• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Korban Kekerasan Seksual dalam Mengakses Keadilan

POTRET KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA

Pasal 1 angka 10 Penjelasan 7 Pendamping adalah seseorang

G. Gabungan Gugatan Ganti Kerugian, Restitusi dan Kompensasi

2.4. Hambatan Korban Kekerasan Seksual dalam Mengakses Keadilan

Kekerasan seksual berdampak terhadap fisik, psikologis, dan sosial korban.129 Secara fisik, kekerasan seksual menyebabkan luka ringan hingga luka berat, cacat permanen, bahkan kematian.130 Di sisi lainnya, kejahatan ini juga mengganggu ketenangan jiwa korban, menimbulkan trauma, depresi, hingga munculnya gejala atau keinginan untuk bunuh diri.131 Korban kekerasan seksual juga mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungannya, terlebih jika lingkungan tersebut memberikan stigma terhadap korban.132 Foa dan Rothbaum memperlihatkan besarnya dampak kekerasan seksual terhadap kesehatan mental korban. dalam 20 tahun terakhir, riset keduanya menunjukkan korban perkosaan merupakan kelompok terbesar penderita gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder).133

Di samping mengalami penderitaan fisik dan psikis, korban kekerasan seksual juga masih harus menghadapi stereortip yang diberikan masyarakat terhadapnya. Korban seringkali dianggap menjadi penyebab dilakukannya kekerasan seksual karena berada pada waktu dan tempat yang tidak tepat, tidak melawan, atau karena korban sendiri yang mengundang kejahatan melalui gaya berpakaian atau perilakunya.134 Kekerasan seksual merupakan satu-satunya kejahatan dimana korbannya lebih mendapatkan stigma daripada pelaku.135

Selain itu, solusi yang dikembangkan masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual juga kurang memperhatikan kondisi korban. Opsi untuk menikahkan korban dengan pelaku masih banyak dipilih untuk menutup aib dan menjaga nama baik keluarga korban. Pada

129 Nurtjahyo, Perempuan dan Anak Korban, sebagaimana dikutip dalam Sulistyowati Irianto, ed., op.cit, hlm. 384.

130 Ibid.

131 Ibid.

132 Ibid.

133 E.B. Foa dan B.O Rothbaum, Treating the Trauma of Rape: Cognitive Behavioural Therapy For PTSD, sebagaimana dikutip dalam Akbari, et. al., op.cit, hlm. 66.

134 Nurtjahyo, Perempuan dan Anak Korban, sebagaimana dikutip dalam Irianto, ed., op.cit., hlm. 386-387.

135 The United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women), Progress of the World’s Women: In Pursuit of Justice, (New York: UN Women, 2011), hlm. 49.

tahun 2013, Legal Resource Centre untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) menerima laporan dari seorang korban perkosaan berusia 17 tahun yang berasal dari Semarang.136 Korban mengaku dirinya dipaksa menikah dengan pelaku perkosaan.137 Awalnya orang tua korban melaporkan pelaku ke polisi, namun pihak kepolisian dan keluarga pelaku terus meminta kepada keluarga korban agar korban yang hamil dinikahkan dengan pelaku sebagai bentuk pertanggungjawaban.138 Kasus serupa juga terjadi di Nusa Tenggara Timur, dimana seorang korban perkosaan berusia 15 tahun dinikahkan oleh orang tua korban dengan laki-laki berusia 70 tahun yang memperkosanya.139 Selain dinikahkan, korban juga terpaksa harus keluar dari sekolahnya karena kejadian tersebut.140 Berdasarkan survei Sense of Justice yang dilakukan MaPPI FHUI pada tahun 2016, mayoritas masyarakat (51.6%) menilai pelaku yang bersedia menikahi korban kekerasan seksual harus diberikan keringanan hukuman.141 Selain itu, riset ini juga menemukan sejumlah putusan pengadilan yang menjadikan alasan ‘pelaku bersedia menikahkan korban’ sebagai pertimbangan yang meringankan hukuman bagi pelaku.142

Berdasarkan Catatan Tahunan LBH APIK Jakarta 2020, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan masih memiliki pola masalah struktural yang sama dari tahun ke tahun, yaitu (i) penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender; dan (ii) budaya hukum di masyarakat yang belum memberikan dukungan kepada korban karena menganggap perempuan yang bertanggungjawab atas kekerasan yang dialaminya.143 Selanjutnya, kesulitan membuktikan terjadinya kekerasan seksual pada korban menyebabkan proses hukum menjadi rumit dan membutuhkan waktu penanganan yang relatif lama.144 Dari 32 kasus kekerasan seksual

136 Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL), Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), (Jakarta, Komnas Perempuan, 2017), hlm. 42.

137 Ibid.

138 Ibid.

139 Ibid.

140 Ibid.

141 MaPPI FHUI (1), op.cit., hlm. 10.

142 Pengadilan Negeri Sukoharjo, Putusan No. 106/Pid.Sus/2011/PN.SKH.

143 LBH Apik Jakarta (2), Perempuan Korban Menuntut Komitmen Negara untuk Menciptakan Ruang Aman dari Kekerasan Berbasis Gender, Catatan Akhir Tahun LBH Apik Jakarta, (Jakarta: LBH APIK Jakarta, 2020), hlm. 6

terhadap anak yang ditangani LBH APIK Jakarta pada tahun 2020, hanya 11 kasus yang bisa diproses di tingkat kepolisian dan tercatat 4 kasus yang sudah selesai pada proses persidangan.145 Data ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual, khususnya anak, masih sangat minim.146

Kasus perkosaan oleh pemilik pondok pesantren Tahfidz Irsyadul Athfal di Bogor adalah ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan kondisi penegakan hukum kekerasan seksual di atas.147 Dengan relasi kuasa yang tercipta antara ustadz dan santriwati yang baru berusia 11 dan 10 tahun, pelaku memanipulasi korban bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan imbalan atas ilmu yang diberikan dan santri harus menyenangkan ustadznya.148 Sayangnya, pihak kepolisian tidak menetapkan pelaku menjadi tersangka karena alasan tidak ada cukup bukti.149 Kasus lainnya adalah perkosaan yang dilakukan oleh guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua pada tahun 2020 terhadap anak dari teman pelaku.150 Sekalipun diyakini pelaku memperkosa korban berumur 18 tahun, tidak cukupnya bukti151 untuk membuktikan perkosaan mengakibatkan pihak kepolisian harus menghentikan penyidikan yang sudah dilakukan.152 Dalam kasus KBGO, korban kekerasan seksual juga masih mengalami berbagai kesulitan untuk mengakses keadilan. Sulitnya pelaporan karena minimnya alat bukti, pola kasus yang rumit, ancaman pelaku untuk menyebarluaskan foto dan video korban, keterbatasan ahli yang dapat menjelaskan kekerasan berbasis gender online dengan UU ITE, hingga sulitnya proses pembuktian karena harus menggunakan forensik digital adalah ragam kondisi yang tidak menguntungkan bagi korban KBGO.153

145 Ibid.

146 Ibid.

147 Komnas Perempuan (5), op.cit., hlm. 47 148 Ibid.

149 Ibid.

150 Komnas Perempuan (6), op.cit., hlm. 83-84.

151 Hambatan yang terjadi dalam proses hukum biasanya adalah beban pembuktian yang sulit, anggapan penegak hukum bahwa hubungan seksual yang terjadi atas dasar suka sama suka dan tidak adanya unsur kekerasan sehingga polisi menyarankan korban untuk mencabut laporan. LBH Apik Jakarta (2)., op.cit., hlm. 27.

152 Ibid.

153 Ibid., hlm.32

Di samping hal-hal tersebut, korban juga dibebani tanggung jawab untuk mencari saksi yang melihat kejadian, sekalipun bukti visum dan pengakuan pelaku sudah diperoleh oleh penyidik.154 Sebagai akibatnya, korban lelah dengan kompleksitas proses hukum sehingga memutuskan untuk berdamai dengan pelaku dan mencabut laporan polisi.155

Walaupun telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang cukup memadai, prosedur dan praktik di lembaga peradilan masih kerap mendiskriminasikan korban kekerasan seksual. Pengadilan kerap kesulitan menjamin hak-hak korban, tidak memiliki sarana prasarana yang cukup, hingga tidak memiliki kemampuan yang baik untuk menangani kasus kekerasan seksual. Berikut ini berupakan hambatan dan fakta yang banyak terjadi dihadapi oleh korban kekerasan seksual ketika mencari keadilan: