BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM KONTRAK TRANSAKS
C. Kedudukan Para Pihak dalam Kontrak Melalui Transaks
Transaksi elektronik mengubah cara-cara konsumen bertransaksi. Dengan bantuan internet, bisnis transaksi elektronik menembus batas- batas dan memberi konsumen akses yang lebih besar pada barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Persaingan perdagangan yang ketat telah memberi konsumen keuntungan dalam transaksi online, terutama dalam mendapatkan produk barang dan/atau jasa. Kemu- dahan dalam melakukan belanja lewat internet, tidak membuat posisi tawar konsumen transaksi elektronik semakin membaik. Hal ini terli- 54 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 16-17 .
hat dari banyaknya indikasi yang memperlihatkan bahwa hak-hak per- lindungan dan pengamanan bagi konsumen yang didapatkan sebel- umnya di “ruang nyata”, dalam transaksi-transaksi elektronik semakin berkurang sehingga merugikan konsumen lewat transaksi elektronik. Misalnya, jika ada kekurangjelasan pada alamat tujuan pelaku usaha, atau jika barang dan/atau jasa yang diberikan tidak memadahi. Pada posisi ini konsumen cenderung lebih dirugikan oleh transaksi lewat elektronik dibandingkan jika dalam transaksi yang dilakukan di “ruang nyata”.
Perkembangan perekonomian dewasa ini, telah memacu tumbuh- nya sektor produksi dan perdagangan yang dalam kenyataan secara tidak langsung menciptakan kekuatan posisi pelaku usaha di satu sisi dan menempatkan konsumen pada posisi yang lain. Sebagian pelaku usaha dalam melakukan kegiatannya acapkali mengabaikan kepent- ingan konsumen. Akibatnya kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang le- mah, yang menjadi obyek aktifitas bisnis untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha yang dilakukan melalui ber- bagai promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Mengingat posisinya ini konsumen sering “ter- paksa” menerima suatu produk barang atau jasa meskipun tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usahanya yaitu ber- prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan meman- faatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.
Kedudukan pembeli/konsumen pada dasarnya berada dalam po- sisi tawar lemah, hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi, yaitu :55
1. Dalam masyarakat modern, pelaku usaha menawarkan berbagai jenis produk baru hasil kemajuan teknologi dan manajemen. Ba- rang-barang tersebut diproduksi secara massal.
55 Abdul Halim Berkatullah, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi E-Com- merce Lintas Negara di Indonesia, FH UII Press dan Pascasarjana FH UII Press, Yogyakarta, hal. 65.
2. Terdapat perubahan-perubahan mandasar dalam pasar kon- sumen. Dimana konsumen sering tidak memiliki posisi tawar un- tuk melakukan evaluasi yang memadahi terhadap produk barang dan jasa yang diterimanya. Konsumen hampir-hampir tidak dapat diharapkan memahami sepenuhnya penggunaan produk-produk canggih yang tersedia.
3. Metode periklanan modern melakukan disinformasi kepada kon- sumen daripada memberikan informasi secara obyektif.
4. Pada dasarnya konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak seimbang, karena kesulitan-kesulitan dalam memperoleh infor- masi yang tidak memadahi.
5. Gagasan paternalisme yang melatarbelakangi lahirnya undang- undang perlindungan hukum bagi konsumen, dimana terdapat rasa tidak percaya terhadap kemampuan konsumen melindungi diri sendiri akibat resiko kerugian, keuangan yang dapat diperki- rakan atau resiko kerugian fisik.
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Troelstrup, yang men- gatakan bahwa konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar yang lemah dan terus melemah, hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi konsumen, antara lain se- bagai berikut:56
1. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya. 2. Daya beli konsumen yang meningkat.
3. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga be- lum banyak diketahui semua orang.
4. Model-model produk lebih cepat berubah.
5. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka ak- ses yang lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha. 6. Iklan yang menyesatkan.
7. Wanprestasi oleh pelaku usaha.
Bila dikaji lebih jauh, suatu produk tidak akan berarti apa-apa jika ia tidak dikonsumsi. Dalam keseharian sering didapati kenyataan bah- 56 Ibid, hal. 20.
wa konsumen menanggung akibat adanya ketidakjujuran informasi melalui media iklan yang terus menerus disajikan secara luas kepada konsumen.Begitu hebatnya pengaruh iklan dalam suatu transaksi, sehingga konsumen sering tidak menyadari informasi yang diterima ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu produk. Keadaan ini merupakan suatu indikasi begitu tergan- tungnya pengaruh pelaku usaha terhadap konsumen.
Pada dasarnya konsumen dalam transaksi elektronik mempun- yai kedudukan yang sama dengan konsumen dalam transaksi yang dilakukan secara konvensional, yaitu berada dalam situasi yang tidak jelas, dan keadaan konsumen yang sangat bervariasi ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk melakukan kegiatan-kegiatan iklan, pemasa- ran dan distribusi produk barang dan jasa dengan cara-cara yang tidak fair dan seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang san- gat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan yang dimulai dengan itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi antara lain me- nyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, wanprestasi, pelepasan tanggung jawab, dan sebagainya.
Ketidakberdayaan konsumen dalam suatu transaksi semakin ter- asa dengan munculnya klausula kontrak yang dibakukan (standarlized contract). Dalam suatu kontrak selalu ada kebebasan bekontrak bagi para pihak yang terlibat, maka dengan kontrak standar ini, asas kebe- basan berkontrak dieliminasi. Konsumen tinggal menerima atau me- nolak (take it or leave it) atas kontrak yang ditawarkan pelaku usaha. Pelaku usaha merasa secara sosial, ekonomis, psikologis dan politis be- rada diatas konsumen.57
Kontrak atau perjanjian baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaanya, tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari penggunaan serta perkembangan per- janjian baku yang banyak mendapat sorotan, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan posisi yang seimbang dari para pihaknya.
Kelemahan-kelemahan dari kontrak baku ini bersumber dari kara- kteristik kontrak baku yang dalam wujudnya merupakan suatu kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak dan suatu kontrak terstandarnisasi yang menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian tersebut. Disamping itu, dalam kontrak baku terdapat klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Kontrak atau perjanjian yang dibakukan ini juga ditemui dalam transaksi elektronik. Konsumen dalam transaksi elektronik juga dihadapkan pada kontrak elektronik yang dibuat oleh salah satu pihak, sehingga dalam transaksi tersebut konsumen hanya dapat mengatakan “I agree” atau I “accept”.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam suatu transaksi baik dalam transaksi perdagangan konvensional maupun dalam transaksi elektronik, konsumen selalu berada dalam posisi yang sangat lemah dan tidak mempunyai daya tawar yang memadahi apa- bila berhadapan dengan pelaku usaha. Posisi lemah yang dihadapi konsumen mendorong suatu pemikiran mengenai adanya kerangka konsep terpadu dalam menyikapi hubungannya dengan pelaku usaha. Oleh karena itu, pemikiran konsep secara luas dan kajian dari aspek hukum juga membutuhkan wawasan hukum yang luas, sehingga ti- dak dapat dikaji dari satu aspek hukum semata-mata. Hal ini sangat penting mengingat kepentingan konsumen pada dasarnya sudah ada sejak awal sebelum barang atau jasa diproduksi, selama dalam proses produksi sampai pada saat distribusi, sehingga sampai di tangan kon- sumen untuk dimanfaatkan secara maksimal.