• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan tabel diatas, indikasi arahan disusun dari kelemahan pada setiap cluster. Metode penemuan indikasi arahan memiliki kunci pada pendingkatan faktor positif dan pengurangan faktor negatif yang teridentifikasi di setiap cluster pengembangan dan didukung oleh tema pengembangan yang diberikan.tema pengembangan di setiap cluster, selanjutnya dijelaskan pada uraian di bawah ini.

 Cluster I memiliki tema pengembangan industri baru, dikarenakan pada desa-desa di cluster I belum memiliki industri pengelolaan minyak kayu putih, sehingga bahan baku daun kayu putih masih belum termanfaatkan. Namun pembentukan industri baru di cluster I juga disesuaikan dengan potensi bahan baku yang tersedia, karena luas total hutan kayu putih sebagai sumber bahan baku di Cluster I adalah yang paling kecil dibandingkan dengan cluster-cluster lainnya.

 Cluster II memiliki tema optimalisasi bahan baku, dimaksudkan bahwa, perlu keseimbangan antara jumlah bahan baku dan jumlah industri yang mengelola bahan baku kayu putih di desa-desa pada cluster II. Dari fakta lapangan, ditemukan bahwa potensi bahan baku di Cluster II merupakan yang terbesar kedua setelah cluster V. Namun jumlah industri yang beroperasi di Cluster II adalah yang paling sedikit dibandingkan dengan cluster lainnya. Oleh karena itu, Cluster II perlu didorong agar dapat memanfaatan sumberdaya lokal, yakni bahan baku daun kayu putih menjadi produk minyak kayu putih, secara optimal.

 Cluster III memiliki tema peningkatan kapasitas produksi secara efisien, dikarenakan potensi bahan baku pada cluster III tidak terlalu besar, dan jumlah industrinya pun masih tergolong sedikit. Untuk pengembangan kedepannya, masih bisa ditingkatkan kapasitas produksinya, namun harus memperhatikan potensi bahan

baku. Agar tidak terjadi kekurangan bahan baku di masa mendatang.

 Cluster IV memiliki tema efisiensi bahan baku, karena jumlah industri yang beroperasi di clsuter IV sudah sangat banyak, padahal potensi bahan baku yang tersedia di desa-desa pada cluster IV terbatas. Perlunya pembatasan agar tidak terjadi kekurangan bahan baku.

 Cluster V memiliki tema mempertahankan aktivitas industri, dimaksudkan agar cluster V yang memiliki potensi bahan baku kayu putih dan jumlah industri terbesar di wilayah penelitian, dapat bertahan di untuk terus unggul di bidang pengolahan minyak kayu putih. Oleh karena itu, indikasi arahan yang diberikan difokuskan untuk meningkatkan kualitas SDM dan aksesibilitas untuk distribusi produk minyak kayu putih.

 Cluster VI memiliki tema diferensiasi produk, karena Namlea sebagai satu-satunya desa di Cluster VI merupakan ibukota Kabupaten Buru dan satu-satunya akses pemasaran produk minyak kayu putih. Jumlah produksi minyak kayu putih di Namlea sendiri sudah mulai tidak sebanding dengan potensi bahan baku yang tersedia, karena tekanan pertumbuhan permukiman perkotaan. Oleh karena itu, kedepannya Cluster VI sudah tidak diarahkan untuk industri pengolahan minyak kayu putih, namun berperan sebagai industri yang mengolah produk turunan minyak kayu putih dengan bahan baku dari desa tetangga dan pemasaran produk dari seluruh cluster pengembangan. 4.4.2. Kesesuaian Wilayah Pengembangan Agroindustri Minyak Kayu Putih Berdasarkan Kebijakan dan Preferensi Stakeholders

Sebelum masuk pada pembahasan arahan pengembangan agroindustri minyak kayu putih di Kabupaten Buru, terlebih dahulu dilakukan konfirmasi terhadap seluruh desa yang dianalisis,

apakah sesuai berdasarkan kebijakan dan preferensi stakeholders, untuk dikembangkan industri pengolahan minyak kayu putih, atau diarahkan ke sektor ekonomi yang lain. Hal ini dilakukan agar arahan yang dibuat untuk meningkatkan kapasitas produksi, nilai produksi, pertumbuhan pendapatan dan pemanfaatan hutan kayu putih tidak mengganggu sektor ekonomi lain yang berkembang di Kabupaten Buru dan juga tidak bertolak belakang dengan kebijakan perencanaan pembangunan di Kabupaten Buru.

Pada tahap ini dilakukan melalui content analysis terhadap transkrip wawancara stakeholders dan kebijakan terkait pembangunan ekonomi di Kabupaten Buru dengan pendetailan hingga wilayah Desa. Kebijakan yang digunakan adalah Laporan Rencana RTRW Kabupaten Buru 2008-2028 dan Laporan Rencana RDTR Kawasan Perkotaan Namlea. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.4.2 Kesesuaian Wilayah Pengembangan Agroindustri Minyak Kayu Putih Berdasarkan Kebijakan dan Preferensi

Stakeholders

Nama Desa N1 N2 N3 N4 N5 N6 K1 K2 Keterangan

Namlea - - - - - - Sesuai

Karang Jaya - - - - - - - Sesuai

Jamilu - - - Sesuai Siahoni - - - Sesuai Sanleko - - - Sesuai Batuboy - - - - - - - Sesuai Ubung - - - - - - - Sesuai Jikumerasa - - - - - - - Sesuai Waimiting - - - - - - - Sesuai Sawa - - - - - - - Sesuai

Nama Desa N1 N2 N3 N4 N5 N6 K1 K2 Keterangan Waeperang - - - - - - - Sesuai Namsina - - - Sesuai Samalagi - - - - - - - Sesuai Waplau - - - - - - - Sesuai Lamahang - - - - - - - Sesuai Hatawano - - - Sesuai Waeura - - - Sesuai Waepotih - - - - - - - Sesuai Gogorea - - - Sesuai

Lala X - - - X - X Tidak Sesuai

Waelihang - - - - X - X - Tidak Sesuai Waprea - - - - X - X - Tidak Sesuai Savana Jaya X X X - X - X - Tidak Sesuai Waetele X X X - X - X - Tidak Sesuai Waekasar X X X - X - X - Tidak Sesuai Waenetat X X X - X - X - Tidak Sesuai Wanareja X X X - X - X - Tidak Sesuai Waekerta X X X - X - X - Tidak Sesuai

Sumber : Hasil Analisis, 2015

Keterangan Simbol : (√) : Disetujui (X) : Tidak Disetujui

(-) : Abstain/Tidak diatur dalam kebijakan tersebut Keterangan Stakeholders dan Kebijakan :

N1 : BAPPEDA N2 : DISPERINDAG N3 : Dinas Kehutanan N4 : Pengusaha N5 : PEMDES N6 : Akademisi K1 : RTRW Kabupaten Buru 2008-2028

K2 : RDTR Kawasan Perkotaan Namlea 2013-2033

Berdasarkan hasil Content Analysis, ditemukan bahwa terdapat 10 desa (Lala, Waelihang, Waprea, Savana Jaya, Waetele, Waenetat, Wanareja, Waekerta) yang oleh kebijakan dan preferensi stakeholders tidak dianjurkan untuk pengembangan agroindustri minyak kayu putih. Pada desa-desa tersebut, terdapat sektor ekonomi lain yang akan terganggu apabila dikembangkan sektor pengolahan minyak kayu putih.

Desa Lala telah diarahkan menjadi kawasan pengembangan permukiman pada RDTR Kawasan Perkotaan Namlea. Kebijakan ini termasuk konversi hutan kayu putih ke kawasan permukiman. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari BAPPEDA Kabupaten Buru dan Perwakilan Pemerintahan Desa yang juga telah menyetujui hal tersebut. Oleh karena itu, Desa Lala dapat di arahkan ke sektor ekonomi lain. (Kode Content Analysis : (U.1) (U.2))

Desa Waelihang dan Waprea oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Perwakilan Pemerintahan Desa, diarahkan menjadi kawasan ekonomi perikanan. Sehingga kegiatan sektor ekonomi sektor primer yang lain, tidak dianjurkan untuk dikembangkan di desa-desa tersebut (Kode Content Analysis : (V.W.1)).

Sebagai wilayah transmigrasi, Desa Savana Jaya, Waetele, Waekasar, Wanareja, Waenetat dan Waekerta telah diarahkan oleh RTRW Kabupaten Buru sebagai kawasan pengembangan pertanian lahan basah. Sementara itu oleh Bappeda, Disperindag dan Dinas Kehutanan juga menyetujui hal tersebut, dan mengatakan bahwa telah dilakukan konversi lahan bertahap dari hutan kayu putih menjadi pertanian lahan basah untuk mencapai target penambahan 1000 Ha lahan pertanian. Sementara itu, pada desa-desa tersebut, iklim cenderung basah dan tidak sesuai untuk mendapatkan standar kualitas minyak kayu putih. Sehingga

pengembangan agroindustri minyak kayu putih di desa-desa tersebut sangat tidak dianjurkan (Kode Content Analisis : (Y,Z,AA,AB,AC.1), (Y,Z,AA,AB,AC.2), (Y,Z,AA,AB,AC.3), (Y,Z,AA,AB,AC.4), (X.1), (X.2), (X.3), (X.4)).

Tahap keseuaian wilayah pengembangan ini telah mengeleminasi 10 desa dari wilayah penelitian awal, hingga terjadi perubahan jumlah desa di setiap cluster pengembangan. Perubahan ini dapat dilihat pada tabel 4.4.3 di bawah ini.

Tabel 4.4.3 Perubahan Jumlah Desa di Setiap Cluster Pengembangan

Cluster

I Cluster II Cluster III Cluster IV Cluster V Cluster VI

Hatawano Namsina Siahoni Waeura Gogorea Sanleko Waplau

Lamahang Waemiting Samalagi Jamilu Batuboy Ubung Sawa Jikumerasa Waepotih Karang Jaya Waeperang Namlea

Sumber : Hasil Analisis, 2015

4.4.3. Validasi Arahan Pengembangan Agroindustri Pengolahan Minyak Kayu Putih

Validasi adalah tahap akhir dari penyusunan arahan pengembangan agroindustri pengolahan minyak kayu putih di Kabupaten Buru. Pada tahap ini dilakukan analisis deskriptif kualitatif untuk melihat relevansi arahan pengembangan agroindustri pengolahan minyak kayu putih terhadap preferensi stakholders.

Indikasi arahan yang telah dibuat berdasarkan karakteristik cluster kemudian diajukan sebagai bahan wawancara kepada 6 stakholders yang telah ditentukan. Kemudian peran stakeholders

adalah mengkritisi dan memberikan masukan terkait indikasi arahan yang telah dibuat.

Terdapat persamaan dan perbedaan pendapat antar stakeholder dalam menilai arahan-arahan tersebut. Serta ditemukan pula arahan baru yang berasal dari masukan tiap stakholders untuk tiap cluster arahan. Arahan-arahan tersebut disajikan melalui tabel-tabel pada lampiran 4. Berdasarkan tabel-tabel-tabel-tabel tersebut, dapat disimpulkan arahan-arahan per cluster. Hasil dari proses tersebut berupa 6 transkrip wawancara dari 6 stakeholders. Kemudian dilakukan analisis Content untuk menemukan kata kunci yang di data pada (Lampiran Buku Kode). Kata kunci ini dicontent dengan pendekatan makna kalimat dari transkrip wawancara masing-masing stakeholders dan dapat digabungkan menjadi arahan yang dapat merangkum seluruh preferensi dari stakeholders yang terlibat dalam pengembangan agroindustri pengolahan minyak kayu putih di Kabupaten Buru.

Cluster I dikembangkan agroindustri pengolahan minyak kayu putih dari mulai awal, dikarenakan belum ada aktivitas pengolahan minyak kayu putih sama sekali di cluster ini, padahal potensinya cukup baik. Berikut arahan pengembangan yang perlu dilakukan pada Desa Hatawano, Namsina, Siahoni, Waeura, Gogorea dan Sanleko adalah sebagai berikut:

Optimalisasi pemanfaatan bahan baku melalui budi daya