• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEABSAHAN KONTRAK DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

C. Keabsahan Kontrak dalam Transaksi Elektronik

(e-contract) merupakan kontrak yang terjadi akibat suatu transaksi komersial elektronik (E-Commerce). Secara garis besar, ilustrasi ter- jadinya suatu transaksi komersial elektronik (E-Commerce) adalah seb- agai berikut: Toko X memiliki website (situs) yang di dalamnya terdapat segala informasi produk yang dimiliki toko A termasuk pula harga, tata cara pembayaran, dan penyerahan barang. Situs ini dapat diakses oleh calon pembeli. Pembeli memilih barang yang diinginkannya dan mengisi order form (formulir pesanan) yang tersedia atau mengirimkan

e-mail berisi pesanan barang. Selanjutnya pembeli harus melakukan pembayaran sesuai dengan tata cara pembayaran yang telah ditentu- kan. Setelah menerima formulir pesanan dan pembayaran dari pem- beli, maka toko Xakan mengirimkan barang yang dipesan.

Tampak bahwa proses transaksi komersial elektronik (E-Com- merce) dan transaksi komersial konvensional memiliki kesamaan. Baik dalam transaksi komersial elektronik (E-Commerce) maupun dalam transaksi komersial konvensional terdapat proses penawaran, peneri- maan penawaran (pembelian), pembayaran, dan penyerahan barang. Yang membedakan kedua transaksi tersebut hanyalah bahwa tran- saksi komersial elektronik (E-Commerce) dilakukan tanpa tatap muka dan prosesnya terjadi lebih cepat serta lebih mudah. Karena tidak ada perbedaan konsep antara kedua jenis transaksi tersebut, maka suatu kontrak yang terjadi dalam transaksi komersial elektronik (E-Com- merce) pada dasarnya adalah sama dengan kontrak yang terjadi dalam

transaksi komersial konvensional dan dengan demikian hal-hal yang berlaku mengenai kontrak konvensional dapat diberlakukan pula un- tuk kontrak elektronik (e-contract). Namun, pada praktiknya masih ter- dapat banyak perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu kon- trak elektronik (e-contract).

Syarat sahnya perjanjian dari satu negara ke negara lain tidak menunjukkan perbedaan besar. Di negara-negara yang menganut sistem Common Law (Anglo Saxon Law), agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Ada kesepakatan antara para pihak

a. Ada offer (penawaran) dari offeror (pihak pemberi penawaran/ pihak pertama).

b. Ada penyampaian penawaran kepada offeree (pihak yang memperoleh penawaran/pihak kedua).

c. Ada penerimaan oleh pihak kedua yang menyatakan kehen- dak untuk terikat pada persyaratan dalam offer (penawaran) tersebut.

d. Ada penyampaian penerimaan oleh pihak kedua kepada pi- hak pertama.

2. Ada nilai/prestasi yang dipertukarkan. 3. Adanya kecakapan bertindak.

4. Adanya suatu obyek yang halal.33

Di Indonesia, syarat sahnya perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

1. Adanya kesepakatan

Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak an- tara satu pihak atau lebih dengan pihak lain. Suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran tidak ditanggapi dengan penerimaan maka kesepakatan tidak akan terjadi. Pada transaksi komersial konvensional,terjadinya kesepakatan mudah 33 Mieke Komar Kataatmadja, 2001, Cyber Law Suatu Pengantar , Elips, Bandung, hal 4-5.

diketahui karena kesepakatan dapat langsung diberikan secara lisan maupun tertulis.

Sebaliknya, dalam transaksi komersial elektronik, kesepakatan tidak diberikan secara langsung melainkan melalui media elektron- ik (khususnya internet). Dalam transaksi komersial elektronik, pi- hak yang melakukan penawaran adalah merchant atau produsen/ penjual yang dalam hal ini menawarkan barang dan jasa melalui

website. Penawaran ini dapat diakses oleh siapa saja. Jika calon pembeli tertarik untuk membeli barang yang ditawarkan maka ia hanya perlu meng-“klik” barang yang ingin dibelinya. Umum- nya setelah pesanan barang diterima oleh penjual, penjual akan mengirim e-mail kepada pembeli yang berisi konfirmasi bahwa pesanan sudah diterima. Dalam transaksi komersial elektronik (E-Commerce), kesepakatan diberikan melalui media elektronik (khususnya internet) dan akibatnya menyebabkan keraguan men- genai kapan terjadinya kesepakatan.

Adapuan teori yang dapat menentukan saat terjadinya per- janjian, yaitu:

a. Perjanjian terjadi pada saat disampaikannya persetujuan oleh pihak penerima penawaran (expedition theory).

b. Perjanjian terjadi pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak penerima penawaran (acceptor’s acceptance/trans- mission theory).

c. Perjanjian terjadi pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh offeror (reception theory).

d. Perjanjian terjadi pada saat offeror mengetahui adanya peneri- maan (information theory).34

Untuk menentukan kapan terjadinya kesepakatan dalam suatu transaksi komersial elektronik (E-Commerce) menerapkan sistem “3 Klik” dengan mekanisme kerja sebagai berikut:

a. Klik pertama: calon pembeli melihat penawaran dari calon penjual.

b. Klik kedua: calon pembeli memberikan penerimaan terhadap penawaran tersebut.

c. Klik ketiga: peneguhan dan persetujuan calon penjual kepa- da pembeli mengenai diterimanya penerimaan calon pembe- li.35

Di Indonesia belum ada ketentuan semacam ini.Ajaran yang umum diikuti menyatakan bahwa suatu perjanjian dianggap lahir saat offerte menerima jawaban. Menurut Hikmahanto Juwana, kon- trak pada transaksikomersial elektronik (E-Commerce) sudah ber- laku secara sah dan mengikat pada saat pembeli meng-klik tombol

send dan dalam hal ini pembeli dianggap telah sepakat serta meny- etujui syarat dan kondisi yang tercantum dalam penawaran.36

Dari beberapa pendapat tampaknya terdapat kesepakatan un- tuk menerapkan sistem 3 klik untuk menentukan kapan terjadinya kesepakatan. Sistem 3 klik ini hampir sama dengan sistem yang diterapkan oleh negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa, di mana klik pertama merupakan tahapan penawaran oleh calon penjual, klik kedua merupakan tahapan penerimaan oleh calon pembeli, dan klik ketiga merupakan saat terjadinya kesepakatan.37

Mengenai kapan terjadinya kesepakatan ini, Menurut hasil penelitian para pelaku transaksi komersial elektronik memberi- kan pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa dalam melakukan transaksi komersial elektronik dengan memanfaatkan

web site dan e-mail (surat elektronik bahwa kesepakatan terjadi pada saat calon pembeli menyetujui harga yang diajukan penjual. Dalam hal terdapat beberapa calon pembeli, maka calon pembeli dengan siapa kesepakatan tersebut akan dibuat, dipilih berdasar- kan waktu yang tercantum dalam e-mail (surat elektronik) yang berisikan persetujuan calon pembeli atas harga yang diminta pen- jual dan calon pembeli yang dipilih akan mendapat konfirmasi melalui e-mail.

Pendapat lain berpendapat bahwa penentuan kapan kesepak- atan terjadi bagi pihak pembeli lebih sulit karena keputusan akhir 35 Edmon Makarim, Op-Cit, hal 235.

36 Hikmahanto Juwana, 2003,Legal Issues on E-Commerce and E-Contract in Indonesia, Jurnal Hu- kum Bisnis, Volume 22, hal. 87.

terdapat di tangan penjual. Pembeli hanya bisa menunggu konfir- masi dari penjual. Dengan demikian menurutnya kesepakatan ter- jadi pada saat pembeli menerima konfirmasi dari penjual bahwa pemesanan barang dan pembayaran telah diterima oleh penjual, baik melalui website ataupun e-mail.

Berdasarkan UU ITE sebenarnya telah memberikan batasan mengenai kapan terjadinya suatu transaksi elektronik. Pasal 22 ayat (1) UUITE menyatakan bahwa transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diteri- ma dan disetujui penerima.

2. Adanya kecakapan

Pihak-pihak yang membuat perjanjian haruslah cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Cakap di sini berarti telah dewasa (telah mencapai umur 18 tahun atau telah menikah walaupun belum berumur 21 tahun. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, yang termasuk tidak cakap untuk membuat perjan- jian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Dalam perkemban- gannya isteri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

Dalam transaksi komersial elektronik sulit menentukan ke- cakapan seseorang, karena transaksi tidak dilakukan secara fisik, tetapi melalui media elektronik.

3. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan.Wa- laupun undang-undang tidak mengharuskan suatu barang sudah ada atau belum ada pada saat perjanjian, barang yang dimaksud- kan dalam perjanjian setidaknya harus ditentukan jenisnya.Lebih lanjut Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiap-tiap peri- katan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

4. Adanya suatu sebab yang halal

Sebab yang halal di sini berkaitan dengan isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak mengadakan perjanjian. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan yang dibuat karena sebab yang terlarang tidak mempunyai kekuatan. Lebih lanjut dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan bahwa yang ter- masuk dalam sebab yang terlarang adalah yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengankesusilaan dan ketert- iban umum.

Dua syarat yang pertama adalah syarat subjektif karena meru- pakan syarat mengenai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan kedua syarat yang terakhir adalah syarat objektif kare- na merupakan syarat mengenai objek perjanjian.

Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatal- kan atas permintaan pihak yang berhak atas suatu pembatalan. Namun apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjan- jian tersebut dianggap sah.

Jika syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat batal demi hukum yang berarti sejak semula dianggap tidak pernah dia- dakan perjanjian. Agar kontrak yang terjadi akibat transaksi komer- sial elektronik dapat dikatakan sah menurut hukum perdata Indo- nesia, maka kontrak tersebut juga harus memenuhi persyaratan sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.

Sayangnya kontrak yang terjadi akibat suatu transaksi komer- sial elektronik tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, terutama karena kesulitan menentukan kecakapan para pihak dan belum adanya peraturan mengenai kapan terjadinya kesepakatan dalam transaksi komersial elektronik. Prinsipnya setelah terdapat kepercayaan antara penjual dan pembeli, maka transaksi maupun kontrak yang terjadi adalah sah.

Menurut penulis berpendapat bahwa kontrak yang terjadi dalam suatu transaksi komersial elektronik dapat dikatakan sah sepanjang memang memenuhi persyaratan dalam KUH Perdata. Sifat kontrak elektronik yang tidak tertulis tidak menyebabkan kontrak tersebut menjadi tidak sah karena di dalam KUH Perdata

sendiri memang tidak ada ketentuan bahwa suatu kontrak harus dibuat secara tertulis.

UU ITE menyebutkan bahwa informasi elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang dapat dipertang- gungjawabkan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi (Pasal 4 ayat (3) dan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak (Pasal 20 ayat (1)).

Ketentuan Pasal 4 ayat (3) UUITE tersebut tidak berlaku untuk: a. Pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat;

b. Pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawi- nan dan putusnya perkawinan;

c. Surat-surat berharga yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;

d. Perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak;

e. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan

f. Dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perun- dang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya penge- sahan notaris atau pejabat yang berwenang.

Lebih lanjut, yang dimaksud dengan sistem elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sistem elektronik yang an- dal, aman, beroperasi sebagaimana mestinya. Ini mengandung arti bahwa agar suatu kontrak elektronik memiliki kekuatan mengikat, maka kontrak tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:38

a. Confidentiality

Hal ini berkaitan dengan kerahasiaan data dan/atau in- formasi serta dilindunginya data dan/atau informasi tersebut dari pihak yang tidak berwenang.

38 Supancana, Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-Commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia, www.indoregulation.com. Diakses tanggal 5 Januari 2017.

b. Integrity

Hal ini berkaitan dengan masalah perlindungan data dan/atau informasi terhadap usaha memodifikasi data dan/ atau informasi tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertang- gungjawab selama data dan/atau informasi tersebut disimpan maupun dikirimkan kepada pihak lain. Sistem pengaman ha- rus mampu memastikan bahwa data dan/atau informasi yang diterima harus sama seperti data dan/atau informasi yang di- simpan atau dikirimkan.

c. Authorization

Authorization berkaitan dengan pengawasan terhadap akses kepada data dan/atau informasi tertentu.Hal ini di- maksudkan untuk membatasi perbuatan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang untuk dapat berbuat sesuatu di dalam lingkungan jaringan informasi itu. Pembatasan ini menyang- kut sejauh mana pihak yang diberi wewenang untuk dapat melakukan hal-hal seperti mengakses, memasukkan, mem- baca, memodifikasi, menambah, menghapus, dan mencetak data dan/atau informasi.

d. Availability

Data dan/atau informasi yang disimpan atau dikirimkan melalui jaringan komunikasi harus dapat tersedia sewaktu- waktu apabila diperlukan.

e. Authenticity

Hal ini berkaitan dengan kemampuan seseorang, organ- isasi, atau komputer untuk membuktikan identitas pemilik data dan/atau informasi. Apabila suatu pesan telah diterima, maka penerima harus dapat memverifikasi bahwa pesan itu benar-benar dikirim oleh pihak yang sesungguhnya. Untuk menjamin otentisitas ini dapat dilakukan dengan menggu- nakan lembaga sertifikasi (certification authority).

f. Non-repudiation

Hal ini berkaitan dengan pembuktian kepada pihak ketiga yang independen mengenai keaslian data dan/atau informasi.

g. Auditability

Data dan/atau informasi harus dicatat sedemikian rupa sehingga terhadap data itu semua syarat confidentiality dan

integrity yang diperlukan telah terpenuhi. ddd