• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan dan Tantangan Bidan Praktek Mandiri Untuk Berpartisipasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional Berpartisipasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional

Bidan Praktek Mandiri

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.3.3 Hambatan dan Tantangan Bidan Praktek Mandiri Untuk Berpartisipasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional Berpartisipasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional

Prosedur kerjasama antara bidan praktek mandiri dengan BPJS Kesehatan haruslah melalui dokter keluarga. BPM harus melakukan jejaring dengan dokter keluarga,klinik,atau puskesmas. Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing anggota tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi (sharing) baik dalam risiko maupun keuntungan yang diperoleh. Terdapat tiga kata kunci dalam kemitraan, yaitu: (1) Kerja sama antara kelompok, organisasi dan individu, (2) Bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang disepakati bersama, (3) Saling

41 menanggung risiko dan keuntungan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar partisipan menyatakan tidak setuju dengan sistem jejaring antara dokter keluarga dengan BPM. Hal inilah yang menjadi hambatan terbesar dari BPM untuk ikut menyukseskan JKN.

“sebenernya untuk bidannya sih ya lebih susah ya karena harus mencari dokter

umum gitu, harus berjejaring. Tapi kalo dokternya sendiri juga apa ini lebih enak sih dia, kalo kita kan harus nyari dokter –dokter lagi gitu.” (Informan 4).

“Ya, yang kita harapkan kan yang berkartu JKN itu juga bisa kita layani. Tanpa

harus ke jejaring lagi, ee ke dokter lagi dulu, dokter merujuk ke kita, kan seperti itu

Dokter keluarga juga menyatakan ketidaknyamannnya dengan sistem jejaring karena subjektivitasnya sangat tinggi tidak berdasarkan proses crendentialing yang ideal. Selanjutnya proses administrasi yang panjang juga membuat dokter sering merasa tidak enak dengan BPM yang dijadikan sebagai jejaring.

Sebenarnya menurut pribadi ini ya, bukan mewakili apa. Idealnya kita nggaak, eee menurut saya ni, jangan, dokter praktek swasta terutama, kita diminta untuk

membuat jejaring….. Karna untuk memudahkan administrasi, keuangan itu yang

utama, yang kedua kalo ada unsur subjektifitas jadinya dari dokter pribadi kalo kita memilih siapa siapa itu…Padahal kalo dokter yang menjadi jejaring kan harus mengikuti persyaratan recredensialing yang seperti itu idealnya menurut kami supaya adil, itu juga disamakan, disamping juga memastikan kualitas pelayanan, memasitakan dia fee nya juga harus jelas, meskipun dia bukan kapitasi tetapi klaim” (Informan 9).

Hal berbeda disampaikan oleh seorang dokter kelurga yang lain. Hasil wawancara dengan dokter keluarga ini menyatakan bahwa mereka setuju dengan sisitem jejaring , sehingga memudahkan untuk melakukan pengawasan .Sehingga bila terjadi suatu masalah terhadap pelayanan terhadap masyarakat, maka bidan dapat mengkonsultasikannya dengan dokter

42

“satu atap, tidak terpisah gitu ya, artinya pengawasan bisa lebih dekat gitu, jadi

sepertinya pasien juga tidak kesulitan untuk artinya mereka kan harus ke ke pertama kali harus ke dokter dulu, gak bisa mereka itu langsung ke bidan

(Informan 10)

Seorang BPM juga menyatakan hal positif mengenai sistem jejaring dalam JKN karena akan mudah dalam melakukan pengawasan.

“….kalau yang positif mungkin tanggung jawabnya dia punya diatasnya, bidan

ngga mungkin kalau dalam praktek bidan itu kan harus ada dokter pengawas itu, jadi kita punya apa, artinya kita punya tanggung jawab tapi ada yang lebih bisa mengginikan kita apa namanya pengawasan untuk kita, jadi tidak langsung di

pengawasan untuk pelayanannya…”(Informan 2).

Sebagian besar partisipan merasa bahwa sistem yang diberlakukan dalam program Jampersal lebih membuat BPM merasa nyaman dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kebidanan dan neonatal.

“Lebih enak jampersal, gampang pakai sim boleh pakai kipem boleh pakai surat

kawin bole juga itu kalau sekarang harus ke bpjs pasiennyamungkin dia juga tidak mengerti selama ini kan bidannya yg menjelaskan bpjs bukan dari hati pasien dia ikut karena dia memerlukan, kalau asuransi kn dia ikut dulu kalau ini beda kalau dia perlu baru dia ikut itupun kalau saya kasi saran ikut bpjs

(Informan 8).

“…. karena kita kan kerjanya sepertinya sudah mandiri, kalo kita kerja mandiri

ngapain kita harus ikut jejaring orang lain lagi, kan seperti itu. Harapan saya bidan ya seperti itu, kayak Jampersal seperti dulu anunya ee metodenya seperti

dulu, kan Jampersal langsung ke bidan.”(Informan 3).

modelnya, lebih panjang rantai itunya, birokrasinya jadinya “(Informan 3).

Pernyataan BPM tersebut diatas didukung oleh perwakilan IBI yang diwawancarai. Banyak bidan yang menyatakan kepada IBI bahwa Jampersal lebih baik dan mudah dilaksanakan daripada JKN.

Lebih mudah memang untuk Jampersal, seluruh penduduk kita itu,,, yang penting dia bawa KTP..(Informan 11)

43

Selain harus berjejaring sistem klaim dan adanya potongan biaya administrasi dari dokter keluarga yang diajak bekerja sama juga dikeluhkan oleh BPM yang menjadi partisipan.

.”…Selama tahun 2015 klaim ke bpjs tidak bisa karena pasiennya baru ikut,

sedangkan aturannya terlalu ketat harus dw I 1 kali dw 2 dua kali sedangkan dia pindah2 tidak bisa di klaim bulan ini tahun ini (Informan 8).

Menurut pihak IBI, dalam sistem jejaring JKN pihak dokter keluarga diijinkan untuk melakukan pemotongan sampai dengan 10%. Namun pihak IBI menyepakati bahwa pemotongan hanya 5% saja.

“... Jejaring itu akan memotong penghasilan orahang tiang nggih, penghasilan

yang kita dapatkan nika ee maksimal 10% saat nika ee kita sudah deal 5%, sudah

deal 5% “(Informan 7)

Pemotongan sebesar 10% oleh dokter keluarga sebagai FKTP memang sudah sesuai dengan aturan yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan. Seperti yang disampaikan oleh pihak BPJS Kesehatan berikut ini :

“…omset yang bisa diperoleh oleh dokter fktp induknya maksimal 10% , tapi unutk nominal pastinya itu tergantung dari kesepakatan kedubelah pihak, tapi

dalam regulasi sudah disebutkan maksimal 10%”..(Informan 16)

Hal berbeda disampaikan oleh salah seorang partisipan yang menjadi jejaring BPM. Partisipan menyatakan bahwa bidan yang ber PKS dengannya hanya diberikan 15% dari klaim yang telah diberikan. Hal ini dikarenakan bidan yang diajak bekerja sama berstatus sebagai karyawan dari dokter tersebut.

“ee jadi, karena ini statusnya dia karyawan disini, jadi kita memang berikan dia

ee gaji bulanan lah yang yang ini ee tetap gitu ya, kemudian kalo ada ee partus

kita berikan jasa medisnya itu 15% untuk dari biaya itu dibagi untuk mereka”

44 Berdasarkan Surat Edaran Direktur Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 143 Tahun 2014 tentang Implementasi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 menjelaskan bahwa : Pemeriksaan ANC dan PNC/neonatus dapat diberikan dan ditagihkan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama (FKTP), Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk. Pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 % dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014), Tarif pemeriksaan ANC merupakan tarif paket untuk pelayanan ANC paling sedikit 4 (empat) kali pemeriksaan dalam masa kehamilannya yaitu 1 (satu) kali pada trimester pertama, 1 (satu) kali pada trimester kedua, dan 2 (dua) kali pada trimester ketiga kehamilan dan tidak dapat dipecah menjadi 4 (empat) misalnya per kali pemeriksaan masing-masing Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

Keluhan lain yang disampaikan oleh BPM adalah meskipun mereka telan berjejaring dengan dokter sebagai provider JKN namun mereka jarang bahkan belum pernah menerima pasien dari dokter keluarga.

Nah itu dah, karena belum ada bu... belum ada pasien makanya saya nggak

terbayang gimana prosesnya nanti, lancar atau bagaimana…”(Informan 6).

Masih sedikit sih saya.. ini kan baru saya sama dokternya.. ini juga baru-baru dan ada beberapa yang pasien JKN masih hamil dia datang kesini...(Informan 5)

Pihak IBI yang banyak merekomendasikan bidan untuk berjejaring dengan dokter juga menyatakan bahwa banyak bidan yang mengeluh karena pasien JKN sangat sedkit yang dikirim oleh doker keluarga kepada BPM

“Pada waktu tiang mengadakan evaluasi kan tiang sudah tanya. „Adik ikut

dengan siapa‟nah antara lain bilang, „saya sudah ikut tapi sama sekali tidak

pernah dikirimi pasien, ada yang ikut, saya baru dikirimin 2 pasien sudah 3

45 IBI berusaha meredakan keresahan BPM yang belum atau tidak mendapat pasien dari dokter keluarga dengan memberikan nasehat membangun sehingga bias membuat BPM tetap bertahan untuk bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sebagai jejaring dokter.

“…jangan negatif pemikiran kita dulu, mungkin aja di dokter itu tidak ada untuk persalinan, untuk permeriksaan hamil, untuk KB, kenten. Tiang yang jawab gitu, untuk lebih jelasnya nantik tanyak lagi ke dokternya kentenang tiang. Tolong di list saja, nantik sampaikan lewat BBM atau SMS” (Informan 7)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hatta, dkk (2013) tentang peran dokter dalam pelayanan maternal di puskesmas kota Yogyakarta menunjukkan bahwa berdasarkan analisis univariat ditemukan peran dokter dalam pelayanan maternal di puskesmas sebanyak 61% responden tidak ingin menawarkan intrapartum kepada pasiennya, karena ada 47% responden merasa tidak kompeten dalam obstetri, merasa kurang percaya diri sebanyak 44%, takut ligitasi hukum 33,3% dan karena kurangnya remunerasi 72,2% serta alasan lainnya adalah dokter tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu 55,6% dan mengikuti sikap sesama dokter 36,1%. Disisi lain ternyata ada 61,1% responden yang tidak setuju bila ibu hamil tanpa komplikasi untuk partus di bidan, dan 77,8% responden tidak setuju bila bidan melakukan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kelainan pada infant. Namun sayangnya dokter tidak mau dipanggil ke rumah untuk menolong partus (75%), menolak ibu hamil yang ingin partus di rumahnya sendiri (77,8%), yang menarik adalah ditemukan 50,8% dokter yang setuju untuk melepas kewenangannya kepada bidan dalam perawatan maternal. Terdapat 66,7% dokter tidak setuju bila ibu hamil bebas memilih tempat melahirkan di rumah atau fasilitas kesehatan dan 94,4% responden setuju pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan ibu hamil partus di fasilitas kesehatan. Didapati pula ada 83,3% responden mengatakan bahwa beban kerjanya ringan dan 50% berpendapat tidak ada potensi sengketa antara profesi bila berperan dalam pelayanan maternal.

BPM sangat berharap agar ada upaya – upaya perubahan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan agar lebih bisa mengakomodir bidan yang memiliki motivasi unutk menyukseskan program pemerintah.

46

untuk harapannya kalau seandainya memang nanti diharuskan semua BPM harus ikut, lebih transparan jadi lebih transparan baik itu dari awal sosialisasilah kita ditransparan apa yang kita lakukan supaya nanti dipertengahan kita kadang dibingungkan itu jadinya ada penransparan apa itu bagaimana prosedurnya

bagaimana mungkin pengklaimannya…”(Informan 2)

ee yang bisa secara langsung melibatkan bidan ya tanpa tadi ada transit lagi ke

dokter,.. “ee lebih dipermudah, seperti itu. Kalopun seperti itu, dipermudah,

mungkin kita bidan akan beramai ramai ikut eee PKS nya dengan JKN.”

(Informan 3)

ya mungkin tarifnya lebih dinaikkan ya, karena kita kan khususnya untuk persalinan disini kita memantaunya bukan satu dua jam aja, kita sampe dari bukaan awal sampe lengkap itu perlu proses kan, perlu tenaga, perlu biaya juga banyak, kalo dari klaimnya cuma segitu aja kan kayaknya kita capek tapi

47

BAB V