• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2.2 Tahapan Penemuan Variabel Subbab Pengembangan Ekonomi

2.3.6. Roadmap Pengembangan Agroindustri

Dalam pengembangan agroindustri, terdapat 3 tahapan pengembangan yang dinamakan roadmap pengembangan agroindustri (Saragih, 2007). Roadmap yang dimaksud dimulai dengan agroindustri yang dimulai dengan pemanfaatan

Petani

Pengumpul Daun Kayu Putih

Penyuling (Ketel) Pengumpul Minyak Lokal Pengumpul Minyak

Besar Eksportir / Pabrik Minyak Atsiri (Luar

daerah)

Broker Luar Negeri

Refinery

sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang belum terampil dan berasal dari sumberdaya lokal (factor-driven); kemudian dilanjutkan ke agroindustri yang ditopang oleh pemanfaatan modal dan sumberdaya manusia yang lebih terampil (Capital-driven); dan kemudian melangkah maju ke agroindustri yang ditopang oleh pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumbedaya manusia yang terampil (innovation-driven) (Saragih, 2007).

Sebagian besar agroindustri di Indonesia masih pada tahap factor-driven dan Capital-driven. Hal ini dicirikan oleh produktivitas dan nilai tambah yang relatif masih rendah. Pada tahap factor-driven, juga dicirikan sebagai sektor penghasil bahan baku. Kelengkapan yang wajib dipenuhi sebagai hal dasar dalam pengembangan agroindustri di tahap factor-driven adalah ketersediaan sarana dan prasarana meliputi sarana produksi, peralatan dan mesin, ketersediaan tenaga kerja serta akses menuju lokasi industri (Muryanto, 2007).

Pada tahap innovation-driven merupakan puncak dari pengembangan agroindustri. Pada fase ini produk utama agroindustri didominasi oleh produk-produk bernilai tambah lebih tinggi, barang-barang bermuatan teknologi, hak paten atau royalti, dan produk-produk bioteknologi tinggi. Untuk mencapai fase ini, maka peranan lembaga pelatihan dan penelitian sangat diharapkan. Lembaga penelitian milik pemerintah maupun perguruan tinggi memiliki SDM peneliti dan pelatih berkelas. Namun karena belum dimanfaatkan sektor agroindustri, maka penelitian-penelitian yang dihasilkan oleh lembaga tersebut berhenti di tahap invention (Muryanto, 2007).

Berdasarkan pandangan dari berbagai pakar, dapat disimpulkan beberapa indikator dan variabel yang akan digunakan dalam menyusun arahan pengembangan agroindustri minyak kayu putih di Kabupaten Buru, yakni sebagai berikut: (1) komoditas unggulan diungkapkan oleh Rustiadi (2007), Mosher (1995), dan Alibfa (2010), yakni berupa produk yang memiliki keunggulan

komparatif dan kompetitif. Sebuah produk tentunya berasal dari bahan baku industri (konteks yang dibahas dalam penelitian ini). Hal ini didukung oleh Saragih (2004), yang mengungkapkan bahwa agroindustri adalah pengolahan bahan baku produksi dari sektor primer menjadi produk industri yang memiliki daya saing dan memaksimalkan potensi sektor primer tersebut. (2) Sarana Produksi diungkapkan oleh Rustiadi (2007), sebagai fasilitas agroindustri berupa mesin produksi. Kemudian didukung oleh Mosher (1995), yang mengungkapkannya sebagai sarana produksi. (3) Infrastruktur penunjang telah banyak diungkapkan oleh berbagai pakar. Rustiadi (2007), sepakat dengan ketersediaan jaringan listrik dan air bersih. Townroe (1986), menambahkan peran lembaga pendukung investasi, sementara Straub (2008) dan Bougheas (1999) sepakat dengan infrastruktur transportasi. (4) Infrastruktur sosial dikemukakan oleh Looney & Frederiksen (1981), yang bertujuan untuk mengurangi disparitas antara lokasi industri dengan permukiman penduduk di sekitarnya (5) Pemasaran diungkapkan oleh Rustiadi (2007), Mosher (1995), dan Bougheas et al (1999). Namun karena dibatasi oleh ruang lingkup pembahasan, peneliti tidak menggunakan variabel ini. (6) Kelembagaan seperti yang diungkapkan oleh Rustiadi (2007), adalah lembaga yang mendukung kegiatan agrobisnis, seperti Kelompok penyuling minyak kayu putih, bank, dan pemerintah daerah (7) Aglomerasi, yang dinungkapkan oleh Greenhut (1956) dan Irsyad (1956) sebagai Langkah optimalisasi penyediaan infrastruktur.

Berikut ini adalah tahapan penemuan variabel pada subbab agroindustri yang mempengaruhi pengembangan agroindustri pengolahan minyak kayu putih.

Gambar 2.5 Tahapan Penemuan Variabel Subbab Agroindustri Sumber : Hasil Analisis, 2014

Variabel Kelompok Variabel Indikator Konteks Agroindustri Komoditas

Unggulan Bahan Baku

Potensi Bahan Baku Kayu Putih

Potensi Bahan Baku di Ketinggian

Optimum

Sarana Produksi Produksi Minyak Peralatan Kayu Putih Jumlah IRT Minyak Kayu Putih Kapasitas Produksi Infrastruktur Penunjang

Transportasi Jaringan JalanKetersediaan

Komunikasi Area pelayanan BTS

Infrastruktur sosial Fasilitas Pendukung Pengembangan SDM Fasilitas Pendidikan Fasilitas Kesehatan Kelembagaan Lembaga penunjang kegiatan agroindustri Ketersediaan Lembaga Koperasi Pekerja Ketersediaan Kelompok Pekerja Ketersediaan Lembaga Pelatihan

Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk dikembangkan secara ekonomi di suatu wilayah. Komoditas unggulan agroindustri dapat diartikan sebagai komoditas basis yang dihasilkan secara berlebihan jika dibandingkan dengan konsumsi masyarakat di wilayah tersebut, sehingga dapat dijual ke wilayah lain (Saragih, 2001). Adapun kriteria komoditas unggulan menurut Fakultas Pertanian Unud (2002), adalah mempunyai ciri khas daerah dan melibatkan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja, mempunyai kandungan bahan baku lokal tinggi, mempunyai jaminan bahan baku lokal yang banyak dan stabil atau melalui pembudidayaan, serta ramah lingkungan dan mempromosikan budaya lokal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komoditas unggulan dapat diukur melalui bahan baku dan tenaga kerja, namun lebih menitikberatkan pada bahan baku. Selanjutnya dalam pengukuran bahan baku tumbuhan kayu putih, dapat meninjau dari pembahasan sebelumnya, yang menyatakan bahwa tumbuhan kayu putih dapat diukur berdasarkan luas lahan hutan kayu putih dan ketinggian lokasi hutan kayu putih.

Sarana produksi minyak kayu putih adalah peralatan penyulingan dengan metode distilasi. Menurut Nugraha (2008), sarana produksi pada agroindustri minyak kayu putih adalah peralatan yang digunakan pada lokasi pemprosesan bagian tanaman (daun, batang, dll) menjadi minyak kayu putih. Peralatan ini dapat ditemukan di lokasi IRT minyak kayu putih, meskipun masih konvensional dan minim teknologi.

Infrastruktur penunjang diperlukan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas yang tinggi dalam kegiatan agroindustri. Ketersediaan prasarana penunjang yang dibutuhkan sebagai kriteria pemilihan lokasi agroindustri adalah prasarana fisik seperti transportasi dan komunikasi (Andrianto, 2014). Prasarana transportasi untuk mendukung kegiatan agroindustri adalah ketersediaan jaringan jalan (Straub, 2008; Bougheas, 1999).

Sedangkan prasarana komunikasi dapat diartikan sebagai cangkupan area pelayanan menara BTS.

Infrastruktur sosial adalah fasilitas yang mendukung pengembangan sumberdaya manusia di suatu wilayah. Looney & Frederiksen (1981), menyebutkan infrastruktur sosial sebagai ketersediaan fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan.

Kelembagaan dalam agroindustri berfungsi sebagai sarana pembinaan sumberdaya manusia untuk mendukung pengembangan agroindustri dan ekonomi pedesaan. Menurut Hermawan (2006), untuk mendukung pengembangan agroindustri, diperlukan lembaga pembinaan kemampuan tenaga kerja agroindustri pada aspek bisnis, manajerial dan berorganisasi serta peningkatan wawasan agroindustri. Lembaga-lembaga yang mendukung langkah tersebut adalah koperasi agrobisnis, lembaga pembinaan SDM Petani, lembaga Pelatihan Agro-teknis, dan klinik konsultasi agroindustri. Dalam pengembangan agroindustri berskala kecil, terdapat kebijaksanaan yang harus dilakukan, yakni Service Rasionalization. Menurut Hermawan (2006), Service Rasionalization adalah pengembangan layanan agroindustri dengan rasionalisasi lembaga penunjang kegiatan agroindustri untuk menuju efisiensi dan daya saing lembaga tersebut. Terutama lembaga keuangan pedesaan atau koperasi dan lembaga litbang khususnya Pelatihan. Peran koperasi sangat penting, karena pengembangan koperasi agrobisnis dapat membuat petani tetap berada di subsektor usaha tani, sementara kegiatan agroindustri hulu dan hilir dapat ditangani koperasi agrobisnis milik petani dan tidak kesulitan modal usaha. Lembaga-lembaga penunjang tersebut dapat disederhanakan menjadi koperasi pekerja, Kelompok pekerja, dan lembaga pelatihan.

Aglomerasi adalah mengumpulnya beberapa industri yang sejenis pada suatu kawasan, sehingga dapat mengotimalkan infrastruktur penunjang yang disediakan. Menurut Greenhut (1956), faktor yang dapat menurunkan biaya produksi suatu

industri, mencakup External Economics yang disebabkan oleh aglomerasi pada beberapa industri pada kawasan industri. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Irsyad (1956), yang menyatakan pentingnya aglomerasi karena dapat menurunkan biaya transportasi dan biaya masukan pada infrastruktur penunjang industri. Mengumpulnya beberapa industri yang dimaksud pada konteks agroindustri kayu putih adalah indeks Aglomerasi.

Tabel 2.4 Indikator dan Variabel Agroindustri

Sumber : Hasil Analisis, 2014

Indikator Variabel Referensi

Komoditas

unggulan Potensi Bahan Baku kayu putih Potensi Bahan Baku Kayu Putih di Ketinggian Optimum Rustiadi (2007) Mosher (1995) Salasiwa (2009) Alibfa (2010) Sumadiwangsa (2000) Arsyad (1999) Saragih (2004) Sarana Produksi Jumlah IRT eksisting Rustiadi (2007)

Mosher (1995) Infrastruktur

Penunjang Jaringan Jalan Area Pelayanan BTS Rustiadi (2007) Mosher (1995) Porter (2006 & 2009) Limao & Venables (2001) Straub (2008) Albala-Bertrand & Mamatzakis (2001) Townroe (1986) Infrastruktur

sosial Ketersediaan Fasilitas Pendidikan Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Looney & Frederiksen (1981) Kelembagaan Ketersediaan Koperasi Pekerja

Ketersediaan Kelompok Pekerja Ketersediaan Lembaga Pelatihan

Rustiadi (2007) Mosher (1995) Townroe (1986)