• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PERANAN PEMERINTAH, PERUSAHAAN DAN

C. Hambatan dan Tantangan Penerapan CSR

Untuk mewujudkan CSR memang tidak mudah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa cara pandang perusahaan terhadap CSR yaitu :121

1. sekedar basa – basi dan keterpaksaan

bahwa CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal (external driven). Tanggung jawab PT. Lapindo Brantas kepada para korban lumpur panas merupakan contoh kongket adanya indikasi social driven dan environmental driven. Pemenuhan tanggung jawab lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan. Contoh yang sama juga dialami oleh PT. Freeport. Bentuk lainnya adalah karena reputation driven, motivasi pelaksanaan CSR yaitu untuk mendongkrak citra perusahaan.

2. sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance)

CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena adanya market driven. Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk – produk lingkungan seperti perusahaan – perusahaan yang menerapkan ecolabeling. Bank – bank di Eropa juga telah menurunkan regulasi dalam masalah pinjaman yang hanya diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Tren global lainnya dalam bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori – kategori

121

saham – saham perusahaan yang telah mengimplementasikan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index

(DJSI) bagi saham – saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai CSR yang baik. London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001. Langkah ini juga diikuti oleh negara Asia, seperti Hangseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange.

Konsekuensi dari adanya indeks – indeks tersebut memacu investor untuk menanamkan investasinya hanya pada perusahaan yang sudah masuk dalam indeks tersebut. Adanya penghargaan – penghargaan (reward) juga merupakan driven lainnya yang mampu memaksa perusahaan untuk mengimplementasikan CSR.

3. bahwa perusahaan tidak lagi sekedar compliance tetapi beyond compliance CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam

(internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha. CSR tidak lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang. Logikanya sederhana, apabila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden maka biaya untuk mengcover risikonya jauh lebih

besar daripada nilai yang hendak dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri. Selain itu terjadi risiko non – finansial yang berpengaruh buruk pada citra korporasi dan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan.

Dengan demikian menciptakan nuansa beyond compliance inilah yang sebenarnya menjadi tantangan sekaligus kesempatan agar corporate sustainability

dapat diraih dengan baik.

Selanjutnya ada beberapa kendala yang dihadapi dalam mewujudkan kinerja bisnis yang etis seperti CSR ini yaitu :122

1. Mentalitas para pelaku bisnis, terutama apabila top management yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja bisnis

2. Faktor budaya masyarakat yang cenderung memandang pekerjaan bisnis sebagai profesi yang penuh tipu muslihat dan keserakahan serta bekerja hanya untuk mencari untung saja.

3. Faktor sistem politik dan sistem kekuasaan yang diterapkan oleh penguasa sehingga menciptakan sistem ekonomi yang jauh dari nilai – nilai moral. Namun, perlu diketahui perusahaan mengimplementasikan CSR juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : pertama, terkait dengan komitmen pimpinan perusahaan. Kedua, ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan yang lebih besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusinya. Ketiga, regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin kondusif regulasi dan semakin

122

besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat dan ketertarikan kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.123

Dengan demikian pada dasarnya hambatan atau rintangan yang timbul dalam pelaksanaan CSR sebagai perilaku etika dapat berasal dari dalam diri pelaku bisnis/perusahaan (hambatan internal) dan berasal dari luar diri perusahaan (hambatan eksternal). Hambatan yang berasal dari dalam diri perusahaan yaitu antara lain :

124

1. Kepemimpinan dalam dalam perusahaan

Pimpinan perusahaan yang tidak tanggap dengan masalah sosial, jangan diharapkan akan mempedulikan aktivitas sosial.

2. Sistem manajemen perusahaan dalam arti luas

Perusahaan yang lebih besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusinya daripada perusahaan yang lebih kecil dan belum mapan. Kematangan manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan menjadi tolak ukur/ cara pandang terhadap implementasi CSR.

3. Budaya perusahaan (corporate culture)

Budaya dalam hal ini mencakup pelbagai tingkat dan aspek dari perilaku, yaitu cara produksi, skill, sikap terhadap disiplin, dan hukuman, kebiasaan,

123

Harapan Untuk Berbagi Madu”, Harian Kompas, tanggal 4 Agustus 2007 124

Robby I. Chandra, Op.cit., hal. 69 - 70

Lihat juga Bambang Rudito dan Melia Famiola, Op.cit., hal. 120 bahwa budaya perusahaan lebih mengacu pada bagaimana membentuk sebuah pedoman dalam sebuah kelompok atau komunitas yang dapat dijadikan acuan bagi komunitas untuk bertindak dan bertingkah laku dan menjadikannya sebagai jati diri komunitas yang bersangkutan. Secara keseluruhan pedoman tersebut dapat dikatakan sebagai kebudayaan karena sifatnya yang mendorong mewujudkan tingkah laku bagi anggota – anggotanya dan fungsinya sebagai alat guna memahami lingkungan perusahaan yang bersangkutan.

nilai yang diletakkan atas pelbagai kegiatan, keyakinan yang dianut, proses pengambilan keputusan, dan aturan serta tabu.

Di samping hal – hal tersebut di atas, terdapat juga faktor hambatan yang berasal dari luar perusahaan (hambatan eksternal) bagi pihak yang berusaha bersikap etis untuk mewujudkan CSR , yakni berupa :125

1. lingkungan budaya setempat/ komunitas lokal

Filsuf Frans Magnis-Suseno mengkonstatir bahwa prinsip kekeluargaan dalam budaya Indonesia merupakan kendala serius untuk lahirnya perilaku etis dalam berbisnis. Selain itu terdapat juga kecenderungan budaya untuk menghindari konflik dan mencari keselarasan (harmoni). Seseorang tidak hanya memikirkan hal yang abstrak (seperti yayasan, lembaga, negara) tetapi lebih kepada pencegahan konflik harus didahulukan. Apabila kepatuhan yang berlebihan dituntut, seseorang akan segan menentangnya secara terbuka. 2. lingkungan politis ekonomi makro

bahwa sering kali tatanan yang ada menghasilkan efek samping dalam skala yang begitu besar, sehingga orang cenderung menerima keadaan tersebut dan

125

Ibid., hal. 69 -71

Frans Magnis- Suseno berpendapat bahwa “prinsip kekeluargaan tentu penting, tetapi secara etis pendekatan kekeluargaan belum mencukupi. Kekeluargaan adalah tepat bagi lingkungan akrab interpersonal. Namun dewasa ini diharapkan lebih dari itu, diharapkan kemampuan untuk meminati lingkungan sosial yang lebih luas, yang abstrak, yang artinya tidak ada sangkut pautnya dengan orang – orang tertentu.”

Lihat Bambang Rudito dan Melia Famiola, Op.cit., hal.232 bahwa bentuk komunitas yang majemuk serta sifat kebudayaannya yang multikultural maka Indonesia memerlukan suatu bentuk etika bisnis yang sangat spesifik. Bentuk komunitas di Indonesia terdiri dari komunitas elite dan komunitas rakyat. Dengan latar belakang bentuknya sebagai komunitas elite, maka perlu untuk mengembangkan model dari komunitas elite agar dapat menciptakan regulasi demi terciptanya sebuah etika yang dapat dipanuti oleh komunitas serta kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi antara perusahaan dengan masyakat sekitar.

bersikap apatis. Salah satu masalah yang dihadapi negara berkembang dalam hal ini adalah fleksibilitas keputusan hukum serta masalah korupsi yang notabene berkaitan dengan sistem birokrasi yang dibentuk.

Dengan demikian penerapan CSR secara konsisten merupakan tantangan sekaligus kesempatan bagi pelaku usaha, terutama untuk membangun corporate value

di mata stakeholdersnya sehingga korporasi dapat sustain.

D. Peranan Pemerintah, Perusahaan dan Masyarakat dalam Penerapan CSR