• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik terdakwa

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PERKARA KEKERASAN

3.2 Fenomena Kekerasan Seksual yang diselesaikan oleh Pengadilan

3.2.1 Karakteristik terdakwa

Dalam putusan yang dianalisis, pelaku kekerasan seksual yang diadili di pengadilan merupakan pelaku tunggal yang menempati urutan teratas dengan248 dengan 98.5%. Sementara itu, kasus yang dilakukan oleh dua terdakwa hanya mencatatkan 1,1% dari keseluruhan data, begitu pula dengan tiga pelaku dengan proposi 0,3% dan lima terdakwa dengan 0,1%.

Grafik 10

Jumlah terdakwa dalam putusan n = 735

98,5%

1,1% 0,3% 0,1%

1 terdakwa 2 terdakwa 3 terdakwa 5 terdakwa

Di sisi lainnya, seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya, pelaksanaan kekerasan seksual oleh pelaku tunggal ternyata juga berkorelasi dengan repetisi perbuatan, terlebih jika terdapat relasi kuasa yang menempatkan korban dalam posisi yang jauh lebih rentan

246 Ibid.

247 Komnas Perempuan (6), loc.cit.

248 Terdakwa tunggal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pihak yang tertera sebagai terdakwa dalam dokumen putusan yang diindeksasi. Hal ini tidak menuntup kemungkinan bahwa terdapat terdakwa lain yang sebetulnya ada di perkara yang sama namun didakwa di berkas perkara yang

1 terdakwa 2 terdakwa 3 terdakwa 5 terdakwa

untuk mengalami kekerasan seksual. Dari seluruh putusan yang memiliki 1 (satu) orang terdakwa, ditemukan fakta lainnya bahwa bahwa 77.3 persen terdakwa melakukan kekerasan seksual berulang kali kepada korban, atau terjadi repetisi249 kekerasan seksual. Pada temuan di bawah juga akan dijelaskan bahwa mayoritas kekerasan seksual tersebut terjadi di ranah personal dan dilakukan oleh terdakwa yang merupakan pacar dan anggota keluarga PBH yang merupakan korban.

Grafik 11.

Jenis kelamin terdakwa n = 735 Perempuan

1,0%

Laki-laki 99,0%

Pada grafik 11 di atas ditemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan berjenis kelamin laki-laki (99 persen) dengan mayoritas korbannya adalah anak-anak (71,4 persen) dan saianya dilakukan terhadap orang dewasa.

Sementara itu, pelaku yang berjenis kelamin perempuan (1 persen) selalu melakukan kekerasan seksual kepada korban perempuan. Dalam hal terdakwa kekerasan seksual adalah perempuan, mereka terjerat kasus-kasus pencabulan, pencabulan terhadap anak, eksploitasi anak dan juga perkosaan.

Temuan ini kembali beresesuaian dengan akar kekerasan seksual, yakni budaya patriarki di Indonesia, yang notabene memposisikan

249 Repetisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan pelaku yang dilakukan secara berkali-kali kepada korban yang sama. Ini mengacu dari konsep concursus realis dalam pasal 65 KUHP. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub-bab repetisi.

Laki-laki 99,0%

Perempuan 1,0%

perempuan sebagai pihak yang lemah.250 Sistem sosial di masyarakat telah melanggengkan kerentanan sebagai bagian dari kehidupan banyak perempuan.251 Keadaan ini terbentuk atas pengaruh konstruksi sosial, nilai dan norma, adat-istiadat serta tafsir agama yang tidak selalu menguntungkan perempuan dan rentan diperalat untuk melanggengkan budaya dan praktik patriarki.252 Hal-hal tersebut tercermin dalam berbagai kebiasaan di masyarakat maupun kebijakan yang seringkali merugikan perempuan.253 Prasangka buruk dan diskriminasi terhadap perempuan sudah begitu mendarah daging dalam peradaban manusia sehingga tatanan patriarki dengan superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan tampak sebagai urutan yang ‘alami’.254 Hal ini kerap menjadi justifikasi mengapa laki-laki melakukan kekerasan seksual, baik dengan unsur paksaan maupun dengan memanfaatkan kerentanan perempuan.

Grafik 12.

250 Hilaire Barnett, Introduction to Feminist Jurisprudence, (Britania Raya: Cavendish Publishing Limited, 1998), hlm. 12.

(Dewasa Awal) 36-45 tahun

(Dewasa Akhir) 46-45 tahun

(Lansia Awal) 56-65 tahun

(Lansia Akhir) >65 tahun

(Manula) Tidak ada informasi

Dengan mengacu pada kategorisasi usia oleh Departemen Kesehatan RI255, riset ini menunjukkan bahwa mayoritas pelaku kekerasan seksual berada dalam rentang usia 18-25 tahun atau kelompok usia remaja dengan proposi sebesar 33,5 persen. Kelompok usia pelaku kekerasan seksual paling tinggi selanjutnya adalah rentang usia 26-35 tahun atau kelompok usia dewasa awal (21,5 persen) diikuti dengan rentang usia 8-17 tahun atau kelompok usia anak (14,1 persen) dan rentang usia 36-45 tahun atau kelompok usia dewasa akhir (13,5 persen). Kelompok usia yang lebih tua, seperti kelompok usia lansia awal, lansia akhir dan manula, terhitung lebih sedikit daripada empat kelompok usia sebelumnya yang lebih muda.

Grafik 13.

Dengan data tersebut, perlu ada perhatian khusus yang diberikan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kurikulum formal pendidikan seks di seluruh jenjang pendidikan dengan menyesuaikan kemampuan penalaran dan tahapan tumbuh kembang anak, sensitif gender, serta

255 Sebagaimana yang tertera dalam Departemen Kesehatan RI. Klasifikasi Umur menurut Kategori.

(Jakarta: Ditjen Yankes, 2009) yang dimodifikasi oleh peneliti dengan menyesuaikan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di mana anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun. Dalam kategori oleh Depkes (2009) ini, usia 12-16 tahun adalah remaja awal dan usia 17-25 adalah remaja akhir. Maka peneliti menggunakan kategori anak sesuai UU Perlindungan Anak, dan untuk kategori remaja akhir diubah menjadi Remaja untuk mengikuti pengkategorian terhadap Anak sesuai UU tersebut.

akurat secara medis.256 Dengan kata lain, pencegahan agar seseorang tidak menjadi pelaku kekerasan seksual dapat dimulai dari tahap pendidikan dini sebagai bekal setiap anak menjalin relasi yang sehat kelak.

Dari Grafik 13 ini, dapat dilihat bahwa mayoritas terdakwa sebagai pelaku kekerasan seksual memiliki status perkawinan (35,1 persen) dan diikuti dengan status perkawinan belum menikah (30,5 persen). Di sisi lain, riset ini juga menunjukkan putusan pengadilan yang tidak mengidentifikasi status perkawinan terdakwa dengan proposi yang cukup tinggi, yaitu 31,2 persen.

Dengan posisi yang demikian, tidak menutup kemungkinan jika angka terdakwa dengan status perkawinan menikah, belum menikah, maupun yang sudah bercerai hidup/mati juga turut bertambah.

Tingginya kuantitas terdakwa kekerasan seksual yang telah menikah menunjukkan bahwa pernikahan tidak secara otomatis akan menghentikan seseorang untuk melakukan kekerasan seksual. Selain melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain di luar lingkup rumah tangganya, laki-laki menikah menjadi pihak yang paling sering dilaporkan sebagai pelaku kekerasan seksual dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, baik berstatus sebagai suami maupun orang tua.257

Hal yang patut diperhatikan dari data-data tersebut adalah orang tua, ayah kandung dan ayah angkat memiliki prevalensi yang tinggi sebagai pelaku kekerasan seksual. Kondisi ini terlihat dengan jelas pada kekerasan seksual yang bernuansa inses terhadap anak kandung dan/atau anak angkat serta kekerasan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, misalnya asisten rumah tangga/pekerja rumah tangga.

Sepanjang 2018-2020, Komnas Perempuan juga mencatat adanya laporan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sekalipun pengaduan kasus inses dan marital rape menurun selama masa pandemi Covid-19.258 Penurunan laporan ini juga disebabkan oleh keterbatasan lembaga

256 Aspek pendidikan kesehatan reproduksi (dalam konteks pendidikan seks) yang dimasukkan dalam muatan lokal dapat ditemukan dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial serta pendidikan agama, akan tetapi masih ditemukan penolakan oleh orang tua murid maupun pemuka agama, lihat Zainal Fatoni, et al., “Implementasi Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi,” Jurnal Kependudukan Indonesia 10 (Juni 2015), hlm. 65-74.

257 Komnas Perempuan (5), op.cit., hlm. 15.

layanan korban sepanjang pandemi Covid-19 dan keterbatasan mobilitas korban yang menjadi hambatan tersendiri untuk mengadukan kasusnya.259

Grafik 14.

Total lama penahanan terdakwa n = 735

1,8%

9,3% 9,9%

44,2%

26,3%

3,8% 0,8%

>1 bulan 1 - 2 bulan > 2 - 4 bulan > 4 - 6 bulan > 6 - 8 bulan > 8 - 10 bulan > 10 bulan

Pada bagian lainnya, Grafik 14 di atas menunjukkan lama penahanan terdakwa selama menjalani proses hukum dari tahap penyidikan hingga persidangan. Sebagian besar pelaku kekerasan seksual menjalani penahanan selama 4-6 bulan (44,2 persen) dan pada rentang 6-8 bulan sebanyak 26,3 persen.

Sehubungan dengan hal tersebut, jangka waktu penahanan bagi terdakwa dalam setiap tahapan peradilan pidana telah memiliki pengaturannya masing-masing dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

259 Ibid.

>1 bulan

1,8%

1-2 bulan

9,3% 9,9%

3,8% 0,8% 0,3% 3,7%

44,2%

26,3%

>2-4 bulan >4-6 bulan >6-8 bulan >8-10 bulan >10 bulan Tidak ada informasi

Tidak ditahan

Tabel 14.1

Pengaturan lama penahanan dalam KUHAP

Tingkat Penahanan

Pihak yang Berwenang

Melakukan Penahanan Dasar Hukum

Maksimal Penyidikan Penyidik, dapat

diperpanjang oleh Penuntut Umum

Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

20 hari 40 hari

Penuntutan Penuntut Umum, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri

Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

20 hari 30 hari

Pemeriksaan di Pengadilan Negeri

Hakim Pengadilan Negeri, dapat

diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri

Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

30 hari 60 hari

Pemeriksaan di Pengadilan Tinggi

Hakim Pengadilan Tinggi, dapat

diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

30 hari 60 hari

Pemeriksaan di Pengadilan Tingkat Kasasi

Hakim Mahkamah Agung, dapat

diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung

Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

50 hari 60 hari

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) KUHAP, jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang guna kepentingan pemeriksaan. Adapun perpanjangan penahanan tersebut harus berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, antara lain karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau karena perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan pada Pasal 29 ayat (1) KUHAP diberikan untuk paling lama 30 hari dan dalam penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 hari.260

260 Indonesia, Undang Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No.

Tabel 14.2 Tabel 14.3

Lama penahanan di penyidikan Lama penahanan di penuntutan n = 735 n = 735

Nama kategori Persentase Nama kategori Persentase

<1 bulan 15,6% <1 bulan 83,0%

1 - 2 bulan 43,8% 1 - 2 bulan 10,5%

> 2 - 4 bulan 29,9% > 2 - 4 bulan 1,8%

> 4 - 6 bulan 1,4% Tidak ada informasi 0,5%

> 6 bulan 0,4% Tidak ditahan 4,2%

Tidak ada informasi 1,4%

Tidak ditahan 7,5%

Tabel 14.4

Lama penahanan di persidangan n = 735

Jika diperhatikan secara saksama pada Tabel 14.2 hingga Tabel 14.4 , mayoritas penyidik menahan terdakwa dalam jangka waktu 1-2 bulan (43,8 persen) dan 2-4 bulan (29,9 persen). Penting untuk diingat bahwa total masa penahanan pada tahap penyidikan yang diperbolehkan KUHAP berkisar pada 90-120 hari, termasuk jika penahanan tersebut diperpanjang karena ketentuan Pasal 29 KUHAP. Dengan masih ditemukannya

Nama kategori Persentase

<1 bulan 15,9%

1 - 2 bulan 10,3%

> 2 - 4 bulan 66,0%

> 4 bulan 3,5%

Tidak ada informasi 0,6%

Tidak ditahan 3,7%

penahanan dalam tahap penyidikan yang melebihi tiga bulan atau 120 hari pada Tabel 14.2, data-data ini menunjukkan potensi malpraktik yang terjadi dalam penahanan di tahap penyidikan. Oleh karenanya, tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum jika mengikuti ketentuan Pasal 29 ayat (6) KUHAP.

Selanjutnya, Tabel 14.3 menunjukkan mayoritas lama penahanan pada penuntutan berlangsung selama kurang lebih 1 bulan (83 persen). Temuan ini menunjukkan kesesuaian antara praktik di lapangan dan ketentuan dalam KUHAP terkait masa penahanan yang dilakukan pada tahap penuntutan. Tren yang sama juga ditemukan untuk penahanan pada tahap persidanga. Tabel 14.4 mencatat sebagian besar masa penahanan di tahap persidangan mayoritas berlangsung selama 2-4 bulan (66 persen). Hal ini sesuai dengan pengaturan dalam KUHAP dan SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 Lingkungan Peradilan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama paling lambat dilakukan dalam waktu 5 bulan.