longgar. Bisa bersifat kompleks dan utuh, namun bisa pula berupa

fragmentasi, bisa bertahan lama, namun ada juga yang bersifat sementara.

Idiologi yang diyakini pengarang dapat menjadi kekuatan internal personal

untuk menggerakkan dan melahirkan karya sastra. Kekuatan internal yang bermula

dari idiologi yang diyakininya tersebut akan muncul sebagai sebuah kesadaran kritis

(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Taufiq Abdulah (1991:5) sebagai sebuah teks, novel mengandung

unsur cerita dan unsur tak cerita. Unsur cerita menyajikan kisah, sedang unsur tak

cerita menyajikan pikiran tentang sesuatu yang menjadi concern pengarangnya.

Unsur cerita bertugas menyajikan narasi tertentu yang bertujuan untuk

menumbuhkan simpati dan empati pembaca, sedang unsur tak cerita berupaya untuk

menyampaikan pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruk realitas budaya

pengarangnya.

Subagio Sastro Wardoyo (1989:13) menyatakan bahwa sastrawan Indonesia

asal etnis Jawa adalah manusia perbatasan yang sedang bertransformasi diri dengan

mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa ke dalam negara-bangsa

Indonesia. Negara-bangsa ini merupakan “kampung halaman” budaya yang relatif

baru yang tampaknya masih idiologis namun mau tak mau harus terus didukung dan

dikembangkan. Bagi sastrawan Indonesia asal etnis Jawa, hal ini merupakan suatu

proses panjang yang berat dan besar karena pada satu sisi menuntut mereka menata

kembali keberadaan dan kedudukan serta fungsi budaya, dan sastra Jawa sebagai

akar mereka di sisi lain mereka “terpaksa’ melakukan perantauan (migrasi) budaya

ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.

Mashuri pengarang novel Hubbu (2007) adalah sastrawan asal etnik Jawa,

yang di dalam dirinya muncul berbagai persoalan, perasaan, dan situasi yang bisa

jadi menimbulkan rasa gamang, bimbang, bahkan paradoksal ketika dihadapkan pada

sebuah proses perantauan tersebut. Dengan segala perasaan dan situasi yang

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

budaya lama, mitos-mitos lama, untuk menggenggam dan menghasilkan pandangan

dan pemikiran baru dalam novel Hubbu karyanya.

Wayang merupakan salah satu mitos lama yang memegang peranan penting

dalam masyarakat Jawa sekaligus menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi estetis

bagi pengarang Indonesia modern. Dalam novel Hubbu, Mashuri mencoba menggali

kembali mitos pewayangan. Upaya menggali mitos ini sudah tersirat ketika

mengawali cerita dengan mengetengahkan prawayang yang berisi Lontar Lokapala,

kisah yang berisi rahasia langit, ilmu untuk mencapai kesempurnaan hidup, Sastra

Gendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Pada dasarnya, kehadiran teks sastra atau novel dapat menyuarakan,

membawakan, dan mempersoalkan mitos-mitos tertentu. Bahkan menurut Umar

Yunus (1981:93), karya sastra terutama novel, baik sastra lama atau baru pada

hakikatnya mengusung suatu mitos. Sebuah novel mungkin bertugas mengukuhkan

suatu mitos tertentu (myth of concern), dan mungkin pula bertugas merombak,

membebaskan, memodifikasi, bahkan menentang suatu mitos tertentu (myth of

freedom). Pengukuhan dan pembongkaran mitos tersebut dapat dimanfaatkan

pengarang dalam kerangka estetik dan proses kreatif atau dapat pula dipakai untuk

maksud-maksud tertentu di luar kepentingan literer.

Kedatangan novel Hubbu dalam khasanah sastra Indonesia memberikan

sesuatu yang baru, sangat utuh, dan padu ceritanya (Ahmad Tohari, 2007: dalam

punggung buku). Gaya cerita yang mengalir dalam suasana manis memaparkan

sudut-sudut humanisme yang indah, dalam latar budaya santri dan intensitas budaya

(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hubungan logis antara mitos, kosmologi, dan ritual serta sikap-sikap hidup atas dasar

agama (kepercayaan) bersenyawa menjadi jalinan yang utuh dalam cerita. Dan

inilah yang membuat novel Hubbu menonjol dari atmosfir dan suasana cerita yang

ditampilkannya. Mashuri mengolah serta membongkar mitos wayang untuk

melontarkan gagasan dan pandangannya berkaitan dengan realitas sosial, politik dan

budaya yang dialami dalam situasi kekinian.

Menurut Sapardi Djoko Damono (1995:11) karya sastra, baik puisi maupun

prosa fiksi merupakan wacana sekaligus inskripsi yang selalu merepresentasikan

konstruksi realitas budaya berlandaskan episteme (sistem pengetahuan) tertentu.

Yang terepresentasi dalam karya sastra adalah konstruksi realitas nilai budaya

tertentu sehingga episteme realitas nilai budayalah yang hadir dalam teks sastra.

Dikatakan demikian karena: (1) sebagai sistem lambang budaya, sastra bersangkutan

dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang

membentuk episteme makna, dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika

budaya tertentu; (2) sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan,

ideologi, orientasi nilai, dan mitos; dan (3) sebagai wacana dalam kerangka episteme

tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu

(Sapardi Djoko Damono, 1984:24).

Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu

karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya

selalu terlekati nilai budaya sebagai cerminan dari realitas masyarakat di mana karya

tersebut diciptakan. Di antara genre karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, novel

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sosial budaya. Nyoman Kuta Ratna (2009: 335) memberikan alasan, di antaranya: (1)

novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang

paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas; (2)

bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum

digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, novel merupakan genre yang paling

sosiologis.

Nyoman Kutha Ratna (2009:339) memberikan model analisis yang dapat

dilakukan dalam kaitan karya sastra dengan masyarakat meliputi tiga macam, yaitu:

(1) menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu

sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi; (2)

menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan hubungan

yang bersifat dialektika; (3) menganalisis dengan tujuan memperoleh informasi

tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Sementara, Wellek dan Warren (1980:110)

berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan masyarakat. Dengan demikian, lahan

sosiologi adalah sikap hidup pengarang, karya, dan pembaca. Wellek dan Warren

membagi kerja telaah ini menjadi tiga, yaitu: (1) sosiologi pengarang, yang

memasalahkan tentang status sosial, idiologi, politik, dan lain-lain; (2) sosiologi

karya sastra memasalahkan tentang karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah

apa yang tersirat dalam isi karya sastra tersebut; dan (3) sosiologi sastra yang

memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap masyarakat.

Latar belakang pemilihan novel Hubbu sebagai objek material penelitian

adalah adanya katagori keunggulan, novel tersebut telah memenangkan Sayembara

(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang meneliti novel tersebut, keterjangkauan penulis dalam meneliti baik waktu,

dana, kemampuan dalam mengapresiasi, dan novel tersebut memiliki relevansi

dengan nilai-nilai kehidupan. Itulah beberapa pemikiran yang melatarbelakangi

penelitian ini dengan judul penelitian Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya

Mashuri, Kajian Sosiologi, Budaya dan Resepsi Pembaca.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang sosiobudaya dalam novel Hubbu?

2. Bagaimana wujud nilai sosiobudaya sinkretisme dalam novel Hubbu?

3. Bagaimana pandangan sosiobudaya dan sinkretisme pembaca terhadap novel

Hubbu?

C. Tujuan Penelitian

Mendasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosiobudaya dalam novel

Hubbu.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan wujud nilai sosiobudaya sinkretisme dalam

novel Hubbu .

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan sosiobudaya dan sinkretisme

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat, baik secara teoritis

maupun praktis. Masing-masing manfaat tersebut adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian sastra,

khususnya pengkajian novel sebagai genre prosa fiksi dengan kajian sosiologis,

budaya, dan resepsi pembaca.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

a. dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi pembaca dalam memahami Novel

Hubbu;

b. dapat dijadikan sebagai rujukan atau bahan pembanding bagi para peneliti

novel Hubbu dengan tinjauan sosiologis;

c. dapat dijadikan sebagai alat pengembangan apresiasi sastra bagi para siswa di

sekolah-sekolah; dan

d. dapat memberikan masukan bagi pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa

dalam upaya melestarikan budaya dan tradisi Jawa.

(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II

LANDASAN TEORITIS, PENELITIAN YANG RELEVAN. DAN

KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teoritis

Pada bagian ini dideskripsikan teori-teori atau konsep-konsep yang berkaitan

dengan empat hal penting yang digunakan peneliti sebagai pijakan dalam

menganalisis data penelitian yang ada dalam novel Hubbu. Keempat teori atau

konsep itu adalah (1) hakikat sastra, (2) hakikat novel, (3) hakikat sosiologi sastra,

dan (4) hakikat resepsi sastra.

1. Hakikat Sastra

Dalam dunia sastra, sudah sangat lazim dikenal suatu pembedaan di antara

genre-genre sastra. Meski pembedaan itu sering dibicarakan tetapi masih tetap

berguna ketika membicarakan perihal proses kreatif tersebut. Karya sastra tercipta

dari upaya mengolah kemungkinan-kemungkinan melalui sistem tanda yaitu bahasa

sebagai proses transformasi dari dunia nyata menjadi dunia rekaan.

Bagi kaum romantik yang memuja penampilan utuh atas dunia, hal itu telah

mendorong mereka pada keyakinan bahwa dunia (kenyataan) pada dasarnya adalah

tidak sempurna, terpecah-pecah, penuh paradoks dan antagonisme yang tak

terselesaikan sehingga memerlukan sejenis penataan ulang. Karya sastra adalah

sebuah upaya penataan ulang dari dunia yang tidak tertata tersebut, suatu kosmos

yang tercipta dari khaos. Seperti yang didengungkan Albert Camus, bahwa dalam

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kata lain, sebuah karya sastra merupakan suatu kemungkinan untuk menciptakan

kosmos tertentu, suatu dunia baru yang kurang lebih otonom, bukan sekadar wujud

tiruan dari kenyataan yang khaos tersebut, melainkan dalam rangka melampauinya.

Pada sisi lain, jika dilihat dari aspek semiotik, cara pandang seperti yang

digambarkan di atas akan melihat karya sastra sebagai hasil daya upaya penciptaan

kreatif yang bertumpu pada suatu pendekatan yang masih dapat dimengerti secara

inderawi, bahwa karya sastra adalah penampakan visual yang terbuat dari rajutan

unsur-unsur yang terbatas di mana dunia rekaan yang ditampilkannya disebut sebagai

teks, yakni sejenis bangunan yang tersusun oleh elemen-elemen tanda yang saling

berkaitan dan membentuk semacam struktur yang utuh.

a. Pengertian Sastra

Teeuw (1988:23) memberikan pendapat tentang kata “sastra” dari beberapa

bahasa. Dalam bahasa Inggris dan Jerman sastra disebut dengan literature, dalam

bahasa Perancis literature,yang kesemua itu dari bahasa Yunani yaitu literatura

terjemahan dari gramatika. Literature dan gramatika berasal dari kata littera dan

gramma yang berati”huruf” dan “tulisan”. Dalam bahasa Perancis menggunakan kata

letter, di Belanda menggunakan kata geletterd yanng berarti orang yang

berperadaban dengan kemahiran khusus dalam bidang sastra. Lierature dalam bahasa

barat modern kemudian diartikan sebagai segala sesuatu yang tertulis, pemakaian

bahasa dalam bentuk tertulis.

Teeuw (1988:41) membuat kesimpulan tentang sastra, bahwa tidak ada

(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala khas. Ada pemakaian bahasa lisan

dan tulis dalam sastra, dan sebaliknya ada sastra tulis dan sastra lisan.

Sastra adalah ciptaan visual yang lahir dari segala kemungkinan yang

berkaitan dengan dunia yang berada di luar diri pengarangnya. Ia adalah penampilan

dari dunia eksterior sehingga pembacaan dan pemahaman atas makna tak bisa

dilepaskan dari bagaimana proses terbentuknya kenyataan sosial yang

ditampilkannya. Seperti yang ditegaskan Hoggart (dalam. Teeuw, 1988:237):

Good literature recreates the sense of life, its weight and texture. It

recreates the experiential wholeness of life and the social life, the object-

laden world. It creates these things all together and interpenetrating, as they

do in the lives we live ourselves….. Good literature recreates the immediecy

of life.

“Sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan

susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan

emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang sarat objek. Hal ini

diciptakannya bersama-sama dan secara saling berjalinan. Seperti terjadi dalam

kehidupan yang kita hayati sendiri. … Sastra baik menciptakan kembali

kemendesakan hidup.”

Teeuw (1988:237) menegaskan pendapat Hoggart, bahwa dalam arti lain

karya rekaan merupakan dokumen sosial, yang lebih dulu disebut jalan keempat

kebenaran: lewat sastra pembaca seringkali jauh lebih baik dari lewat tulisan

sosiologi mana pun juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sastra sebagai sebuah karya rekaan merupakan analisis dan pengamatan

pengarang terhadap kondisi sosial suatu masyarakat. Suatu realitas dengan kondisi

sosial yang kompleks yang tak pernah usai untuk diperbincangkan, diperdebatkan,

dan dicarikan jalan ke luarnya. Problem kehidupan dengan cara menyiasati dan

menyelesaikannya dikemas pengarang dengan sentuhan imajinasi yang membuat

sebuah karya sastra lebih bermakna, sehingga dapat menjadi bahan renungan

pembacanya. Sebagaiman dikatakan Muchtar Lubis bahwa pengarang menulis

tentang hati manusia, yang utuh dan retak, tentang keberanian dan kepengecutan,

kesetiaan dan pengkhianatan, kebenaran dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan,

konflik dan keselarasan, kehormatan dan kehancuran martabat, kemuliaan dan

kenistaan. Juga tentang kemanusiawian dan kebinatangan manusia itu sendiri.

Dari beberapa pengertian sastra di atas, sastra dapat didefinisikan berdasarkan

pendekatan yang dilakukan oleh Abrams dengan pendekatan objektif, pendekatan

ekspresif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik (Teeuw, 1988:50).

Dijelaskan bahwa pendekatan objektif memandang bahwa sastra didefinisikan

sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas,

maupun pembaca. Pendekatan ekspresif melihat karya sastra sebagai ekspresi

sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan,

atau sebagai produk imajinasi sastrawan. Berdasar pendekatan mimetik, karya sastra

dianggap sebagai tiruan alam, tiruan kehidupan, dan tiruan kenyataan. Sementara itu,

pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan

(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Wicaksono Adi (2005:35), sastra, baik itu prosa, puisi, maupun

drama, pada dasarnya adalah sebuah teks yang mengandung hubungan-hubungan

tanda, baik secara internal yang memunculkan makna tekstual dan secara eksternal

sering disebut sebagai makna referensial. Sastra adalah refleksi pengarang tentang

hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi yang didukung

oleh pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut. Sastra mempunyai

dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek isi. Aspek bentuk adalah hal-hal yang

menyangkut objek atau isi karya sastra, yaitu pengalaman hidup manusia, seperti

sosial budaya, kesenian, cara berpikir suatu masyarakat, dan sebagainya. Aspek isi

inilah sebenarnya yang paling hakiki, sebab bahasa hanya sebagai wadah atau

medianya saja.

Atar Semi (1990:8) mengatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil

pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan

menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, sastra sebagai karya

kreatif harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan

kebutuhan-kebutuhan keindahan manusia. Sastra harus pula menjadi wadah

penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang

kehidupan manusia.

b. Manfaat Sastra

Dengan batasan seperti di atas, maka jelaslah bahwa sastra mempunyai

peranan yang amat penting bagi kehidupan manusia, terutama kehidupan rohani.

Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia sampai dengan yang paling

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Atar Semi (1990:20) menjelaskan bahwa sastra mempunyai peranan atau misi

bagi kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat. Misi sastra yang pertama

adalah, sebagai alat untuk menggerakkan pemikiran pembaca kepada kenyataan dan

menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia menghadapi masalah. Misi yang

kedua adalah, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat di mana nilai kemanusiaan

mendapat tempat yang sewajarnya dipertahankan, dan disebarluaskan, terutama di

tengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan menggebu-gebunya

kemajuan sains dan teknologi. Jadi, sastra dapat menjadi pengimbang sains dan

teknologi yang kehadirannya tidak dapat ditolak. Misi yang ketiga adalah, untuk

meneruskan tradisi suatu bangsa kepada masyarakat sezamannya dan kepada

masyarakat yang akan datang terutama cara berpikir, kepercayaan, kebiasaan,

pengalaman sejarah, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaan.

Meskipun sastra akan mengungkapkan kehidupan manusia, namun proses

penciptaannya melalui daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi dari para sastrawan.

Sebelum membuat karya sastra, pengarang menghayati segala persoalan kehidupan

manusia dengan penuh kesungguhan lebih dulu, kemudian mengungkapkannya

kembali melalui sarana fiksi (bisa dalam bentuk puisi, cerita pendek, novel, atau

drama). Dalam proses penciptaannya itu, kreativitas sastrawan dapat bersifat “tak

terbatas”. Pengarang dapat mengkreasi, memanipulasi, dan menyiasati berbagai

masalah kehidupan yang dialami dan diamatinya menjadi berbagai kemungkinan

kebenaran yang hakiki dan universal dalam karya fiksinya. Pengarang dapat

mengemukakan sesuatu yang hanya mungkin terjadi, dan dapat terjadi, walau secara

(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dijalani dan dirasakan pada dunia

yang nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra

(Burhan Nurgiyantoro, 1998:6). Oleh karena itu, melalui karya sastra secara tidak

langsung pembaca akan mendapatkan suatu kesempatan belajar memahami dan

menghayati berbagai persoalan kehidupan manusia yang sengaja diungkapkan oleh

pengarang. Dengan demikian karya sastra dapat mengajak pembaca untuk bersikap

lebih arif.

Sastra merupakan hasil salah satu cabang kesenian dan merupakan cabang

kebudayaan. Seperti hasil kesenian pada umumnya, karya sastra mengandung unsur

keindahan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan

dapat menyegarkan perasaan penikmatnya. Sastra adalah budaya bangsa dengan

bahasa sebagai medianya. Karya sastra dengan segala bentuknya, yaitu puisi, prosa,

drama, dan lain-lain berisi curahan pengarangnya. Isi jiwa ini merupakan kekayaan

rohaniah dari bangsa yang memilikinya. Kekayaan rohaniah itu bagi pengarangnya

merupakan keterampilan dan prestasi di alam pemikiran yang mengandung pesan

spiritual yang dapat disampaikan kepada masyarakat pembacanya dari masa ke masa.

Dari sudut pembacanya, kekayaan rohaniah yang tersimpan di dalam karya sastra

merupakan sumber informasi, sumber kekuatan yang tidak ada habis-habisnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sastra adalah sebuah teks yang

tersusun oleh berbagai kemungkinan penataan ulang dunia yang khaos dan

kemungkinan tersebut baru memperoleh maknanya setelah dibaca oleh pembacanya.

Pada akhirnya karya sastra senantiasa akan terikat dengan kenyataan yang hendak

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kenyataan yang menyampaikan sisi kehidupan manusia dan masalahnya karena karya

sastra sesungguhnya lebih bersifat subjektif. Namun, melalui penghayatan dalam

memahami karya sastra pembaca akan lebih dalam mengenal kehidupan sosial dan

cara-cara manusia menghayati kehidupan dengan perasaannya.

2. Hakikat Novel

Pada subbagian ini dibahas beberapa hal tentang: (a) pengertian novel, (b)

struktur novel, dan (c) unsur-unsur novel

a. Pengertian Novel

Novel sebagai salah satu genre prosa fiksi memiliki keluasan dalam

menuangkan gagasan baik dari unsur instrinsik maupun ekstrinsik. Novel biasanya

menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan

sesamanya. Dalam sebuah novel, pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk

mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita

yang terkandung dalam novel tersebut.

Menurut khasanah kesusastraan Indonesia modern, novel berbeda dengan

roman. Sebuah roman menyajikan alur cerita yang lebih kompleks dan jumlah

pemeran (tokoh cerita) lebih banyak. Hal ini sangat berbeda dengan novel yang

lebih sederhana dalam penyajian alur cerita dan tokoh cerita yang ditampilkan.

Banyak orang memberikan batasan atau definisi novel tetapi hingga kini

belum ada patokan yang jelas yang dapat berterima oleh semua pihak. Batasan atau

definisi yang diberikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan

(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengemban cerita. Novel berasal dari bahasa latin novellas yang berasal dari kata

novies yang bermakna baru. Kata baru ini dimaknai sebagai bandingan dari genre

sastra yang lain seperti puisi, drama, dan roman. Genre prosa ini muncul kemudian.

Berikut ini pengertian novel menurut beberapa ahli.

Pengertian novel menurut Jakob Sumarjo adalah bentuk sastra yang paling

popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar,

lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat. Sementara itu, menurut

Herman J. Waluyo (1994:37) novel jauh lebih panjang jika dibanding cerpen,

sehingga novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, lebih rinci, lebih

mendetail, dan menyajikan sesuatu lebih banyak. Lebih lanjut Herman J. Waluyo

mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh

cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya

tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan

gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.

Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985:165) memberi kesimpulan

bah-wa novel bergantung pada tokohnya, menyajikan lebih dari satu impresi, menyajikan

lebih dari satu efek, dan menyajikan lebih dari satu emosi. Goldman (dalam Faruk,

1994: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi

akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh

diungkapkan bahwa novel merupakan genre sastra yang bercirikan keterpecahan

yang tidak terdamaikan dalam hubungan antar sang hero.

Stanton (2007:90) mempunyai gambaran sendiri tentang novel, ia

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

situasi sosial yaang sangat rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit

karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih

mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan cerpen. Yang lebih memikat dari

novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus

rumit.

Burhan Nurgiyantoro (2002:4) memberikan batasan novel sebagai karya fiksi

yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan,

dunia imajiner, yang dibangun melalui beberapa unsur instrinsiknya seperti

peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja

bersifat imajiner. Ditambahkan bahwa suasana yang digambarkan di dalam novel

adalah sesuatu yang realitis dan masuk akal. Kehidupannya digambarkan bukan

hanya sebatas kehebatan dan kelebihan tokoh (untuk tokoh utama/ yang dikagumi)

tetapi juga digambarkan kekurangannya.

Jika dilihat dari tebal tipisnya halaman dan jumlah kata yang digunakan, serta

jumlah halamannya, Koesno Soebroto dan Sunaryo Basuki (1998:10) memberikan

definisi novel sebagai berikut:

Novel is a long work of fiction that contaiss than 10.000 word. It is more

incidents, settings, characters, and may take place in a long span of time. I

may have more than one theme and more conflicts. Novel tends to expan and

it is very complex in its structure. It does not finish to be read once a seat as

short story because its length develops the character’s problem.

Seperti halnya pendapat Koesno Soebroto dan Sunaryo Basuki, Suminto A.

(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau

lebih. Berdasarkan sifatnya (cerita rekaan) bersifat ekspan, meluas yang

menitikberatkan pada kompleksitasnya. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca

dalam sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerpen. Dalam novel juga dimungkinkan

adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang. Sementara itu, Goldmann

(dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), memandang karya sastra dalam kapasitas

sebagai manifestasi aktivitas kultural. Ia mengungkapkan bahwa novellah karya

sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara

memadai dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa.

Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel

dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal,

termasuk peristiwa-peristiwa historis.

Nampaknya Goldmann tidak mempersoalkan panjang pendek ukuran jumlah

kata yang harus dituliskan, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah novel secara

leluasa mampu menjelaskan dan mencantumkan segala aktifitas mental dan

kesadaran sosial. Kepadanya dituntut adanya rekonstruksi gejala sosial, perilaku

impersonal, dan peristiwa-peristiwa historis yang dialami tokoh-tokohnya dengan

keleluasaan mengelola bahasa.

Melengkapi beberapa pendapat para pakar di atas, Jakob Sumarjo (1994:29)

memberikan batasan novel sebagai cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran

yang luas dapat berarti cerita yang alurnya kompleks, karakter yang banyak, tema

yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

unsur fiksinya saja, misalnya tema, sedangkan karakter, setting, dan lain-lainnya

hanya salah satu saja.

Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar di atas dapat disimpulakan

bahwa novel sebagai cerita fiksi merupakan genre prosa yang dibangun dari

unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki

keterkaitan di antaranya, untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa

sebagai penyampai gagasan pengarang tentang peristiwa hidup dan kehidupan dalam

lingkup kehidupan sosialnya.

b. Struktur Novel

Sebagaimana genre prosa yang lain, novel memiliki unsur pembangun

dari dalam dan dari luar yang dikenal dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur instrinsik novel yang terdiri dari cerita, peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut

pandang, bahasa dan gaya bahasa, serta tema, merupakan unsur - unsur yang

mewujudkan novel.

Unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun novel dari luar

yang tidak menjadi bagian di dalam novel tersebut. Namun, unsur ekstrinsik cukup

memiliki pengaruh dalam terwujudnya totalitas konstruksi cerita yang dibangun.

Menurut Wellek dan Werren (1989:75) antara lain adalah subjektivitas individu

pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup, yang kesemuanya

itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah

psikologi pengarang dalam proses kreatifnya, psikologi pembaca, maupun penerapan

(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ekonomi, politik, dan sosial, pandangan hidup, dan lain sebagainya juga turut

mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya.

Novel sebagai sebuah cerita rakaan memiliki konvensinya sendiri yaitu

konvensi sastra yang memiliki “watak otonom”. Seperti yang ditegaskan Teeuw

(1988:11) bahwa karya sastra merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri

sendiri, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh, setia pada dirinya

sendiri. Clara Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989:282) menyatakan bahwa

novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu

ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan indah, menggambarkan

apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi. Oleh sebab itu, pemahaman

terhadap novel selayaknya menimbang keutuhan dan kebulatan struktur cerita

sebagai keutuhan konstruksi bangunan karya dalam lingkaran unsur-unsur naratif

sebagai elemen fiksional yang membangun totalitas karya.

Burhan Nurgiyantoro (2002:4) berpendapat bahwa, novel adalah karya fiksi

yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan,

dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur instrinsik seperti peristiwa,

plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, yang semuanya tentu bersifat imajiner.

Lebih lanjut, Burhan Nurgiyantoro (2002:10-11) membedakan cerpen dengan novel

yaitu: (1) novel lebih panjang dari cerpen, cerpen selesai dibaca dalam sekali duduk,

suatu hal yang tidak mungkin diperlakukan sama dengan novel; (2) cerpen

mempunyai plot tunggal, sedangkan novel umumnya lebih dari satu plot; (3) setting

dalam novel lebih detail, dalam cerpen pelukisan setting hanya garis besarnya saja;

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tema tambahan; (5) kepaduan dalam cerpen lebih mudah tercipta, sedangkan dalam

novel lebih sulit karena novel biasanya terdiri dari beberapa baris sehingga sulit

mencari kepaduan dalam novel. Burhan Nurgiyantoro membagi unsur instrinsik

novel menjadi beberapa unsur, yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar,

sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.

Foster (1980:19) membagi unsur novel menjadi enam, yaitu: (1) cerita; (2)

manusia; (3) plot; (4) khayalan; (5) ramalan; dan (6) irama. Unsur-unsur cerita,

manusia, khayalan, dan ramalan dapat mewakili istilah yang lebih populer yaitu:

jalan cerita, karakterisasi, suspense, dan foregrounding. Dalam cerita fiksi

ditambahkan ramalan terhadap peristiwa yang terjadi pada masa yang akan datang.

Sementara Boulton (1984:29-45) membagi struktur novel menjadi enam, yaitu: (1)

point of fiew; (2) plot; (3) character; (4) percakapan; (5) latar dan tempat kejadian;

dan (6) tema.

Melengkapi beberapa pendapat tentang struktur novel, Jakob Sumardjo

(1982:11) menyebutkan bahwa struktur novel terdiri dari: (1) plot atau alur; (2)

karakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau latar; (5) suasana; (6) gaya; (7)

sudut pandang penceritaan.

c. Unsur-Unsur Novel

Berikut ini dijabarkan beberapa unsur instrinsik sebagai pembangun novel

yang berkaitan dengan pengkajian sosiologis, budaya, dan resepsi sastra.

1) Tema

(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seringkali diformulasikan sebagai ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang

melatarbelakangi penciptaan sebuah karya fiksi. Karya sastra merupakan refleksi dari

kehidupan masyarakat, maka tema yang diusung di dalamnya menjadi sangat

beragam, seberagam permasalahan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tema

dalam karya fiksi dapat berupa persoalan moral, agama, sosial, politik, hukum, cinta,

serta masalah-masalah kehidupan.

Kenney (dalam Herma J. Waluyo, 2009:11)) menyebut tema sebagai “ the

meaning of the story” , dengan penjelasannya: “ Theme is not closely approach the

meaning of the moral of story, it is not the subject, it is not what people have in mind

when they speak of what the story really means, not what the story illustrates” . Jika

Kenney menyebut tema bukan moral cerita, bukan subjek, dan bukan sebuah hidden

meaning, makna tersembunyi, maka tema dinyatakan sebagai “ theme is meaning the

story releses; it may be the meaning the story discovers. By theme we mean the

necessary implications of the whole story, not a saparable part of a story” .

Pemahaman tema tidak akan dapat dicapai tanpa memahami keseluruhan cerita

secara holistis, secara bulat/utuh.

Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986:142), tema merupakan

gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks

sebagai struktur semantis yang menyangkut persamaan-persamaan atau

perbedaan-perbedaannya. Di samping itu, penentuan tema juga harus mendasarkan pada

pengertian bahwa kebermaknaan sebuah cerita yang secara khusus menerangkan

yang sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana (Stanton, 1965:21).

(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

utama (central of idea) dan tujuan utama dari cerita itu sendiri (central purpose).

Tema dalam sebuah novel dapat diungkapkan melalui banyak cara, seperti

lewat dialog antartokoh, melalui konflik yang dibangun, atau melalui narasi dan

komentar langsung dari pengarangnya. Di sini pengarang diuji keberhasilannya

dalam menyampaikan dan mengemas tema dari upaya menyeleksi dan merekam

kejadian yang ada di masyarakat.

Penggolongan tema menurut Herman J. Waluyo (2009:12) dibedakan ke

dalam lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema

sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); (5) tema divine (tema ketuhanan). Tema yang

bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik

manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan

perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut

soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, politik,

ekonomi, adat, tatacara dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan

problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual. Sedangkan tema devine

(Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat relejius yang menghubungkan

manusia dengan penciptanya.

Adapun penggolongan tema menurut Burhan Nurgiyantoro (1998:77)

dibedakan ke dalam: (1) tema tradisional dan nontradisional; (2) penggolongan tema

yang didasarkan pada tingkat pengalaman jiwa menurut Shippley, dan (3)

penggolongan tema dari tingkat keutamaannya (tema utama dan tema tambahan).

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya

(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berbagai cerita. Tema tradional biasanya dapat dinyatakan dalam

pernyataan-pernyataan sebagai berikut: (1) kebenaran dan keadilan selalu mengalahkan

kejahatan; (2) tindak kejahatan meski ditutup-tutupi akan terbongkar juga; (3) tindak

kejahatan atau kebenaran masing-masing akan memetik hasilnya; (4) cinta sejati

menuntut pengorbanan; (5) kawan sejati adalah kawan di masa duka; (6) setelah

menderita orang baru mengingat Tuhan; (7) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang

ke tepian, dan sebagainya. Simpulannya, menurut Meredith dan Fitzgerald (1972:6),

tema tradisional itu selalu bermuara pada rentangan antara kebenaran dan kejahatan.

Shippley (1962:417) mengungkapkan beberapa tingkatan tema yang

didasarkan pada pengalaman kejiwaan. Tingkatan tema yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

Tema tingkat fisik (man as molecul), tema fiksi dalam tingkat ini lebih

banyak pada banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan, yang menekankan pada

mobilitas fisik daripada psikologis yang dikembangkan dalam teks cerita. Tema

tingkat organik (man as protoplasm), tema jenis ini lebih mengarah pada persoalan

seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Dalam

banyak problem kehidupan seksual manusia mendapat penekanan pada karya fiksi.

Tema tingkat sosial (man as socious) manusia dipandang sebagai makhluk sosial.

Kehidupan bermasyarakat, karena itu merupakan wahana manusia dalam berinteraksi

secara maksimal. Dalam kehidupan itulah muncul banyak konflik dan muncul

problem sosial yang sering diangkat menjadi tema dalam novel. Tema tingkat egoik,

manusia dipandang sebagai individu (man as individualism). Persoalan individualitas

(43)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Masalah individualisme ini menyangkut masalah: egoisitas, martabat, harga diri,

sikap, maupun sikap tertentu yang berkait dengan individualitas seseorang.

Tingkatan tema terakhir adalah tema tingkat devine. Manusia sebagai makhluk

tingkat tinggi, yang tidak semua orang dapat mencapainya. Masalah yang menonjol

dalam cerita fiksi adalah komunikasi intensif manusia dengan sang Khaliq-Nya.

Dalam karya-karya inilah nilai sufistik dan relegiusitas mencapai titik puncak.

Sebuah pengungkapan gambaran, visi, dan keyakinan yang adiluhung.

Pengelompokan terakhir adalah tema mayor (tema utama) dan tema minor (tema

tambahan). Tema mayor adalah tema yang menyaran pada tema pokok cerita yang

menjadi dasar atau gagasan dasar dalam pengembangan cerita di dalam novel;

sedangkan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu (peristiwa), tema

yang demikian dimaksudkan sebagai tema tambahan.

Stanton (1965:27) mengemukakan langkah-langkah menafsirkan tema

sebagai berikut:

Pertama, menafsirkan tema dalam karya fiksi mestinya mempertimbanngkan

setiap detil yang ada dalam cerita (utamanya yang menonjol). Parameter ini

merupakan yang paling urgen. Sebab, identifikasi terhadap persoalan yang menonjol

dalam cerita fiksi umumnya menunjukkan bagaimana cerita dikembangkan dari

konflik-konflik yang dibangun pengarang. Karena, detil-detil itu akan mencakup

pada pusaran masalah utama. Sebuah muara cerita yang harus ditelusuri secara

intensif.

Kedua, penafsiran sebuah tema dalam karya fiksi mestinya tidak

(44)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memberikan detail yang bertentangan dan saling kontradiksi dalam menjalin

kebulatan tema.

Ketiga , penafsiran tema mestinya tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang

kurang akurat (tidak baik penyajiannya) baik langsung maupun tidak langsung.

Sebab, tema cerita tidak bisa hanya mendasarkan pada perkiraan pembaca saja,

sebaliknya harus melalui proses kajian yang intensif.

Keempat, penafsiran dalam karya fiksi mestinya mendasarkan pada

bukti-bukti yang secara langsung ada di dalam cerita. Parameter ini mempertegas bahwa

penetapan tema haruslah didasarkan pada bukti-bukti yang ada dalam cerita, baik

langsung maupun tidak langsung. Kesimpulan yang diambil karenanya tidak boleh

bertentangan dengan bukti dan fakta-fakta yang ada.

Berpijak pada beberapa pendapat para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan,

bahwa tema novel pada hakikatnya adalah gagasan dasar dalam sebuah novel. Dan

dari tema inilah dari sudut pandang pengarang digunakan sebagai kompas pemandu

dan pengembangan sebuah cerita. Sebaliknya, sebagai pembaca justru harus dirunut

dari segala sudut dan aspek dari cerita yang didasarkan pada komponen fiksi yang

membangunnya.

2) Tokoh dan Penokohan

Kata penokohan merupakan kata jadian dari kata tokoh, yang berarti

“pelaku”. Dengan demikian , pengertian tokoh merujuk pada aktor yang ada dalam

cerita fiksi. Berbicara tentang penokohan berarti merujuk pada apa yang disebut

(45)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengarang dalam menampilkan pelaku melalui sifat, sikap, dan tingkah laku pemain

dalam novel. Dalam bahasa Jones (1968:33) penokohan dimaksudkan sebagai

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam cerita

fiksi; sedangkan menurut Stanton (1968:), istilah perwatakan itu sendiri merujuk

pada dua konsep yang berbeda: (1) sebagai tokoh–tokoh yang ditampilkan, dan (2)

sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki para

tokohnya.

Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi berfungsi untuk memainkan cerita, di

samping juga untuk memainkan ide, motif, plot, dan tema yag sedang diangkat oleh

pengarangnya. Semakin berkembang aspek psikologisnya, semakin mengukuhkan

pentingnya kajian menarik berkaitan dengan tokoh dan penokohan dalam cerita fiksi.

Menjadi alasan penting akan peranan tokoh-tokoh cerita sebagai bagian yang

ditonjolkan pengarang (Jakob Sumardjo, 1986:63). Konflik-konflik yang terdapat

dalam cerita fiksi mendasari plot yang pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari

peran dan karakter para tokohnya.

Penokohan merupakan salah satu unsur novel yang menggambarkan keadaan

lahir maupun batin seorang tokoh atau pelaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa

pelukisan pelaku dapat dilaksanakan dengan menceritakan keadaan fisik dan psikis

pelaku. Dalam menampilkan tokoh cerita, pengarang dapat melakukan dengan cara

analitik, dramatik, dan gabungan antara keduanya. Cara analitik digunakan oleh

pengarang untuk mengungkapkan atau menguraikan sifat-sifat pelaku secara

langsung. Sementara itu, dramatik ialah cara yang dipergunakan oleh pengarang

(46)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lingkungan pelaku; melukiskan dialog antara pelaku dengan pelaku, atau dialog

pelaku lain tentang pelaku utama; menampilkan pikiran-pikiran pelaku atau pendapat

pelaku lain tentang pelaku utama; dan menceritakan tingkah laku setiap pelaku.

Cara lain yang dipergunakan pengarang dalam menampilkan pelaku atau

penokohan adalah dengan: a) Physical description, yaitu melukiskan bentuk lahir

para pelaku; b) Portrayal of thought stream or consious tought, yaitu melukiskan

jalan pikiran para pelaku; c) Reaction to events, yaitu melukiskan reaksi pelaku

terhadap kejadian yang ada; d) Direct to author analysis, yaitu pengarang secara

langsung menganalisis watak pelaku; e) Discussion of environtment, yaitu

pengarang menggambarkan keadaan yang ada disekitar para pelaku; f) Reaction of

others to-character, yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku lain

terhadap pelaku utama; g) Conversation of other about character, yaitu pengarang

melukiskan percakapan pelaku lain mengenai pelaku utama (Tasrif dalam Mochtar

Lubis, 1983:11).

Pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan

tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiganya biasanya digunakan

bersama-sama. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analitis yang oleh Hudson (1963:146)

disebut metode langsung dan oleh Kenney (1966:34) disebut metode deskriptif atau

diskursif; (2) metode tidak langsung yang juga disebut metode peragaan atau

dramatisasi; dan (3) metode kontekstual menurut Kenney (1966:36).

Dalam metode analitis atau deskriptif atau langsung, pengarang secara

langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Deskripsi

(47)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(wataknya), dan dapat juga keadaan sosialnya (kedudukan dan pangkat) yang lazim

adalah ketiga-tiganya. Metode tidak langsung atau metode dramatik kiranya lebih

hidup daripada metode deskriptif. Pembaca ingin diberi fakta tentang kehidupan

tokohnya dalam suatu alur cerita dan tidak perlu dibeberkan tersendiri oleh

pengarang. Penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan

fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya.

Metode kontekstual adalah metode menggambarkan watak tokoh melalui

konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh

tersebut. Jika seorang diberi julukan “buaya” misalnya, maka tokoh itu mempunyai

watak yang dapat diwakili oleh perkataan buaya itu. Jika ia digambarkan sebagai

“ular” atau “tikus” atau “keong” atau “rajawali” atau “banteng” maka sebenarnya

pengarang menggambarkan watak tokoh melalui karakter binatang tersebut.

Penggambaran watak itu mungkin secara panjang lebar melalui tingkah laku dari

tokoh-tokoh sindiran tersebut. Kebanyakan cerita rekaan menggunakan tiga metode

sekaligus. Namun demikian, banyak juga yang didominasi oleh salah satu metode

saja.

Penokohan dan perwatakan memiliki keterhubungan yang jalin-menjalin

karena pada dasarnya penokohan yang menggerakkan tema dan membentuk alur.

Tokoh digunakan sebagai penunjuk pelaku atau orang yang mengemban cerita

sedangkan istilah penokohan lebih untuk memberikan gambaran tentang seseorang

yang ditampilkan dalam cerita. Tokoh-tokoh itu memiliki watak yang menyebabkan

terjadi konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita (Herman J.

(48)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:165), tokoh cerita

adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang

oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti

yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Lebih

lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan memiliki cakupan

pengertian yang lebih luas yaitu siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan

bagaimana memberikan penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga

sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Aminuddin (1987:79) berpendapat bahwa tokoh adalah pelaku yang

mengemban peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu menjalin sebuah cerita

Lewat tokohlah pengarang menyampaikan gagasan, pandangan hidup,

idiologi, pikiran, dan perasannya. Itulah sebabnya tokoh dalam fiksi (novel) haruslah

tampak hidup, alamiah (natural), dalam istilah Suminto A. Sayuti (2000:68) memiliki

lifelikeness “kesepertihidupan”. Sehingga dengan lifelikeness tersebut dapat

menghubungkan dengan pembaca karena tokoh dalam novel akan menuntun

pembaca pada pengalaman hidup yang dimiliki yang tidak hanya terbatas pada

persamaan-persamaan tetapi juga pada perbedaan-perbedaan mendasar dari watak

tersebut. Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa pengarang harus mampu secara

konsisten membangun watak tokoh-tokohnya sejak kemunculannya dalam cerita

sampai pada cerita tersebut berakhir.

Jika plot atau alur merupakan roh dari sebuah fiksi, maka aspek tokoh dalam

fiksi pada prinsipnya merupakan aspek yang lebih menarik perhatian. Ketika

(49)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tetapi mempertanyakan “peristiwa yang terjadi kemudian itu menimpa siapa.” Watak

tokoh hendaknya memiliki hubungan dengan elemen cerita yang lain yang

mengukuhkan keterjalinan, seperti plot, setting, tema, dan sebagainya. Keterjalinan

ini tidak berhenti pada elemen cerita saja tetapi juga harus memiliki keterjalinan

hubungan dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Kehadiran tokoh lain (tokoh

antagonis) akan mempertajam kekuatan konflik dalam cerita.

Herman J. Waluyo (2009: 28) menyatakan, bila salah satunya lebih kuat,

maka akan terjadi penurunan tingkatan konflik cerita. Seperti yang diungkapkan

Kenney : “ …. Character in fiction must attend to relationship between character

and the other element of the story, and between character and story as a whole.

Character mus be considered as part of the story’s internal structure”

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh. Menurut Burhan

Nurgiyantoro (2002:165) penokohan diartikan sebagai pelukisan gambaran yang

jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Wellek dan Werren

(1989:288) menyatakan bahwa ada dua macam penokohan yaitu penokohan

statis/tetap dan penokohan dinamis atau berkembang. Penjelasan tersebut

mengantarkan pada kesimpulan bahwa suatu peristiwa akan hidup jika keterlibatan

tokoh ada di dalamnya.

Wellek dan Warren (1989:287) memberi penjelasan bahwa cara paling

sederhana menggambarkan perwatakan tokoh dengan memberi nama, setiap sebutan

adalah sejenis memberi kepribadian, menghidupkan. Ditinjau dari keterlibatannya,

Suminto A. Sayuti (2000:74) membedakan tokoh menjadi dua, yaitu: tokoh utama

Gambar

Tabel 2 Lembar Identifikasi dan Klasifikasi Data dalam Nilai Sosiobudaya
Gambar 2 Bagan Model Analisis Data...........................................................
gambaran, visi,
gambaran semangat zamannya, akan tetapi ketika pengarang menjaring ide untuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

STUDENTS’ PERCEPTIONS ON SCAFFOLDING STRATEGY USED IN EXTENSIVE READING II CLASS OF ENGLISH LANGUAGE EDUCATION STUDY PROGRAM OF SANATA DHARMA UNIVERSITY..

Mengingat bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Bagaimana upaya Polisi dalam mencegah tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku

12 Seorang yang tertarik pada gadis cantik dan menuangkannya dalam lagu 13 Penyanyi yang mengagumi kecantikan sang gadis dan takut kehilanggannya l4lCowok yang ingin mendekati

Setiap jenis atau varietas tanaman memiliki daya ketahanan yang berbeda terhadap konsentrasi kolkisin yang diberikan sehingga suatu metode yang berhasil diterapkan pada suatu

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi masyarakat akan kinerja atribut produk, pada perbankan syariah maupun perbankan konvensional.. Kata Kunci:

hubungan antara sifat akustik durian Berdasarkan data yang diperoleh menunjuk- ngan daging durian memiliii hubungan yang kan bahwa nilai ultrasonik Mo dapat untuk

Untuk identifikasi masalah 2 dianalisis dengan menggunakan model regresi berganda untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor (pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan, pendapatan

Aspek yang perlu dilakukan monitoring dari IPAL sistem anaerobik aerobik yang perlu dilakukan monitoring dari IPAL sistem anaerobik aerobik biofilter ini meliputi