HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Wujud Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme 1.Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme 1.Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme
3. Nilai Etis Jawa
Nilai etis Jawa berkenaan dengan keterikatan manusia Jawa kepada kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan. Dalam bahasa Jawa, hal ini terungkap antara lain dalam konsep atau istilah becik, apik, pakarti, pantes, unggah-ungguh, dan tata krama. Keenam istilah ini membayangkan makna kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan dalam pandangan manusia Jawa. Hal ini bersangkutan dengan etiket dan moralitas, bukan etika sebagai ilmu kritis. Oleh karena itu, ia lebih bersangkutan dengan panduan praksis hidup dan kehidupan yang dipandang ideal bagi manusia Jawa.
Etiket dan moralitas Jawa sebagai panduan praksis hidup dan kehidupan, menggariskan apa-apa yang dipandang baik dan pantas (sopan) dan apa-apa yang dipandang tidak baik dan tidak pantas bagi manusia Jawa sehingga manusia Jawa bisa menjadi manusia sebagaimana diidealkan atau dicitrakan oleh budaya Jawa. Implikasinya, etiket dan moralitas Jawa memberikan atau menyediakan norma-norma etis dan moralitas yang berfungsi sebagai panduan sekaligus tolok ukur taraf/kadar kebaikan manusia Jawa dalam kehidupan mereka sehingga mereka mampu menjadi manusia Jawa yang ideal sehingga akan memberikan panduan
kepada manusia Jawa untuk bertanya kepada dirinya: mau menjadi manusia macam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam budaya Jawa, norma etis dan moral tersebut tampak terangkum ke dalam konsep wis nJawa/ njawani/ngerti, gak/ora nJawa/njawani/ngerti, dan atau durung nJawa/njawani/ngerti (sudah, tidak, dan belum memahami/mengerti atau menjadi Jawa). Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ketiga konsep tersebut menjadi superordinat etiket dan moralitas Jawa. Orang Jawa yang sudah menguasai dalam arti memahami dan mempraktikkan dalam kehidupannya serta memenuhi tuntutan norma etis dan moral Jawa atau kebaikan dan kepantasan Jawa akan disebut wis nJawa/ngerti/njawani. Sebaliknya, orang yang tidak menguasai dalam arti memahami dan mempraktikkan dalam kehidupannya serta memenuhi tuntutan norma etis dan moral Jawa atau kebaikan dan kepantasan Jawa akan disebut ora nJawa/ngerti/njawani. Selanjutnya, anak-anak dan orang baru yang belum menguasai dan memenuhi tuntutan norma etis dan moral Jawa atau kebaikan dan kepantasan Jawa akan disebut durung nJawa/ngerti. Jadi, konsep wis nJawa dan durung nJawa menjadi poros nilai etis Jawa.
Untuk mengetahui berbagai hal yang bersangkutan dengan ihwal kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan menurut pandangan (persepsi) manusia Jawa
yang berporos pada norma-norma wis/ora, durung nJawa. Betapa pentingnya norma
wis/ora, durung nJawa untuk menentukan kadar kejawaan etiket dan moralitas orang direpresentasikan melalui tokoh Jarot, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
Kamu hidup di tanah Jawa. Apa pun agama dan asalmu tetap kamu hidup di tanah Jawa. Oleh karena itu, kamu harus menjunjung tinggi adat dan istiadat Jawa. Jarot masih ingat tuturan Wak Tomo tersebut. Jawa, kenapa dengan Jawa. Jarot mengaku memang belum mengerti Jawa sepenuhnya. Sebenarnya ia pun tak peduli, karena ia tak punya sangkut paut dengan masalah tersebut. Namun, apa yang diungkap Wak Tomo lebih sekadar garis yang harus ia runut ujung pangkalnya. Dalam dirinya seperti terpasang sebuah pisau yang sewaktu-waktu bisa menusuknya, bila ia tidak hati-hati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Ia semakin merasakan kegetiran terhadap beban tersebut, bila ia berada di puncak kegelisahan. Ia seakan-akan dirundung pertanyaan bertubi-tubi tentang diri sendiri. Ia merasa terlalu banyak zat dan unsur yang membentuk dirinya. Dari Wak Tomo, dari Mbah, dari Mas Amin dan dari unsur-unsur lain yang kerap berbisik ke relung jiwanya, dan ia tampik, karena ia merasa tidak punya pegangan. (Mashuri, 2007:106)
Pada satu sisi kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Wak Tomo mengingatkan kepada Jarot bagimana ia harus berperilaku dan bersikap dengan menjunjung tinggi adat-istiadat sebagai kadar kebaikan dan kepantasan sikap, ucapan, tindakan, dan perilaku manusia Jawa. Dan secara tersurat memperlihatkan betapa penting norma wis/ora dan durung nJawa sebagai penentu kadar kebaikan dan kepantasan sikap, ucapan, tindakan, dan perilaku orang Jawa.
Nilai etis Jawa yang bernotasi kebaikan dan kepantasan dapat tereksternalisasi dan termanifestasi dalam kebijaksanaan dan kasih sayang. Dengan kata lain, kebijaksanaan dan kasih sayang menjadi sumbu bagi nilai etis Jawa. Dalam bahasa Jawa, hal ini terungkap dalam istilah kawicaksanan, wicaksana, ber budi bawaleksana, asih ing sasami, welas asih, dan asah asih asuh. Istilah kawicaksanan, wicaksana, dan ber budi bawalaksana memberi isyarat makna kebijaksanaan, sedangkan istilah asih ing sesame, welas asih, dan asah asih asuh mengisyaratkan makna kasih sayang. Nasihat Wak Tomo kepada Jarot dalam kutipan di atas pada dasarnya berintikan nasihat tentang bagaimana bersikap, berbahasa, dan berperilaku sebagai manusia Jawa tidak memandang apa pun agama yang dianut Jarot. Metaforis dari nasihat yang diberikan Wak Tomo tersebut sesungguhnya nasihat yang tidak hanya diberikan kepada Jarot, lebih dari itu nasihat kepada pembaca novel Hubbu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a Wujud Nilai Kebijaksanaan Manusia Jawa
Nilai kebijaksanaan Jawa di sini berkenaan dengan kearifan, kebajikan, kecermatan ketajaman, kecakapan, kecendekiaan, dan kepandaian (budi atau hati) manusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya. Dalam bahasa Jawa, nilai kebijaksanaan antara lain terungkap dalam istilah wicaksana, ber budi bawaleksana, triwinasis, jembar atine, dan padang atine. Makna denotatif wicaksana adalah bijaksana, ber budi bawaleksana adalah bermurah hati dan teguh memegang janji, triwinasis adalah kecakapan, jembar atine adalah luas hati, dan padang ati adalah terang atau kecerahan hati. Kelima istilah ini memberikan makna kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini dipandang sedemikian penting oleh manusia Jawa, terbukti
manusia Jawa selalu dianjurkan untuk ngudi kawicaksanan, mengusahakan
kebijaksanaan dalam hidupnya agar mereka mampu mencapai atau menjadi manusia
bijaksana atau utama, manungsa utama atau manungsa wicaksana. Manusia
bijaksana di sini adalah manusia yang memiliki kedewasaan jiwa (kadewasan jiwa) sehingga menjadikan tidak khawatir akan perubahan keadaan, ora samar obahing kahanan. Hal ini berarti bahwa kadar kebijaksanaan orang bergantung pada kadar kedewasaan jiwa. Agar kadar kedewasaan jiwa bermutu tinggi, manusia Jawa antara lain perlu mengendalikan nafsu, mengembangkan mutu kepribadian atau budi, dan
meningkatkan mutu hidup (mupus hawa nepsu).
Jarot, meski masih belum dewasa sudah diajari oleh Wak Tomo, seorang tokoh kebatinan di Desa Alas Abang, agar dalam hidupnya selalu melakukan tirakat dengan lakubroto, topobroto dengan puasa patigeni, ngebleng, mutih, ngalong untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menguasai nafsu dan meningkatkan nafsunya. Dikemukakanlah oleh Jarot, sebagai berikut.
Dari Wak Tomolah aku kenal tentang Jawa dari sisi yang berbeda, lebih pada soal yang berbau klenik, atau sebenarnya bukan klenik, atau sebenarnya bukan klenik, tetapi warga desa menyebutnya demikian. Aku juga diajari patigeni, ngebleng, mutih, ngalong, juga berbagai hal termasuk juga ilmu silat berlandaskan ilmu-ilmu Jawa. Semua itu aku pelajari dengan Jabir di tegalan. Saat tengah malam. Berderap dan bergulat dengan lumpur bila sedang hujan. Terus mendaras satu sentuhan, satu tekukan, untuk menghapal, meniru dan menghayati satu jurus saja. Ah, satu hasrat yang tiba-tiba menggeliat. Aku merasakan tubuh dan jiwaku dibakar geletar aneh. Merayap pelan, hangat menyulut bara nyaliku yang lama diam dan bisu
Pergulatanku dengan Wak Tomo memang tak sampai satu tahun. Tetapi ada satu hal yang masih tetap mengganjal, yakni soal Sastra Gendra. Sampai Wak Tomo wafat, ia belum sempat mengucap satu patah kata saja sebagai kunci untuk mengetahui ungkapan yang pernah ia sebutkan: sebagai puncak pencapaian laku dan pengetahuan manusia di bumi. (Mashuri, 2007:41) Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Wak Tomo mengajarkan kepada Jarot untuk mengendalikan dan menguasai nafsu, meningkatkan mutu nafsu, dan mengembangkan budi untuk mencapai puncak pencapaian laku manusia di bumi. Orang yang menguasai nafsu adalah orang yang berhati tenang, berwajah tenang dan berseri-seri sehingga tidak khawatir akan apa yang dihadapi dalam perubahan dunia. Dengan belajar ilmu Sastra Gendra, orang akan menjadi bijaksana, sehingga orang tersebut mampu menguasai hawa nafsunya dan mengembangkan budi adalah orang yang tahu diri, berbaik sangka, penuh ketenangan dan kejernihan jiwa dan pikiran. Dengan kualitas seperti tersebutlah, manusia Jawa dapat disebut bijaksana. Manusia Jawa bijaksana ini niscaya mampu bersikap, berucap, bertindak, dan berperilaku menepati janji atau bersungguh hati, adil atau tidak pilih kasih, mengerti atau bisa merasakan orang lain, berlapang dada, berendah hati, dan bertenggang rasa dengan orang lain. Dengan kata lain, sikap, ucapan, tindakan, dan perilaku tersebut akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mampu direalisasikan oleh manusia Jawa yang bijaksana. Implikasinya adalah bahwa manifestasi dan eksternalisasi nilai kebijaksanaan manusia Jawa meliputi nilai tepat janji, adil/ tidak pilih kasih, lapang dada, rendah hati, tenggang rasa/toleransi. Nilai-nilai tersebut perlu dihayati, dipahami, dan ditunaikan oleh manusia agar Nilai-nilai kebijaksanaan manusia Jawa dapat terwujud, terjaga, dan terjamin adanya.
b Wujud Nilai Tepat Janji
Nilai tepat janji manusia Jawa ini berkaitan dengan konsekuen, jitu, dan terlaksana pada janji manusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya. Dalam bahasa Jawa, hal ini tereksternalisasi antara lain dalam istilah sabda pandita ratu tan kena wola-wali, ber budi bawaleksana, netepi ilat-ulat-ulah, temen, dan tenanan. Makna denotatif sabda pandita ratu tan kena wola-wali adalah sabda atau kata-kata pemimpin atau raja tidak boleh berubah-ubah, ber budi bawaleksana adalah bermurah hati dan teguh memegang janji, netepi ilat-ulat-ulah adalah menepati ucapan-sikap-perilaku, temen adalah jujur pada janji sendiri, dan tenan(an) adalah sungguh-sungguh hati terhadap janji. Semuanya menyiratkan makna ketepatjanjian/ kesungguhhatian. Dalam pandangan etis Jawa tepat janji ini dipandang demikian penting sehingga setiap manusia Jawa perlu menjunjung tinggi. Maka, manusia Jawa baik pemimpin maupun orang awam pada umumnya diharapkan mampu bertepat janji atau bersungguh-sungguh hati. Agar tepat janji dapat terwujud, terjaga, dan terjamin, para pemimpin diharapkan mampu konsekuen dengan dan melaksanakan sabda pandita ratu tan kena wola-wali, ber budi bawaleksana, dan netepi ilat-ulat-ulah, sedangkan masyarakat awam diharapkan mampu netepi ilat-ulat-ulah, temen, dan tenanan dalam hidup dan kehidupannya. Baik pemimpin maupun masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id awam tidak boleh mengingkari atau mengkhianati janji, berdusta, dan berubah-ubah hati atas janji atau selalu berkata yang tidak dapat dipegang kebenarannya. Mengingkari janji, bermanis janji hanya di mulut, berdusta/berbohong, dan berkata yang tidak dapat dipegang kebenarannya berarti tidak konsekuen dengan janji dan tidak melaksanakan janji.
Jarot, sebagai seorang anak yang telah dipersiapkan untuk meneruskan kepemimpinan pondok karena memiliki kelebihan ( linuwih) dibanding anak-anak seusianya sudah diajari untuk menepati ucapan-sikap-perilaku (netepi ilat-ulat-ulah), jujur (temen), dan sungguh-sungguh terhadap janjinya sendiri (tenanan). Segala ucapan, sikap dan perilakunya harus bisa dipertanggungjawabkan sehingga Jarot bisa menghayati, memahami, dan menafsirkan ucapan, sikap, dan perilakunya ketika Jarot
dianggap bersalah karena sudah belajar ilmu Jawa kepada Wak Tomo, maka dengan
jujur Jarot mengakui apa yang dilakukannya meski ia merasa bahwa apa yang dilakukan dengan Wak Tomo belum tentu salah. Maka untuk menebus kesalahan yang ditimpakan kepadanya, Jarot harus menebusnya dengan menjalani karantina yang diisi dengan menghapal doa-doa dan wirid yang jumlahnya lebih dari tiga ratus halaman. Perhatikan kutipan panjang berikut.
Dalam sidang itu, ia didesak keluarga agar melucuti apa yang telah diberikan Wak Tomo kepadaku. Mas Amin sendiri langsung mengatakan di depan sidang keluarga tentang kesanggupannya. Katanya, aku belum waktunya belajar begituan, serta apa yang dilakoni Wak Tomo menyimpang dari ajaran kebenaran. Itu klenik dan klenik adalah haram.
Hari-hariku pun kuisi dengan melahap doa berbahasa Arab yang sejak kecil memang sudah terpatri dan diajarkan. Suatu ketika aku sampai klenger doa, mabuk dan hampir tak sadarkan diri, ketika semua rangkaian itu aku jadikan satu dan kubaca semua. Mungkin bukan karena keranjinngan tetapi aku merasa bersalah, lebih tepatnya merasa dipersalahkan dan tak bisa membela diri, sehingga pemberontakanku pun terkesan naif. Akhirnya aku membatasi diriku sendiri. Rasa bersalah pada diriku tak harus aku tebus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan menyakiti diri sampai ambang batas, sebab aku memang belum tentu benar-benar bersalah. Tak ada hukum yang tegas untuk memvonis tindakanku bersalah selain hasil sidang keluarga. (Mashuri, 2007:43-44)
Jarot pun dengan jujur dan benar mengakui kesalahan-kesalahannya ketika berada di kehidupan metropolitan di tengah berbagai perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang telah menjadikan Jarot mengikuti alur kehidupan kota metropolitan yang memilliki norma longgar. Maka, ketika Jarot sudah melakukan hubungan intim dengan Agnes pada suatu malam yang dia baru sadari kejadian itu setelah keesokan harinya didapati dia dan Agnes berada dalam satu ranjang dengan pakaian yang sudah tidak pada tubuh keduanya, Jarot berusaha, bersikap, dan berlaku temen, netepi ilat-ulat-ulah terhadap apa yang sudah dilakukannya dengan Agnes.
“Jika dulu, aku tidak mengatakan kepadamu bahwa zinah termasuk dosa besar, karena aku tak ingin kau tersinggung. Jika sekarang aku berkata begitu, hal ini merupakan bukti aku telah keliru. Aku merasa kebaikanku selama ini tak ada artinya bagiku ….” Tutur ayahmu.
Aku pendosa, itulah pengakuanku. (Mashuri, 2007:166)
…. Aku baru merasa bisa, belum bisa merasa, buktinya aku tertelan godaan duniawi, terutama tergoda oleh godaan daging Agnes. Kesadaranku tergadai. Aku terlantak. Agnes tidak bersalah, akulah yang bersalah. (Mashuri, 2007:168)
Dan aku tak bisa berpaling dari kenyataan. Aku harus bertanggung jawab, meski risiko yang harus aku terima lebih dasyat dari kehancuran duniaku sendiri. Aku harus menanggunng semuanya, meski aku akan dikucilkan keluarga. Aku sudah siap untuk itu. (Mashuri, 2007:169)
Penggalan teks di atas menggambarkan bagaimana Jarot berusaha
bersungguh hati atau berteguh janji, temen dan bawaleksana. Kesungguhhatian atau keteguhjanjian ini demikian penting bagi Jarot sehingga memedulikan Agnes dengan membawa Agnes pergi ke Ambon untuk dinikahi di catatan sipil, meski kemudian Jarot baru tahu bahwa Agnes telah hamil dengan pacarnya Willy sebelum mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berhubungan intim. Meski demikian bukan berarti Jarot menjadi membenci Agnes, justru Jarot memperlakukan Agnes lebih dari segalanya. Kutipan berikut sebagai buktinya.
Pelarian ayahmu ke Ambon Maluku dengan agnes adalah salah satu cara ia menghukum dirinya sendiri. Ia mengasingkan diri, seperti hukum orang yang telah berbuat nista dalam berzinah. Tetapi ia memperlakukan Agnes lebih dari segalanya, Agnes pun begitu. (Mashuri, 2007:170)
Pada saat orang melakukan perbuatan terlarang, orang tersebut biasanya akan berdusta atau berbohong untuk menutupi perbuatannya. Sikap tersebut dikatakan munafik. Munafik atau kemunafikan memang merupakan wujud tidak satunya kata dan perbuatan. Perbuatan tersebut merupakan pertanda tidak teguh janji atau sungguh hati yang di dalamnya tersirat adanya dusta dan kebohongan. Tetapi, tidak demikian dengan Jarot. Jarot justru blaka suta tanpa isin menceritakan masalah pribadinya kepada Teguh sahabatnya. Sikap ini diambil Jarot sebagai wujud ketepatjanjiannya untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan kepada Agnes. Perhatikan kutipan berikut.
Ia termasuk orang yang bisa menutupi rahasia pribadi kepada teman-temannya. Meski ia menderita, tak ada orang yang tahu. Untuk persoalan yang satu ini, ia hanya berkisah kepadaku, termasuk masalah-masalah yang terkait dengan diri, keluarganya di Alas Abang, tentang pilihan-pilihan pribadi dalam hidupnya. (Mashuri, 2007:176)
Dilema moral menepati janji, bawaleksana, seperti yang dijalani Jarot bukan hal baru dalam budaya Jawa. Dilema moral yang relatif sama dengan yang dialami Jarot cukup banyak terdapat dalam kisah-kisah wayang. Dalam wayang, baik yang bersumber pada Ramayana maupun Mahabharata banyak dikisahkan dilema moral antara menepati janji setia dan taat dan mengikuti atau menegakkan kebenaran. Apa yang dihadapi Dasarata-Rama, Bisma (Dewabrata), Adipati Karna (Basukarna), dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kumbokarno-Wibisana, misalnya, adalah dilema moral janji kebenaran. Dilema moral janji yang diucapkan oleh Prabu Dasarata kepada sang istri Dewi Kekeyi telah mengakibatkan Rama, anaknya dari lain ibu yang menjadi pewaris sah kerajaan Ayodya, mengalami pembuangan ke hutan Dadaka selama empat belas tahun. Dengan tulus ikhlas Rama pergi menyingkir ke hutan Dadaka agar Bharata dapat naik tahta sesuai dengan janji yang diberikan Dasarata kepada Kekayi, Rama tidak mau kembali ke Ayodya sekalipun sudah dijemput dan dipaksa oleh Bharata. Demikian juga sumpah dan janji Bisma/Dewa Brata kepada Dewi Durgandini untuk merelakan hak tahta kerajaan Astina dimiliki oleh anak-anak yang dilahirkan Durgandini menyebabkan dia harus hidup melajang, wadad. Sumpah janji tersebut sungguh-sungguh dipegang teguh oleh Bisma sehingga mengorbankan hak-haknya, hak menjadi raja dan hak kawin dengan perempuan. Di sini Bisma lebih mendahulukan ketepatjanjian daripada kebenaran ontologis sebagai pewaris tahta Astina.
Sumpah dan janji setia (prasetya) Basukarna/Adipati Karna/Patih Suwanda kepada Kurawa khususnya Duryudana telah menyebabkan dia berperang dengan adik-adiknya dari Pandawa yang diketahuinya di pihak yang benar. Bagi Basukarna, memegang teguh janji dan melaksanakan sumpah janji yang telah diucapkan kepada pihak yang telah mengangkat derajatnya jauh lebih utama daripada mengikuti atau memihak kebenaran pihak yang telah menghinakannya, sekalipun pihak itu adik-adiknya sendiri. Oleh karena itu, meskipun tahu akan kalah dan mati, tanpa ragu-ragu Basukarna berperang melawan adik-adiknya untuk menjemput ajalnya sendiri. Adapun sumpah janji setia dan taat Kumbokarna sebagai satria untuk selalu membela
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kerajaan Alengka telah membuatnya berada di pihak yang jelas diketahuinya salah dan “membiarkan” pihak Rama yang diketahuinya benar. Dikatakan demikian karena ikut membela Alengka berarti juga berada di belakang Rahwana yang salah, jahat, bahkan juga dicelanya pada satu pihak dan pada pihak lain memaksanya bertempur dengan adiknya sendiri, Gunawan Wibisana, yang menyeberang ke pihak Rama demi kebenaran. Keyakinan bahwa Alengka akan kalah dan dia akan menemui ajal dalam perang melawan pasukan Rama tidak membuat Kumbokarna mengingkari janji setia, mblenjani janji, sebagai satria Alengka. Apapun risiko dan akibat yang harus dia terima, dia mencoba bawaleksana dan netepi ilat-ulat-ulah sebagai satria Alengka.
Pilihan sikap dan tindakan moral Dasarata-Rama, Bisma/Dewa Brata, Basukarna/Adipati Karna/Patih Suwanda, dan Kumbokarna-Wibisana yang dilematis tersebut menurut logika modern merupakan sebuah kebodohan, bahkan kesia-siaan karena berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dalam logika Jawa, persoalannya tidak sesederhana demikian, persoalannya bukan sekadar salah dan benar sebagaimana dipersepsi oleh logika modern. Dalam logika Jawa, tepat janji jauh lebih penting untuk dilaksanakan oleh seseorang agar dia disebut manusia berwatak luhur dan bijaksana, bukan sekadar manusia yang benar. Dasarata, Rama, Bisma, Basukarna, dan Kumbokarna memang dapat disebut salah, tetapi mereka tetap layak disebut sebagai figur yang berwatak luhur dan bijaksana.
Demikian juga Jarot, mungkin dapat disebut salah sebagaimana vonis keluarga ketika belajar ilmu Jawa, juga salah ketika lari ke Ambon untuk menikahi Agnes dan meninggalkan Alas Abang dengan beban warisan meneruskan kepemimpinan pondok yang diwariskan kepadanya sebagai pewaris terpilih karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dianggap memiliki linuwih dibanding keturunan Mbah Adnan yang lain, tatapi Jarot adalah laki-laki luhur dan bijaksana karena berusaha menepati janji sekalipun terpenggal dari trah keluarga Alas Abang dan kehilangan warisan sebagai penerus kepemimpinan pondok. Risiko Jarot sama dengan risiko kematian Basukarna dan Kumbokarna. Tampaklah bahwa dalam budaya Jawa moralitas tidak dipahami dan ditafsirkan secara hitam putih, secara kaku.
c Wujud Nilai Pengertian Manusia Jawa
Nilai pengertian manusia Jawa yang dimaksudkan adalah kemampuan menyelami, memasuki, menangkap, dan merasakan perasaan, pikiran, hati, keberadaan, kepribadian, keadaan, kesedihan, dan penderitaan orang lain. Dalam bahasa Jawa pengertian ini dimaknai atau diistilahkan dengan pangerten yang
mempunyai makna menjadi mengerti. Istilah lain yang mendukung makna pangerten
adalah lantip bermakna tajam hati yang didukung oleh kecerdasan pikiran dan sikap