LANDASAN TEORITIS, PENELITIAN YANG RELEVAN. DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoritis
3. Hakikat Sosiologi Sastra
Pada subbagian ini dibahas beberapa hal tentang: (a) sosiolosi sastra, (b) aspek budaya, (c) konsep sinkretisme sebagai aspek sosial budaya, dan (d) hermeunetik sebagai tafsiran teks sastra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Sosiologi Sastra
Sosiologi jika dilihat dari objek kajiannya mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan suatu segi khusus masyarakat. Sosiologi terutama berhubungan dengan sendi-sendi tentang interaksi antara manusia, syarat-syaratnya, dan akibat-akibatnya. Mengajarkan bagaimana hidup berkawan, bermasyarakat, atau bagaimana mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan dengan siapa ia mengadakan interaksi (D.A. Wila Huki, 1986:31).
Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri dalam keterasingan, melainkan hidup dengan manusia lain dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Mereka mengaitkan diri lebih dekat dengan beberapa orang daripada yang lain dan mengembangkan perasaan bersama dengan mereka serta lingkungan geografis di mana mereka tinggal. Seperti yang dipaparkan Piaget (dalam Goldman, 1981:6) bahwa manusia di dalam hubungannya dengan masyarakat mencoba mendapatkan keseimbangan antara masyarakatnya dengan lingkungan hidupnya, bertentangan tetapi cepat/ lambat proses saling melengkapi akan terwujud. Pendapat Goldman di atas dipertegas Faruk (2005:13), bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya yang selalu berada dalam proses strukturisasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi sekaligus saling isi-mengisi.
Tak berbeda dengan sosiologi, sastra juga berbicara tentang manusia dalam masyarakat, usaha manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sastra juga membicarakan hubungan manusia dengan keluarga, lingkungnnya, politik, negara, idiologi, dan perilaku sosialnya. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id gambaran struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (Maman S. Mahayana, 2005:335).
Pengarang adalah anggota masyarakat yang hidup dan berelasi dengan masyarakat lain di lingkungannya. Sastra sebagai produk dari pengarang dapat dikatakan terikat dengan masyarakat (Jakob Sumardjo, 1985:15). Pengarang dalam keterikatannya dengan masyarakat mengungkapkan kondisi sosialnya secara impresionis, diformulasikan dengan pandangan tertentu, atau bahkan memberikan reaksi sebaliknya. Karya sastra dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya, akan tetapi ketika pengarang menjaring ide untuk mengambil bahan dari lingkungan masyarakatnya, baik kondisi kultur, pandangan hidup, dan selera masyarakatnya tidak mesti digambarkan apa adanya, hal ini dapat ditafsirkan sebagai masyarakat dalam karya yang bersangkutan yang berkaitan dengan latar sosio-budaya pengarangnya. Dengan demikian sosiologi berfungsi sebagai alat bantu untuk memahami berbagai aspek sosial yang menjadi muatan karya sastra.
Novel sebagai salah satu genre prosa kiranya menjadi tempat yang tepat untuk biasan-biasan dari kenyataan sosial yang ada di sekitarnya. Dengan dukungan bahasa dan susunan kalimat yang demikian dapat memferbalkan, menggambarkan, dan menafsirkan bentuk-bentuk tindak perilaku dari tokoh-tokoh yang berperan dalam serangkaian jalinan cerita. Grebstain (dalam Maman S. Mahayana, 2005:338) mengungkapkan: pemahaman atas karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang menghasilkannya. Dikatakannya juga bahwa karya sastra adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.
Pernyataan Grebstain memberikan isyarat bahwa perlunya mengkorelasikan faktor sosio-budaya dalam upaya memahami karya sastra secara lengkap. Melihat gelagat demikian kiranya sosiologi akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono (1984:8) memberi penegasan bahwa tanpa sosiologi pemahaman tentang sastra belumlah lengkap.
Penelitian sosiologi sastra sudah banyak dilakukan oleh ahli sastra. Sastra dijadikan sebagai objek kajian karena sastra dianggap sebagai produk dari masyarakat. Sosiologi sastra menurut Umar Junus (1986:2) adalah pendekatan yang menghubungkan antara struktur karya sastra dengan masyarakat. Keterjalinan karya sastra dengan masyarakat tidak akan berhenti sepanjang masa. Menurut Eagleton ( dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:34), karya sastra selalu ditulis kembali pada zamannya, meskipun tidak secara disadari.
Sapardi Djoko Damono (1984:2) mengungkapkan bahwa ada dua kecenderungan dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan ceminan proses sosial ekonomi belaka. Menurutnya, pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungan dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Tambahnya lagi, dalam penelitian ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Pendekatan yang kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sosial di luar sastra.
Wellek dan Warren (1989:110-111) membuat klasifikasi sosiologi sastra menjadi tiga, yaitu: Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut pengarang termasuk sikap hidup dan latar belakangnya. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan tentang karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuannya atau apa yang hendak disampaikan. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Klasifikasi yang dimunculkan Wellek dan Warren tersebut tidak banyak berbeda dengan klasifikasi yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 1984:3-4) merancang telaah sosiologi sastra yang mencakup: Pertama, konteks sosial pengarang, yang berkaitan dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan pembaca. Dalam pokok masalah ini termasuk faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mengetahui isi karyanya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat yang mengkaji masalah sampai di mana sastra dianggap sebagai cermin dari keadaan masyarakat. Dalam kajian ini sastra tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra tersebut ditulis, sebab ciri-ciri masyarakat yang dimunculkan dalam karya sastra tersebut sudah tidak berlaku lagi pada saat ditulis. Ketiga, fungsi sosial sastra yang memasalahkan sampai seberapa jauh nilai sastra yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai sarana pendidikan masyarakat pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Berpijak pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan deskripsi yang utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan sebagai penghasil karya, karya sastra, dan masyarakat. Karena pendekatan sosiologi terhadap karya sastra bertolak dari anggapan bahwa karya sastra adalah cermin dari zaman di mana karya tersebut diciptakan.
b. Aspek Budaya
Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (2006:25), budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Lebih lanjut, Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan, budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa”
itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
“individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang, dan “ kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sementara itu, Sady Telaumbanua (2007:1) menerangkan budaya adalah sebuah aktivitas, respon ,jawaban atas persoalan hidup sekaligus sebagai pedoman, arah, kompas dalam bertindak atau berperilaku.
1) Nilai Budaya
Salah satu aspek penting yang selalu menjadi perhatian pakar budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan nilai budaya. Konsep ini menjadi sentral ketika berbicara tentang budaya. Tidak sedikit pakar budaya yang mengatakan bahwa roh sebuah kebudayaan sebenarnya terletak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Orang dapat saja menciptakan karya monumental dalam bidang budaya, katakanlah rumah adat, adat-istiadat, dan sebagainya, tetapi jika karya-karya itu tidak memuat nilai-nilai tertentu, ia sama saja dengan mesin-mesin atau robot yang kering akan nilai-nilai budaya.
Istilah nilai sering disebut dan dipakai baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan akademis. Akan tetapi, pengertian nilai yang dapat dikatakan berwibawa dan berterima oleh semua pihak, disiplin ilmu, dan pengetahuan relatif sukar. Tampaknya memang belum ada pengertian nilai yang berterima dan berwibawa secara luas dan mengatasi batas-batas disiplin dari bidang tertentu. Tidak berarti tidak ada pengertian nilai dalam berbagai ilmu dan pengetahuan. Menurut Koentjaraningrat (1990:11), ada persamaan dalam ilmu dan pengetahuan tentang nilai, yaitu nilai merupakan sesuatu yang dipandang berharga oleh manusia atau kelompok manusia. Frasa dipandang berharga, dikaitkan dengan manfaat, kepentingan, kebutuhan, dan perkiraan. Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan bahwa nilai merupakan gejala ideal dan abstrak sehingga menjadi semacam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kepercayaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa nilai tidak konkret, tidak dapat dilihat, tidak dapat diindera, tetapi hanya dapat dihayati, diyakini, dan dijelmakan ke dalam ucapan, tindakan, dan perbuatan manusia. Oleh Gabriel (1991:144) dinyatakan bahwa suatu nilai adalah suatu ideal, suatu paradigma yang menyatakan realitas sosial yang diinginkan dan dihormati. Pada hakikatnya, nilai adalah kepercayaan - kepercayaan bahwa hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat.
Sementara Veeger, dkk. (1993:144) menyatakan bahwa nilai-nilai sebagai pengertian-pengertian. Nilai adalah hasil penilaian atau petimbangan moral. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai berkaitan dengan ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba serta kekhalifahannya. Dengan kata lain, nilai merupakan pusat dan sumber utama atau hulu gerak hidup dan kehidupan pribadi, sosial, dan religius manusia.
Banyak pengertian tentang nilai budaya. Salah satu di antaranya dikemukakan oleh Saryono seperti dikutip Sady Telaumbanua (2007:4) bahwa nilai budaya merupakan konsepsi ideal atau citra ideal tentang sesuatu yang dipandang dan diakui berharga, hidup dalam alam pikiran, tersimpan dalam norma/aturan, teraktualisasi dalam tindakan sebagian besar anggota masyarakat yang satu dan utuh. Nilai budaya adalah sesuatu yang menjadi pusat atau sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara individual, sosial, dan religius-transendental untuk terjaganya pandangan hidup masyarakat. Selanjutnya ia menjadi penuntun, pemandu, penggerak, pedoman, rujukan, dan sebagainya terhadap ucapan, tindakan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perbuatan, dan perilaku manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, dan hamba serta khalifah Tuhan dalam hidup dan kehidupan.
Nilai budaya merupakan kesatuan dan keutuhan yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia baik secara pribadi, sosial maupun religius. Dikatakan demikian karena berfungsinya pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi suatu masyarakat ditentukan oleh dan bergantung pada nilai budaya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai budaya berkedudukan dan berfungsi strategis dan vital bagi hidup dan kehidupan manusia dalam budaya apa pun baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan khalifah Tuhan.
Nilai budaya memiliki lima kedudukan pokok yang masing-masing disertai dengan fungsinya. Kedudukan nilai budaya yang pertama, ialah sebagai penggerak ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia atau sekelompok manusia dalam hidup dan kehidupan agar pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi budayanya menjadi fungsional. Seperti yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba (1981:469) bahwa tindakan dan perbuatan manusia selalu digerakkan oleh nilai budaya tertentu.
Kedua, nilai budaya itu sebagai pengendali ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia dalam hidup dan kehidupan. Agar tidak dianggap sesat dan menyimpang, setiap ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan, nilai budaya dapat dicapai jika nilai budaya dapat mengendalikannya. Misalnya, agar tindakan seseorang sebagai pribadi terarah dan sesuai dengan kehidupan religius, tindakannya perlu dikendalikan oleh nilai budaya yang disepakati sebagai nilai yang bersifat keagamaan dan religius.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tindakan manusia akan sulit terarah dan sesuai dengan kehidupan religius tanpa nilai budaya religius.
Ketiga, sebagai proyeksi dan utopia tujuan, harapan, dan cita-cita hidup dan kehidupan manusia, hal ini tampak pada nilai budaya yang dianut atau dipeluknya. Dalam kedudukan ini, nilai budaya dapat berfungsi memandu, menuntun, menunjukkan, mengembangkan, dan mengarahkan ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan.
Keempat, sebagai tolok ukur ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan. Dalam masyarakat, penilaian dan penentuan apakah ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi dan anggota masyarakat menyimpang atau tidak mempergunakan tolok ukur nilai budaya. Oleh karena itu, dalam kedudukan ini nilai budaya berfungsi memberikan panduan, patokan, ukuran, batas-batas, dan ruang gerak bagi ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia secara pribadi, sosial, dan spiritual religius supaya hidup dan kehidupan manusia mencapai tujuan, harapan, dan cita-cita.
Kelima, nilai budaya sebagai rujukan acuan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan dalam hidup dan kehidupan. Apa yang diucapkan, ditindakkan, diperbuat, dan dilakukan merujuk pada nilai budaya. Dalam kedudukan ini nilai budaya berfungsi menyediakan, menentukan, memutuskan, dan menunjukkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang sebaiknya dikerjakan dan apa yang sebaiknya tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dikerjakan, dan apa yang perlu diikuti dan apa yang tidak perlu diikuti oleh ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia. Misalnya, apa yang sebaiknya dikerjakan oleh seseorang yang melihat perampokan di siang hari, atau apa yang perlu dilakukan jika ada tetangga yang anaknya tidak bisa sekolah karena kemiskinannya, hal ini akan merujuk pada nilai budaya yang dianutnya. Jika tidak, orang itu akan dianggap menyimpang dari nilai budaya setempat.
Menurut Djoko Saryono (1998:5), karya sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa karya sastra baik puisi maupun prosa fiksi merupakan wacana atau inskripsi yang selalu merepresentasikan dan merekonstruksi realitas budaya berlandaskan episteme (sistem pengetahuan) tertentu. Yang terepresentasi dalam karya sastra adalah konstruksi nilai budaya sehingga episteme nilai budayalah yang kemudian hadir dalam teks sastra. Lebih jauh dikatakan Djoko Saryono bahwa: (1) sebagai sistem budaya, sastra bersangkutan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang membentuk episteme makna dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu; (2) sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan, idiologi, orientasi nilai, dan mitos; dan (3) sebagai wacana dalam kerangka episteme tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu. Hal di atas dapat diindikasikan bahwa sastra Indonesia merepresentasikan nilai budaya Indonesia dalam paradigma keindonesiaan. Hal ini bersebab bangsa dan masyarakat Indonesia sebagai tempat asal dan berkembangnya tradisi etnis para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sastrawan Indonesia yang majemuk, tentulah berakibat sastra Indonesia merepresentasikan hayatan, renungan, pemikiran, gagasan, dan pandangan tentang berbagai nilai budaya tradisi etnis yang ada di Indonesia.
Salah satu budaya tradisi etnis di Indonesia adalah budaya Jawa. Sastra Indonesia sebagai wacana sastra Indonesia telah menampakkan bahwa nilai budaya tradisi etnis Jawa telah terepresentasi dalam teks sastra Indonesia. Banyaknya sastrawan yang dibesarkan dalam asuhan tradisi Jawa, berakibat karya-karya para sastrawan tersebut merepresentasikan nilai budaya etnis Jawa yang sangat kental. Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi A.G), Burung-Burung Manyar (Y.B
Mangunwijaya), Canting (Arswendo Atmowiloto), Asmaradana (Gunawan
Mohamad), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Sri Sumarah dan Bawuk
(Umar Kayam) dan masih banyak lagi karya sastra para sastrawan Indonesia yang diasuh dalam tradisi Jawa adalah karya sastra yang merepresentasikan nilai-nilai budaya Jawa.
Murder dan Anderson (1985:28) memberikan gambaran terhadap masyarakat dan manusia Jawa yang terdapat dalam beberapa novel Indonesia melukiskan pribadi dan masyarakat Jawa yang sedang berubah akibat perubahan basis sosial, budaya, ekonomi, politik, dan materi. Akan tetapi sebagai sastrawan yang diasuh dalam lingkungan budaya Jawa yang kental justru mereka tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu mereka tetapi menggunakan bahasa Indonesia dalam menuangkan gagasan estetisnya. Hal ini ternyata bukan karena mereka mulai menggeser nilai-nilai budaya Jawa tetapi lebih sebagai strategi sastrawan Indonesia yang bertradisi etnis atau beretnis Jawa untuk membebaskan diri dari keterbatasan bahasa Jawa dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menjangkau pembaca secara lebih luas dengan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Bertolak dari pendapat-pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah sesuatu yang menjadi pusat sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara individual sosial.
(a) Nilai Budaya Timur
Budaya di dunia diklasifikasikan menjadi dua yaitu: (1) budaya timur dan (2) budaya barat, sehingga dikenal dengan adanya nilai budaya timur dan nilai budaya barat. Nilai budaya timur dikatakan Koentjaraningrat (1990:25) sebagai budaya selain budaya barat.
Nilai budaya terbentuk melalui proses sejarah manusia dalam menjalani, mempertahankan, dan mengembangkan hidup dan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba serta khalifah Tuhan (Djoko Saryono, 1998:43). Djoko Saryono lebih lanjut mengungkapkan bahwa bahan-bahan pembentukan nilai budaya berasal dari bermacam-macam sumber baik internal maupun eksternal. Sumber pembentukan nilai budaya adalah: (1) agama, (2) sistem budaya tertentu, (3) kebajikan dan ajaran tertentu, (4) paham kepercayaan dan mistisisme, dan (5) alam semesta.
Sumber pertama nilai budaya adalah agama-agama. Bermacam-macam agama telah menjadi pembentuk nilai budaya timur, yaitu agama-agama purba, taoisme, konfusianisme, agama Hindu, agama Budha, dan agama Islam. Agama purba atau animisme dan dinamisme adalah pembentuk nilai budaya timur sebelum agama-agama lain datang. Bahkan agama-agama tersebut diketahui telah mengilhami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sistem pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial, dan kesadaran kolektif.
Kedua adalah sistem budaya India, Cina, dan Arab-Persia. Ketiga sistem budaya itu berakar dan melekat kuat di kawasan timur. Keberakaran ini bersebab oleh banyak faktor. Misalnya faktor agama, manusia, dan perniagaan yang berasimilasi, beradaptasi, dan berakulturasi dengan nilai budaya agama dan nilai budaya setempat (lokal).
Ketiga adalah kebijakan, kebajikan, dan ajaran tertentu yang berasal, tumbuh, dan berkembang di tempat tertentu dan di dalam kelompok masyarakat tertentu di kawasan dunia timur. Misalnya yang dikembangkan oleh Krishnamurti, Mahatma Gandhi, Ki Ageng Suryomentaraman, Ronggowarsito, Mangkunegoro IV, Jalaluddin Rumi, banyak disuling, disaring, dibatinkan, kemudian dipedomani sebagai nilai budaya oleh sebagian kelompok masyarakat timur (Simuh, 1988: 2-3).
Keempat adalah mistisisme dan aliran kepercayaan dan kebatinan yang merupakan salah satu sumber penting. Hal ini terlihat dari tumbuh suburnya mistisisme dan aliran kepercayaan dan kebatinan di dalam beragam budaya timur. Berbagai tasawuf, sufisme, nama yang biasanya untuk menyebut mistik Islam pun tumbuh subur di dunia termasuk di Indonesia. Menurut Annemarie Schimmel (1986:2) bahwa mistik telah disebut “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama”. Nilai budaya lokal di berbagai tempat di Indonesia juga banyak yang bersumber pada paham kepercayaan dan mistisisme mengalami penyulingan, pengendapan, pengolahan, pembatinan, dan pemantapan sedemikian rupa sehingga menjadi pedoman budaya yang berterima secara mantap dalam hidup dan kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kelompok masyarakat tertentu.
Kelima adalah watak, sifat, dan tabiat alam semesta. Watak, sifat, dan tabiat alam semesta banyak direnungkan, disuling, dibatinkan, dan kemudian dipedomani sebagai nilai budaya oleh orang timur. Seperti dapat dilihat dalam serat dan babad Jawa.
Nilai budaya timur yang terbentuk berdasarkan sumber yang diuraikan di atas memiliki beberapa karakteristik umum. Pertama, nilai budaya timur bersifat humanistis teosentris (Kuntowijoyo, 1991:167). Sering pula dikatakan nilai budaya timur itu agamis (Nasution, 1995: 287). Maksudnya keyakinan religius yang berhulu dan berakar pada pandangan teosentris selalu dihubungkan dengan amal, yaitu ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia.
Kedua, bahwa nilai budaya timur selalu meletakkan persona atau pribadi dalam hubungannya dengan masyarakat dan alam semesta. Hal ini menyiratkan makna bahwa nilai budaya timur bersifat kosmosentris. Manusia selaku persona, individu, pribadi, perseorangan tetap diakui dan disahkan keberadaan dan kedudukannya, tetapi harus diarahkan, disejalankan, diselaraskan, diseimbangkan, kepada kepentingan, dan keajekan masyarakat dan dunia (Verhaar, 1989:124). Oleh karena itu, dalam nilai budaya timur diyakini bahwa kedamaian, kerukunan,