• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Perkara PBH

POTRET KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA

A. Pemeriksaan Perkara PBH

Hakim diharuskan mengidentifikasi fakta-fakta persidangan dengan mempertimbangkan asas-asas yang menjadi fondasi peraturan ini, misalnya asas non-diskriminasi dan kesetaraan gender48 yang berfungsi sebagai parameter bagi hakim untuk menggali adanya ketidaksetaraan dan kerentanan yang dialami oleh PBH. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut:

“Hakim dalam pemeriksaan perkara harus mempertimbangkan asas kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta-fakta persidangan sebagai berikut:

47 Ibid., Ps. 46.

48 Pasal 4 Perma No. 3 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut: “Hakim mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum berdasarkan asas: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;

b. non-diskriminasi; c. Kesetaraan Gender; d. persamaan di depan hukum; e. keadilan; f. kemanfaatan;

a. ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara;

b. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;

c. diskriminasi;

d. dampak psikis yang dialami korban;

e. ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;

f. relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan g. riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.”

Dalam mengidentifikasi ketidaksetaraan antara para pihak yang berperkara, hakim perlu menggali ketidaksetaraan gender maupun status sosial.49 Hakim juga harus menggali kemudahan PBH mengakses perlindungan hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, untuk mempertimbangkan ketidaksetaraan akses yang berdampak terhadap terhambatnya PBH dalam mengakses keadilan.50

Selain itu, PERMA ini juga, untuk pertama kalinya, memberikan definisi mengenai relasi kuasa dengan rumusan sebagai berikut:

“Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierakis, ketidaksetaraan dan/

atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah”51

Lebih lanjut, relasi kuasa dimaksud dapat terjadi dalam berbagai lingkup, antara lain namun tidak terbatas pada lingkup rumah tangga (misalnya antara suami dan istri), lingkup pekerjaan (direktur dan karyawan, sutradara dan artis, majikan dan asisten rumah tangga), dan lingkup pendidikan (guru dan murid).52

49 Arsa Ilmi, et. al., Panduan Pemantauan PERMA No. 3 Tahun 2017 Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, cet. 1, (Depok: Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020), hlm. 16.

50 Ibid., hlm. 17.

51 Mahkamah Agung, PERMA No. 3 Tahun 2017, Ps. 1 Angka 9.

52 Ibid.

Sehubungan dengan hal tersebut, hakim perlu untuk menggali hubungan kekuasaan antara pelaku dan korban yang mengakibatkan atau memperburuk ketidakberdayaan korban tersebut.53 Hubungan kekuasaan ini sedemikian kuatnya sehingga seseorang mampu membuat orang lain melakukan apa yang mereka inginkan, baik dengan paksaan atau dengan cara yang halus.54 Selain itu, hakim juga harus mendalami dampak perbuatan pelaku terhadap kondisi psikis korban seperti perubahan sikap menjadi murung, ketakutan, cemas serta depresi.55 Temuan-temuan ini akan memperjelas konstruksi relasi yang terbangun antara korban dan pelaku yang berujung pada dilakukannya kekerasan seksual terhadap perempuan korban.

Pada tataran implementasi, ketidakberdayaan saksi/korban dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu ketidakberdayaan fisik maupun psikis.56 Menurut Panduan Pemantauan PERMA 3/2017, ketidakberdayaan fisik didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang secara fisik untuk melakukan atau mencegah suatu perbuatan, misalnya seseorang dapat dikategorikan tidak berdaya secara fisik bila mengalami lumpuh, menderita stroke atau penyakit berat, dalam kondisi pingsan dan lanjut usia.57 Sementara itu, ketidakberdayaan psikis adalah ketidakmampuan seseorang secara psikis untuk melakukan atau mencegah suatu perbuatan, misalnya orang dengan down syndrome dan disabilitas mental.58

PERMA ini juga memberikan kritik terhadap fenomena penegakan hukum yang menyalahkan korban atas tindak pidana yang menimpa dirinya.

Kondisi ini dipengaruhi oleh pola pikir patriarkis yang dianut penegak hukum dan masyarakat dengan melihat perempuan sebagai sumber masalah yang mendorong laki-laki melakukan perbuatan melawan hukum. Situasi yang demikian seakan-akan memberikan justifikasi bagi kekerasan yang diderita perempuan sekaligus menjadi unsur pemaaf bagi laki-laki yang melakukan kekerasan.

53 Ilmi, et. al., loc.cit.

54 Ibid.

55 Ibid., hlm. 18.

56 Ibid.

57 Ibid.

Untuk mengatasi hal tersebut, PERMA Nomor 3 Tahun 2017 mengatur hal-hal yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menyikapi PBH di persidangan. Secara lebih khusus, Pasal 5 PERMA ini mengatur larangan-larangan hakim dalam melakukan pemeriksaan, di antaranya:

a. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum;

b. membenarkan terjadinya Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias Gender;

c. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku;

dan

d. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung Stereotip Gender.

Selain itu, PERMA Nomor 3 Tahun 2017 juga mengharuskan hakim menegur pihak-pihak yang merendahkan perempuan berhadapan dengan hukum selama pemeriksaan persidangan. Hal ini diatur dalam Pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut:

Selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/

atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Di samping mengatur tata cara pemeriksaan pada perkara pidana, Pasal 11 PERMA di atas memberikan rambu-rambu bagi hakim agung saat melakukan pemeriksaan uji materiil yang terkait dengan PBH agar mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. prinsip hak asasi manusia;

b. kepentingan terbaik dan pemulihan Perempuan Berhadapan dengan Hukum;

c. konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi;

d. Relasi Kuasa serta setiap pandangan Stereotip Gender yang ada dalam peraturan perundang-undangan; dan

e. Analisis Gender secara komprehensif.