• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI TRANSAKS

D. Hambatan-hambatan dan Cara Mengatasi hambatan dalam

Perjanjian jual beli melalui media transaksi elektronik juga tak luput dari hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, berikut ini penulis paparkan tentang hambatan-hambatan tersebut: hambatan secara ini dialami langsung oleh para pihak baik pelaku usaha maupun konsumen dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan penelitian pen- ulis, hambatan-hambatan dalam transaksi di internet antara lain men- genai cacat produk, informasi dan webvertising yang tidak jujur atau keterlambatan pengiriman barang. Misalnya, saat barang dan/atau jasa yang dikonsumsikan tidak sesuai dengan manfaat kegunaan.Kon- sumen yang mengalami kerugian seperti ini biasanya kehilangan nilai dari suatu produk atau kehilangan fungsi penggunaan suatu produk.

Di sisi lain, kehilangan ekonomis secara tidak langsung adalah ke- hilangan suatu pengharapan nilai suatu produk. Misalnya konsumen kehilangan nilai keuntungan di masa depan atas bisnis yang ditawar- kan dan kehilangan ketidakmampuan untuk menggantikan suatu produk. Menurut penulis hal itu tidak sesuai dengan Pasal 9 UU ITE yang menjelaskan bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk me- lalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang dilengkapi dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Hambatan Secara Umum antara lain : 1. Hambatan Mindset

Mindset atau pola pikir yang masih tertanam pada customer

rata-rata adalah bahwa transaksi di internet kurang terjamin ke- amanannya, terutama terkait keamanan dalam pembayaran dan alat pembayarannya. Rata-rata customer ingin agar merchant

memberikan jaminan keamanan bertransaksi pada website mer- chant tersebut. Uniknya di jaman yang sudah serba kartu kredit ini, di Indonesia budaya penggunaan kartu kredit masih sedikit, se- hingga terdapat banyak website transaksi elektronik di Indonesia yang menawarkan cara konvensional, yaitu dengan melalui wesel, via telepon, atau transfer melalui rekening bank (internet banking). Berdasarkan penelitian tampilan halaman website transaksi elektronik di Indonesia masih sering dijumpai hanya menawarkan jenis produk yang akan dijual, dan transaksi dilakukan dengan kontak langsung via telepon atau e-mail. Hal ini dipakai sebagai cara mengatasi hambatan mindset karena kurang terjaminnya keamanan dalam tujuannya agar meminimalkan risiko kejahatan dalam transaksi pembayaran melalui internet.

2. Hambatan Minat

Kenyataannya, hingga saat ini sebagian besar pengguna in- ternet di Indonesia masih memperlakukan internet sebagai alat komunikasi. Para user tersebut lebih suka mengirimkan e-mail

atau berbagi informasi satu dengan yang lain. Banyak user yang tidak menyadari bahwa internet dapat dimanfaatkan untuk keper- luan melakukan bisnis dan membuat transaksi. Oleh karena itu, jumlah customer yang memesan barang langsung melalui inter- net jumlahnya sangat sedikit. Cara mengatasi hambatan minat ini adalah perlunya memasyarakatkan manfaat transaksi online den- gan mengakses internet.

3. Hambatan Culture

Culture atau budaya juga dapat menghambat perkemban- gan transaksi elektronik di Indonesia menurut penulis.transaksi elektronik memang menawarkan kemudahan dan efisiensi ber- belanja bagi orang-orang, permasalahannya hal ini belum tentu

disukai oleh orang Indonesia. Itu karena berbelanja lewat transaksi elektronik dapat menghilangkan kesempatan berkreasi karena dengan cara belanja konvensional biasanya orang-orang dapat sekalian “cuci mata” dan bersenang-senang. Kebiasaan melakukan seleksi produk yang rumit juga menyebabkan tidak bertambahn- ya minat orang Indonesia untuk bertransaksi di dunia e-commerce. Ketakutan membeli “kucing dalam karung” atau membeli tanpa tahu persis bagaimana keadaan produk yang dibelinya juga turut menjadi penyebab mengapa orang Indonesia kurang menyukai belanja di internet.

Cara mengatasinya adalah dengan membuat katalog produk dengan semenarik mungkin seperti berbelanja dalam dunia nyata dan memberikan deskripsi atas suatu produk dengan sangat de- tail sehingga membuat customer nyaman dan senang dalam ber- belanja melalui transaksi elektronik dan tidak takut untuk membe- li barang tanpa tahu persis keadaan barang yang dibelinya, serta membuka line telepon atau e-mail sebagai forum tanya jawab antara customer dengan merchant mengenai produk yang diper- dagangkan.

BAB V

P E R L I N D U N G A N H U K U M D A L A M

P E R J A N J I A N J U A L B E L I M E L A L U I

T R A N S A K S I E L E K T R O N I K

Berdasarkan kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka perdagangan pada saat ini sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi dapat dilakukan dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halangan jarak. Dalam transaksi elektronik terdapat lima unsur yang saling terkait, berikut ini akan dijelaskan dengan bagan :

Keterangan :

Subyek hukum, dalam hal ini merchant dan customer, melaku- kan transaksi perdagangan melalui teknologi informasi berupa transaksi elektronik sehingga melahirkan perjanjian. Dalam per- janjian tersebut terdapat dokumen elektronik yang dapat dijadi- kan sebagai alat bukti elektronik untuk menghindari adanya pe- nyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berupa kejahatan perdagangan secara elektronik. Untuk itu diperlukan perlindungan hukum untuk melindungi para subyek hukum yang melakukan transaksi perdagangan melalui transaksi elektronik.

Berikut ini akan dijelaskan perlindungan hukum dalam hal perjan- jian, alat bukti elektronik, dan tanggung jawab para pihak antara lain : 1. Perjanjian

a. Perlindungan hukum di dalam perjanjian.

Berdasarkan perjanjian terdapat dokumen elektronik, bi- asanya dokumen tersebut dibuat oleh pihak merchant yang berisi aturan dan kondisi yang harus dipatuhi oleh customer tetapi isinya tidak memberatkan customer. Aturan dan kondisi tersebut juga dipakai sebagai perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Per- lindungan hukum bagi kedua belah pihak adalah :

1) Perlindungan hukum untuk merchant terutama ditekankan dalam hal pembayaran, merchant mengharuskan customer untuk melakukan pelunasan pembayaran dan kemudian melakukan konfirmasi pembayaran, baru setelah itu akan di- lakukan pengiriman barang yang dipesan.

2) Perlindungan hukum untuk customer terletak pada garansi berupa pengembalian atau penukaran barang jika barang yang diterima tidak sesuai dengan yang dipesan.

3) Privacy

Data pribadi pengguna media elektronik harus dilind- ungi secara hukum. Pemberian informasinya harus disertai oleh persetujuan dari pemilik data pribadi. Hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan transaksi transaksi elektronik, yang termuat dalam Pasal 25 UU ITE dinyatakan bahwa Informasi elektronik dan/atau doku- men elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs transaksi elektronik, dan karya intelektual yang ada di dalam- nya dilindungi sebagai hak kekayaan intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Perlindungan Hukum Di Luar Perjanjian. 1. Hak Atas Kekayaan Intelektual

Perlindungan hukum untuk merchant juga menyangkut ten- tang Hak Atas Kekayaan Intelektual atas nama domain yang dimil- ikinya seperti terdapat dalam Pasal 23 UU ITE. Informasi elektronik yang disusun menjadi suatu karya intelektual dalam bentuk apa- pun harus dilindungi undang-undang yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini disebabkan informasi elektronik me- miliki nilai ekonomis bagi pencipta atau perancang. Oleh karena itu, hak-hak mereka harus dapat dilindungi oleh undang-undang HAKI.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ten- tang Perlindungan Konsumen, telah menjadikan masalah perlindun- gan konsumen menjadi masalah yang penting, yang artinya kehadiran undang-undang tersebut tidak saja memberikan posisi tawar yang kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi semua pihak. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Per- lindungan Konsumen disebutkan bahwa piranti hukum yang melind- ungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, karena perlindungan konsumen akan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/jasa yang berkualitas.

Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di mana barang dan/atau jasa dapat diperdagangkan kepada konsumen melewati batas-batas wilayah, maka perlindungan konsumen akan selalu menjadi isu penting yang menarik untuk diper- hatikan.67

Konsumen dan pelaku usaha merupakan pihak-pihak yang harus mendapat perlindungan hukum. Namun, posisi konsumen pada um- umnya lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. Hal ini berkaitan dengan tingkat kesadaran akan haknya, kemampuan finansial, dan daya tawar (bargaining position) yang rendah. Padahal tata hukum ti- 67 Edmon Makarim, Op-Cit, hal. 314.

dak bisa mengandung kesenjangan. Tata hukum harus memposisikan pada tempat yang adil dimana hubungan konsumen dengan pelaku usahaberada pada kedudukan yang saling menghendaki dan mem- punyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi satu dengan yang lain.68

Posisi konsumen harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat dan tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayo- man) kepada m asyarakat. Perlindungan kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen.Menurut penulis, dalam melakukan transaksi jual beli me- lalui transaksi elektronik, konsumen juga harus jeli, teliti serta waspada terhadap penawaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tidak jarang pelaku usaha menawarkan produk yang fiktif, yang dijual murah agar konsumen tertarik. Konsumen harus memastikan dahulu sebelum memesan barang, pastikan merchant mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi dan alamat lengkapnya. Apabila tertarik den- gan barang yang ditawarkannya, maka lakukan komunikasi terlebih dahulu, biasanya pembeli langsung menghubungi lewat telepon, un- tuk memastikan apakah barang benar-benar ada, setelah itu pembeli baru menanyakan tentang spesifikasi barang yang akan dibelinya. Jika setuju, maka pembeli segera membayar harga atas barang tersebut, kemudian barang dikirimkan. Kegiatan aktif konsumen untuk selalu berkomunikasi atau bertanya tentang barang yang akan dibelinya kepada pelaku usaha akan dapat mengurangi dampak kerugian bagi konsumen.

Untuk melindungi konsumen apabila terjadi hal-hal yang tidak di- inginkan, pemerintah dalam hal ini harus memberikan suatu jaminan, selain jaminan yang diberikan oleh penjual (pelaku usaha) itu sendiri. Upaya perlindungan konsumen sebagaimana dikemukakan di atas, selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga dite- gaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlind- ungan Konsumen. Hak-hak konsumen diakomodir sebagaimana ter- cantum dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain sebagai berikut :

a) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

b) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilaitukar dan kondisi serta jaminan yang di- janjikan.

c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa.

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f ) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif.

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima ti- dak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mesti- nya.

i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu :

a) Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari keru- gian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekay- aan.

b) Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar.

c) Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.69

Oleh karena ketiga hak atau prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Un- dang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 69 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Grafindo Persada,

maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga meru- pakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. Jelas dalam Undang-Undang tersebut disebutkan, bahwa betapa sangat dihargainya hak-hak konsumen, sehingga apabila terjadi perbuatan melawan hukummaka konsumen dapat menuntut hak-haknya.

Dalam suatu kontrak jual beli para pihak yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang berkedudukan se- bagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Hak yang dimiliki konsumen terkait erat dengan kewajiban pelaku usaha. Berdasarkan ketentuan pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban pelaku usaha diantaranya:

a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.

d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi ber- dasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

f ) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

g) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apa- bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam Undang-Undang Perlindngan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha. Itikad baik itu meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat

diartikan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna jual, se- baliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebab- kan karena kemungkinan terjadinya kelalaian dari pelaku usaha dimu- lai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh pelaku usaha, sedan- gkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha.

Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun tetap ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus ditaati. Dengan demikian,merupakan kewajiban pelaku usaha atau penjual untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, sehingga konsumen bisa mendapatkan kejelasan mengenai produk tersebut dan dapat mempercayai sistem yang disediakan oleh pelaku usaha untuk digunakan dalam transaksi. Sehingga, apabila pelaku us- aha telah memberikan jaminan bahwa sistem yang dimilikinya dapat mengamankan suatu transaksi, maka jaminan itu haruslah benar dan transaksi memang berjalan dengan aman. Oleh sebab itu, penyeleng- gara jasa harus melakukan pemeliharaan terhadap sistemnya secara berkala dan meng-up date sistemnya sesuai dengan sistem baru yang ada di masyarakat internet, yang semuanya dilakukan semaksimal mungkin agar sesuai dengan standar yang ada dalam masyarakat tran- saksi elektronik dan kepentingan konsumen tetap terjaga.

Apabila dikaitkan antara hak-hak konsumen sebagaimana tertu- ang dalam rumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan hak-hak konsumen dalam transaksi elektronik, maka terdapat sejumlah hak-hak konsumen pada transaksi elektronik yang sangat riskan sekali untuk dilanggar dalam setiap keg- iatan transaksi elektronik tersebut, diantaranya adalah:

a) Tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan dalam mengkon- sumsi barang dan jasa. Hal ini dikarenakan para konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, menyentuh barang yang akan dipesan lewat internet, sebagaimana yang biasa terjadi dalam transaksi di dunia nyata.

b) Tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh infor- masi yang dibutuhkan dalam bertransaksi, sebab informasi yang tersedia dibuat secara sepihak oleh penjual saja.

c) Tidak terlindunginya hak-hak konsumen untuk mengadu atau memperoleh kompensasi. Dapat saja penjual mencantumkan ala- mat yang tidak jelas atau hanya sekedar alamat di e-mail yang ti- dak terjangkau oleh dunia nyata.

d) Sistem pembayaran dalam transaksi elektronik dilakukan dengan cara konsumen terlebih dahulu membayar penuh, kemudian ba- rulah pesanannya diproses oleh penjual. Hal ini sangat jelas bere- siko tinggi bagi konsumen, sebab membuka peluang kemungki- nan terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh penjual.

e) Transaksi elektronik dapat dilakukan antar negara. Bila terjadi sen- gketa maka akan sulit untuk ditentukan hukum negara mana yang akan dipakai dalam penyelesaiannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindun- gan Konsumen masih terdapat kelemahan yang tidak dapat menjang- kau transaksi elektronik. Kelemahan yang dimaksud dalam kaitannya dengan transaksi elektronik adalah mengenai batasan tentang penger- tian pelaku usaha. Yaitu sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindun- gan Konsumen, yang menyatakan bahwa :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Jadi, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlind- ungan Konsumen, pengertian pelaku usaha hanya sebatas di wilayah hukum Negara Republik Indonesia, padahal dalam transaksi elektronik pelaku usaha dapat berasal dari luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia, dan apabila terjadi hal yang demikian maka hal ini tergan- tung dari perjanjian antara para pihak.

2) Alat Bukti Elektronik

Hukum pembuktian Indonesia masih mendasarkan ketentuannya pada KUH Perdata. Ditentukan bahwa alat-alat bukti yang dapat digu- nakan dan diakui di depan sidang pengadilan perdata masih sangat

limitatif. Dalam Pasal 1866 KUH Perdata dinyatakan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari :

1. bukti tulisan, 2. saksi-saksi,

3. persangkaan-persangkaan, 4. pengakuan, dan

5. sumpah.

Di Indonesia sebenarnya ada beberapa hal yang mengarah ke- pada penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya:70

1. Dikenalnya on line trading dalam kegiatan bursa efek; dan 2. Pengaturan mikro film sebagai media penyimpanan dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Doku- men Perusahaan.

Namun demikian pengaturan semacam ini tidak dapat menun- jang dan mengakomodir cyberspace pada umumnya dan transaksi ele- ktronik pada khususnya.Pengguna transaksi elektronik sekarang sudah mulai bernafas lega lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tentang alat bukti elek- tronik, telah disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUITE yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. Pembahasan lebih lengkap telah dijelaskan dalam bab 3 (tiga).

ddd

D A F T A R P U S T A K A

Buku :

Abdul HalimBerkatullah, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi E-Commerce Lintas Negara di Indonesia, FH UII Press dan Pascasarjana FH UII Press, Yogyakarta.

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung Ci- tra Aditya Bakti.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Kon- sumen, Grafindo Persada, Jakarta.

Ahmad M. Ramli, 2004, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indo- nesia, Refika Aditama, Bandung.

Ahmad M. Ramli, 2007, Menuju Kepastian Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informa- tika Republik Indonesia, Jakarta.

Assafa Endeshaw, 2007, Hukum E Commerce dan Internet dengan Fokus di Asia Pasifik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bachtiar Effendie, Masdari Tasmin, A. Chodari, 1999, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,.

Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2007,

Menuju Kepastian Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi Ele- ktronik, Jakarta.

E. Corner, 2003, Informasi elektronik dalam Microsoft, Microsoft Encarta Reference Library 2003, Microsoft Corporation , Ensiklopedi Elek- tronik, Jakarta.

Efa Laela Fakhriah, 2009, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Per- data, Alumni, Bandung.

Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Endang Mintorowati, 1999, Hukum Perjanjian, Universitas Sebelas Ma- ret Surakarta.

LiaSautunnida, 2008, Jual Beli Melalui Informasi Elektronik (E-Com- merce) Kajian Menurut Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Michael Chissick and Alistair Kelman, 1999, Electronic Commerce Law and Practice, New York, Sweet & Maxwell.

Mieke Komar Kataatmadja, 2001, Cyber Law Suatu Pengantar, Elips, Bandung.

M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Seg iHukum Perjanjian, Alumni, Bandung. Niniek Suparni, 2009,Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pen-

gaturannya, Sinar Grafika, Jakarta.

Onno W Purbodan dan Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Com- merce, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Peter Scisco, 2003, Electronic Commerce dalam Microsoft, Microsoft En- carta Reference Library 2003, Microsoft Corporation Ensiklopedi Elektronik, Jakarta.

R. Subekti, Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Pradnya Paramita, Jakarta.

Salim HS, 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontak),

Sinar Grafika, Jakarta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus) Prenada Media, Jakarta.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Tammy S. Trout-Mc, 1997, Intyre, Personal Jurusdiction and The Infor- masi Elektronik: Does The Shoe Fit 21 Hamlie, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 1996, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke-